Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karakteristik geologis, geomorfologis, dan klimatis Kepulauan Indonesia


yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yang aktif dan saling
bertumbukan, didukung oleh variasi konfigurasi relief, dengan iklim tropis basah
menyebabkan tingginya potensi bencana alam. Berbagai peristiwa bencana yang
terjadi telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa dalam jumlah
tidak sedikit. Keadaan ini menunjukkan bahwa risiko bencana alam di Indonesia
masih cukup tinggi. Selain karena banyaknya jenis bahaya yang mengancam,
risiko bencana juga disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah manusia
yang rentan terhadap ancaman bencana serta masih rendahnya kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana (Sudibyakto, 2007; Lavigne, 2010).
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan PP
Nomor 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, risiko
bencana dapat dikurangi dengan melakukan tindakan manajemen kebencanaan.
Bagi masyarakat yang berada pada wilayah dengan potensi bencana tinggi
manajemen kebencanaan merupakan salah satu kebutuhan mendasar. Mengingat
bahwa bencana selalu terjadi di Indonesia dan risiko bencana yang masih
tergolong tinggi, manajemen kebencanaan termasuk penilaian risiko bencana perlu
segera diterapkan. Untuk mendukung upaya tersebut terlebih dahulu diketahui
daerah yang rawan dan berisiko bencana tinggi, oleh karenanya pemetaan daerah
rawan bencana maupun tingkat risiko bencana menjadi dasar yang pokok dalam
menunjang pelaksanaan manajemen kebencanaan (Sunarto dan Rahayu, 2006).
Salah satu bencana alam yang bisa terjadi yaitu kebakaran, khususnya
kebakaran pada kawasan Tahura. Taman hutan raya merupakan kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau
buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU
No. 5 Tahun 1990). Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR)
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor:
679/Kpts-II/1999, 1 September 1999 memiliki luas 22.249,31 Ha dengan
potensi sumber daya alam yang terdapat didalamnya berupa keanekaragaman
tumbuhan dan satwa, objek wisata alam, perbukitan dan pegunungan serta sungai
dan anak sungai didalamnya merupakan wilayah kawasan hutan yang
mempunyai karakter dan fungsi strategis dalam menunjang pembangunan di
wilayah Provinsi Lampung (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2009).
Akibat kebakaran yang terjadi di kawasan Tahura memiliki dampak yang
dirasakan manusia berupa kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari
potensi hutan seperti tegakan pohon hutan yang biasa digunakan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan makanan, dan obat-
obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani dan rekreasi.
Kerugian lainnya berupa kerugian ekologis yaitu berkurangnya luas wilayah
hutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta
hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.
Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan di kawasan Tahura yang langsung
dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan
gangguan pernapasan dan mengganggu aktifitas sehari- hari.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin meneliti
bagaimana tingkat resiko bencana yang terjadi di kawasan tahura beserta
bagaimana mitigasi bencana kebakaran hutan di kawasan Tahura tersebut.

1.2. RumusanMasalah
1.2.1. Bagaimana tingkat risiko bencana yang meliputi kebakaran hutan di
kawasanTahura?
1.2.2. Bagaimana mitigasi bencana kebakaran hutan di kawasanTahura?

1.3. Manfaat Penelitian


Penelitia ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan
kebencanaan kebakaran pada kawasan Tahura, khususnya dalam (1) menyediakan
informasi mengenai risiko bencana kebakaran, (2) menyediakan informasi tentang
cara penanggulangan apabila terjadinya kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari
penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masayarakat maupun pemerintah dalam
menentukan kebijakan terkait dengan pengelolaan suatu kebencanaan kebakaran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kebakaran Hutan

Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia

disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api

Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau

seluruh komponen hutan. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab

kerusakan hutan yang paling besar dan bersifat sangat merugikan. Perbaikan

kerusakan hutan akibat kebakaran memerlukan waktu yang lama, terlebih lagi

untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.

Kebakaran hutan merupakan suatu faktor lingkungan dari api yang

memberikan pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun

positif. Kebakaran hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor

alam. Penyebab kebakaran hutan yang terbanyak karena tindakan dan kelalaian

manusia. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi Kebakaran

Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat

timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan.

2.2. Sejarah Kebakaran Di Dunia dan Di Indonesia

Belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian international


sebagai isu lingkugan dan ekonomi, khususnya setelah benca El Nino (ENSO)
199798 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia
(FAO 2001; Rowell dan Moore 2001). Kebakaran dianggap sebagai ancaman
potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi
ekosistem (United Nations International Strategy for Disaster Reduction 2002),
kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi
keanekaragman hayati, Di Asia Tenggara, keprihatinan mengenai dampak
kebakaran hutan cukup signifikan, yang ditunjukkan dengan penandatangan
perjanjian lintas Batas Pencemaran Kabut oleh negara-negara anggota Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada bukan juni 2002 di Kuala Lumpur.
Kebakaran hutan ,erupakan salah satu prioritas yang ditanayakan oleh Departemen
Kehutanan Indonesia dan aksi untuk menangani masalah ini dimasukkan dalam
dokumen komitmen kepada negara-negara donor yang terhimpun dalam
Consultative Group on Indonesia.
Baru-baru ini kebakaran juga terjadi di California, Salah satu kota yang
paling parah terkena dampak kebakaran adalah Santa Rosa, di utara San
Francisco, dengan semua distrik di kota ini hancur. Valerie Schropp, warga Santa
Rosa, kepada BBC mengatakan dirinya tak pernah melihat kebakaran hutan dan
semak sehebat ini. Ia mengatakan api seperti menerjang kota dan meluluh-
lantakkan rumah dan bangunan yang ada. Jumlah korban tewas meningkat hingga
71 orang. Korban terbanyak berasal dari Paradise yang luluh lantak akibat
kebakaran. Tim forensik militer dan anjing pelacak terus mencari korban di antara
puing-puing kebakaran. Kebakaran kini sudah memasuki hari ke-delapan.
Sheriff Butte County Kory Honea menyebut jumlah orang hilang di
daerahnya melonjak hingga 1,011 orang dari 631 orang yang dilaporkan 24 jam
sebelumnya. Dia menyebut angka tersebut bisa jadi bertambah atau bahkan
berkurang. Lebih dari 150 orang lainnya masih dinyatakan hilang, meski
diperkirakan sebagian mungkin disebabkan oleh proses evakuasi yang
berlangsung kacau, yang membuat pendataan tak bisa dilakukan secara rapi.
Kepala pemadam kebakaran California, Ken Pimlott, kepada BBC mengatakan api
telah membakar wilayah seluas 26.000 hektare dalam 24 jam terakhir. Ia
mengatakan aparat pemerintah mencoba melacak orang-orang yang masih
dinyatakan hilang, tapi ia khawatir mereka tak bisa diselamatkan yang membuat
jumlah korban tewas meningkat.
Kebakaran juga menyebabkan lebih dari 91.000 rumah dan bangunan tidak
mendapatkan aliran listrik serta dua ribu rumah dan bangunan hancur total
dimakan api. Kebakaran di California kali ini adalah yang paling buruk dalam
sejarah dan asapnya bisa terlihat dari jarak 100 kilometer.
Parahnya Kebakaran Hutan California ini disebabkan berbagai hal seperti
perubahan iklim dan keadaan cuaca. Kelembaban yang rendah, angin hangat Santa
Ana dan tanah yang kering setelah sebulan tanpa hujan menciptakan lingkungan
yang sangat menunjang penyebaran api. Penduduk negara bagian yang berjumlah
40 juta orang ini juga menjadi penyebab kebakaran yang mematikan. Jumlah
populasi berubah hampir dua kali lipat dibanding tahun 1970-an dan orang
cenderung tinggal di tempat yang lebih dekat dengan daerah rawan kebakaran.
Selain itu, terjadi perubahan iklim. Beberapa tahun terakhir tercatat suhu tertinggi,
musim semi yang lebih cepat dan curah hujan yang lebih sulit diramalkan.
Indonesia juga mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia
pada tahun 1997/98. Cita situasi kota yang diliputi kabut, hutan yang terbakar dan
orangutan yang menderita terpampang di halaman utama berbagai koran dan
televisi dan menarik perhatan umum. Negara-negara tetangga seperti Singapura
dan Malaysia, dan juga lembaga-lembaga bantuan pembangunan melibatkan diri
dalam usaha memadamkan kebakaran hutan tersebut. Kejadian ini dinyatakan
sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad (Glover, 2001),
karena dampak yang dihasilkannya bagi hutan dan jumlah emisis karbon yang
dihasilkannya sangat besar.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan adalah
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya
kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi, intensitas, dan luas
arealnya berbeda.

Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Per Provinsi Di Indonesia
Tahun 2013-2018

No. PROVINSI 2013 2014 2015 2016 2017 2018


1 Aceh - 155,66 - - 797,00 12,00
2 Bali 60,50 30,00 8,50 - 3,50 -
No. PROVINSI 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Bangka
3 - - - - -
Belitung -
4 Banten - 2,00 - - -
5 Bengkulu - 5,25 181,00 - -- -
6 DKI Jakarta - - - - - -
7 Gorontalo - - 2.082,74 - - -
8 Jambi 199,10 3.470,61 19.528,00 36,80 306,13 28,87
9 Jawa Barat 252,80 552,69 3.292,40 6,44 -
-
10 Jawa Tengah 31,20 159,76 6.995,34 - - -

11 Jawa Timur 1.352,14 4.975,32 975,95 - 16,00 -

Kalimantan
12 22,70 3.556,10 3.191,98 1.859,05 761,33 571,47
Barat

Kalimantan
13 417,50 341,00 1.714,89 160,00 1.073,40 26,00
Selatan
Kalimantan
14 3,10 4.022,85 122.882,90 912,89 734,38 451,08
Tengah
Kalimantan
15 - 325,19 19.179,86 1.197,20 175,97 2,10
Timur
Kalimantan
16 - - - 3,00 - -
Utara
17 Kepulauan Riau - - - - 56,10 130,72

18 Lampung - 22,80 19.695,86 - 4,00 -

19 Maluku - 179,83 3.394,48 - 41,00 2,00

20 Maluku Utara - 6,50 60,00 - - -

Nusa Tenggara
21 12,00 3.977,55 1.462,04 - 103,00 -
Barat

Nusa Tenggara
22 649,90 980,87 372,43 64,37 159,83 -
Timur
23 Papua - 300,00 1.792,44 - - -
24 Papua Barat - - - - - -
25 Riau 1.077,50 6.301,10 4.040,50 1.928,26 1.109,36 2.841,11

26 Sulawesi Barat - - - - 20,00 -

Sulawesi
27 40,50 483,10 720,40 18,91 29,75 52,50
Selatan
Sulawesi
28 1,00 70,73 - - - -
Tengah
No. PROVINSI 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Sulawesi 2.410,8
29 13,00 57,82 184,86 1.639,81 254,22
Tenggara 6
18.268,9
30 Sulawesi Utara 0,25 236,06 - 10,33 0,63
3

31 Sumatera Barat - 120,50 - - 5,33 70,50

Sumatera 8.504,8 30.984,9


32 484,15 266,49 2.602,90 11,98
Selatan 6 8

3.219,9
33 Sumatera Utara 295,40 177,00 7.973,01 1.471,93 211,21
0
34 Yogyakarta 6,00 0,27
- - - -
44.411, 261.060, 14.604,8
TOT AL 4.918,74 11.127,49 4.666,39
36 44 4
* Luas kebakaran dihitung berdasarkan laporan dari daerah.
Direktorat PKHL Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan RI

2.3. Proses Terjadinya Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan dan lahan diakibatkan adanya proses nyala api, hal ini
dapat terjadi karena adanya tiga unsur, yaitu oksigen, bahan bakar, dan sumber
penyulut api. Sebagai ilustrasi bahan bakar dan panas yang terjadi karena suhu
tinggi, namun tanpa adanya udara sebagai penyulut api tidak mungkin terjadi
kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi apabila ketiga unsur tersebut muncul
bersamaan, sehingga saling mendukung munculnya api.
Kebakaran hutan terjadi apabila di areal kebakaran terdapat bahan bakar
yang tersedia di hutan seperti ranting, daun, rumput kering dan lain-lain tersulut
oleh sumber api yang berasal dari alam maupun buatan seperti kilat, gesekan, dan
ulah manusia di dukung dengan adanya oksigen yaitu udara yang dapat
memperbesar kebakaran hutan.

2.4. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan terjadi disebabkan karena faktor alami dan kegiatan

manusia. Ada yang menyebutkan hampir 90% kebakaran hutan disebabkan oleh

manusia sedangkan hanya 10% yang disebabkan oleh alam.


1. Bahan bakar

Ada beberapa sifat bahan bakar yang mempengaruhi proses terjadinya


kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, volume bahan bakar, jenis bahan bakar dan
kandungannya kadar air bahan bakar.

2. Cuaca

a. Angin

Angin merupakan faktor pemacu dalam lingkup api, angin akan


menurunkan kelembaban udara sehingga memperbesar ketersediaan oksigen
sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat, serta adanya angin akan
mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar selain itu angin dapat
menyebakan terjadinya lokasi kebakaran baru.
b. Suhu udara

Areal dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan


menyebabkan bahan baku cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya
kebakaran. Suhu yang tinggi menyebabkan rawan kebakaran, lokasi dengan suhu
tinggi yaitu lebih besar dari 153 C.
c. Curah hujan

Suatu daerah yang memiliki curah hujan tinggi berpengaruh terhadap


kembaban udara dan kadar air bahan bakar. Faktor hujan diduga merupakan faktor
pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
d. Keadaan air tanah

Keadaan air tanah ini sangat penting terutama di daerah gambut. Pada
musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun. Permukaan air tanah yang
menurun menyebabkan lapisan permukaan atas gambut menjadi kering. Dan hal
ini menyebabkan lahan gambut rawan kebakaran.
3. Waktu

Pada waktu siang hari kelembaban udara relatif rendah dan sebaiknya pada
siang hari. Maka perlu diperhatikan waktu pembakaran agar tidak beresiko
terjadinya kebakaran.

4. Sumber Api/Penyulut

Seperti telah diuraikan didepan bahwa sebagian besar sumber penyulut


terjadinya kebakaran hutan di Indonesia adalah oleh aktivitas manusia, entah
dengan sengaja atau tidak disengaja. Sedangkan untuk sumber api alami dapat
disebabkan oleh adanya petir dan gesekan.

2.5. Dampak Kebakaran Hutan

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya


terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber, sumber hasil hutan kayu dan
non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Terjadinya kebakaran hutan memberikan
berbagai pengaruh baik bagi hutan itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Berikut
dampak kebakaran hutan dari berbagai segi:

a) Dampak Terhadap Lingkungan Fisik

- Dampak terhadap tanah

Kebakaran hutan dapat mengakibatkan kerusakan pada sifat fisik dan


kimia tanah. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas
tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai
permukaan atas tanah sehingga mendapat energi pukulan air yang lebih besar,
karena tidak lagi tersusup / tertahan lagi oleh vegetasi penutup tanah.
- Dampak terhadap kualitas udara

Kebakaran hutan dapat menghasilkan gas-gas seperti Nox, Cox dan Sox

yang dapat menurunkan kualitas udara.


b) Dampak Terhadap Kehidupan Flora dan Fauna

- Dampak terhadap flora

Apabila api melahap hutan tropis Indonesia maka jelas akan


memusnahakan berbagai macam jenis tumbuhan yang merupakan kekayaan dunia.
- Dampak terhadap fauna

Apabila terjadi kebakaran hutan, maka pada umumnya satwa yang


bergerak lambat seperti jenis.
c) Dampak terhadap sosial ekonomi

Berdasarkan pengamatan pada beberapa responden, hasilnya ternyata


tanpa diminta sebutan responden mengungkapkan perasaan mendalam mengenai
kekacauan, ketidakadilan, keputusasaan dan ketidakberdayaan, serta perasaan
kehidupan menjadi tidak seimbang. Bukan hanya uang atau fisik tetapi juga
hilangnya rasa kebersatuan dan keamanan hidup mereka.
d) Dampak tehadap kesehatan

Kebakaran hutan selalu menimbulkan asap. Asap inilah yang merupakan


dampak paling mengganggu kesehatan manusia, karena asap yang dihasilkan oleh
kebakaran tersebut mengandung komponen-komponen yang berbahaya seperti
karbonmonoksida, karbon dioksida dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan
infeksi pada saluran pernapasan manusia.

2.6. Kemampuan dalam menghadapi bencana


Kemampuan dalam menghadapi bencana adalah kapasistas masyarakat
untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang mengurangi kerugian akibat
bencana. Sunarto dkk (2010) menjelaskan bahwa kemampuan dalam menghadapi
bencana merupakan bagian dari analisis risiko bencana. Kemampuan dalam
menghadapi bencana diambil dari istilah coping capacity. Thomas (2004)
membuat batasan yang setara dengan coping capacity yaitu resilence. Istilah-
istilah kebencanaan dalam Bahasa Indonesia menerjemahkan resilence sebagai
kelentingan, yang memiliki makna sama dengan kemampuan dalam menghadapi
bencana.
2.7. Pengelolaan Kebencanaan
Sistem pengelolaan bencana alam merupakan kebutuhan nasional yang
bersifat sinambung baik bagi pemerintah maupun masyarakat berkaitan dengan
adanya bencana alam (Sudibyakto, 1997). Siklus pengelolaan bencana
merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri atas kejadian bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, mitigasi, dan kesiapsiagaan menghadapi
bencana berikutnya (Gambar 1).

Kaku dan Held (2013) Membatasi aktivitas dalam pengelolaan


kebencanaan menjadi tiga bagian pokok yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan, respon,
dan pemulihan. Mitigasi mencakup pembangunan kapasitas (kemampuan
menghadapi bencana) dan monitoring pra bencana, respon (tanggap darurat)
mencakup observasi situasi kritis dan analisis data yang berhubungan dengan
dampak bencana, sedangkan pemulihan mencakup dukungan-dukungan yang
diperlukan selama proses pemulihan pasca bencana.
Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatanyang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna. Penanganan darurat adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan
rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peranserta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik ataupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana. Mitigasi bencana juga dapat didefinisikan sebagai tindakan
untuk mengurangi dampak bencana yang antara lain dapat dilakukan dengan
pembangunan fisik, peraturan perundangan, insentif, pendidikan dan pelatihan,
penyuluhan sosial, kelembagaan, dan pengembangan sistem peringatan dini
bahaya (Sudibyakto, 1997).
Mitigasi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengelolaan
bencana. Kegiatan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui: (1) perencanaan dan
pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana; (2)
pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; (3)
penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional
maupun modern (UURI No 24 Tahun 2007; PPRI No 21 Tahun 2008). Menurut
Sudradjat (1994) beberapa langkah dalam mitigasi bencana alam antara lain
meliputi: (1) Mengetahui tipe dan karakteristik bencana alam melalui penelitian,
(2) Pemetaan daerah rawan bencana alam, (3) Membuat zonasi bahaya dan risiko
serta menanamkan pengetahuan non fisik (sosial budaya) pada daerah yang paling
rawan bencana alam, (4) Membuat peraturan dalam pengelolaan bencana, (5)
Meningkatkan partisipasi komunitas dalam mitigasi bencana, (6) Mitigasi dengan
rekonstruksi dan rehabilitasi fisik, dan (7) Penggunaan teknologi untuk sistem
peringatan dini.
DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho,W.C. Suryadiputra, I.N.N. (2014).Strategi pencegahan kebakaran


hutan dan lahan gambut. Wetlands Internasional-Indonesian Programme.
Bogor.

BBC. (18 November 2018). Kebakaran hutan California: Korban tewas terus
bertambah, Trump tinjau kerusakan. Diambil dari
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46251335

Purbowaseso, Bambang. (2004). Kebakaran Hutan (Suatu Pengantar). Jakarta:


Rineka Cipta.

Rasyid, F. (2014). Permasalahan dan dampak kebakaran hutan. Jurnal Lingkar


Widyaiswara. Banten

Saharjo BH. 1999. Pembakaran terkendali sebagai metode alternatif dalam


pencegahan kebakaran hutan di hutan tanaman Acacia mangium.
JurnalManajemen Hutan Tropika. Vol 5 No 1: 67-75.

VOA. (16 November 2018). Pakar Sebut Banyak Penyebab yang Picu Kebakaran
di California. Diambil dari https://www.voaindonesia.com/a/pakar-sebut-
banyak-penyebab-yang-picu-kebakaran-di-california-/4661375.html

Anda mungkin juga menyukai