Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

M DENGAN DIAGNOSA MEDIS


STROKE NON HEMORAGIK ( SNH ) DALAM PEMENUHAN
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DI RUANG NUSA INDAH RSUD DR
DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

OLEH :

Nuning Pratiwie (2017.C.09a.0903)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat-Nya
sehingg saya dapat menyelesaikan pembuatan laporan ini. Di laporan ini
memaparkan beberapa hal terkait “ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. M
DENGAN DIAGNOSA MEDISSTROKE NON HEMORAGIK ( SNH ) DALAM
PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DI RUANG NUSA INDAH
RSUD DR DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA”. Tidak lupa saya juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak telah memberikan
motivasi baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi laporan agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, saya yakin masih
banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan laporan
ini ke depannya.

PalangkaRaya, 01 Juli 2019

Penyusun
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Aktivitas
1.1.1 Definisi
Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang
melakukan aktivitas, seperti berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas
seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan
muskuloskeletal.Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana
manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia
memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.Salah satu tanda kesehatan
adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri,
berjalan, dan bekerja. Dengan beraktivitas tubuh akan menjadi sehat, sistem
pernapasan dan sirkualsi tubuh akan berfungsi dengan baik, dan metabolisme
tubuh dapat optimal. Kemampuan aktifitas seseorang tidak terlepas dari
keadekuatan sistem pernafasan dan musculoskeletal.Aktifitas fisik yang kurang
memadai dafat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem musculoskeletal
seperti atrofi otot, sendi menjadi kaku dan juga menyebabkan ketidakefektifan
organ internal lainnya.
1.1.2 Anatomi Fisiologi Muskuloskeletal
Muskuloskeletal terdiri dari kata Muskulo yang berarti otot dan kata
Skeletal yang berarti tulang.Sistem muskuloskeletal merupakan sistem otot rangka
atau otot yang melekat pada tulang yang terdiri atas otot-otot serat lintang yang
sifat gerakannya dapat diatur (volunter) yang secara umum berfungsi sebagai
berikut :
1.1.2.1 Otot ( Muskulus / Muscle )
Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah
energi kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi untuk
menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap perubahan
lingkungan.Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi, sehingga
mampu menggerakan tulang.Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu
untuk berkontraksi.
1.1.2.2 Fungsi Sistem Otot
a) Pergerakan
b) Penopang tubuh dan mempertahankan postur
c) Produksi panas
1.1.2.3 Jenis-Jenis Otot
a) Otot Rangka (Otot Lurik)
Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas perintah dari
otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat pada otot paha,
otot betis, otot dada.Kontraksinya sangat cepat dan kuat.
b) Otot Polos
Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja secara
tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding berongga seperti
kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada sistem
respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
Kontraksinya kuat dan lamban.
c) Otot Jantung
Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur yang
sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung.Bekerja
terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga mempunyai
masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.

d) Otot Antagonis,
yaitu hubungan antara otot yang cara kerjanya bertolak
belakang/tidaksearah, menimbulkan gerak berlawanan.
e) Otot Sinergis,
Yaituhubungan antar otot yang cara kerjanya saling
mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya
pronator teres dan pronator kuadrus.
1.1.2.4 Mekanisme Kontraksi Otot
Dari hasil penelitian dan pengamatan dengan mikroskop elektron dan
difraksi sinar X, Hansen dan Huxly (1995) mengemukakan teori kontraksi
otot yang disebut model Sliding Filamens. Model ini menyatakan bahwa
kontraksi terjadi berdasarkan adanya dua set filamen didalam sel otot
kontraktil yang berupa filamen aktin dan miosin.Ketika otot berkontraksi,
aktin dan miosin bertautan dan saling menggelincir satu sama lain, sehingga
sarkomer pun juga memendek.Dalam otot terdapat zat yang sangat peka
terhadap rangsang disebut asetilkolin.Otot yang terangsang menyebabkan
asetilkolin terurai membentuk miogen yang merangsang pembentukan
aktomiosin.Hal ini menyebabkan otot berkontraksi sehingga otot yang
melekat pada tulang bergerak.

Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan
tulang rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan
memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisi.Tulang
sebagai alat gerak pasif karena hanya mengikuti kendali otot. Akan tetapi
tulang tetap mempunyai peranan penting karena gerak tidak akan terjadi
tanpa tulang.
a) Fungsi Rangka
1) Penyangga; berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen,
otot, jaringan lunak dan organ.
2) Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow)
3) Produksi sel darah (red marrow)
4) Pelindung; membentuk rongga melindungi organ yang halus dan
lunak.
5) Penggerak; dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat
bergerak karena adanya persendian.
b) Jenis Tulang
1) Tulang Rawan (kartilago)
a) Tulang Rawan Hyalin: kuat dan elastis terdapat pada ujung
tulangpipa.
b) Tulang Rawan Fibrosa: memperdalam rongga dari cawan-cawan (tl.
Panggul) dan rongga glenoid dari skapula.
c) Tulang Rawan Elastik: terdapat dalam daun telinga, epiglotis dan
faring.
2)Tulang Sejati (osteon)
Tulang bersifat keras dan berfungsi menyusun berbagai sistem
rangka.Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum).
Lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum dan
meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
3) Organisasi Sistem Rangka
Sistem skeletal dibentuk oleh 206 buah tulang yang membentuk suatu
kerangka tubuh.Rangka digolongkan kedalam tiga bagian sebagai berikut :
a) Rangka Aksial
Rangka Aksial terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang tubuh
dan melindungi organ-organ pada kepala, leher, dan dada.
1. Tengkorak (cranium), yaitu tulang yang tersusun dari 22 tulang; 8
tulang kranial dan 14 tulang fasial.
2. Tulang Pendengaran (Auditory) terdiri dari 6 buah
3. Tulang Hioid, yaitu tulang yang berbentuk huruf U, terdapat diantara
laring dan mandibula, berfungsi sebagai pelekatan beberapa otot mulut
dan lidah 1 buah
4. Tulang Belakang (vertebra), berfungsi menyangga berat tubuh dan
memungkinkan manusia melakukan berbagai macam posisi dan
gerakan, misalnya berdiri, duduk, atau berlari. Tulang belakang
berjumlah 26 buah
5. Tulang Iga/Rusuk (costae), yaitu tulang yang bersama-sama dengan
tulang dada membentuk perisai pelindung bagi organ-organ penting
yang terdapat di dada, seperti paru-paru dan jantung. Tulang rusuk juga
berhubungan dengan tulang belakang, berjumlah 12 ruas
b) Rangka Apendikular
Rangka apendikuler merupakan rangka yang tersusun dari tulang-tulang
bahu, tulang panggul, dan tulang anggota gerak atas dan bawah terdiri atas
126 tulang.
Secara umum rangka apendikular menyusun alat gerak, tangan dan
kaki.Tulang rangka apendikular dibagi kedalam 2 bagian yaitu ekstrimitas atas
dan ekstrimitas bawah.
1.1.3 Etiologi
Penyebab utama Aktivitas adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada
demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan
imobilisasi.Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia
lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah
sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).
Penyebab secara umum:
1. Kelainan postur
2. Gangguan perkembangan otot
3. Kerusakan system saraf pusat
4. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
5. Kekakuan otot
1.1.5 Patofisiologi
Aktivitas atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi.Tujuan mobilisasi
adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-
hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma),
mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non
verbal.Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik.Mobilisasi dan immobilisasi berada
pada suatu rentang.Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan
mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan
untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring
akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf.Otot Skeletal mengatur
gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang
bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan
isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot
memendek.Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja
otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya,
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep.Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik.
Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun
pemakaian energy meningkat.Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi
(peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah)
karena latihan isometrik.Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit
(infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik).Postur dan Gerakan Otot
merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran
skeletal dan perkembangan otot skeletal.Koordinasi dan pengaturan dari
kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan,
sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.Tonus otot adalah suatu keadaan
tegangan otot yang seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang
bergantian melalui kerja otot.Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh
dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.Immobilisasi menyebabkan
aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.Skeletal adalah rangka pendukung
tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler
(tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan
sel darah merah.
Sendi adalah hubungan di antara tulang. Ligamen adalah ikatan jaringan
fibrosa yang berwarna putih, mengkilat, fleksibel mengikat sendi menjadi satu
sama lain dan menghubungkan tulang dan kartilago. Tendon adalah jaringan ikat
fibrosa berwarna putih, mengkilat, yang menghubungkan otot dengan
tulang.Kartilago adalah jaringan penghubung pendukung yang tidak mempunyai
vaskuler, terutama berada di sendi dan toraks, trakhea, laring, hidung, dan telinga.

Propriosepsi adalah sensasi yang dicapai melalui stimulasi dari bagian tubuh
tertentu dan aktifitas otot.
Proprioseptor memonitor aktifitas otot dan posisi tubuh secara
berkesinambungan.Misalnya proprioseptor pada telapak kaki berkontribusi untuk
memberi postur yang benar ketika berdiri atau berjalan.Saat berdiri, ada
penekanan pada telapak kaki secara terus menerus.Proprioseptor memonitor
tekanan, melanjutkan informasi ini sampai memutuskan untuk mengubah posisi.
Patway

Mobilisasi

Tidak Mampu beraktivitas

Tirah Baring yang lama

Kehilangan daya Gangguan Jaringan kulit Jantung Ginjal Gastro


tahan otot fungsi paru- yang tertekan mengalami intestinal
paru vasokontriksi

Penurunan otot Penumpukan Perubahan Penyumbatan Ketidak Gangguan


(atrofi) sekret sistem mampuan katabolisme
intragumen kulit diblader

Perubahan Sulit batuk Kontriksi Suplai aliran Retensi Anoreksia


sistem muskulus pembulih darah terganggu
skeletal
Nitrogen
Gangguan jalan tidak
napas Sel kulit
menjadi mati seimbang

Kelemahan otot
Dekubitus
kemunduran infek
defekasi
Stress terjadi

Konstipasi
Peningkatan asam lambung

Napsu Makan Menurun


1.1.6 Manifestasi Klinis
1.1.6.1 Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
a) muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa
otot, atropi dan abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan
metabolisme kalsium
b) kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan thrombus
c) pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea
setelah beraktifitas
d) metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan
(seperti konstipasi)
e) eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi
saluran perkemihan dan batu ginjal
f) integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan
anoksia jaringan
g) neurosensori: sensori deprivation
1.1.6.2 Respon psikososial dari antara lain meningkatkan respon emosional,
intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan emosional yang
paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan dalam
siklus tidur-bangun, dan gangguan koping.
1.1.6.3 Keterbatasan rentan pergerakan sendi
1.1.6.4 Pergerakan tidak terkoordinasi
1.1.6.5 Penurunan waktu reaksi ( lambat )
1.1.7Komplikasi
1.1.7.1 Gaya hidup
Gaya hidup seseorang tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang dapat
meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan
kesehatan tentang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan
mobilisasi dengan cara yang sehat
1.1.7.2 Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk
mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani
operasi.Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih
lamban.Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidur karena menderita
penyakit tertentu.
1.1.7.3 Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan
aktifitas
1.1.7.4 Tingkat energy
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang
yang lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang
sehat
1.1.7.5 Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit salam masa
pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan
dengan anak yang sering sakit.
1.1.8 Pemeriksaan Penunjang
1.1.8.1 Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran.Pertumbuhan tulang yang abnormal
akibat tumor tulang.Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh
yangtidak dalam kesejajaran anatomis.Angulasi abnormal pada tulang
panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya
patah tulang.
1.1.8.2 Mengkaji tulang belakang
a) Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
b) Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
c) Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
berlebihan)
1.1.8.3 Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas,
dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
1.1.8.4 Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan
ukuran masing-masing otot.Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya
edema atau atropfi, nyeri otot.
1.1.8.5 Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah
satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist
yang berhubungan dengan cara berjalan abnormal (mis.cara berjalan
spastic hemiparesis – stroke, cara berjalan selangkah-selangkah – penyakit
lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).
1.1.8.5Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau
lebih dingin dari lainnya dan adanya edema.Sirkulasi perifer dievaluasi
dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.
1.1.8.6 Mengkaji fungsional klien
a) Kategori tingkat kemampuan aktivitas

TINGKAT KATEGORI
AKTIVITAS/ MOBILITAS
0 Mampu merawat sendiri secara
penuh
1 Memerlukan penggunaan alat
2 Memerlukan bantuan atau
pengawasan orang lain
3 Memerlukan bantuan, pengawasan
orang lain, dan peralatan

4 Sangat tergantung dan tidak dapat


melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
b) Rentang gerak (range of motion-ROM)
1) Fleksi merupakan gerak menekuk atau membengkokkan,
sedangkan Ekstensi merupakan gerak meluruskan
2) Adduksi merupakan mendekati tubuh, sedangkan Abduksi
merupakan gerak menjauhi tubuh
3) Supinasi merupakan gerak menengahkan tangan, sedangkan
Pronasi merupakan gerak menelungkupkan tangan
4) Inversi merupakan gerak memiringkan ( membuka ) telapak kaki
kea rah dalam tubuh, sedangkan Eversi merupakan gerak
memiringkan (membuka) telapak kearah luar
c) Derajat kekuatan otot

SKALA PERSENTASE KARAKTERISTIK


KEKUATAN
NORMAL (%)
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi
otot dapat di palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan
gravitasi dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan
gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal
melawan gravitasi dan
melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan
penuh yang normal melawan
gravitasi dan tahanan penuh

1.1.8.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan
hubungan tulang.
b. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau
cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
c. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas.
d. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin
dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.
1.1.9 Penatalaksanaan Medis
Untuk mengatasi ganguan Aktivitas dapat dilakukan tindakan :

1.1.9.1 Body Mekanik


Penggunaan organ secara efektif dan efisien sesuai fungsinya.
1.1.9.2 Tindakan yang berhubungan dengan mobilisasi
a. Membantu merubah posisi
b. Melatih ROM
c. Membantu klien duduk di tempat tidur
1.1.9.3 Mencapai kemandirian penuh dalam aktifitas perawatan diri.
(Wilkenson, Judith M2007)
1.2 Konsep kebutuhan dasar manusia
1.2.1 Pengertian

Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana manusia


memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.Salah satu tanda kesehatan
adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri,
berjalan dan bekerja.Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari
keadekuatan system persarafan dan muskuloskeletel.Kebutuhan aktivitas
(pergerakan) merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dengan
kebutuhan dasar dan tidur, dan saling mempengaruhi manusia yang lain seperti
istirahat.

1.2.2 Sistem tubuh yang berperan dalam Kebutuhan Aktivitas


1.2.2.1 Tulang
Merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, diantaranya :
a) Mekanis :
1) Membentuk rangka
2) Tempat melekatnya berbagai otot.
b) Tempat penyimpanan mineral (Kalsium dan Fosfor).
c) Tempat sumsum tulang sebagai pembentuk sel darah.
d) Pelindung organ-organ dalam.
e) Jenis tulang :
1) Pipih ( kepala dan pelvis).
2) Kuboid (Vertebra dan tarsal).
3) Panjang (Femur dan Tibia).

1.2.2.2 Otot dan tendon

a) Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan


tubuh bergerak sesuai keinginan
b) Tendon adalah suatu jaringan ikat yang melekat pada tulang,
origo adalah tempat asal tendon dan insersio adalah arah tendon.
c) Terputusnya tendon akan membuat kontraksi otot tidak akan
dapat menggerakkan tulang
1.2.2.2 Ligamen
a) Merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.
1.2.2.3 Sistem Syaraf
a) Terdiri dari sistem syaraf pusat (otak dan medula spinalis) dan
syaraf tepi (perifer).
b) Setiap syaraf memiliki bagian somatis dan otonom.
c) Bagian Somatis memiliki fungsi sensorik dan motorik
1.2.2.4 Sendi
Merupakan tempat bertemunya dua ujung tulang atau lebih.Sendi
membuat segmentasi darikerangka tubuh dan memungkinkan gerakan
antar segmen dan bebagai pertumbuhan tulang.

1.2.3 Kemampuan Mobilitas


Mobilitas merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,
mudah, teratur dengan tujuan memenuhi kebutuhan aktifitas guna
mempertahankan kesehatannya.Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan
dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk,
berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan.
1.2.3.1 Jenis mobilitas

a) Mobilitas penuh
Kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan ineraksi sosial dan menjalankan peran
sehari-hari.
b) Mobilitas sebagian
Kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh ganguan syaraf
motorik dan sensorik.
c) Mobilitas sebagian temporer
Mobilitas Sebagian Temporer merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Kemungkinan
disebabkan oleh trauma pada muskuloskeletal, Contoh: adanya
dislokasi sendi dan tulang.
d) Mobilitas sebagian permanen
Mobilitas Sebagian Permanen merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan rusaknya sistem syaraf yang reversibel, contoh: hemiplegia
akibat stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang.

1.2.3.2 Faktor yang mempengaruhi mobilitas

a) Gaya hidup, Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan


mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
b) Proses penyakit, dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena
dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang
menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan
dalam ekstremitas bagian bawah.
c) Kebudayaan, Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga
dipengaruhi kebudayaan.contoh, orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh, memiliki kemampuan mobilitas yang kuat dibandingkan
dengan orang yang karena adat budaya tertentu dibatasi aktifitasnya.
d) Tingkat energi, Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas.
Agar seseorang dapat melakukan mobilitas yang baik dibutuhkan energi
cukup.
e) Usia dan status perkembangan, Terdapatperbedaan kemampuan
mobilitas pada tingkat usia yang berbeda.

Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah,sebagai berikut :


Tingkat Kategori
Aktivitas/Mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain.
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang
lain, dan peralatan.
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan.

Pengkajian rentang gerak (range of mation-ROM) dilakukan pada daerah


seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki.
Melatih rentang gerak sendi:
Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
a) Tekuk tangan pasien kedepan sejauh mungkin
Fleksi dan ekstensi siku
a) Tekuk siku pasien sehingga tangannya mendekat bahu
b) Lakukan dan kembalikan ke posisi semula
Pronasi dan supinasi lengan bawah
a) Putar lengan bawah pasien sehingga telapaknya menjauhinya
b) Kembalikan keposisi semula
c) Putar lengan bawah pasien sehingga telapak tangannya
menghadap kearahnya
d) Kembalikan keposisi semula
Pronasi fleksi bahu
a) Angkat lengan pasien pada posisi semula
Abduksi dan Adduksi
a. Gerakan lengan pasien menjauh dari tubuhnya kearah
perawat
b. Kembalikan keposisi semula
Rotasi bahu
a. Gerakkan lengan bawah kebawah sampai menyentuh tempat
tidur, telapak tangan menghadap kebawah
b. Kembalikan keposisi semula
c. Gerakkan lengan bawah kebelakang sampai menyentuh
tempat tidur, telapak tangan menghadap keatas
d. Kembalikan keposisi semula
Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki
a. Tekuk jari-jari kaki kebawah
b. Luruskan jari-jari kemudian dorong kebelakang
c. Kembalikan ke posisi semula
Infersi dan efersi kaki
a. Putar kaki kedalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki
lainnya
b. Kembalikan keposisi semula
c. Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki
lainnya
d. Kembalikan keposisi semula
Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
a. Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari-jari kaki kearah dada
pasien
b. Kembalikan ke posisi semula
c. Tekuk pergelangan kaki menjauhi dada pasien
Fleksi dan ekstensi lutut
a. Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkah paha
b. Lanjutkan menekuk lutut kearah dada sejauh mungkin
c. Kebawahkan kaki dan luruskan lutut dengan mengangkat
kaki keatas
d. Kembali keposisi semula
Rotasi pangkal paha
a. Putar kaki menjauhi perawat
b. Putar kaki ke arah perawat
c. Kembalikan keposisi semula
Abduksi dan adduksi pangkal paha
a. Jaga posisi kaki pasien lurus, angkat kaki kurang lebih 8 cm
dari tempat tidur, gerakkan kaki menjauhi badan pasien
b. Gerakkan kaki mendekati badan pasien
c. Kembalikan keposisi semula
Kemampuan Kekuatan Otot
Daya tahan otot adalah kapasitas sekelompok otot utnuk melakukan
kontraksi yang beruntun atau berulang-ulang terhadap suatu beban
submaksimal dalam jangka waktu tertentu.Sedangkan kekuatan otot adalah
tenaga, gaya atau ketegangan yang dapat dihasilkan oleh otot atau
sekelompok otot pada suatu kontraksi dengan beban maksimal. Seseorang
mungkin memiliki kekuatan pada bagian otot tertentu namun belum tentu
memiliki pada bagian otot lainnya.Dalam mengkaji kekuatan otot dapat
ditentukan kekuatan secara bilateral atau tidak.
Mengukur kekuatan otot:
Skala 0.
Artinya otot tak mampu bergerak, misalnya jika tapak tangan dan jari
mempunyai skala 0 berarti tapak tangan dan jari tetap aja ditempat walau
sudah diperintahkan untuk bergerak.
Skala 1.
Jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti
otot masih belum atrofi atau belum layu.
Skala 2.
Dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah sesuai perintah misalnya
tapak tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika ditahan sedikit
saja sudah tak mampu bergerak
Skala 3.
Dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal misalnya dapat
menggerakkan tapak tangan dan jari
Skala4.
Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan.
Skala 5.
Bebas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal
Skala diatas pada umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang
mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai
untuk melihat apakah ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani
perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perburukan pada seseorang
penderita.

1.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


1.3.1 Pengkajian Keperawatan
Secara umum pengkajian meliputi tentang
a) Identitas Pasien
b) Riwayat kesehatan & Keluhan utama
c) Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat kesadaran
2) Postur atau bentuk tubuh : skoliosis, kiposis, lordosis, cara barjalan
3) Ekstremitas
a) Kelemehan
b) Gangguan sensorik
c) Tonus otot
d) Atropi
e) Gerakan tak terkendali
f) Tremor
g) Kemampuan berjalan, duduk, berdiri
h) Nyeri sendi
1.3.2 Diagnosa Keperawatan dan intervensi
a. Intoleransi Aktifitas
Definisi : Kondisi Di Mana seseorang mengalami penurunan energy
Fisiologis untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Kemungkinan berhubungan dengan:
1) Kelemahan umum
2) Bedrest yang lama/imobilitas
3) Motivasi yang kurang
4) Pembatasan pergerakan
5) Nyeri
Kemungkinan data yang ditemukan:
1) Verbal addanya kelemahan
2) Sessak nafas pucat
3) Kesulitan dalam pergerakan
4) Abnormal nadi, tekanan darah terhadap respon aktivitas
Kondisi klinis yang mungkin terjadi
1) Anemia
2) Gagal jantung
3) Gangguan jantung
4) Kardiak aritmia
5) COPD
6) Gangguan metabolisme
7) Gangguan muskuloskeletal
Tujuan yang di harapkan
1) Kelemahan berkurang
2) Berpatisipasi dalam perawatan diri
3) Mempertahankan kemapuan aktivitas septimal mungkin.
No Intervensi Rasional
Monitor keterbatasan Merencankan intervensi
1 aktivitas, kelemahan tepat
saat aktivitas
Bantu pasien dalam Pasien dapat memilih dan
2 melakukan aktivitas merencanakan sendiri
sendiri
Catat tada vital sebelum Mengkaji sejauh mana
3 dan sesudah aktivitas perbedaan peningkatan
selama aktifitas
Kolaborasi dengan Meningkatkan kerjasama tim
4 dokter dan fisioterapi dan perawatan holistic
dalam latihan aktivitas
Istirahat yang adekuat Membantu mengembalikan
5
setelah latihan sendiri energy
Berikan diet yang Metabolisme membutuhkan
6 adekuat dengan energy
kolaborasi ahli diet
Berikan pendidikan Meningktkan pengetahuan
tentang: dalam perawatan diri
1) Perubahan gaya hidup
7 untuk menyimpan
energy
2) Penggunaan alat bantu
gerak

b. Keletihan
Definisi : kondisi dimana seseorang mengalami perasaan letih yang
berlebihan secara terusmenerus dan penurunan kapasitas kerja fisik dan
mental yang tidak dapat hilang dengan istirahat.
Kemungkinan berhubungan dengan:
1) Menurunnya produksi metabolism
2) Pembatasan diet
3) Anemia
4) Ketidak seimbangan glukosa dan elektrolit
Kemungkinan yang ditemukan
1) Kurangnya energy
2) Ketidak mampuan melakukan aktivitas
3) Menurunnya penampilan
4) Lethargi
Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada:
1) Anemia
2) Kanker
3) Depresi
4) Diabetes militus
Tujuan yang diharapkan
1) Pasien mengatakan keletihannya berkurang
2) Meningkatnya tingkat energy
3) Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuannya secara
bertahap.
No Intervensi Rasional
Monitor keterbatasan Merencankan intervensi
1 aktivitas, kelemahan tepat
saat aktivitas
Bantu pasien dalam Pasien dapat memilih dan
2 melakukan aktivitas merencanakan sendiri
sendiri
Catat tada vital sebelum Mengkaji sejauh mana
3
dan sesudah aktivitas perbedaan peningkatan
selama aktifitas
Kolaborasi dengan Meningkatkan kerjasama tim
4 dokter dan fisioterapi dan perawatan holistic
dalam latihan aktivitas
Istirahat yang adekuat Membantu mengembalikan
5
setelah latihan sendiri energy
Berikan diet yang Metabolisme membutuhkan
6 adekuat dengan energy
kolaborasi ahli diet
Berikan pendidikan Meningktkan pengetahuan
tentang: dalam perawatan diri
1) Perubahan gaya hidup
7 untuk menyimpan
energy
2) Penggunaan alat bantu
gerak

c. Gangguan Mobilitas fisik


Definisi : Kondisi di mana pasien tidak mampu melakukan
pergerakansecara mandiri.
Kemungkinan berhubungan dengan :
1) Gangguan persepsi kognitif
2) Imobilisasi
3) Gangguan neuromuskuler
4) Kelemahan / paralisis
5) Pasien dengan traksi
Kemungkinan data yang di temukan :
1) Gangguan dalam pergerakan
2) Keterbatasan dalam pergerakan
3) Menurunnya kekuatan otot
4) Nyeri saat pergerakan
5) Kontraksi dan atropi otot
Kondisi klinis terjadi pada :
1) Fraktur kasus dengan traksi
2) Reumatik atritis
3) Stroke
4) Depresi
5) Gangguan neuromuskuler
Tujuan yang diharapkan :
1) Pasien dapat menunjukan peningkatan mobilitas
2) Pasien mengatakan terjadi peningkatan aktivitas
No Intervensi Rasional
Pertahankan body Mencegah iritasi dan
1 aligmnet dan posisi komplikasi
yang nyaman
Cegah pasien jatuh, Mempertahankan keamanan
berikan pagar pasien
2
pengaman pada tempat
tidur
Lakukan latihan aktif Meningkatkan sirkulasi dan
3 maupun pasif mencegah kntraktur

Lakukan fisiotrapi dada Meningkatkan fungsi paru


4
dan postular drainase
Monitor kulit yang Memonitor gangguan
5 tertekan, amati integritas kulit
kemungkinan dekubitus
Tindakan aktivitas Mempertahankan otot
6
sesuai batas toleransi
Berikan terapi nyeri Mengurangi rasa nyeri
jika ada indikasi nyeri
7
sebelum atau setelah
latihan
8 Pertahankan nutrisi Nutrisi diperlukan untuk
yang adekuat dengan energy
kolaborasi ahli diet
Kolaborasi dengan Kerjasama dengan
9 fisioterafi dalam perawatan holistic
program latihan
Lakukan pengetahuan Memberikan pengetahuan
tentang : dan perawatan diri
a) Pencegahan konstipasi
10
b) Body mekanik dan
posisi
c) Latihan dan istirahat
Lakukan kerjasama Meneruskan perawatan
11 dengan keluarga dalam setelah pulang
perawatan pasien
Bantu pasien dalam Menentukan pilihan yang
memutuskan tepat dalam pengguanan alat
12
pengguanan alat bantu
berjalan
Lakukan ambulasi Imobilisasi yang lama dapat
13 sebanyak mungkin jika menimbulkan dekubitus
memungkinkan

d. Definisi perawatan diri


Definisi : kondisi dimana pasien tidak dapat melakukan sebagian atau
seluruh aktivitas sehari-hari seperti makan, berpakaian mandi Dll.
Kemungkinan berhubungan dengan :
1) Gangguan neuromuskuler
2) Menurunnya kekuatan otot
3) Menurunnya kontrol otot dan koordinasi
4) Kerusakan persepsi kognitif
5) Defresi
6) Gangguan fisik
Kemungkinan data yang di temukan:
1) Ketidak mampuan melakukan aktifitas sehari-hari
2) Frustasi
Kondisi klinis memungkinkan terjadi pada:
1) Gangguan serebral vaskuler
2) Trauma medulla spinalis
3) Demensia
4) Depresi
5) Kekurangan energy
6) Gangguan otot
7) Kerusakan kognitif
Tujuan yang diharapkan:
Pasien dapat melakukan perawatan diri secara aman
No Intervensi Rasional
Lakukan kajian Memberikan informasi dasar
kemampuan pasien dalam menentukan rencana
1
dalam perawatan diri prawatan
terutama ADL
Jadwalkan jam kegiatan Perencanaan yang matang

2 tertentu untuk ADL dalam melakukan kegiataan


sehari-hari

Jaga privasi dan Memberikan keamanan


keamanan pasien
3
selama memberikan
perawatan
Berikan penjelasan Meningkatkan self esteem
4 sebelum melakukan dan motivasi
tindakan

5 Selama melakukan Meningkatkan self esteem


aktivitas berikan
dukungan dan pujian
kepada pasien
Lakukan latihan aktif meningkatkan sikulasi darah
6
dan pasif
Monitor tanda vital, Mengecek perubahan
tekanan darah, sebelum keadaan pasien
7
dan sesudah melakukan
ADL
Berikan obat nyeri jika Pasien lebih kooperatif
dalam aktifitas terasa dalam beraktivitas
8
nyeri dengan kolaborasi
dokter
Berikan diet tinggi Meningkatkan dan

9 protein membantu membangun


jaringan tubuh

Monitor pergerakan Mengetahui fungsi usus dan


10 usus dan bladder bladder

Berikan pendidikan Meningkatkan pengetahuan


kesehatan: dan motivasi dalam
a) Perawatan diri seperti perawatan diri
mandi, perawatan kuku,
rambut, Dll
11
b) Latihan pasif dan aktif
c) Keamanan aktivitas
dirumah
d) Komplikasi yang
mungkin timbul

1.3.3 Evaluasi keperawatan


Menurut Wilkinson (2007), secara umum evaluasi diartikan sebagai proses
yang disengaja dan sistematik dimana penilaian dibuat mengenai kualitas, nilai
atau kelayakan dari sesuai dengan membandingkan pada kriteria yang
diidentifikasi atau standar sebelumnya. Dalam proses keperawatan, evaluasi
adalah suatu aktivitas yang direncanakan, terus menerus, aktifitas yang disengaja
dimana klien, keluarga dan perawat serta tenaga kesehatan professional lainnya
menentukan Wilkinson (2007):
a) Kemajuan klien terhadap outcome yang dicapai
b) Kefektifan dari rencana asuhan keperawatan
Evaluasi dimulai dengan pengkajian dasar dan dilanjutkan selama setiap
kontak perawat dengan pasien.Frekuensi evaluasi tergantung dari frekuensi kontak
yang ditentukan oleh status klien atau kondisi yang dievaluasi. Contohnya adalah
pada saat pasien baru datang dari ruang bedah maka perawat akan mengevaluasi
setiap 15 menit. Hari berikutnya mungkin evaluasi akan dilakukan setiap 4 jam
dan seterusnya.
Menurut Wilkinson (2007) juga, evaluasi yang efektif tergantung pada
langkah yang sebelumnya dilakukan.Kegiatan evaluasi tumpang tindih dengan
kegiatan pengkajian. Tindakan untuk mengumpulkan data adalah sama tetapi yang
membedakan adalah kapan dikumpulkan dan bagaimana dilakukan. Pada tahap
pengkajian, perawat menggunakan data untuk membuat diagnosa keperawatan
sedangkan pada tahap evaluasi, data digunakan untuk mengkaji efek dari asuhan
keperawatan terhadap diagnosa keperawatan.
Meskipun evaluasi adalah langkah akhir dari proses keperawatan, evaluasi
bukan berarti akhir dari proses karena informasi digunakan untuk memulai siklus
yang baru. Setelah mengimplementasikan asuhan keperawatan, perawat
membandingkan respon pasien terhadap outcome yang telah direncanakan dan
menggunakan informasi ini untuk me-review asuhan keperawatan
.
Kriteria Evaluasi
1. Efektifitas: yang mengidentifikasi apakah pencapaian tujuan yang
diinginkan telah optimal.
2. Efisiensi: menyangkut apakah manfaat yang diinginkan benar-benar berguna
atau bernilai dari program publik sebagai fasilitas yang dapat memadai
secara efektif.
3. Responsivitas: yang menyangkut mengkaji apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan/keinginan, preferensi, atau nilai kelompok tertentu
terhadap pemanfaatan suatu sumber daya

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Definisi Stroke Non Hemoragik ( SNH )
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Sedangkan menurut Muttaqin (2008), Stroke Non Haemoragik adalah
cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat
pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak dan
tempat lain di tubuh.
Stroke non hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena sumbatan pada
arteri sehingga suplai glukosa dan oksigen ke otak berkurang dan terjadi
kematian sel atau jaringan otak yang disuplai.

2.1.2 Etiologi
Menurut Price, SA dan Wilson (2007), stroke biasanya diakibatkan dari
salah satu tempat kejadian, yaitu:
1) Trombosis (Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
2) Embolisme serebral (Bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian otak atau dari bagian tubuh lain).
3) Hemorargik cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan
ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah gangguan
suplai darah ke otak , menyebabkan kehilangan gerak, pikir, memori, bicara,
atau sensasi baik sementara atau permanen.
Penyebab lain terjadinya stroke non hemoragik adalah:
1) Aterosklerosis
Terbentuknya aterosklerosis berawal dari endapan atheroma (endapan
lemak) yang kadarnya berlebihan dalam pembuluh darah. Selain dari endapan
lemak, aterosklerosis ini juga mungkin karena arteriosklerosis, yaitu penebalan
dinding arteri (tunika intima) karena timbunan kalsium yang kemudian
mengakibatkan bertambahnya diameter pembuluh darah dengan atau tanpa
mengecilnya pembuluh darah.
2) Infeksi
Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, terutama
yang menuju ke otak.
3) Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan stroke
seperti: amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen pembuluh
darah ke otak.
4) Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa
terjadi jika hipotensi ini sangat parah dan menahun.
Sedangkan faktor resiko pada stroke (Muttaqin (2008):
1) Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2) Penyakit kardiovaskuler (Embolisme serebral mungkin berasal dari
jantung).
3) Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark cerebral),
4) Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35
tahun dan kadar esterogen yang tinggi.
5) Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan iskhemia serebral umum.
6) Penyalahgunaan obat tertentu pada remaja dan dewasa muda.
7) Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan
darah, merokok kretek dan obesitas.
8) Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.

2.1.3 Manifestasi klinik


Menurut Smeltzer, Suzanne C (2002) Stroke menyebabkan berbagai defisit
neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala
tersebut antara lain:
1) Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala
2) Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan
3) Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke,
gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau
menurunnya refleks tendon dalam.
4) Dysphagia
5) Kehilangan komunikasi
6) Gangguan persepsi
7) Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis
8) Disfungsi Kandung Kemih

2.1.4 Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan
jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
(Muttaqin, 2008). Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam aliran darah.
Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak, yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.
Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi
berada pada pembuluh darah yang tersumbat maka menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskular,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).

Pathway
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1) Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2) Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3) Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4) Hidrosefalus

2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer, Suzanne C (2002), penatalaksanaan stroke dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1) Phase Akut
a) Pertahankan fungsi vital seperti: jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan
sirkulasi.
b) Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation: Nimotop. Pemberian ini
diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik.
c) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
d) Mengurangi edema cerebral dengan diuretic.
e) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala
tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.

2) Post phase akut


a) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodic.
b) Program fisiotherapi.
c) Penanganan masalah psikososial

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
ialah sebagai berikut:
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan
seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
2) Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran lumbal
menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi.
Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif,
sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3) CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara
pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan
terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
4) MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik
untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
5) USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran.
c) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan
kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan konia.
d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.

e) Riwayat penyakit keluarga


Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f) Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
g) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan
pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan
tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada
kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).

3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi
fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca)
didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

1. Pengkajian Saraf Kranial


Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII.
1) Saraf I
Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf II
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI
Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
4) Saraf V
Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
5) Saraf VII
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6) Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
8) Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

9) Saraf XII
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.

2. Pengkajian Sistem Motorik


Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN
bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi ng berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum
Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah
tanda yang lain.
2) Fasikulasi
Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot.
Didapatkan meningkat.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu:
1) Perfusi jaringan cerebral tidak efektif b.d O2 otak menurun.
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient.
3) Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot.
4) Risiko kerusakan integritas kulit b.d faktor risiko: lembap.
5) Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan
sentral bicara.

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Dx 1: Perfusi jaringan serebral tidak efekif b.d O2 Otak menurun
Tujuan:
Gangguan perfusi jaringan dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil:
1. Mampu mempertahankan tingkat kesadaran
2. Fungsi sensorik dan motorik membaik
Intervensi:
1. Pantau TTV tiap jam dan catat hasilnya
Rasional: peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan TIK. Napas tidak teratur
menunjukkan adanya peningkatan TIK.
2. Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
Rasional: mampu mengetahui tingkat respon motorik pasien.
3. Pantau status neurologis secara teratur
Rasional: mencegah/menurunkan atelektasis
4. Dorong latihan kaki aktif/pasif
Rasional: menurunkan statis vena
5. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional: menurunkan resiko terjadinya komplikasi

Dx 2: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d


ketidakmampuan mengabsorsbi nutrien
Tujuan:
1. Status gizi
2. Asupan makanan
3. Cairan dan zat besi.
Kriteria hasil:
1. Menjelaskan komponen kedekatan diet
2. Nilai laboratorium (mis, transferin, albumin dan elektrolit).
3. Melaporkan keadekuatan tingkat gizi.
4. Toleransi terhadap gizi yang dianjurkan.
Intervensi:
1. Tentukan motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
Rasional: motivasi klien mempengaruhi dalam pemberian nutrisi
2. Ketahui makanan kesukaan klien
Rasional: makanan kesukaan klien untuk mempermudah pemberian nutrisi
3. Rujuk kedokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
Rasional: merujuk kedokter untuk mengetahui perubahan klien serta untuk proses
penyembuhan
4. Bantu makan sesuai denga kebutuhan klien
Rasioanl: Membantu makan untuk mengetahui perubahan nutrisi serta untuk
pengkajian.
5. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan.
Rasioanal: Menciptakan lingkungan untuk kenyamanan istirahat klien serta untuk
ketenangan dalam ruangan.

Dx 3: Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot


Tujuan:
Klien diminta menunjukkan tingkat mobilitas, ditandai dengan indikator berikut
(sebutkan nilainya 1-5: ketergantungan (tidak berpartisipasi) membutuhkan
bantuan orang lain, mandiri dengan pertolongan alat bantu atau mandiri penuh.
Kriteria hasil:
1. Menunjukkan penggunaan alat bantu secara besar dengan pengawasan
2. Meminta bantuan untuk beraktivitas mobilisasi jika diperlukan
3. Menggunakan kursi roda secara efektif
Intervensi:
1. Ajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilisasi
Rasional: mengajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
klien lebih mudah.
2. Ajarkan dan bantu klien dalam proses perpindahan.
Rasional: akan membantu klien latihan dengan cara tersebut
3. Dukung teknik latihan ROM
Rasional: mempercepat klien dalam mobilisasi dan mengkendorkan otot.
4. Kolaborasi dengan tim medis tentang mobilitas klien.
Rasioanal: mengetahui perkembangan mobilisasi klien sesudah latihan ROM

Dx 4: gangguan komunikasi verbal b.d kerusakan neuromuskular,


kerusakan sentral bicara.
Tujuan:
1. Klien dapat mengekplosrasikan perasaan
2. Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
3. Pembicaraan pasien dapat dipahami
Intervensi:
1. Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu
diulang
Rasional: mengecek komunikasi klien apakah benar-benar tidak bisa melakukan
komunikasi.
2. Dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara
Rasional: mengetahui bagaiman kemampuan komunikasi klien.
3. Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
Rasional: mengethaui derajat kemampuan berkomunikasi klien.
4. Latih otot bicara secara optimal
Rasional: menurunkan terjadinya komplikasi lanjutan
5. Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
Rasional: keluarga mengetahui dan mampu mendemonstrasikan cara melatih
komunikasi verbal klien tanpa bantuan perawat.
6. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
Rasional: mengetahui perkembangan komunikasi verbal klien.
2.2.4 Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan
rencana. Hal ini terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. ( Zaidin,
2001 )

2.1.1 Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap
ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagal.(Alfaro-LeFevre, 1994). Perawat menemukan reaksi klien
terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang
menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima.Perencanaan merupakan
dasar yang mendukung suatu evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pesyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Price, SA dan Wilson. 2007. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
ed. 6 vol.1. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai