Kajian Percepatan Pembangunan Waduk dan PLTA ini dibuat dengan maksud untuk
mengidentifikasi dan menganalisis potensi, tantangan dan permasalahan
pembangunan PLTA sebagai sumber energi listrik yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan serta berbiaya operasi rendah, serta alternatif strategi percepatan
pembangunannya. Diharapkan dengan adanya laporan ini maka dapat memberikan
informasi bagi para pemangku kepentingan dan pembuat keputusan sehingga
langkah-langkah percepatan pembangunan PLTA dapat segera dilaksanakan.
Team Penyusun
Daftar Isi
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
Daftar Gambar...........................................................................................................iv
Daftar Tabel................................................................................................................ vi
BAB 1 Pendahuluan.............................................................................................1
2.1. Neraca Listrik di Indonesia dan Proyeksi Kebutuhan Listrik Masa Depan. 7
Lampiran.................................................................................................................130
Daftar Gambar
Gambar 2.9 Grafik Estimasi Dampak Emisi Karbon dari Pembangkit di PLN...........20
Gambar 3.4 Prosedur Penyusunan dan Penilaian AMDAL serta penerbitan SKKL dan
Izin Lingkungan (sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2013)............................47
Gambar 3.4 Diagram Alir Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan – IPPKH......................51
Gambar 3.6 Prosedur Perizinan hingga Pembangunan PLTA Type Run Off River....68
Gambar 3.10 Prosedur Perizinan hingga Pembangunan PLTA Type Pump Storage 78
Daftar Tabel
Tabel 2.2 Estimasi Dampak Emisi Karbon dari Setiap Jenis Pembangkitan PLN......19
Tabel 2.3 Biaya Pembelian Listrik per KWh untuk IPP baru.....................................22
Tabel 2.9 Potensi Tenaga Air yang dapat dikembangkan hingga tahun 2027
(Realistic Scenario)...................................................................................................32
Tabel 4.3 Daftar PLTA yang Overlapping antara Perencanaan Swasta dan PLN......94
Berdasarkan statistik PLN tahun 2012, hanya Pulau Jawa dan Bali yang mampu
memenuhi kebutuhan listrik pada beban puncak (surplus 2.131,94 MW). Secara umum
kondisi defisit pasokan listrik tersebut akan mengakibatkan terjadinya defisit pasokan
listrik secara masal pada tahun 2017. Defisit pasokan listrik tersebut harus
diantisipasi dengan mempercepat program bauran energy yang memeberikan porsi
yang lebih besar pada pemanfaatan energy baru terbarukan, dengan tetap
menggandeng pihak swasta melalui penyediaan insentif dan prosedur serta
persyaratan investasi yang jelas.
Indonesia sebagai negara tropis mempunyai ketersediaan sumber air sangat besar
dan melimpah, yang menempati posisi lima besar dunia. Data Puslitbang Sumber
Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2011 menunjukkan bahwa ketersediaan
air rata-rata di Indonesia mencapai 3,9 triliun m3/tahun, dimana 82,3% berada di
Kalimantan, Papua dan Sumatera. Sisanya tersebar 16,4% hampir merata di Pulau
Jawa, Sulawesi, dan Maluku, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara hanya memberi
kontribusi sekitar 1,3% dari ketersediaan air permukaan secara nasional. Ketersediaan
air yang melimpah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik yang
kita lakukan pada periode terdahulu melalui pembangunan PLTA yang merupakan
salah satu manfaat dari pembangunan waduk/bendungan.
Besarnya potensi ketersediaan PLTA dari waduk yang sudah ada maupun
pemanfaatan potensi ketersediaan air untuk PLTA melalui pembangunan waduk
tersebut diatas, harus didorong dan didukung dengan kebijakan-kebijakan agar
mempercepat realisasi pembangunan PLTA. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan
payung hukum yang menjamin secara legal terlaksananya percepatan pembangunan
PLTA, seperti kebijakan pada level presiden, kebijakan pada level
Kementerian/Lembaga, maupun aspek kebijakan lainnya seperti koordinasi dan
promosi serta pelayanan birokrasi. Dengan adanya kebijakan percepatan
pembangunan PLTA tersebut, diharapkan prosedur dan proses yang panjang dan lama
dalam pembangunan PLTA dapat diperpendek dan dipersingkat atau bahkan
dipangkas. Sehingga hambatan perizinan, pembebasan lahan, dinamika perencanaan,
pendanaan, dan dampak sosial dalam pembangunan PLTA akan semakin jelas dan
mudah. Sebagai contoh untuk pembangunan PLTA Upper Cisokan, dibutuhkan waktu
13 Tahun dari DED hingga dimulainya konstruksi.
Sebagai gambaran mengenai bauran energy listrik pada tahun 2010 adalah sebesar
1.138 Juta SBM yang sebagian besar suplainya dipenuhi oleh Minyak (48,39%) dan
Batu Bara (24,74%), yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi listrik
sehingga subsidi energi listrik akan menjadi semakin besar. Jika kebutuhan energi
pada tahun 2025 diproyeksikan sebesar 2.785 Juta SBM, maka pengembangan PLTA
merupakan opsi yang tepat untuk mengurangi beban subsidi energi listrik.
Namun harapan investasi swasta dalam kelistrikan tersebut, memerlukan kerja keras
Pemerintah khususnya terkait dengan implementasi Undang Undang Nomor 30 Tahun
2009 tentang ketenagalistrikan, yang masih memerlukan Peraturan Pemerintah
berkenaan dengan penetapan wilayah usaha, izin usaha, izin operasi.
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu adanya suatu kajian yang menganalisa
kebijakan pemanfaatan potensi sumberdaya air untuk percepatan pembangunan PLTA
Maksud dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi,
tantangan dan permasalahan pembangunan PLTA sebagai sumber energi listrik yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan serta berbiaya oprasi rendah, serta alternatif
strategi percepatan pembangunannya.
1. Mengetahui dan memetakan potensi sumber daya air sebagai salah satu
alternatif sumber energi listrik di Indonesia;
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .2 Proyeksi Kebutuhan
Listrik Indonesia
Untuk menjamin ketersediaan jumlah listrik yang memadai dan berkelanjutan, maka
diperlukan upaya-upaya pemanfaatan energi primer untuk meningkatkan
pengembangan ketenagalistrikan secara optimal. Kebijakan pemanfaatan energi
primer setempat untuk pembangkit tenaga listrik dapat terdiri dari energi fosil (batubara
Kebijakan bauran energi diatas menunjukkan bahwa Indonesia tidak boleh hanya
tergantung pada sumber energi berbasis fosil, namun harus juga mengembangkan
penggunaan energi terbarukan. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu
dikembangkan dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah
pemanfaatan dan pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi
energi, permintaan energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti harga
energi, teknologi, pajak, investasi dan sebagainya.
Permasalahan sumber energi sampai saat ini masih menjadi perhatian dengan
semakin tingginya kebutuhan akan energi untuk pembangkit listrik. Permintaan
tenaga listrik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
rata-rata sekitar 8-9 % per tahun. Sementara itu laju pertumbuhan kapasitas
pembangkit dalam 3 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 3-5% per tahun.
Pembangkit listrik di Indonesia saat ini masih tergantung dari beberapa sumber
diantaranya Minyak, Batubara, Gas, Air, dan Panas Bumi.
Berdasarkan RUPTL PLN 2012-2021 yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, Kebijakan
bauran energi primer untuk pembangkit listrik dengan tegas akan difokuskan pada
pengembangan energi terbarukan seperti panas bumi, biomassa dan tenaga air. Hal itu
dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang cadangannya
terus menurun dan semakin menipis, serta untuk menurunkan tingkat emisi karbon
dioksida yang dihasilkan dari pemanfaatan energi fosil.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .4 Rencana Pengembangan Pembangkit Tenaga Listrik
Dalam kurun waktu 2000-2009, Indonesia telah membangun pembangkit listrik dengan
laju pertumbuhan sebesar 2,4% pertahun. Selama kurun waktu tersebut, PLTU
Batubara dan PLTGU mendominasi kapasitas pembangkit listrik nasional dengan
pangsa sebesar 33% dan 30%. Selama 9 tahun tersebut PLTA, PLTP, dan PLTD juga
berkembang dengan laju pertumbuhan berturut turut masing-masing sebesar 1,7%,
1,6% dan 1,7%. PLTG mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan laju
pertumbuhan sebesar 8,8%.
Pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara dirancang sebagai andalan
pembangkit utama, karena ketersediaan batubara di dalam negeri cukup memadai dan
potensinya sangat besar di Indonesia. Konsumsi batubara untuk tahun 2002 mencapai
lebih dari 14 Juta ton dan akan meningkat terus dimasa mendatang. Salah satu
kendala utama dalam pengembangan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia
adalah adanya dampak lingkungan seperti tingginya emisi CO2, gas buang, serta sisa
batubara yang tiak terbakar, yang sekaligus merupakan tantangan dalam
pengembangan batubara khususnya di Pulau Jawa di masa yang akan datang.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .6 Kebutuhan Energi
Listrik Indonesia
Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan bahan
bakar fosil relatif lebih tinggi dibanding dengan tenaga air. Berdasarkan perbandingan
yang ditunjukkan pada Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa biaya pembangkitan listrik per
kw/h untuk sewa Genset/Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) hampir 20 kali lebih
mahal dari biaya yang dikeluarkan dengan listrik tenaga air.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .7 Biaya Operasi
Pembangkit Rata-rata/kWh per Jenis Pembangkit (Rp/kWh) Tahun 2012
Sementara itu, harga jual rata-rata sebesar Rp. 745/kWh yang lebih rendah dari biaya
pokok penyediaan rata-rata sebesar Rp 1.272/kWh, membuat Pemerintah harus
memberikan subsidi agar produksi listrik bisa terus berjalan.
Penggunaan energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik telah berimbas secara
nyata pada kondisi keuangan negara. Posisi Indonesia yang sudah tidak lagi sebagai
negara pengekspor energi fosil, melainkan sebagai negara pengimpor energi fosil
Secara umum kebijakan penetapan tarif dilakukan sesuai nilai keekonomian, namun
demikian tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan dengan memperhatikan
keseimbangan kepentingan nasional, daerah konsumen, dan pelaku usaha
penyediaan tenaga listrik. Khusus untuk pelanggan kurang mampu juga
mempertimbangkan kemampuan bayar pelanggan, sehingga masih diberlakukan
kebijakan subsidi listrik yang mencapai 50%. Berkenaan dengan subsidi listrik, sesuai
kemampuan keuangan negara yang terbatas, diarahkan langsung kepada kelompok
pelanggan kurang mampu dan atau untuk pembangunan daerah perdesaan dan
pembangunan daerah-daerah terpencil dengan mempertimbangkan atau
memprioritaskan perdesaan/daerah dan masyarakat yang sudah layak untuk
mendapatkan listrik dalam rangka menggerakkan ekonomi masyarakat. Apabila tidak
dilakukan subsidi pada kondisi tersebut di atas, daya beli masyarakat tidak akan
mampu menjangkau listrik karena harga jual yang cukup tinggi.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .8 Gambaran Biaya
Subsidi Energi Listrik
Sebagai akibat dari tingginya biaya produksi listrik karena sebagin besar menggunakan
energi fosil, maka dalam waktu 10 tahun terakhir subsidi listrik meningkat secara
signifikan terutama terjadi mulai tahun 2005 hingga sekarang. Faktor harga minyak
dunia dan tidak cukupnya produksi minyak dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan
energi dalam negeri berdampak subsidi tersebut semakin meningkat. Dapat kita lihat
dari Gambar 2.8, besaran subsidi listrik pada tahun 2000 hingga 2004 relatif stabil
pada kisaran Rp. 4 triliun, pada tahun 2004 hingga 2009, subsidi listrik meningkat
hingga 14 kali lipat, dan pada periode 2010-2014 diperkirakan meningkat 1,5 kali lipat
dari periode sebelumnya.
Dalam hal biaya pembangunan, secara umum PLTA memerlukan kebutuhan investasi
untuk pendanaan yang tidak sedikit. Initial cost bagi pengembangan PLTA biasanya
disebabkan besarnya biaya pembebasan lahan dan konstruksi waduk. Sebagai
gambaran, di Indoneisa diperlukan dana sebesar ± USD 12,1 milyar untuk
penambahan 6.3 GW s/d 2021.
Namun dalam hal biaya operasional, PLTA mempunyai biaya operasi pembangkit rata-
rata yang paling rendah. Berikut disampaikan grafik perbandingan biaya operasi
pembangkitan rata-rata di PLN untuk setap jenis pembangkit. Perlu dicatat bahwa
biaya pembangkitan untuk PLTA ini dikarenakan adanya sharing pembiayaan antara
Kementerian PU dan PLN dalam operasi dan pemeliharaan bendungan. Sementara itu
real cost biaya operasional PLTA yang lebih nyata dapat dilihat pada tabel biaya
operasional untuk Independent Power Plant yang baru beroperasi.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .10 Biaya Operasi
Pembangkit Rata-rata/kWh per Jenis Pembangkit
Biaya operasi terbesar adalah jenis pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yaitu
sebesar Rp. 3170/kWh. Sedangkan yang terendah adalah Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) yaitu sebesar Rp. 160/kWH.
Secara keseluruhan biaya operasi pembangkit berdasarkan jenisnya pada tahun 2012
adalah: PLTA sebesar 1.64 triliun rupiah, PLTU sebesar 59,81 triliun rupiah, PLTD
(termasuk PLTMG) sebesar 46,83 triliun rupiah, PLTG sebesar 13,39 triliun rupiah,
PLTP sebesar 3,99 triliun rupiah, dan PLTGU sebesar 34,63 triliun rupiah. Total dari
seluruh biaya operasi pembangkit per jenis pembangkit pada tahun 2012 sejumlah
160,30 triliun rupiah.
Tabel berikut menunjukkan besarnya faktor emisi dari pembangkit berdasarkan jenis
bahan bakar yang digunakan.
PLTA 120
Batubara 1136
Gas 563,5
LNG 636
MFO 756,5
HSD 763,5
Nuklir 15
Kontributor terbesar terhadap emisi CO2 adalah pembangkit berbahan bakar batubara,
minyak, dan gas. Sedangkan pembangkit lainnya seperti PLTA dan PLT Panas Bumi
dan Nuklir mendekati zero emission. Selanjutnya, berdasarkan data-data tersebut
dapat diperoleh besarnya emisi CO2 untuk setiap satuan energi listrik yang produksi
oleh pembangkit.
Tentunya semua pihak tidak menginginkan adanya pasokan listrik yang sering
terganggu. Pasokan yang tidak kontinu akan mengakibatkan kerugian pada
masyarakat pengguna (konsumen). Jika terjadi kekurangan pasokan berarti ada
permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh system atau ada energi tak terlayani
Tenaga air merupakan sumber energi yang jauh lebih stabil (konstan) dibandingkan
dengan tenaga angin dan tenaga surya karena setelah bendungan selesai dibangun
listrik dapat diproduksi pada tingkat stabil. Dan juga ketika permintaan listrik tidak
tinggi, mudah untuk menghentikan pembangkit listrik dan menjalankannya lagi di saat
permintaan meningkat
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang merupakan sumber energi alami sangat
mempunyai keunggulan dari aspek lingkungan, yaitu dengan minimnya atau bahkan
tidak adanya emisi CO2. Karena sumber tenaga alami tersebut, mendorong rendahnya
biaya operasional pembangkitan listrik. Namun karena sifat alaminya tersebut,
memerlukan konservasi sumber–sumber air untuk menjamin pasokan air agar
kontinuitas pembangkitan terjamin. Ada beberapa keunggulan dari pembangkit listrik
tenaga air (PLTA) yang dapat dirangkum secara garis besar sebagai berikut :
1. Respon pembangkit listrik yang cepat dalam menyesuaikan kebutuhan beban.
Sehingga pembangkit listrik ini sangat cocok digunakan sebagai pembangkit
listrik tipe peak untuk kondisi beban puncak maupun saat terjadi gangguan di
jaringan.
2. Kapasitas daya keluaran PLTA relatif besar dibandingkan dengan pembangkit
energi terbarukan lainnya dan teknologinya bisa dikuasai dengan baik oleh
Indonesia.
3. PLTA umumnya memiliki umur yang panjang, yaitu 50-100 tahun.
4. Bendungan yang digunakan biasanya dapat sekaligus digunakan untuk kegiatan
lain, seperti irigasi, air minum, atau sebagai cadangan air dan pariwisata.
5. Bebas emisi karbon yang tentu saja merupakan kontribusi berharga bagi
lingkungan
Pembangkit listrik tenaga air juga dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi di daerah tempat bendungan dibangun karena danau yang terbentuk di
belakang bendungan tidak hanya sering digunakan untuk tujuan irigasi tetapi juga
untuk pariwisata, air minum, dan rekreasi dalam bentuk olahraga air, memancing,
berenang, berperahu, dan jenis rekreasi lainnya. Dan tentu saja, pemanfaatan tenaga
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .11 Potensi PLTA di
Indonesia
Tabel Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .5 Tabel Lokasi Terpilih
untuk Dikembangkan untuk PLTA
Tipe Run-of-River dan Reservoir
1
Dalam studi JICA untuk Master Plan Of Hydropower Development In Indonesia, Agustus 2011
Sebagian besar lokasi terpilih berdasarkan screening berada di Pulau Sumatera (55
dari 116), terutama di Aceh dan Sumatera Utara (34 dari 55). Berikut beberapa skema
pengembangan yang diusulkan dalam studi JICA:
Skema pengembangan untuk di Pulau Sumatera menggunakan tipe run-of-river
dengan kapasitas terpasang 10-40 MW.
Skema pengembangan untuk di Pulau Kalimantan adalah tipe reservoir dengan
kapasitas terpasang skala besar (ratusan MW).
Pengembangan di sebagian besar Pulau Sulawesi adalah tipe run-of-river di
sungai Poso dan juga tipe reservoir di Sulawesi Barat.
Irian Barat dan Papua berpotensi untuk dikembangkan tipe run-of-river dengan
kapasitas terpasang skala besar.
Screening potensi PLTA dilakukan pula terhadap 58 skema pumped storage di Pulau
Jawa. Dari 58 skema pumped storage yang telah diidentifikasi, terdapat 10 skema
yang lolos screening aspek area tangkapan air, maximum head, distribution of power
demand dan economic viability sebagai berikut:
Tabel Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .6 Lokasi Terpilih
untuk Dikembangkan untuk PLTA
Tipe Pumped Storage
Skema berikutnya adalah PLTA dengan kapasitas kecil (5-10 MW). Lokasi terbanyak
dengan potensi PLTA berkapasitas kecil terdapat di Pulau Sumatera (15 dari 33 lokasi),
terutama di Provinsi Sumatera Utara dengan tipe run-of-river.
Tabel Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .7 Lokasi PLTA
dengan Skema 5-10 MW
Kapasitas
No Provinsi Lokasi
Terpasang (MW)
1 Nangro Aceh Darussalam 3 23,2
2 Sumatera Utara 6 45,9
3 Sumatera Barat 2 10,7
4 Lampung 1 6,8
5 Bengkulu 3 25,2
6 Jawa Timur 7 41,9
7 Jawa Tengah 3 16,1
8 Jawa Barat 3 25,4
9 Sulawesi Tengah 1 8,2
10 Sulawesi Utara 3 24,1
11 Bali 1 4,3
Total 33 231,8
Dalam skala kecil pemanfaatan run-off river (aliran sungai) baik yang dengan evelasi
kecil maupun yang dengan elevasi besar telah dikembangkan dalam bentuk
Pembangkit Tenaga Listrik Mikro Hidro (PLTMH). Dari berbagai pengalaman
pengembangan pembangkit hidro, masih memiliki tantangan yang perlu secara terus
menerus untuk diatasi. Berbagai tantangan tersebut antara lain: masih tingginya biaya
investasi awal, sulitnya pembebasan tanah, persoalan izin untuk memanfaatkan
kawasan hutan lindung sehingga memakan waktu lama, dan kurangnya insentif.
Sementara peluangnya adalah: pertumbuhan permintaan energy yang tinggi, potensi
yang sangat besar dapat ditemukan di seluruh Indonesia, ramah lingkungan yang
menjadi tren dunia dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Berdasarkan Studi Masterplan Pengembangan Hydropower di Indonesia (Nippon Koei,
Agustus 2011), potensi PLTA sangat menjanjikan dan dapat dikembangkan sampai
2027 sebesar 12,319 MW. Sekitar 6633 MW (meliputi PLTA skala besar dan Minihydro)
sudah direncanakan dalam RUPTL untuk dioperasikan sepenuhnya pada 2020.
Potensi hydropower yang sudah memiliki studi kelayakan akan dikembangkan untuk
menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam sistem, yaitu: PLTA
dengan reservoir, termasuk Pumped Storage dapat menjadi pembangkit peaker
menggantikan pembangkit thermal. PLN akan mengembangkan sekitar 60%, 40%
lainnya akan dikembangkan oleh IPP.
Gambar Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .12 Rencana Pembangunan PLTA di Indonesia
Sumber : Diolah dari RUPTL 2012 dan Pola Rencana WS, Bappenas 2013
Sesuai hasil kajian “Project for the Master Plan Study of Hydropower Development in
Indonesia” oleh PLN tahun 2011, potensi tenaga air yang dapat dikembangkan hingga
tahun 2027 (Realistic Scenario) adalah:
Tabel Kondisi Tenaga Listrik dan Potensi PLTA di Indonesia .9 Potensi Tenaga Air
yang dapat dikembangkan hingga tahun 2027 (Realistic Scenario)
Saat ini terdapat 284 waduk terbangun dengan volume tampungan total 12.4 Milyar
Kubik yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Dari sejumlah waduk tersebut
terdapat 261 waduk eksisting yang berada di bawah pengelolaan Kementerian
Pekerjaan Umum dengan sebaaran geografis adalah 9 waduk di Pulau Sumatera, 191
Waduk di Pulau Jawa dan 80 Waduk di wilayah Bali-Nusa Tenggara, 6 Waduk di Pulau
Kalimantan, dan 9 Waduk di Pulau Sulawesi.
Perkembangan turbin dan peralatan pembangkit listrik saat ini sudah semakin maju.
Selain teknologi pump storage, saat ini banyak turbin yang bisa digerakkan dengan
head rendah. Oleh karena itu ditengah kondisi sulitnya menyelesaikan hambatan-
hambatan pembangunan PLTA, maka pemanfaatan waduk eksisting untuk PLTA
menjadi salah satu usulan solusi yang bagus untuk dipertimbangkan. Dengan
memanfaatkan waduk eksisting maka permasalahan umum yang biasa terjadi di
bendungan seperti pembebasan lahan, rantai panjang perizinan dan masalah sosial
dapat diminimalisir.
Jawatan tersebut tak hanya mengurus pemberian lisensi-lisensi untuk tenaga air dan
listrik, tetapi juga mengawasi pula kesamaan instalasi - instalasi listrik di seluruh
Indonesia. Pada 1906, PLTA Pakar dengan sumber air dari sungai Cikapundung
dengan kekuatan 800 KW diresmikan. PLTA tersebut dikelola Maskapai listrik Bandung
(Bandungte Electriciteits Masatsehappij) dan dapat dianggap sebagai pengolahan
pertama untuk pemberian energi listrik dengan penggunaan tenaga air.
Namun demikian, jka melihat dari grafik perkembangan PLTA, perkembangan PLTA
dari tahun 1998 hingga saat ini tidak sepesat pembangunan PLTA pada awal masa
pembangunan orde baru (1974-1998). Bahkan dari tahun 2006 hingga 2012 kapasitas
terpasang PLTA malah menurun.
Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai sifat
mengalir dan dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga
membentuk suatu system. Karena sifatnya yang dinamis dan berintereaksi dengan
sumber daya alinnya tersebut, pengelolaan sumber daya air yang dilakukan akan
mempunyai pengaruh dan dampak pada kondisi sumber daya lainnya, begitupun
sebaliknya. Oleh karena itu, agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat
menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara optimal, diperlukan suatu acuan
pengelolaan terpadu antar instansi dan antar wilayah, yaitu berupa pola pengelolaan
sumber daya air.
Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara terbuka melalui
pelibatan berbagai pihak dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang agar pola
pengelolaan sumber daya air mengikat berbagai pihak yang berkepentingan.
Pemberlakuan izin bagi pemanfaatan sumber daya air berdasarkan UU No. 7/2004
tentang Sumber Daya Air, yang secara spesifik diatur dalam PP No 42/2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air. Beberapa isu strategis terkait dengan izin penggunaan
air antara lain: 1) Rencana Pengelolaan Wilayah Sungai yang belum tuntas, 2)
kewenangan pengelolaan sungai yang lintas wilayah adminstrasi, dan 3) Proses
Rekomendasi Teknis untuk penerbitan izin pemanfaatan sumber daya air di
Kementerian PU.
Untuk memberikan kepastian prosedur dan koridor hukum dalam proses pemebebasan
tanah maupun lahan bagi keperluan pembangunan, Pemerintah melalui penerbitan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum yang merupakan acuan baru bagi proses pengadaan lahan
bagi kepentingan publik. Secara lebih rinci untuk implementasinya telah Peraturan
Presiden No. 71 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum, dan Pedoman Teknis Kepala Badan Pertanahan No. 5, dalam rangka
meningkatkan sistem pengamanan negara yang mengatur pembebasan lahan.
Peraturan perundangan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi biaya transaksi,
merampingkan, dan mengintegrasikan proses dan prosedur pembebasan lahan untuk
pembangunan kepentingan umum.
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012, tahapan proses pengadaan tanah adalah sebagai
berikut:
Secara rinci, proses pengadaan tanah dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Dokumen PPT
Pemberitahuan
Pengumuman
Rencana
penetapan lokasi Ps 26, 27
pembangunan
Pendataan awal
Pengajuan
Lokasi rencana
Pelaksanaan PT ke
pembangunan
BN
Ps 19 Konsultasi publik
Inventarisasi &
Identifikasi
Laporan
Sepakat Keberatan ke
Gubernur Penilaian GR Ps 34
Ya
Ya Pembentukan Musyawarah
> 60 hr?
Tim Kajian Penetapan GR
Tidak
Pemberian GR
+30 hr
Rekomendasi
atas keberatan
Pelepasan Tanah
Sepakat
Ya
Ya
Keberatan Selesai
BA Kesepakatan Relokasi
diterima?
Permohonan
penetapan lokasi
oleh Gubernur Tidak
penetapan lokasi
oleh Gubernur
Gambar Pembangunan PLTA Saat Ini .16 Proses Pengadaan Tanah Berdasar UU No. 2
Tahun 2012
Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia;
Pada awal tahun 2012 terdapat perubahan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 yang menjadikan
dokumen AMDAL sebagai salah satu dokumen penting bagi unit usaha yang hendak
melakukan kegiatan. Secara prosedur, AMDAL menjadi dasar utama yang harus
dipenuhi sebelum diterbitkannya Izin Lingkungan, yang menjadi syarat untuk meraih
izin usaha dan/atau kegiatan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan di sekitar
usaha. Dengan adanya Izin Lingkungan diharapkan suatu usaha dan atau kegiatan
pembangunan selalu diiringi dengan standar pengelolaan lingkungan dan perlindungan
pelestarian sumber daya alam yang ada.
Terkait dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air, sesuai dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang Tentang Jenis Rencana Usaha
Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
kegiatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diwajibkan untuk
memiliki dokumen AMDAL adalah kegiatan dengan tinggi bendung 15 m dan atau
memiliki Luas genangan 200 ha dan atau memiliki kapasitas daya 50 MW.
Sedangkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang tidak
termasuk dalam kategori AMDAL maka tetap diwajibkan untuk mebuat dokumen UKL
UPL sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16 tahun
2012. Dalam pembuatan izin lingkungan berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 2012 akan melalui beberapa tahapan seperti yang dijelaskan
pada Gambar 3.4 yaitu:
1. Penyusunan Dokumen Amdal atau UKL-UPL;
2. Penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL; dan
3. Permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.
Penunjukan kawasan hutan yang berlaku saat ini didasari oleh UU 41/1999, yang
diatur lebih teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004) dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.50/Menhut- II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan (Permenhut P50/2011).
Dalam perkembangannya, penunjukan kawasan hutan juga terkait dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang (PP
15/2010), Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (PP 60/2012), dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP 61/2012).
Saat ini pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.18/Menhut- II/2011 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pengganti Permenhut
No.P.43/Menhut-II/2008. Pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/MENHUT-II/2008 dirasakan oleh berbagai
kalangan terlalu rumit dan memakan waktu yang lama.Oleh karena itu, dengan
Permenhut No. 18/2011 juga mengatur mengenai persyaratan teknis dan administrasi
yang lebih mendetil dibandingkan dengan Permenhut No 43/2008. Di dalam
Permenhut No 43/2008 hanya diatur bahwa dokumen persyaratan permohonan pinjam
pakai kawasan hutan berupa KK/KP/PKP2B/SIPD/Perizinan/Perjanjian lainnya yang
dilengkapi dengan beberapa dokumen seperti rencana kerja penggunaan kawasan
hutan dilampiri dengan peta lokasi dan citra satelit terbaru, Rekomendasi
Bupati/Walikota, AMDAL dan Pertimbangan teknis dari Direktur Utama Perum
Perhutani, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Permenhut ini. Sementara di dalam
Pasal 13-14 Permenhut No 18/2011, diatur secara rinci mengenai persyaratan teknis
dan administrasi.
Hal baru lainnya adalah Permenhut No 18/2011 mengatur jangka waktu penyelesaian
permohonan lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan Peraturan Menteri
sebelumnya. Di dalam Pasal 15 Permenhut No 18/2011 disebutkan bahwa Menteri
dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima
permohonan memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk
melakukan penilaian dan juga berkoordinasi dengan pihak terkait untuk meminta
pertimbangan dan memberitahukan permohonan yang tidak memenuhi persyaratan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja. Bagi permohonan yang memenuhi
persyaratan, maka dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
menyampaikan surat permintaan pertimbangan teknis ke Direktur Jenderal yang
disebutkan dalam pasal tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa Permenhut No. 18/2011
berusaha untuk mengakomodir kelemahan peraturan sebelumnya yang cenderung
memakan waktu yang lama.
Permenhut No. 18/2011 juga mengatur mengenai jangka waktu perpanjangan izin
pinjam pakai kawasan hutan. Permenhut No. 43/2008 hanya mengatur bahwa
penggunaan izin pinjam pakai kawasan hutan dapat diperpanjang, sementara
Permenhut No. 18/2011 menegaskan bahwa perpanjangan izin pinjam pakai memiliki
jangka waktu permohonan yang harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya izin untuk izin survei dan eksplorasi dan paling lambat 6 (enam) bulan
Tahapan pengajuan IPPKH kemudian lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sementara itu dalam pengurusan perizinan, dalam hal ini yaitu perbandingan antara
Kajian
waktu standar dan realisasi pelaksanaan perizinan Percepatan
berdasarkan Pembangunan
pengalaman Waduk dan PLTA
pengurusan 51
Izin pinjam pakai kawasan hutan dapat diberikan pada provinsi yang luas kawasan
hutannya di bawah 30% dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan ketentuan
kompensasi lahan sebagai berikut:
i. Ratio 1:1 untuk non-komersial ditambah dengan luas rencana areal terganggu
dengan kategori L3;
ii. Ratio 1:2 untuk komersial ditambah dengan luas rencana areal terganggu
dengan kategori L3; dan
iii. Jika realisasi L3 lebih luas dari rencana L3 sebagaimana dimaksud pada angka
1 dan angka 2, maka luas kompensasi ditambah dengan luas perbedaan dari
selisih antara rencana L3 dengan realisasi L3.
Sedangkan untuk provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daerah
aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dengan kompensasi membayar PNBP
Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
daerah aliran sungai, dengan ketentuan:
Persyaratan permohonan izin pinjam pakai cukup kompleks yaitu terdiri dari
persyaratan administasi dan persyaratan teknis yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Persyaratan Administrasi
a) Surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang
dimohon;
c) Rekomendasi:
i) gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang
kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan Pemerintah; atau
ii) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar
bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau
iii) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan
perizinan sesuai bidangnya; dan
ii) semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
v) membayar:
ii) iuran izin yang telah dibayarkan oleh pemegang izin pemanfaatan
berdasarkan luas areal yang digunakan sesuai peraturan perundang-
undangan.
ii) melaksanakan tata batas lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi
kawasan hutan; dan
d) Membayar:
iv) Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam hal sudah terbentuk
KPH di wilayah tersebut.
k) Membuat laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Menteri
mengenai penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai, dengan tembusan:
vi) Direktur Utama Perum Perhutani, apabila berada dalam wilayah kerjanya;
Gambar Pembangunan PLTA Saat Ini .19 Skema PLTA Type Run Off River
Sesuai dengan Gambar 3.4, prosedur/pentahapan pembangunan PLTA type Run off
River secara garis besar terbagi dalam 3 tahapan pokok yaitu tahap persiapan, tahap
pembangunan/konstruksi, dan tahap operasi.
A. Tahap persiapan
2. Studi Kelayakan.
Merupakan studi untuk menilai kelayakan investasi dari beberapa alternatif
lokasi PLTA berdasarkan aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis
meliputi beberapa aspek yang esensial yaitu hidrologi, sipil, dan mekanikal
elektrikal. Sedangkan untuk aspek non teknis meliputi ekonomi/finansial,
sosial budaya, lingkungan, dan keberlanjutan pembangkit.
Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam aspek teknis dan
noteksi adalah sebagai berikut:
a. Kelayakan Hidrologi
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah debit air dan tinggi jatuh
(head) yang tersedia mampu untuk menggerakkan turbin sesuai
dengan daya yang diinginkan. Kegiatannya meliputi pengukuran debit
minimum, debit banjir dengan melakukan pengamatan visual batas
banjir, dan pengukuran debit air secara time series, dan head yang
tersedia.
b. Kelayakan Sipil
Tujuannya untuk mengetahui secara teknis sipil apakah lokasi rencana
bangunan layak dan cocok secara teknis. Kegiatan ini meliputi survey
topografi, geologi dan mekanika tanah yang akan digunakan untuk
bangunan utama dan rute saluran air.
c. Kelayakan mekanikal elektrikal
Bertujuan memilih jenis turbin dan komponen eletrikal yang dapat
dioperasikan dengan mudah dan baik sesuai dengan umur ekonomis,
dan diprioritaskan untuk komponen dalam negeri.
d. Kelayakan Ekonomi/Finansial
Bertujuan untuk membandingkan antara biaya yang dikeluarkan untuk
investasi dengan total benefit yang akan didapatkan. Aspek ini juga
5. Proses perijinan.
Tahap ini merupakan tahapan yang dilakukan pasca penyusunan kelayakan
proyek. Jenis perijinan pada tahap persiapan ini meliputi ijin penggunaan air
dan ijin konstruksi, ijin lingkungan, dan ijin penggunaan lahan sebagaimana
dijelaskan dalam sub bab 3.2. Selain perijinan yang dijelaskan pada sub
bab tersebut, jenis perijinan lain yang harus dilakukan adalah ijin lokasi
kepada Pemerintah setempat.
B. Tahap Konstruksi/Pembangunan
Setelah proses persiapan selesai dilaksanakan, maka tahapan selanjutnya
melaksanakan proses pembangunan dan instalasi komponen-komponen
pembangkit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
C. Tahap Operasi
Tahap selanjutnya adalah tahap pengoperasian pembangkit listrik untuk. Sesuai
dengan Permen ESDM No. 2 tahun 2006, pengoperasian pembangkit listrik
tenaga energi terbarukan hanya dapat dilakukan jika telah mendapatkan
Sertifikat Laik Operasi.
2. Studi Kelayakan.
Terkait dengan pembangunan waduk, PP 37/2010 mensyaratkan
penyusunan sudi kelayakan ini harus disertai dengan dokumen AMDAL.
Dokumen kelayakan yang disusun paling sedikit memuat beberapa hal
sebagai berikut:
a. analisis kondisi topografi untuk tapak rencana bendungan, jalan akses,
quarry dan borrow area, penyimpanan material, tempat pembuangan
galian, dan daerah genangan;
b. analisis geologi yang berkaitan dengan tapak bendungan, lokasi
material bahan bendungan dan daerah genangan;
c. analisis hidrologi daerah tangkapan air;
d. analisis kependudukan di daerah tapak bendungan dan rencana
genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
e. analisis sosial, ekonomi, dan budaya pada daerah tapak bendungan dan
rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
f. analisis kelayakan teknis, ekonomis termasuk umur layan bendungan,
dan lingkungan untuk setiap alternatif rencana bendungan;
g. rencana bendungan yang paling layak dipilih;
h. pra-desain bendungan yang paling layak dipilih; dan rencana
penggunaan sumber daya air.
4. Proses Perijinan.
Tahap ini merupakan tahapan yang dilakukan pasca penyusunan kelayakan
proyek. Jenis perijinan pada tahap persiapan ini meliputi ijin penggunaan air
dan ijin konstruksi, ijin lingkungan, dan ijin penggunaan lahan sebagaimana
dijelaskan dalam sub bab 3.2. Selain perijinan yang dijelaskan pada sub
bab tersebut, jenis perijinan lain yang harus dilakukan adalah ijin lokasi
kepada Pemerintah setempat.
Sesuai dengan PP 37/2010 tentang Bendungan, Pembangunan bendungan
untuk pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan rencana
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Untuk itu sebaiknya rencana pembangunan bendungan telah tersusun
dalam potensi yang terdapat dalam Pola Pengelolaan Wilayah Sungai
setempat. Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah
sungai yang bersangkutan belum ditetapkan, pembangunan bendungan
disusun berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air pada wilayah sungai
dan rencana tata ruang pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Proses perijinan penggunaan sumber daya air diajukan kepada:
B. Tahap Konstruksi
Pelaksanaan konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan desain
bendungan yang telah mendapat persetujuan desain dan ijin melaksanakan
konstruksi dari Menteri Pekerjaan Umum. Ijin pelaksanaan konstruksi diajukan
kepada Menteri Pekerjaan Umum dengan dilengkapi persyaratan adminsitrasi
berupa permohonan izin pelaksanaan konstruksi, identitas Pembangun
bendungan dan, izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan persyaratan teknis berupa desain bendungan yang
telah mendapat persetujuan, studi pengadaan tanah; pengelolaan lingkungan
hidup. Proses persetujuan/penolakan izin pelaksanaan konstruksi diselesaikan
C. Tahap Operasi
Tahap operasi waduk diawali dengan tahap pengisian awal waduk dengan izin
dari Menteri Pekerjaan Umum. Permohonan izin pengisian awal waduk diajukan
oleh Pembangun bendungan kepada Menteri PU dan tembusannya
disampaikan kepada instansi teknis keamanan bendungan dengan dilengkapi
persyaratan adminsitrasi dan teknis. Dalam hal Pemilik bendungan merupakan
badan usaha, persyaratan administratif ditambah dengan penyediaan dana
amanah untuk biaya pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.
Tahap pengoperasian PLTA didasarkan atas rencana pengelolaan bendungan
yang telah disusun selama tahap konstruksi. Rencana pengelolaan bendungan
yang disusun memuat pola operasi waduk yang terdiri atas pola operasi tahun
kering, pola operasi tahun normal dan pola operasi tahun basah. Pola operasi
tersebut ditetapkan setiap tahun berdasarkan hasil prakiraan curah hujan dari
lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang meteorologi (BMKG).
Sementara itu prosedur perizinan hingga pembangunan PLTA untuk type sama dengan
PLTA tipe Pump Storage, dapat dilihat pada gambar berikut :
Meskipun hasil analisis manfaat dan resiko, menunjukkan bahwa penggunaan PLTA
adalah merupakan pilihan yang terbaik, tetapi pelaksanaan pembangunan PLTA
mempunyai berbagai tantangan. Kendala pembangunan PLTA dapat dibedakan
secara teknis yang berkaitan dengan konstruksi dan hidrologi, dan kendala sosial
yang menyangkut aspek kemasyarakatan seperti masyarakat yang terkena dampak.
Sebagai contoh pembangunan Bendungan Jatigede dalam pelaksanaanya
menghadapi kendala sosial yang lebih rumit dibandingkan dengan kendala
teknisnya. Dalam perspektif kesejarahan, rencana pembangunan Bendungan
Jatigede telah dibahas dalam kurun waktu 44 tahun, yang meliputi diskusi
perencanaan dan persiapan terkait dengan aspek teknis seperti kondisi geologi dan
aspek sosial.
Tantangan pembangunan PLTA secara garis besar dapat diklasifikasi dalam hal
pendanaan, perizinan dan pembebasan lahan.
I SK IUPHHK
1 Pertimbangan teknis Bupati - 30-90 Dalam kasus-kasus
untuk IUPHHK (berdasarkan tertentu bisa lebih
pertimbangan teknis dari dari 3 bulan
Kadishut Kabupaten)
2 Rekomendasi Gubernur - 30-90 Dalam kasus-kasus
(berdasarkan analisa fungsi tertentu bisa lebih
kawasan hutan oleh : Kadishut dari 3 bulan
Propinsi dan BPKH)
3 Permohonan IUPHHK: 10 7-10
a. Klarifikasi kelengkapan 30 90-180 Masing-masing
persyaratan administrasi Subdit (5 Subdit)
membuat telaahan.
Yang paling lama
Subdit pengukuhan.
Tiap Sibdit rata-rata
ada 4 meja
b. Konfirmasi areal ke Ditjenplan
1. Telaah masing-masing Subdit
2. Pembahasan peta
permohonan oleh seluruh subdit
(rapat)
c. Penilaian proposal Teknis oleh 7 14-30
Ditjen BPK
d. Pencadangan oleh Menteri 7 30
berdasarkan hasil konfirmasi
Ditjenplan dan penilaian proposal
teknis Ditjen BPK sampai keluar
surat perintah pembuatan
AMDAL oleh menteri (SP1)
4 Pembuatan AMDAL 150 180 Tergantuk banyak
tidaknya wilayah
administrasi
5 Instruksi pembuatan peta WA - 30-60 Tidak termasuk
dari menteri kasus
khusus/kebijakan
tertentu
6 Pembuatan WA oleh Ditplan 15 30-120
(SP2)
7 Pembuatan SK:
a. Nota Ditjen BPK ke Menteri - 7-14
melalui Sekjen berdasar WA dari
Ditplan
Tugas dan tanggung jawab pemegang izin lingkungan tidak selesai sampai kepada
tahap penerbitan izin lingkungan. Berdasarkan pasal 53 PP 27 tahun 2012 pihak
pemrakarsa wajib membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan yang wajib
dilaporkan tiap enam (6) bulan sekali kepada pihak terkait mengenai persyaratan dan
kewajiban dalam izin lingkungan serta wajib untuk menyediakan dana penjamin
untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai ketentuan PUU.
Menurut laporan Bank Dunia (World Bank 2005) mengenai iklim investasi,
menciptakan suatu iklim investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang
menangani tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi persaingan, yang
mana pemerintah memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat
kebijakan atau perilakunya terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya
usaha/investasi menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah
menghilangkan/mengurangi kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau
perluasan kapasitas produksi dari usaha-usaha yang ada, yang artinya
menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi
Hambatan pembangunan PLTA tidak hanya terjadi di level pemerintah pusat tetapi
juga terjadi di daerah. Persoalan penetapan izin lokasi, penyesuaian disain PLTA
dengan kepentingan daerah menjadi isu yang dapat memperlambat pembangunan
PLTA di daerah.
Permasalahan izin lokasi yang terjadi adalah proses pengurusan izin dan proses
negosiasi yang cukup panjang dan mahal dengan Pemerintah Daerah. Salah satu
penyebabnya adalah adanya konflik antara izin lokasi yang disetujui oleh Pemerintah
Daerah dengan permohonan izin lokasi PLTA dari PLN seperti yang terjadi pada
kasus pembangunan PLTA Asahan III di Sumatera Utara.
Izin lokasi pembangunan PLTA Asahan III sebelumnya diberikan oleh Mantan Gubernur
Sumatera Utara kepada PT Bajradaya Swama Utama pada tahun 2008 dan berakhir pada
Maret 2011. Sementara, PLN mengajukan surat permohonan izin lokasi PLTA Asahan III
kepada Gubernur Sumatera Utara sebanyak 17 kali, sejak tahun 2004 hingga 28 Maret
2011. Sesuai Perpres No 4 tahun 2010 dan Permen ESDM No 2 Tahun 2010, Pemerintah
menunjuk langsung PLN untuk membangun PLTA Asahan III dengan rencana kapasitas 2 x
77,5 Megawatts. Izin lokasi untuk PLN baru dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara pada 17 Februari 2012 dan tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur
Sumatera Utara Nomor 18844/128/KPTS/2012 tentang Izin Penetapan Lokasi kepada PT
PLN (Persero) untuk Pembangunan Proyek Induk PLTA Asahan III Seluas Lebih Kurang
210 Ha di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumut. Dengan
diberikan izin lokasi kepada PLN, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan mendapat
share laba dari rencana bisnis pasca beroperasinya PLTA Asahan III.
Polemik izin lokasi PLTA Asahan III diperumit dengan adanya konflik dengan sejumlah LSM
yang ada di daerah. Permasalahan status laha yang merupakan milik Kementerian
Kehutanan dan belum adanya IMB pembangunan base camp dipersoalkan. Konflik ini
mengakibatkan penghentian beberapa bangunan untuk persiapan pembangunan PLTA
sehingga memperlambat proses pembangunan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari PLN, terdapat 77 calon PLTA dengan total
kapasitas 9.576 MW atau lebih dari 9,5 GW yang terkendala dengan perizinan,
terutamanya perizinan lokasi di kawasan hutan. Daftar PLTA tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut :
Installed
No. Scheme Name Type Province
Capacity (MW)
Menurut Perpres No.65/2006 dijabarkan bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan
pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta,
maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kelompok warga lainnya tidak bisa diberikan fasilitas seperti kelompok warga
pertama karena peraturan itu tidak lagi dipakai pemerintah pusat. Skema yang
dipakai adalah bayar final. Lahan warga dihitung, dibayar, dan masing-masing tidak
ada relokasi. Warga yang sudah dibayar final ganti ruginya masih mendiami lokasi
karena tidak sanggup pindah. Sementara jika Pemprov Jabar memaksakan
membayar lagi akan menjadi riskan karena tidak memiliki payung hukum.
Tanah, maka penolakan itu harus disampaikan kepada Panitia
disertai alasan yang menjadi dasar penolakan. Dalam menghadapi
penolakan tersebut, Panitia dapat mengambil sikap: tetap pada
Rencana jangka panjang bersifat umum dan strategis yang harus menggambarkan
rencana makro pengelolaan DAS terpadu dan memuat karakteristik DAS,
permasalahan yang dihadapi, tujuan, sasaran umum, kebijakan, strategi penanganan
pemecahan masalah secara terpadu. Rencana jangka panjang ini sebaiknya
mengandung arahan umum semua sektor yang terlibat dalam pengelolaan DAS
seperti arahan umum penggunaan lahan (tata ruang) berdasarkan kemampuan dan
kesesuaian lahan, arahan umum rehabilitasi dan konservasi tanah, arahan umum
pengelolaan sumberdaya air, urutan prioritas penanganan Sub-DAS dalam DAS
yang bersangkutan serta arahan umum pengembangan sosial ekonomi dan
kelembagaan. Rencana pengelolaan DAS terpadu ini merupakan “payung atau
pengikat” bagi rencana-rencana sektoral dalam DAS yang bersangkutan.
Rencana Jangka Menengah lebih bersifat teknis pelaksanaan dari setiap sektor,
misalnya Rencana Induk Pengembangan sumberdaya Air atau Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Rencana Teknik Lapangan RHL ini
memiliki output yang meliputi rekomendasi teknis kegiatan RHL, proyeksi kegiatan
tahunan RHL, analisis manfaat (finansial dan ekonomi), serta rencana monitoring
dan evaluasi. Satuan wilayah perencanaan pada rencana jangka menengah ini bisa
berupa DAS yang tidak terlalu luas atau suatu Sub DAS yang cukup luas dan dipilih
sebagai Sub DAS prioritas pada DAS yang sangat luas.
Rencana Jangka Pendek (tahunan) dibuat sangat rinci dan dilengkapi dengan
deskripsi jenis, lokasi, volume, waktu dan biaya kegiatan secara rinci. Jenis rencana
jangka pendek misalnya Rencana Teknik Reboisasi, Rencana Teknik Penghijauan
yang biasanya ditindaklanjuti dengan rancangan kegiatan pembuatan tanaman,
pembuatan bangunan-bangunan fisik (check dam, drop structure, terrace).
RTRW dibuat untuk dijadikan cetak biru pembangunan suatu wilayah. Proses
penyusunan RTRW membutuhkan waktu yang lama dan melibatkan berbagai
stakeholder termasuk masyarakat seperti ahli perencanaan wilayah, sosial budaya,
ekonomi, arsitektur, lingkungan, antropolgoi dan kelembagaan. Akibatnya, selain
lama, penyusunan RTRW menjadi sangat mahal.
Untuk merevisi suatu rencana tata ruang, dibutuhkan rentang waktu yang berbeda
antara kasus satu dengan kasus lainnya tergantung dari besar kecilnya simpangan
yang terjadi terhadap ketentuan dalam rencana tata ruang yang ada. Sebagai
contoh beberapa tahapan dalam proses peninjauan kembali RTRW Kawasan
Perkotaan adalah tahap Evaluasi Data dan Informasi, tahap Penentuan
Menurut Direktur PLN, banyak RTRW yang ditetapkan Pemerintah Daerah tidak
memperhitungkan adanya kebutuhan infrastruktur besar. Pengajuan perubahan
RTRW memakan waktu dan harus melalui banyak tahapan. Sebagai contoh,
pembangunan PLTA dari Sungai Karama, Mamuju terbentur dengan persoalan
belum lahirnya Perda tentang RTRW pada tahun 2011 sementara MOU antara
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan investor asal China sudah
ditandatangani sejak tahun 2010.
Wacana pembangunan mega proyek PLTA Karama sudah dimulai sejak awal tahun 2009.
MOU antara Pemprov Sulbar dan juga pemerintah pusat dengan investor dari China yaitu
CGGC (China Gezhouba Group Corporation) sudah ditandatangani tahun 2010. Potensi
Sungai Karama mampu menghasilkan energi listrik dari 1.600-1.800 Megawatt untuk
memenuhi kebutuhan energi listrik di Pulau Sulawesi
Pembangunan PLTA Karama terkendala belum lahirnya Perda tentang RTRW pada tahun
2011 karena masih menunggu persetujuan Kementerian Kehutanan. Kurangnya
pelibatan Dinas Kehutanan dalam proses pembangunan mengakibatkan terhambatnya
proses persetujuan sehingga memperlambat proses penetapan lokasi PLTA dalam
RTRW. Hingga tanggal 7 November 2013, belum terdapat Perda RTRW Provinsi
Sulawesi pada database Status Perda RTRW dalam website Penataan Ruang
Departemen PU.
Perencanaan yang dilakukan oleh pihak swasta dan PLN seringkali tidak sejalan,
padahal air yang akan digunakan adalah air yang berada pada sungai atau daerah
tangkapan yang ada. Jika hal ini tidak diselesaikan maka dapat berakibat operasi
PLTA akan tidak efektif dan efisien. Data yang diperoleh dari PLN menunjukkan
terdapat 19 lokasi PLTA yang overlapping antara pihak swasta dan PLN dengan total
selisih kapasitas sebesar 300 MW. Daftar tabel lokasi PLTA yang overlapping adalah
sebagai berikut :
Nama Pembangkit Kapasitas IPP Nama Pembangkit Kapasitas PLN Selisih Kapasitas
No Provinsi Stage
IPP (MW) PLN (MW) (MW)
Dari hasil analisis anggaran yang dilakukan, alokasi biaya pemeliharaan dan operasi
untuk infrastruktur SDA relatif kecil dibandingkan biaya kegiatan pengelolaan waduk.
Dari data tahun 2010 hingga tahun 2013, persentase biaya OP malah semakin
berkurang. Pengurangan alokasi biaya ini tentunya akan berdampak kepada kinerja
pemeliharaan atau konservasi daerah tangkapan air dan waduk, yang pada akhirnya
akan bermuara kepada berkurangnya jaminan kuantitas dan kualitas air untuk PLTA.
Akibat rendahnya alokasi biaya pemeliharaan waduk, maka kondisi Risk Score atau
tingkat keamanan bendungan juga sangat rendah. Tercatat dari 63 sample
bendungan yang diuji Risk Score nya pada proyek Dam Operational Improvement
and Safety Project, hanya 17% bendungan berada dalam klasifikasi Middle Risk.
Sisanya berada pada level High Risk dan Extreme Risk. Grafik keamanan
bendungan dapat dilihat pada gambar berikut :
Secara ringkas ada empat permasalahan atau hambatan utama dalam menjamin
kuantitas dan kualitas air untuk PLTA, yaitu :
Kedua hal di atas karena kecilnya alokasi APBN dan APBD untuk biaya
operasi dan pemeliharaan sumber daya air termasuk normalisasi dan
pengerukan;
a. Dana Internal berasal dari laba usaha dan penyusutan aktiva tetap
b. Dana pemerintah berupa APBN sebagai Penyertaan Modal Pemerintah (PMP)
c. Dana Pinjaman yang dapat dikategorikan :
Pinjaman komersial untuk investasi selama ini yang ada bersumber dari dalam
negeri dan luar negeri. Untuk pinjaman dalam negeri berasal dari Pinjaman
Bank Komersial Lokal seperti Bank BUMN, pinjaman Pemerintah dan Obligasi
Dalam Negeri (local bond). Namun khusus untuk pinjaman dalam negeri
Sedangkan untuk pinjaman luar negeri berasal dari bank komersial China dengan
penjaminan dari Pemerintah sedangkan yang tanpa penjaminan pemerintah hanya
melalui Obligasi Global (Global Bond).
Pinjaman yang dengan jaminan korporasi umumnya dapat dilakukan dengan cepat
dibanding jenis lainnya. Pada pinjaman obligasi memberikan fleksibilitas kepada
perusahaan dalam mengalokasikan dananya untuk berbagai kepentingan dapat
berupa pembiayaan proyek dan kebutuhan lainnya. Sedangkan pembiayaan Bank
hanya dapat digunakan pada proyek tertentu. Kelemahan jenis pinjaman ini
memberikan bunga yang lebih tinggi dari pinjaman lainnya dan memberikan syarat
perjanjian yang cukup berat (covenant).
Dari sisi waktu dan biaya, pinjaman korporasi ini sangat cocok untuk proyek-proyek
kelistrikan dengan sifat: (i) biaya proyek yang kecil (ii) waktu masa konstruksi cepat
(iii) cepat dapat beroperasi dan resiko konstruksi yang kecil sehingga dapat
menghasilkan revenue lebih cepat. Proyek dengan ciri tersebut hanya terdapat pada
proyek distribusi, PLTU/PLTA skala kecil dan proyek jaringan interkoneksi yang
bertujuan mengurangi konsumsi BBM.
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP)
Oleh karena itu, Pemerintah pada masa lalu memberikan insentif dalam bentuk
penjaminan (guarantee) untuk proyek-proyek listrik swasta (Independence Power
Producer/IPP). Beberapa bentuk komitmen Pemerintah yang telah diberikan untuk
sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah support letter dan confirmation note.
Support letters telah diterbitkan kepada beberapa IPP pada periode waktu tahun
1990-an sampai dengan tahun 2006. Sementara untuk confirmation note diterbitkan
kepada pihak pemberi pinjaman (lender) maupun insurer dari IPP pada periode
tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Kebijakan pemberian jaminan dalam bentuk
Ketentuan mengenai KPS diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur, sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui
Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur (Perpres 13/2010), dan perubahan kedua melalui Peraturan
Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur (Perpres 56/2010).
Pemerintah telah menyiapkan fasilitas fiskal dalam rangka mendukung program KPS
dalam penyediaan infrastruktur. Terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan,
yaitu: (i) Dana Tanah (the Land Funds), (ii) Pembiayaan Infrastruktur (the
Infrastructure Fund), (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Ketiga fasilitas
tersebut telah berdiri dan beroperasi secara penuh dalam mendukung program KPS.
Berikut penjelasan dari ketiga fasilitas tersebut:
a. Land Revolving Fund, merupakan dana bergulir untuk pembebasan tanah bagi
pembangunan jalan tol, dimana Pemerintah akan membiayai pembebasan tanah
terlebih dahulu dan selanjutnya akan dikembalikan oleh Badan Usaha yang
ditetapkan sebagai pemegang hak konsesi.
b. Land Capping, merupakan dukungan Pemerintah atas kenaikan harga tanah bagi
pembangunan jalan tol. Dana Land Capping saat ini dikelola oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan diberikan untuk 28 ruas jalan tol dengan nilai sebesar
Rp4,89 Triliun yang dialokasikan sejak tahun anggaran 2008 sampai dengan
tahun 2013.
c. Land Acquisition Fund, merupakan kebijakan Pemerintah untuk memberikan
dukungan langsung untuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan dalam skema
KPS/PPP untuk pembebasan tanah.
Pada akhir tahun 2010, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010
tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan
PT PII bertindak sebagai pelaksana satu pintu (single window policy) untuk
mengelola penyediaan semua penjaminan yang diberikan kepada proyek-proyek
KPS. Dengan demikian, semua permintaan penjaminan Pemerintah harus terlebih
dahulu melalui PT PII. Semua pemeriksaan dan penilaian terkait penjaminan proyek
KPS akan dilakukan oleh PT PII. Keterlibatan Kementerian Keuangan dalam
penyediaan penjaminan masih dimungkinkan sepanjang kemitraan dan kerjasama
PT PII dengan penyedia jaminan lain tidak mampu menyediakan penjaminan penuh
atas keputusan penjaminan yang telah disepakati. PT PII akan menjamin kewajiban-
kewajiban finansial Penanggung Jawab Proyek Kerjasama kepada pihak swasta atas
terjadinya risiko infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pihak Penanggung
Jawab Proyek Kerjasama yang dituangkan di dalam suatu Perjanjian Penjaminan
(Guarantee Agreement).
Dukungan Pemerintah diberikan kepada proyek KPS yang memiliki tingkat kelayakan
ekonomi memadai namun tingkat kelayakan finansialnya marjinal, sehingga
Dukungan Pemerintah diberikan untuk meningkatkan kelayakan finansial dari proyek
kerjasama tersebut. Selain itu, Dukungan Pemerintah juga dimaksudkan untuk
menjadikan tarif layanan dari proyek kerjasama menjadi terjangkau bagi masyarakat.
Sebagai contoh, pada tahun 2010, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah
Pemerintah telah menanamkan modal awal sebesar Rp1,0 Trilliun pada tahun 2009
dan telah melakukan penambahan modal melalui APBN-P 2010 sebesar Rp1,0
Trilliun kepada PT PII. Seiring kebutuhan pembangunan proyek infrastruktur dan
sebagai upaya meningkatkan kepercayaan pihak swasta melalui peningkatan
kapasitas penjaminan PT PII, Pemerintah telah menambah dana sebesar Rp1,5
Trilliun kepada PT PII sebagai tambahan Penyertaan Modal Negara dalam APBN
2011.
Proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan dengan skema KPS harus memenuhi
kelayakan baik secara finansial maupun secara ekonomi. Pada kenyataannya,
banyak proyek KPS di Indonesia yang tidak layak secara finansial sehingga
memerlukan dukungan Pemerintah untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek
KPS tersebut. Kementerian Keuangan saat ini sedang menyiapkan suatu kerangka
pendanaan kelayakan finansial (viability gap fund). Skema ini akan memungkinkan
penyediaan dukungan finansial Pemerintah untuk proyek-proyek KPS yang layak
secara ekonomi, namun tidak layak secara finansial atau memiliki kelayakan finansial
yang marjinal. Diharapkan melalui skema VGF ini penyediaan dukungan finansial
dimaksud dilakukan melalui prosedur yang konsisten dan transparan.
Terkait proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi perlu dipersiapkan suatu struktur
transaksi yang lebih tepat sehingga dapat membangun lebih banyak infrastruktur
ramah lingkungan dikemudian hari. Oleh karenanya, Pemerintah telah
mengalokasikan Dana Bergulir Geothermal sebesar Rp1,1265 Triliun dalam APBN
TA 2011 yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan ekplorasi pembangunan
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Untuk TA 2012, telah
diusulkan dalam RAPBN 2012 tambahan Dana Bergulir Geothermal sebesar
Rp1,1265 Triliun.
Kapasitas
Terpasang Ketera
No Nama Provinsi Kendala
(kW) ngan
1 LebakTundun Banten Surat Pemutusan Perjanjian No. Financing Date tidak tercapai
5,000 0429/041/DJBB/2013 tanggal 27
Februari 2013
3 Lewa NTT Pemutusan kontrak sesuai surat PLN Tidak ada progres
Wilayah NTT No.
850
170/128/W.NTT/2012, tanggal 5
November 2012
4 Maidang(IPP) NTT PPA dibatalkan (Surat No. Tidak ada progres
1,400 225.1/050/W. NTT/2011, tangga l 28
November 2011)
10 Telun Berasap Jambi PPA diputus (Srt No. Financing Date tidak tercapai
8,000 01347/120/DIRUT/2008, tgl 12 juni
2008)
Kesulitan Finansial
12 Sumatera Pengembang minta penyesuaian
Salido Kecil Barat 660 Kontrak tahunan harga sesuai Permen 31/2009
Total 70,340
Dari pedoman tersebut kita mendapatkan kesimpulan antara lain: pertama, betapa
potensi permasalahan sosial yang mungkin timbul seiring pembangunan bendungan
memiliki tingkat kerumitan tinggi. Permasalahan sosial ini bisa terjadi sejak tahapan
pra kontruksi; kontruksi; dan paska kontruksi. Kedua, permasalahan pembangunan
bendungan menjadi kompleks karena selain persoalan penanganan aspek teknis
kontruksi tetapi juga mengandung aspek penanganan manusia dan
kelembagaannya; ketiga, aspek penanganan sosial menghendaki adanya pemetaan
Permasalahan dampak sosial yang akan timbul dari pembangunan PLTA dapat
diklasifikasikan dalam tiga permasalahan dasar, yaitu :
Tidak ada mekanisme insentif dan disinsentif yang jelas antara penerima
manfaat dan masyarakat yang akan terkena dampak pembangunan PLTA
Jumlah orang terkena dampak pembangunan PLTA cukup besar
Belum ada kejelasan mekanisme pendanaan APBN untuk lintas
Kementerian/Lembaga dan Pemda dalam pembiayaan penanganan masalah
sosial
Permasalahan dasar yang pertama yaitu tidak adanya mekanisme insentif dan
disinsentif yang jelas antara penerima manfaat dan masyarakat yang terkena
dampak. Dalam pelaksanaannya, lokasi pembangunan PLTA pada umumnya akan
berada di bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan manfaat air dan ekonomi
dari pemnbangunan PLTA tersebut akan dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di
daerah hilir DAS tersebut. Masyarakat yang tinggal di daerah hulu pada
pelaksanaannya jarang sekali menerima manfaat dari pembangunan PLTA dan
waduk tersebut. Selain tidak menerima manfaat, masyarakat yang tinggal di daerah
hulu di harus ikut bertanggung jawab menjaga kelestarian dan konservasi DAS agar
ketersediaan pasokan air ke PLTA atau waduk tetap terjaga. Selain itu, masyarakat
hulu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan pertanian di daerah tangkapan
dan genangan waduk.
Ketidakadilan yang terjadi antara masyarakat yang tinggal di hulu dan hilir waduk
akan memicu terjadinya konflik sosial dimana masyarakat hulu yang tidak menerima
Permasalahan dasar kedua adalah jumlah masyarakat yang akan terkena dampak
pembangunan PLTA cukup besar. Pembangunan PLTA yang membutuhkan lahan
yang besar biasanya diimbangi dengan besarnya jumlah masyarakat yang akan
direlokasi. Kegiatan relokasi tersebut apabila tidak diimbangi dengan pemberiaan
informasi kegiatan dan manfaat dari pihak pemrakarsa kepada masyarakat yang baik
dan komprehensif serta tidak adanya wadah bagi masyrakat untuk berpartisipasi aktif
dan menyalurkan aspirasi mereka, akan menimbulkan persepsi-persepsi negatif dari
masyarakat. Dengan menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif,
maka kita dapat merekomendasikan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas peran pemangku kepentingan mulai dari tahapan pra-konstruksi,
konstruksi dan pasca konstruksi. Polemik sosial berkisar pada aspek penolakan
masyarakat tanpa melihat keseluruhan pelaksanaan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah. Permasalahannya makin rumit karena publik tidak mendapat penjelasan
secara mendetail atas langkah-langkah yang sudah dilaksanakan pemerintah
berkaitan dengan tata cara rekayasa sosial yang ditempuh sehingga penyelesaian
masalah akan sulit dilakukan.
Untuk itu pemerintah atau pemrakarsa perlu memaparkan secara detail dan terbuka
seluruh dokumen yang telah dan akan dibuat, mulai dari studi kelayakan
pembangunan bendungan; studi tentang pengadaan tanah bagi pembangunan
kepentingan umum; studi rekayasa sosial maupun dokumen Amdal dari kegiatan
pembangunan bendungan kepada publik. Hal Ini wajib dilakukan karena untuk
mencegah opini buruk masyarakat atas penyelenggaraan pembangunan PLTA atau
waduk. Langkah itu juga untuk mencegah kegaduhan pemberitaan yang dapat
Aspek kepemimpinan yang mampu menciptakan komunikasi politik yang efektif juga
merupakan tuntutan terealisasikannya tujuan pembangunan PLTA dan waduk. Tanpa
komunikasi politik, maka sulit mempertemukan berbagai kepentingan, dan jika peran
komunikasi politik tidak diperhatikan secara serius maka komunikasi politik yang
tidak optimal dapat menciptakan deadlock pembangunan PLTA dan waduk.
Sesuai dengan Inpres No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan
Dalam Negeri pada bulan Januari 2013 lalu. Presiden menginstruksikan untuk
meningkatkan efektifitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air.
Selain Polri, TNI dan jajaran lain, peran Gubernur, Bupati/Walikota juga sangat besar
dalam menjaga dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dengan
dikeluarkannya Inpres tersebut, tidak boleh ada lagi keragu-raguan bertindak,
keterlambatan bertindak, keterlambatan mengatasinya dan tidak mampu mencegah
Proyek Pembangunan PLTA Peusangan I dan II menuai masalah, Sejumlah warga dari
empat kecamatan menyegel regulating weir PLTA Peusangan di Kampung Bale Takengon
dan massa juga menuding hasil penelitian Unsyiah tidak valid dan penuh rekayasa.
Masyarakat sekitar danau Laut Tawar yang merasa dirugikan akibat naiknya permukaan air
danau dan menggenangi lahan pertanian mereka. Pertemuan antara masyarakat dan PLTA
difasilitasi oleh Pemerintah daerah setempat pada bulan Februari 2013. Penimbunan tanah
yang akan dipergunakan sebagai Regulating Ware Infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) Peusangan di sekitar muara danau disinyalir masyarakat menjadi penyebab
naiknya air permukaan danau Lut Tawar, sehingga menggenangi lahan pertanian warga
sekitar danau. Setelah melakukan riset selama kurang lebih satu bulan, Tim Unsyiah dalam
hasil risetnya menyatakan terdapat pengaruh dari timbunan regulating ware, namun relatif
tidak signifikan
Pada pertemuan itu, Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM, menawarkan solusi
perlunya diambil langkah-langkah sementara agar persoalan tidak berlarut. Diantaranya,
Nasaruddin mengusulkan agar aliran air dilokasi timbunan lebih diperlancar dengan
memperlebar dan memperdalam dasar sungai. Pihak PLTA dan warga menyepakati usulan
tersebut
Lokasi PLTA sebagian besar berada di daerah terpencil (rural area) dengan
akses perhubungan yang terbatas
PLTA membutuhkan lahan yang sangat besar, terutama lahan untuk waduk
atau bendungan
Weakness Dukungan dana untuk investasi Dengan lokasi PLTA yang Mempercepat pengoperasian
awal akan sangat diperlukan relative terpencil maka PLTA sehingga jeda waktu dari
untuk mengurangi factor diperlukan pengaturan desain sampai operasional
kelemahan PLTA dalam pemanfaatan lahan tidak sampai terlalu lama dan
kehutanan kondisi hidrologis tidak terlalu
berubah
Opportunity Adanya kebijakan untuk lebih Adanya insentif untuk sector Perlunya penguraian
mengoptimalkan potensi PLTA PLTA agar kelemahan sector pemangku kepentingan untuk
pendanaan dapat diatasi sector terkait PLTA sehingga
potensi PLTA dapat
Sementara itu perkembangan turbin dan peralatan pembangkit listrik saat ini sudah
semakin maju. Selain teknologi pump storage, saat ini banyak turbin yang bisa
digerakkan dengan head rendah. Oleh karena itu ditengah kondisi sulitnya
menyelesaikan hambatan-hambatan pembangunan PLTA, maka pemanfaatan
waduk eksisting untuk PLTA/PLTMH dapat menjadi salah satu usulan solusi yang
layak untuk dipertimbangkan. Dengan memanfaatkan waduk eksisting maka
permasalahan umum yang biasa terjadi pada saat pembangunan Waduk seperti
pembebasan lahan, rantai panjang perizinan dan masalah sosial dapat diminimalisir.