Anda di halaman 1dari 23

135  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol.

1 Februari 2015
 
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI DAN PERSOALAN HUKUMNYA
Oleh : Tansah Rahmatullah

ABSTRACT

Crime can be identified by losses, which subsequently resulted of criminal


liability. Indonesian Criminal Code still adheres to the principle of sociates delinquere
non potestwhere the legal entity or corporation deemed unable to perform criminal
acts. If the corporate proved that deed a harmful activity and should be given
sanctions, which one will be responsible and whether private corporation itself or the
managers.
Based on the research it is known that in the development of law in Indonesia,
outside the Criminal Code, in 1951 issued the Emergency Law No. 17 Year 1951
Hoarding Goods has adopted the thought or establishment that the offense can also be
made by or on behalf of a legal entity, a company, an association of people, and a
foundation. It became the first of the positive law that officially accepted that a
corporation can be a criminal, and then followed by other laws outside the Penal
Code. In other words, in legal terms, the corporation can be assumed as a losses
maker beside the man individually (Natuurlijk person). 
 
Keywords :Corporate, crime, accountability

ABSTRAK

Tindak pidana (crime)dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),


yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana (criminal
liability). KUHP Indonesia masih menganut asassociates delinquere non potestdimana
badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.Jika
seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi
terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi, siapakah yang akan
bertanggungjawab dana apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya.
Berdasarkan penelitan dapat diketahui bahwa dalam perkembangan hukum di
Indonesia, diluar KUHP, pada tahun 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 17 Tahun 1951
tentang Penimbunan Barang-Barang telah mengadopsi pemikiran atau pendirian
bahwa tindak pidana dapat pula dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang, dan suatu yayasan dan merupakan undang-
undang positif pertama yang secara resmi menerima bahwa suatu korporasi dapat
menjadi pelaku tindak pidana yang kemudian diikuti oleh Undang-undang lainnya di
luar KUHP. Dengan kata lain, dalam terma hukum telah terjadi pergeseran pandangan
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat disamping manusia
alamiah (natuurlijk person).

Kata kunci :Korporasi, tindak pidana, pertanggungjawaban

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 136 
 

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi.Kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari
hasil budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern
suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya.1
Kejahatan korporasi(corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul
dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.Corporate
crimebukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.
Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat
menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya.
Pemikiran tentang kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra
dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di dalam hukum pidana ada
doktrinyang berkembang yaitudoktrin universitas delinguere non potestyaitu
korporasitidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh pemikiran
yang menyatakan bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi
hukum (abstraksi), sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk
dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik
(tindak pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan
(actus reus).
Tindak pidana (crime)dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),
yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana ataucriminal
liability.Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi ataucorporate
liabilitymengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam
konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).Di samping itu, KUHP juga masih
menganut asassociates delinquere non potestdimana badan hukum atau korporasi
dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.Jika seandainya kegiatan atau aktivitas
                                                            
1
J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi, Alumni, Bandung, 1981, hal. 91

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


137  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian
dan harus diberikan sanksi, siapa yang akan bertanggungjawab ?

2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah korporasi dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana?
2. Kapan dan dalam hal bagaimanakah korporasi melakukan tindak pidana dan
bagaimana pula bentuk pertanggunjawaban pidananya?

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif.Pendekatan yuridis normatif dilakukan
dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan tersier.2
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk
menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada melalui pendekatan penelitian
kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif.
Penelitian hukum normatif ini menggunakan jenis data sekunder karena lebih
menitikberatkan pada studi kepustakaan. Data sekunder sendiri dapat dibedakan
menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
3
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan
perundangan di Indonesia yaitu UUD 1945, KUHP, serta peraturan perundangan
lainnya yang terkait dengan permasalahan penelitian ini.Bahan Hukum Sekunder,
yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, misalnya buku-
buku yang relevan, hasil-hasil penelitian para ahli terkait, hasil pertemuan ilmiah
(seminar, simposium, diskusi).Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang akan

                                                            
2
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum,
(Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam
Nusantara, Bandung, 2012, Hlm. 7
3
Ibid, Hlm. 25 – lihat juga Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 39

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 138 
 

memberikan petunjuk informasi/penjelasan terhadap bahan hukum primer dan


sekunder, seperti kamus, index dan lain-lain.
Tahapan pertama ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum),
yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum yang diangkat yaitu
mengenai pidana korporasi. Tahapan kedua ditujukan untuk mendapatkan hukum
subjektif (hak dan kewajiban).4
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan
dokumen. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan
tertulis baik itu bahan hukum primer maupun sekunder serta didukung oleh dokumen-
dokumen yang dikelompokkan sesuai kepentingannya.Dalam penelitian tesis ini,
analisis terhadap bahan hukum yang ada dilakukan secara deskriptif analitis. Hasil
kajian dan analisis menggunakan logika hukum, penafsiran hukum, argumentasi
hukum serta asas-asas hukum yang pada gilirannya menghasilkan kesimpulan sebagai
jawaban atas isu hukum yang harus dijawab.

C. Hasil Penelitian dan Analisis


1. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana.
a. Perkembangan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sebagai akibat
terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha.
Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara
perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana,
timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan
kegiatan usahanya.
Korporasi merupakan suatu ciptaan hukum, yaitu pemberian status sebagai
subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia
alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau
melakukan suatu tindakan hukum. Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa
badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena misalnya untuk
memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab di antara mereka yang
                                                            
4
Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, Hlm. 50

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


139  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan
menunjuk badan hukum sebagai subjek yang bertanggung jawab.
Sue Titus Reid5 mengatakan bahwapada mulanya orang tidak menerima
pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana. Hal ini dikarenakan korporasi
tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan
kesalahan. Dari Pernyataan ini dapat dilihat bahwa suatu korporasi tidak dapat
dinyatakan bersalah atas suatu kejahatan karena:
1) Korporasi tidak mempunyai pikiran (akal) sehingga dianggap tidak mampu
mempunyai niat jahat sebagai syarat dari semua kejahatan;
2) Korporasi tidak mempunyai badan (fisik) sehingga tidak bisa dipenjarakan
sehingga pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi.
Namun, pandangan ini telah berubah seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan korporasi di dunia bisnis modern. Dewasa ini, hampir diakui secara
universal bahwa suatu korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana untuk
perbuatan wakil-wakilnya, baik perbuatan aktif, maupun pasif yang bertindak atas
namanya. Korporasi adalah badan usaha yang keberadaannya dan satus hukumnya
disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. Korporasi
dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat
bertindak menurut hukum, melakukan gugatan dan dituntut di depan pengadilan. Oleh
karena suatu korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka
harus dijalankan oleh manusia, yang disebut pengurus atau pengelola .
b. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana dalam Undang-undang di
Indonesia.
Selama ini hanya manusia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana, artinya
hanya manusia yang dapat dipersalahkan dalam suatu peristiwa tindak pidana. Apabila
dalam suatu perkumpulan terjadi suatu tindak pidana, maka dicari siapa yang bersalah
terhadap terjadinya tindak pidana tersebut, atau para pengurus/pimpinan perkumpulan
itu yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana.6

                                                            
5
Sue Titus Reid, 1995, Criminal Law, Printice Hall, New Jersey, hal. 53. (dikutip dari Ningrum N.
Sirait, Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya (Diktat Perkuliahan, Universitas Sumatera Utara, 2013)
6
pasal 59 KUHP

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 140 
 

Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai subyek


hukum. Pandangan tentang subyek hukum pidana di bidang hukum pidana umum yang
hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan dengan sejarah pembentukan
WvS Nederland tahun 1881, dimana pada dasarnya hanya manusia dapat dipandang
sebagai subyek hukum pidana. Hal ni dapat diketahui dari :
(1) Memory van Toelichting Pasal 51 WvS Nederland (Pasal 59 KUHP): suatu
strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan
hukum tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.
(2) Uraian delik dalam banyaak pasal WvS selalu dimulai dengan “Barang Siapa”
dan sering disyaratkan adanya berbagai faktor manusia, seperti sengaja dan lalai,
faktor mana hanya dapat dimiliki oleh manusia.
(3) Sistem pidana terdiri dari pidana kekayaan dan pidana badan hanyalah dapat
dikenakan terhadap manusia.
(4) Hukum acara pidana tidak mengandung ketentuan tatacara terhadap korporasi. 7
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan
bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon).
Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa
manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum
keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai
satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum
atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada
pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.
8
Sehingga, KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan
pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.9
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, pada tahun 1951 dikeluarkan UU
Darurat No. 17. Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang yang mengadopsi
pemikiran atau pendirian bahwa tindak pidana dapat pula dilakukan oleh atau atas
                                                            
7
Andi Zaenal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 51
8
Jan Remmelink, HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hal. 98.
9
pasal 398 KUHP

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


141  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, dan suatu
yayasan. UU Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang itu
merupakan undang-undang positif pertama yang secara resmi menerima pendirian
bahwa suatu korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana.10.
Penerimaan pendirian korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-
undang tersebut di atas kemudian diikuti oleh berbagai undang-undang lain, yaitu:
1. UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi);
2. UU Darurat No. 7 Tahun 1965 tentang Tindak Pidana Ekonomi Pasal 15 ayat (1),
Pasal 17 ayat (1);
3. UU No. 11 PNPS tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, Pasal 49;
4. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Penyimpanan Narkotika;
5. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(sebagaimana terakhir telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang No.
16 Tahun 2000);
6. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
7. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
8. UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
9. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
10. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
11. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
12. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
13. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
14. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001;
15. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan UU no. 25 Tahun 2003;
16. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;

                                                            
10
Ningrum N. Sirait, Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya (Diktat Perkuliahan, Universitas
Sumatera Utara, 2013

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 142 
 

17. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;


18. UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
19. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
20. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
21. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
22. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat;
23. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
24. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001;
25. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan UU no. 25 Tahun 2003;
26. UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 155.11
Pasal 11 Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan
Barang-barang berbunyi sebagai berikut:
1. Bilamana suatu perbuatan yang boleh dihukum berdasarkan undang-undang ini,
dilakukan oleh suatu badan hukum, maka tuntutan itu dilakukan dan hukuman
dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu atau terhadap orang-orang
termaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau terhadap kedua-duanya.
2. Suatu perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan undang-undang ini dilakukan
oleh suatu badan hukum, jika dilakukan oleh seorang atau lebih yang dapat
dianggap bertindak masing-masing atau bersama-sama melakukan atas nama
badan hukum itu.
Pasal 15 ayat (1) UU Darurat No. 7 Tahun 1965 tentang Tindak Pidana
Ekonomi yang berbunyi:
“jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya, atau suatu
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak
                                                            
11
ibid

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


143  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau
kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.
Pasal 49 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Penyimpanan Narkotika
berbunyi:
“Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau
suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta
tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin
atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, atau pun terhadap
kedua-duanya”.

Sementara itu, Pasal 46 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan:


“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap
mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-
duanya”

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 Ayat (1):
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan
atau pengurusnya”.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 Ayat (1):
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan
atau pengurusnya”.
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Pasal 4 ayat (1):

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 144 
 

“Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas
nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus
dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.“
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 155:
“Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas
kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak
mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum
Pidana”.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.


Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan dengan diterimanya korporasi
sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari
pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).12
Lebih lanjut Setiyono mengatakan dalam terma hukum telah terjadi pergeseran
pandangan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat disamping
manusia alamiah (natuurlijk person). Jadi penolakan pemidanaan korporasi
berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan
dengan menerima konsep pelaku fungsional (functional daderschap)13.”
Konsep pelaku fungsional (functional daderschap) dalam konteks pemidanaan
korporasi berartibahwa seseorang tidak dapat lepas dari tanggungjawab dengan alasan
bahwa yang bersangkutan telah memberikan pendelegasian tanggungjawab kepada
orang lain dan sekalipun yang bersangkutan tidak mengetahui apa yang telah
dilakukan bawahannya. Dengan kata lain seseorang yang telah mendelegasikankan
wewenang kepada bawahannya atau kuasanya guna bertindak untuk dan atas namanya
tetap harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh penerima delegasi
apabila penerima delegasi melakukan tindak pidana, sekalipun ia tidak mengetahui apa
yang telah dilakukan oleh bawahannya. Maka pendelegasian tidak dapat dijadikan
sebagai alasan pemaaf bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul

                                                            
12
Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Kumpulan Karangan
Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, Hal. 102.
13
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publissing, Malang, 2003, hal 1-2.

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


145  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
pertanggungjawaban pidana semata-mata, karena tindak pidana tersebut telah
dilakukan oleh bawahannya yang telah menerima pelimpahan wewenang darinya.14
Menurut Rolling15, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku
tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya
dibebankan kepada badan hukum atau korporasi dilakukan dalam rangka tugas dan
pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut.
Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan
hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal
dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat
bagaimana akitivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau
ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu. Korporasi tidaklah dibentuk
tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut, selalu diwujudkan
melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian, kemampuan bertanggungjawab
oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat di alihkan menjadi
kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi, Muladi sebagaimana dikutip
oleh Hamzah Hatrik, mengatakan:“Korporasi dikualifikasikan sebagai subyekyang
dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang
(pengurus), merupakan refleksi mengenai dua hal, yakni kemampuan korporasi
melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana.”16
Menurut Hamzah Hatrik, ada tiga sistem kedudukan korporasi sebagai pembuat
dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu :
(1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab
(2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab
(3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.17

                                                            
14
Ningrum N. Sirait, Ibid.
15
Rolling, dalam Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991, Hal 8.
16
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability
Dan Vicarious Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 7.
17
Ibid. hal. 5.

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 146 
 

Senada dengan Hamzah Hatrik, Dwidja Priyatno menyebutkan Model-Model


Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi, yang secara lengkap dikatakan:18
“Tentang kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban
pidana korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi,
yaitu:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana
tahap I. Dimana para penyusun KUHP, masih menerima asas
“societas/universitas delinquere non potest” (badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana). Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu pada
seluruh Eropa kontinental. Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat hukum
pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian
juga dari aliran modern dalam hukum pidana. 19
Bahwasanya yang menjadi subjek tindak pidana itu sesuai dengan penjelasan
(MvT ) terhadap Pasal 59 KUHP, yang berbunyi :”suatu tindak pidana hanya
dapat dilakukan oleh manusia”. 20
Von Savigny pernah mengemukakan teori fiksi (fiction theory), dimana korporasi
merupakan subjek hukum, tetapi hal ini tidak diakui dalam hukum pidana, karena
pemerintah Belanda pada waktu itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum
perdata ke dalam hukum pidana. 21
Ketentuan dalam KUHP yang menggambarkan penerimaan asas
“societas/universitas delinquere non potest” adalah ketentuan Pasal 59 KUHP.
Dalam pasal ini juga diatur alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond).
yaitu pengurus, badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran, tidak dipidana.
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
Sistem pertanggungjawaban ini terjadi di luar KUHP, seperti diketahui bahwa
dalam hukum pidana yang tersebar di luar KUHP, diatur bahwa korporasi dapat
                                                            
18
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di
Indonesia, CV.Utomo, Bandung, 2004, hal.53.
19
ibid
20
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Yayasan Sudarto, Semarang,1990, hal 61.
21
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi …..ibid, Hal 30.

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


147  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
melakukan tindak pidana, akan tetapi tanggung jawab untuk itu dibebankan
kepada pengurusnya (contohnya Pasal 35 UU No 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahan). Kemudian muncul variasi yang lain yaitu yang
bertanggungjawab adalah “mereka yang memberi perintah” dan atau “mereka
yang bertindak sebagai pimpinan” (Pasal 4 ayat (1) UU No 38/1960 tentang
Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman Tertentu).
Kemudian muncul variasi yang lain lagi yaitu yang bertanggungjawab adalah :
pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di
Indonesia dari perusahan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia, dan
mereka yang sengaja memimpin perbuatan yang bersangkutan (Pasal 34 UU No.
2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal). 22
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Dalam sistem pertanggungjawab ini telah terjadi pergeseran pandangan,
sebagaimana Setiyono mengatakan bahwa dalam terma hukum telah terjadi
pergeseran pandangan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai
pembuat disamping manusia alamiah (natuurlijk person). Jadi penolakan
pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest
sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional
23
(functional daderschap) . Jadi dalam sistem pertanggungjawaban ketiga ini
merupakan permulaan pertanggungjawaban yang langsung dari korporasi.
Adapun hal-hal yang dapat dijadikan alasan pembenar bahwa korporasi sebagai
pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut: Pertama,
karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang
diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian
besar, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan
pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau
belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi,
Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi
itu, diharapkan korporasi dapat menaati peraturan yang bersangkutan.24
                                                            
22
Mardjono Reksodipuro, Kemajuan ….op cit, Hal. 70.
23
H Setiyono, op cit, Hal 16.
24
Ibid, Hal 15.

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 148 
 

3. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


(1) Doktrin Identifikasi(Identification Tests / Directing Mind Theory).
Doktrin Identifikasi adalah salah satu teori atau doktrin yang digunakan sebagai
pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana kepada korporasi meskipun pada
kenyataannya korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri.
Pertanggungjawaban korporasi secara pidana, di negara anglo saxon seperti di Inggris
dikenal dengan konsep direct coporate criminal liability atau doktrin
pertanggungjawaban pidana langsung. 25
Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung
melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang
sebagai perbuatan perusahaan (korporasi) itu sendiri. Keadaan demikian, perbuatan itu
tidak dipandang sebagai pengganti sehingga pertanggungjawaban perusahaan
(korporasi) tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.
Pertanggungjawaban pidana menurut doktrin ini, asas “mens rea”26 tidak
dikesampingkan, dimana menurut doktrin ini perbuatan atau sikap batin dari pejabat
senior korporasi yang memiliki “directing mind” dapat dianggap sebagai sikap
korporasi. Hal ini berarti bahwa sikap batin tersebut diidentifikasikan sebagai
korporasi, dan dengan demikian korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara
langsung. 27
Pemikiran doktrin identifikasi ini, berpendapat bahwa perusahaan itu merupakan
kesatuan buatan, sehingga ia dapat bertindak melalui agennya. Agen tersebut
dipandang sebagai directing mind atau alter ego. Perbuatan individu yang dikaitkan
dengan perusahaan yaitu bila seseorang (individu) diberi wewenang untuk bertindak
atas nama dan selama menjalankan perusahaan, sehingga mens rea seseorang/individu
merupakan mens rea dari perusahaan.

                                                            
25
Ningrum N. Sirait, ibid
26
Mens rea atau gulty mind adalah salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, disebut juga dengan
pengetahuan atau tujuan yang salah (Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan
Pertanggungjawabannya (http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/,diakses terakhir tanggal
29 Agustus 2014)
27
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan
Korporasi, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 21.

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


149  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
Menentukan apakah seseorang bertindak sebagai perusahaan atau hanya sebagai
karyawan atau agen, dibedakan antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dan
mereka yang mewakili tangannya. Bahwa sebuah perusahaan (korporasi) dalam
banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan (korporasi) memiliki
otak dan pusat saraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Memiliki tangan
yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf itu.
Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu ada karyawan dan agen yang tidak
lebih dari sebuah tangan di dalam melakukan sebuah pekerjaan. Sedangkan di pihak
lain ada direktur dan manager yang mewakili sikap bathin yang mengarahkan dan
mewakili kehendak perusahaan serta mengendalikan apa yang dilakukan.
Directing mind dari korporasi biasanya adalah direktur dan manajer yang
mewakili kehendak dan pikiran yang mampu menggerakkan perusahaan tersebut.
Dengan status dan otoritas tertentu yang dimiliki oleh directing mind berdasarkan
hukum maka akan dapat dianggap bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas nama
perusahaan.
Sehubungan dengan pejabat senior, Hakim Reid memandang bahwa untuk tujuan
hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari “dewan direktur, direktur pelaksana
dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi manajemen dan
berbicara serta berbuat untuk perusahaan”. 28
Syarat-syarat untuk dapat menerapkan doktrin identifikasi dalam
pertanggungjawaban pidana korporasi adalah: 29
1. Perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korproasi tersebut harus
termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya.
2. Tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang
bersangkutan.
3. Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk memperoleh manfaat bagi korporasi.
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan doktrin ini adalah:
a) Seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggungiawab dengan alasan geografi
maksudnya ia terpisah dari lokasi di mana tindak pidana tersebut teradi. Misalnya
                                                            
28
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 1. cetakan 1, RafaGrafindo
Persada, Jakarta, 2002, Hal 159.
29
Ningrum N. Sirait, ibid

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 150 
 

atasan yang berada di kantor pusat menjadi directing mind dari perbuatan yang
dilakukan oleh kepala cabang korporasi.
b) Sebuah korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan oleh pegawainya, meskipun telah ada perintah kepada
pegawai tersebut agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum,
akan tetapi pejabat dan direktur korporasi jugs memiliki kewajiban untuk
memantau perbuatan-perbuatan dari para pegawai korporasi yang melanggar
pedoman umum perusahaan yang melarang mereka melakukan tindak pidana.
c) Directing mind dari korporasi tidak terbatas pada satu orang saja, pejabat dan
direktur bisa dikenakan secara bersamaan.
d) Pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing mind dari suatu
korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana, apabila
tindak pidana tersebut tidak disadarinya.
(2) Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability).
Pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa
kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liability is
one where in one person, though without personal fault, is more liable for the conduct
of another). 30
Vicarious liability, diartikan Henry Black sebagai inderect legal responsibility,
the liability of an employer for the acts of employee, of a principle for torts and
contracts of an agent.(Pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari karyawan, pertanggungjawaban
prinsip atas tindakan agen dalam suatu kontrak).31
Doktrin vicarius liability diambil dari hukum perdata yang diterapkan dalam
hukum pidana. Menurut doktrin ini, seseorang yang melakukan suatu perbuatan
melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu dengan syarat
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah perbuatan dalam rangka
tugas yang diberikan.

                                                            
30
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6-1999, Hal 33.
31
Ningrum N. Sirait, ibid

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


151  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
Doktrin yang pada mulanya diadopsi di Inggris ini menyebutkan bahwa
korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya,
agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan
kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara
otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan
meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol.
Teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsurmens rea(guilty mind) dari
mereka yang dibebankan pertanggungjawaban. Pengadilan di Inggris dan Kanada telah
menolak doktrin ini, dan mengadopsi teori identifikasi. Namun, pendekatan doktrin ini
masih digunakan di pengadilan federal Amerika Serikat.32
(3) Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict
Liability).
Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut
asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a blame worthy
mental state is not punishable), juga menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa
harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak
pidana. Prinsip pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.33
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris
hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap
ketertiban umum atau kesejahteraan umum. Termasuk ke dalam kategori ini
pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas ialah :
a. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan;
b. “Criminal libel” atau “defamation” atau pencemaran nama baik seseorang; dan
c. “Public nuissance” atau mengganggu ketertiban masyarakat (umum).34

                                                            
32
Christopher M. Little& Natasha Savoline, Op.Cit, hal. 8. (Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi
danPertanggungjawabannya (http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/,
diakses terakhir tanggal 29 Agustus 2014)
33
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 1996, Hal 76.
34
Romli Atmasasmita, op cit, Hal 77

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 152 
 

(4) Doctrine of Delegation.


Doctrine of Delegation, merupakan salah satu dasar pembenaran untuk dapat
membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawainya kepada
korporasi. Menurut doktrin tersebut, alasan untuk dapat memberikan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian
kewenangan dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya.
Pendelegasian kewenangan dari seorang pemberi kerja (employer) kepada
bawahannya merupakan alasan pembenar bagi dibebankannya pertanggungjawaban
pidana kepada pemberi kerja tersebut atas perbuatan yang dilakukan oleh
bawahannya.35
(5) Doktrin Aggregation.
Menurut teori ini, dengan cara menjumlahkan (aggregating) tindakan (acts) dan
kelalaian (omission) dari dua atau lebih orang perorangan yang bertindak sebagai
perusahaan, unsur actus reus36 dan mens rea dapat dikonstruksikan dari tingkah laku
(conduct) dan pengetahuan (knowledge) dari beberapa individu. Inilah yang disebut
dengan Doctrine of Collective Knowledge atau Doktrin Pengetahuan Kolektif.37
Doktrin aggregation adalah mengkombinasikan kesalahan dari sejumlah orang
secara kolektif yang terikat kewenangan korporasi (struktur organisasi perusahaan),
bertindak dan atas nama, kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini
semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang yang terkait secara relevan
dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja.
Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat digunakan ketika suatu tindak pidana
memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan mengabaikan
realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja bukan berupa
penyatuan dari suatu perbuatan yang salah, atau bukan berupa penyatuan dari apa yang
telah dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta bahwa suatu perusahaan tidak

                                                            
35
Ningrum N. Sirait, ibid
36
Actus Reus atau guilty act adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku bertanggung
jawab secara pidana jika unsur mens rea juga turut terbukti
37
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability (diakses pada tanggal 29 Agustus 2014)

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


153  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah
seseorang dalam perusahaan itu melakukan perbuatan yang secara kumulatif
merupakan suatu tindak pidana. 38
(6) The corporate culture model.
Pendekatan jenis ini digunakan oleh Australia. Istilah corporate culturedapat kita
lihat dalam Australian Criminal Code Act 1995 (Undang-undang Pidana Australia)
yang didefinisikan sebagai berikut :
“an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body
corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant
activities take place”. Yaitu suatu bentuk sikap, kebijakan, aturan, rangkaian
perbuatan atau praktek yang pada umumnya terdapat dalam tubuh korporasi atau
dalam bagian tubuh korporasi dimana kegiatan-kegiatan terkait berlangsung.39
Menurut undang-undang ini, tanggung jawab pidana bisa dijatuhkan apabila
terbukti bahwa :Pertama, dewan direksi korporasi dengan sengaja atau dengan tidak
hati-hati (ceroboh) melakukan tindakan-tindakan (conduct) yang relevan, atau secara
terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize) atau
mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau kejahatan. Kedua, agen
manajerial korporasi tingkat tinggi (seperti direksi, komisaris, manajer) secara sengaja,
mengetahui benar atau tidak hati-hati terlibat dalam tindakan-tindakan yang relevan,
atau secara terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan
(authorize) atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau
kejahatan.Ketiga, ada budaya atau kebiasaan dalam tubuh korporasi yang
menginstruksikan, mendorong, atau mengarahkan dilakukannya tindakan-tindakan
pelanggaran (non compliance) terhadap peraturan-peraturan tertentu.Keempat,
korporasi gagal membentuk dan mempertahankan budaya yang menuntut kepatuhan
(compliance) terhadap peraturan-peraturan tertenty.40

                                                            
38
Ningrum N. Sirait, ibid
39
Christopher M. Little& Natasha Savoline, Op.Cit, hal. 11 (dalam Bismar Nasution, Kejahatan
Korporasi dan Pertanggungjawabannya (http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/,
diakses terakhir tanggal 29 Agustus 2014)
40
ibid

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 154 
 

(7) Reactive corporate fault.


Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak
pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan sepanjang
telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada
perusahaan untuk:
a) Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggungjawab di
dalam organisasi perusahaan itu.
b) Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang
bertanggungjawab
c) Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil
perusahaan.
Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan
laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah-langkah yang telah diambil
oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggungjawab maka
pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang
bersangkutan. Apabila tanggapan dari korporasi terhadap perintah pengadilan
dianggap tidak memadai maka perusahaan atau pimpinan perusahaan akan dibebani
dengan pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat
pemerintah.41

D. Penutup
1. Kesimpulan
Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sebagai akibat
terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha.
Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara
perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana,
timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan
kegiatan usahanya.

                                                            
41
Ningrum N. Sirait, ibid

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


155  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
Dalam perkembangan terma hukum saat ini telah terjadi pergeseran pandangan
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat disamping manusia
alamiah (natuurlijk person). Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin
universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima
konsep pelaku fungsional (functional daderschap).
Pemidanaan terhadap korporasi, sekalipun sering dikaitkan dengan masalah
finansial, namun sebenarnya mengandung tujuan yang lebih jauh. Apabila dikaji lebih
mendalam peranan hukum pidana, dalam rangka pertanggungjawaban pidana
korporasi banyak manfaatnya.Pemidanaan terhadap korporasi memberikan efek jera
bagi korporasi dan menjadi ciri kuatnya penegakan hukum di suatu Negara.
2. Saran
Perlu dikaji lebih lanjut peringatan agar dalam menjatuhkan pidana dalam
korporasi misalnya dalam bentuk penutupan seluruh atau sebagian usaha dilakukan
secara hati-hati. Hal ini dikarenakan karena dampak putusan tersebut sangat luas.
Yang akan menderita tidak hanya yang berbuat salah, tetapi juga orang-orang yang
tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham dan para konsumen suatu pabrik. Untuk
mencegah dampak negatif pemidanaan korporasi, hendaknya dipikirkan untuk
mengasuransikan para buruh/pekerja, pemegang saham. Efek pemidanaan terhadap
korporasi yang mempunyai dampak negatif dapat dihindarkan.

Daftar Pustaka

BUKU :

Andi Zaenal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita, Jakarta,
1983
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 1. cetakan
1, RafaGrafindo Persada, Jakarta, 2002
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, CV.Utomo, Bandung, 2004

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Yuridis … 156 
 

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana


Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability), PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis Dan
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia
Publissing, Malang, 2003
Jan Remmelink, HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi, Alumni,
Bandung, 1981
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya
Tulis Ilmiah Hukum, (Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Nusantara, Bandung, 2012
Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan,
Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian
Hukum, Jakarta, 1994
Rolling, dalam Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Mandar Maju,
Bandung, 1996
Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990

JURNAL DAN DIKTAT :

Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6-


1999
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, Universitas Diponegoro, Semarang

  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum


157  Media Justitia Nusantara No. 9 Vol. 1 Februari 2015
 
Ningrum N. Sirait, Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya, Diktat
Perkuliahan, Universitas Sumatera Utara, 2013
Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”,Law Review
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006
Sue Titus Reid, ,Criminal Law, Printice Hall, New Jersey, 1995

INTERNET :
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya
(http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability

UNDANG-UNDANG :

KUHP
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-barang
UU Darurat No. 7 Tahun 1965 tentang Tindak Pidana Ekonomi
Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Penyimpanan Narkotika
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

 
  PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum

Anda mungkin juga menyukai