Anda di halaman 1dari 22

A.

Pengertian

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit
nuerologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
( Brunner & Suddarth’s, 2002 )
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. (Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
Sedangkan cedera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak
mengalami cedera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien
tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.

B. Penyebab dan faktor predisposisi


Adapun penyebab dari cedera kepala adalah sebagai berikut (Cholik, 2008:49):
1. Kejatuhan benda
2. Luka tembak
3. Cedera lahir
4. Kecelakaan lalu lintas
5. Jatuh
6. Kecelakaan industry/kerja
7. Pukulan

C. Manifestasi klinik ( tanda dan gejala)


Tanda dan gejala dari cedera kepala, antara lain:
1. Epidural Hematome (Price, Sylvia Anderson, 2003: 1174-1176)
a) Hilangnya kesadaran
b) Dilatasi pupil
c) Ptosis kelopak mata: penurunan kelopak mata atau menggantung
d) Kelemahan respon motorik kontra lateral
e) Reflek hiperaktif atau sangat cepat
f) Tanda babinski positif
2. Subdural Hematome
a) Henti nafas
b) Gangguan pada denyut nadi dan tekanan darah
c) kehilangan kesadaran dalam waktu 24-48 jam setelah cedera
3. Subdural hematoma sub akut
a) deficit neurologis > 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera.
b) trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya dikuti
status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Tingkat kesadaran memburuk secara bertahap dalam beberapa jam. Sejalan

1
dengan meningkatnya ICP akibat timbunan hematoma, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap ransangan verbal maupun nyeri.
4. Subdural hematoma kronik
a) Mengeluh sakit kepala
b) Perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apatis,
latergi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi
c) Hemianopsia: defek penglihatan atau kebutaan pada separuh lapang
pandang pada satu atau kedua mata
d) Hemiparise
e) Kelainan pupil
5. Intra cerebral (Smeltzer, Suzanne,1996:2213)
a) Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan TIK
b) Deficit neurologis.
D. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan
aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebal
blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15
% dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan
P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh dar ah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

2
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
1. cedera primer
cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan, karena
tenaga kinetik menegenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini
meliputi akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-
countercoup. Akselerasi terjadi ketika objek bergerak membentur
kepala yang sedang dalam kondisi diam. Deslerasi terjadi saat kepala
yang sedang bergerak membentur objek statis. Akselerasi-deselerasi
terjadi dalam pristiwa tambrakan kendaraan bermotor dalam
kecepatan tinggi atau kendaraan yang menabrak pejalan kaki.
Sedangkan coup-countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi
intrakranial terhadap kranium. Cedera coup mengakibatkan
kerusakan pada daerah yag dekat dengan area yang berlawanan
dengan benturan. Kebanyakan kerusakan yang relatif dekat daerah
yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cedera primer dapat diabgi ke dalam cedera fokal dan difus. Cedera
fokal menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur tengkorak,
laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural perdarahan subdural,
dan perdarahan intraserebral. Sedangkan cedera difus menyebabkan
cedera mikroskopis seperti concunssion dan difuse axonal injury.
1) fraktur tengkorak.
Biasanya diikuti dengan laserasi scalp, yaitu lapisan terluar
pelindung otak yang snagat kaya dengan pembuluh darah,
sehingga dapat menimbulkan perdarahan dalam jumlah
banyak.
2) laserasi dan kontusio otak.
Biasanya ditemukan pada lobus frontal dan temporal.
Laserasi merupakan kondisi robeknya jaringan otak yang
dpat juga terjadi pada fraktur tengkorak depresi. Sedangkan
kontusio merupakan memarnya permukaan korteks otak.
3) hematoma.
Diklasifikasikan menjadi beberapa antara lain epidural,
subdural, dan intra serebral.
 Hematoma epidural
Terjadi saat fraktur linear menembus tulang temporal
melukai arteri maningeal. Pasien biasanya mengalami

3
perburukan secara cepat dan akhirnya meninggal.
Mortalitas dan morbilitasnya meningkat seiring
dengan kecepatan ekspansi hematoma dari
perdarahan arteri, menimbulakn herniasi uncal dan
tidak secara langsung mencederaiotak. Herniasi uncal
adalah kondisi ketika uncus ( ujung anterior
parahippocampal gyrus berbentuk kait dan berada di
atas permukaan basomedial lobus temporal )
mengalami displasi akibat peningkatan TIK sehingga
terjadi kerusakan otak dan batang otak secra
progresif. Herniasi uncal ini, menekal saraf kranial
III. Otak tengah, dan arteri serebral posterior,
sehingga menimbulkan koma dan gagal napas.
Hematoma yang berada di antaradura dan kranium
dapat menekan dan menggeser otak. Penderita
biasanya mengalami perubahan pupil ipsilateral yang
berkembang dari pupil sluggish dan elliptical hingga
terjadi dilatasi dan terfiksasi pada salah satunya.
Terdapat pula perubahan simultan motorik
kontralateral yang berkembang dari hemiparese
ringan, menjadi dekortikasi, deserebrasi, atau flaccid
paralysis. Penanganan yang cepat dapat membuat
prognosisnya menjadi baik.
 Hematoma subdural.
Merupakan penyebab moralitas dan morbiditas
tertinggi kedua dalam cedera kepala. Hematoma ini
aslinya berasal dari perdarahan vena korteks atau
vena dianatara permukaan otak dnegan dura,
sehingga memiliki progresifitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan hematoma epidural.
Terdapat tiga jenis hematoma yaitu :
a Akut : gejala tampak dalam 24-72 jam
setelah cedera dan biasanya membutuhkan
pembedahan segera.
b Sub akut : gejala muncul dalam 72
jam-2 minggu pasca cedera dan membutuhkan

4
pemantauan ketat terhadap tanda-tanda
peningkatan TIK dan herniasi. Pembedahan
evakuasi bergantung dari konsistensi dan
ukuran bekuan yang ada.
c Kronis: gejala muncul setelah lebih
dari 2minggu pasca cedera. Perdarahan
berjalan lambat dan lebih banyak ruangan
dalam otak yang berisi bekuan sebelum
korban mengalami gangguan neurologis.
 Hematoma intraserebral
Area perdarahan pada hematoma intraserebral
memiliki batas yang tegas yaitu 2 cm atau lebih ke
dalam parenkim otak. Hematoma ini menimbulkan
defisit neurologis fokal sesuai dengan lokasi otak
yang terkena.
4) Diffuse axonal
Biasanya diakibatkan oleh tabrakan kendaraan bermotor
dalam kecepatan tinggi sehingga terjadi gesekan antara
permukaan subtansia alba.hal ini menyebabkan robekan dan
perlukaan axon bermielin dalam subtansi grisea. Hasil CT
scan sering menunjukan gambaran normal atau terdapat
tanda-tanda perdarahan pada korpus kallosum, area
periventrikular, atau batang otak.
Cedera diffusi axonal ringan mengalami hilang kesadaran
antara 6-24 jam. Sedangkan pada derajat sedang, kondisi
koma memanjang.Kondisi koma yang lebih panjang terjadi
pada cedera berat yang ditandai dengan disfungsi batang otak
yang memicu ketidakstabilan hemodinamik dan jantung.
Disfungsi autonomik yang sering terjadi pasca cedera ini
ditandai dengan peningkatan TIK, dilatasi pupil, diaforesis,
hipertensi, takikardia, dan postur tubuh fleksi atau ekstensi
abnormal.
5) Perdarahan subaraknoid
Perdarahan pada ruang subaraknoid dan memicu vasospasme
ini terjadi pada sekitar 25-40 % pasien dengan cedera otak
akut. Pasien dengan perdarahan subaraknoid ini
membutuhkan waktu perawatan.

5
2. cedera sekunder
kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupakan perubahan
biofisik maupun biokimia yang mengganggu perfusi sehingga dapat
menimbulkan disfungsi neuronal sampai dengan kematian. Jika
penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan tekanan
intrakranial, pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan perfusi
yang adekuat
Aliran darah serebral normalnya dapat di pertahankan pada kisaran
50-150 mmHg. Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh
darah serebral berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik
meningkat, pembuluh darah serebral mengalami vasokonstriksi.
Aliran darah ke otak di kontrol oleh mekanisme autoregulasi
serebral. Kerusakan pada sistem autoregulasi akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan yang di lakukan.
Beberapa jam pasca cedera, aliran darah serebral menurun hingga
setengah dari jumlah normal yaitu 50ml/ 100 gram otak/menit.
Iskemia terjadi saat aliran darah serebral turun di bawah 20 Ml/100
mg otak/ menit dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai
10- 15 mL/100 mg otak/ menit. Iskemia adalah konsekuensi
sekunder dari perdarahan baik yang spontan maupun yang traumatik.
Mekanisme terjadinya iskemia karena adanya tekanan pada
pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang
volumenya tetap dan vasospasme reaktif pembuluh- pembuluh darah
yang terpajan di dalam ruang antara lapisan araknoid dan piameter
meningen. Biasanya perdarahan intraserebral secara cepat
menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran
( price & Wilson, 2006 ) hipoksia dan iskemik juga memicu rantai
respons kimiawi dan proses neurotoksik. Kondidi ini meliputi
regulasi chanel ion kalsium, natrium dan kalsium. Pengeluaran
exitotoxic asam amino, produksi superoxide dan radikal bebas,
perioksidasi lemak, dan pengeluaran mediator inflamasi. Hal ini
semua menimbulkan kerusakan serebral dan jika tidak tertangani,
dapat menyebabkan kematian sel. Secara umum apabilah aliran
darah ke jaringan otak terputus selama 15-2- menit akan terjadi

6
infark atau kematian jaringan. (dosen keperawatan medikal bedah-
indonesia, 2017:95).

E. Pathway keperawatan

Kecelakan Lalu Jatuh Pukulan Terbentu

Trauma Langsung atau tidak langsung

Cedera kepala

B B B

Kompresi Peningkatan Penekanan Trauma


pada tekanan pada pada jaringan dan
batang vasomotor batang otak spasme otot
otak

peningkata Peningkatan Gangguan


pada syaraf Pelepasan
n produksi transmisi
cranialis mediator
sputum rangsangan
kimia
simpatik ke
(prostaglandi
Gangguan jantung Penggump n, braikinin,
irama a-lan darah serotonoin)
di kubah
Perubahan Diterima oleh
Napas kranial
otonom pada reseptor nyeri
berbunyi, ventrikel kiri di medulla
stridor, Penimbuna
spinalis
ronkhi, n darah di
wheezing Penurunan rongga
volume epidural, thalamus
sekuncup subdural, Peningkatan tekanan
dan atau pada vasomotor
DP : peningkatan intrakranial
ketidakefekti Korteks
volume
-fan bersihan serebri
residu
jalan nafas Distorsi
dan hernia Nyeri
7
Penurunan Penuruna kepala
curah n lapang
peningkatan NYERI
Peningkatan tekanan
pandang,
TIK pada vasomotor
gangguan perfusi defisit
Defisit
peningkatan produksi
jaringan serebral persepsi
Perawatan Diri
sputum
Distress pusat B4 B5 B6
pernafasan

Penekanan Ganggua
Hipoksia jaringan pada n nervus Putusnya
otak medulla vagus hubungan
pusat saraf di
Mekanisme
Kerusakan otak dengan
kompensasi tubuh
syaraf – refleks pada
syaraf Kompres spinal
Peningkatan pola i
pernafasan Gangguan spasmodi ketidakseimba
kontraksi k ngan antara
sfingter otot-otot
Ketidakefektifan eksternus Meningk antagonis
pola nafas secara atkan
volunter refleks
Penurunan
mual
tonus otot
muntah
Penurunan
kontrol anoreksia
volunter

Inkontinensi Nutrisi hambatan


a urine kurang mobilitas fisik
dari
kebutuha
gangguan n dari
eliminasi tubuh
urine

8
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada kepala selain dari faktor mempertahankan
fungsi ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menilai ststus neurologis, maka
faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang
terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun
pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang
lebih rendah. Selain itu perlu pula di control kemungkinan tekanan intracranial
yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha
untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi indotrakeal hiperventilasi.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan koservatif meliputi:
1. Bedrest total .
2. Observasi TTV (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan:
a) Dexamethason/Kalmethason sebagai pengobatan antiedema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b) Terapi hiperventilasi untuk mengurangi vasodilatasi.
c) Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%,
atau glukosa 40% atau gliserol 10%
d) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penicillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol
4. Pada trauma berat . karena hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. DS 5% 8 jam pertama,
ringer DS 8 jam kedua dan DS 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastriktube (2500-
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya. (Arief,
2011:284).

G. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium: darah lengkap (Hb, leucosit, BT, CT), BS (Blood Sugar) dan
elektrolit. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik

9
dan mendeteksi edema serebral. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit
diperlukan untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang
berhubungan dengan aliran darah serebral dan metabolisme.
2. Foto Rongent kepala/lateral kanan dan kiri untuk mengetahui adanya fraktur
tulang tengkorak.
3. Foto Rongent servical
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tulang leher .
CT Scan (tanpa/dengan kontras): mengidentifikasi adanya SOL (space
occupying lesion), hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan
otak. (Doengus, 2000:253).
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan/ tanpa
kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila
bercampur frekuensi radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan
menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosa tumor, infark dan
kelainan pada pembuluh darah.
5. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma. Digunakan untuk
mengidentifikasi dan menentukan kalainan serebral vaskuler.
6. EEG (elektoensefalogram): untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis. EEG mengukur aktifitas listrik lapisan
suferfisial korteks serebri melalui elektroda yang dipasang di luar tengkorak
pasien.
7. ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elektro fisiologis
vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf
pusat.
8. BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potentials): menentukan fungsi korteks
dan batang otak.
9. PET (Positron Emmision Tomografi): menentukan perubahan aktifitas
metabolisme batang otak.
10.Pungsi lumbal, LCS (Liquor Cerebro Spinal): untuk mengevaluasi/mencatat
peningkatan tekanan CSS, adanya sel-sel abnormal, ada darah, infeksi.
11.GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
12.Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
13.Kadar anti konvulsi darah: dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. (Price & Wilson, 2006:1059)

H. Pemeriksaan focus
1) Anamneses

10
Identitas klien meliputi umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis
kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm (Arif, 2011:276).
2) Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri/pusing dan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran (Arif, 2011:276).
3) Riwayat penyakit saat ini
Ada riwayat trauma mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalulintas, jatuh
dari ketinggian dan trauma langsung ke kepala. pengkajian yang didapat
meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah, takipnea,
sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis,
akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan
telinga serta kejang. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar
klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obat adiktif dan
penggunaan alkohol yang sering terjadi pada klien yang suka ngebut-ngebutan
(Arif, 2011:276).
4) Rieayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-
obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, konsumsi alcohol
berlebihan (Arif, 2011:276).
5) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita penyakit
hipertensi dan DM (Arif, 2011:276).
6) Pengkajian psikososial spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya
perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri
didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan
kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini member
dampak pada ststus ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perwatan dapat mengkacaukan keuangan

11
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neorologis yang akan terjadi pada
gaya hidup individu (Arif, 2011:277).
7) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien (Arif, 2011:277).
a) Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya yang mengalami penurunan
kesadaran (cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang atau
sama dengan 8) (Arif, 2011:277).
b) B1 (Breathing)
inspeksi: didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelktasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dari otot-otot
interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi).
Palpasi: fermitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apanila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi: adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks.
Auskultasi: bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan
batuk yang menurun (Arif, 2011:278).
c) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia (Arif, 2011:279).

12
d) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis tertuma
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat interserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma, pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya
(Arif, 2011:279).
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitive untuk menilai disfungsi system
persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera
kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma (Arif, 2011:279).
b. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi wajah, dan aktivitas
motorik klien.
Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal, memori.
Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi
yang berlawanan. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan
mudah frustasi (Arif, 2011:281).
c. Sistem motorik
Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah stu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain (Arif,
2011:282).
Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.Kekuatan otot
pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.

13
Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
d. Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis
sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis (Arif, 2011:282).
e. System sensorik
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, denganh
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merusakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius (Arif,
2011:282).
e) B4 (Bladder)
keadaan urine meliputi warna kuning jernih, jumlah, karakteristik.
Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urine
karena konfusi, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena
kerusakan control motoric dan postural. Kadang-kadang kontrol
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi interminten dengan teknik steril. Inkontinensia
yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas (Arif,
2011:282).
f) B5 (Bowel)
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan
muntah. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bisisng usus harus dikaji sebelum dilakukan palapasi abdomen
(Arif, 2011:283).
g) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
eksremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Perubahan warna kulit kebiruan menunjukkan adanya sianosis. Pucat
pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
menggunakan ventilator dapat terjadi adanya hipoksemia. Adanya

14
kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik
atau paralisis/hemiplegia, mudah leleh menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat (Arif, 2011:283).

I. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan TIK berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematom, subdural hematoma, dan epidural (Arif, 2011:288).
b. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder akibat kecelakaan (Lynda Juall, 2007:49).
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
imobilitas, statis sekresi, dan batuk tak efektif sekunder akibat trauma
kepala (Lynda Juall, 2007:370).
d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi pada pusat
pernafasan di otak, kelemahan otot-otot pernafasan, ekspansi paru, yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan (Arif, 2011:286).
e. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema pada
otak (Arif, 2011:286).
f. Gangguan eliminasi urine berhubungan penurunan isyarat kandung
kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih
sekunder akibat cedera (Lynda Juall, 2007:502).
g. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
keinginan untuk makan sekunder akibat anoreksia (Lynda Juall, 2007:302).
h. Gangguan mobilitas fisik berhubung dengan ketidakcukupan dan
ketahanan untuk ambulasi dan alat eksternal (Arif, 2011:287).
i. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan nyeri (Lynda Juall,
2007:388).

J. Perencanaan keperawatan
1. Diagnosa keperawatan : peningkatan TIK berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematom, subdural hematoma, dan epidural
Tujuan : peningkatan TIK pada pasien tidak terjadi setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah
3) GCS 4-5-6
4) Tidak terdapat papil edema
5) TTV:
Tensi: sistole:110 – 140 mmHg, diastole:60-90mmHG

15
Nadi : 60 – 100 x/menit
RR : 12 – 20 x/menit
Intervensi:
1) Jelaskan pada klien (jika sadar) dan keluarga penyebab TIK
R: TIK disebabkan oleh karena adanya perdarahan akibat trauma kepala
2) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi
lamanya prosedur
R: aktivitas berlebihan dapat meningkatkan tekanan TIK.
3) Pertahankan kepala dan leher pada posisi yang netral, usahakan
dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada
kepala.
R: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak yang dapat
meningkatkan tekanan TIK
4) Cegah atau hindari terjadinya maneuver valsavah
R: mengurangi tekanan intrathorakal dn intraabdominal sehingga
mengurangi peningkatan TIK
5) Berikan rasa nyaman dengan lingkungan yang tenang
R: memberikan suasana yang tenang dapat mengurangi respon psikologis
dan memberikan istirahat untuk mengurangi TIK
6) Bantu klien jika batuk dan muntah
R: aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrathoraks dan intra
abdomen yang dapat meningkatkan TIK
7) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
R: mengurangi hipoksemia yang dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral dan volume darah serta menurunkan TIK
8) Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena sesuai indikasi
R: dapat mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada
pembuluh darah, tekanan darah, dan TIK
9) Kolaborasi pemberian analgesic
R: pemberian analgesic dapat mengurangi nyeri dan obat ini berefek
negative pada TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah
dan menurunkan sensasi nyeri.
10) Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
R: perubahan kesadaran menunjukan peningkatan TIK dan berguna
menentukan perkembangan penyakit pasien.
11) Observasi TTV dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional : sebagai indikator keberhasilan tindakan keperawatan.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder akibat kecelakaan.
Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria hasil:
1) Pasien mengungkapkan nyeri yang di rasakan berkurang,

16
2) skala nyeri 2-3,
3) ekspresi wajah tenang
4) TTV
TD sistole 100-120 mmHG
Diastole 60-80 mmHG
RR: 12-20x/mnt
Nadi: 80-100x/mnt
Intervensi:
1) Jelaskan kepada pasien penyebab nyeri kepala
R: Nyeri yang disebabkan karena benturan.
2) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (relaksasi dan distraksi)
untuk mengurangi tingkat nyeri.
R: Relaksasi menurunkan ketegangan otot sehingga mengurangi
penghantaran nyeri ke SSP. Distraksi mengatasi nyeri dengan pengalihan
perhatian sehingga nyeri tidak menjadi focus perhatian pasien
3) Berikan lingkungan yang nyaman
R: Lingkungan yang bising akan memacu terjadinya nyeri pada klien
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
R:Analgetik dapat memblok lintas nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
5) Observasi skala nyeri pasien dan TTV pasien
R: Skala nyeri yang turun dan TTV dalam batas normal menunjukkan
adanya penurunan skala nyeri.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan


imobilitas, statis sekresi, dan batuk tak efektif sekunder akibat trauma
kepala
Tujuan: masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat teratasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan dengan criteria hasil : tidak ada suara nafas
tambahan, RR : 12 – 20 x/menit, batuk efektif.
Intervensi:
1) Jelaskan penyebab adanya suara nafas tambahan
R: Tingkat kecemasan pasien berkurang
2) Kolaborasi dalam pemberian humidifikasi tambahan mis: nebulizer
ultranik, humidifier aerosol ruangan
R: kelembapan menurunkan kekentalan secret, mempermudah
pengeluaran dan dapat membantu menurunkan pembentukan mukosa
tebal pada bronkus
3) Berikan humidifikasi tambahan, misalnya fisioterapi dada.
R: kelembaban menurunkan kekentalan secret, mempermudah
pengeluaran, dan dapat membantu menurunkan/mencegah pembentukan
mukosa tebal pada bronkus.
4) Observasi frekuensi pernafasan, suara nafas, catat rasio inspirasi /
ekspirasi

17
R: pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi pada pusat
pernafasan di otak, kelemahan otot-otot pernafasan, ekspansi paru, yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan
Tujuan: pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan dengan criteria hasil :
pola pernafasan normal / efektif, pasien tidak sianosis, AGD dalam batas
normal.
Intervensi :
1. Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika
pasien sadar
R: mencegah atau menurunkan atelektasis
2. Atur posisi pasien miring ke salah satu sisi
R: untuk memudakan ekspansi paru atau ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh menyumbat jalan nafas.
3. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan
R: memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan mungkin dibutuhkan
ventilasi mekanik.
4. Kolaborasi dalam pemeriksaan AGD
R: menentukan kecukupan pernafasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
5. Observasi frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat
ketidakteraturan pernafasan.
R: perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau
menandakan lokasi atau luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat,
periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanik.
5. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema pada
otak.
Tujuan : perfusi ke serebral pada pasien maksimal.setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan criteria: tidak adanya tanda-tanda peningkatan
TIK, tingkat kesadaran composmentis TTV: TD= 120/80 mmHg, RR=12-
20x/mnt, Nadi : 60-100x/mnt.
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien penyebab gangguan pada perfusi ke jaringan
dan otak
R: mengurangi kecemasan pasien
2) Anjurkan orang terdekat untuk bicara dengan pasien
R: ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien tampak mempunyai
efek relaksasi pada beberapa pasien yang koma yang akan menurunkan
TIK

18
3) Pertahankan kepala/leher Pada posisi tengah atau pada posisi netral,
sokong dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari
pemakaian bantal besar kepala.
R: kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan
menekan aliran darah vena, yang dapat menyebabkan adanya
peningkatan TIK.
4) Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang
dilakukan dan dibatasi waktu dari setiap prosedur tersebut.
R: aktivitas yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan TIK dan
menimbulkan efek stimulasi kumulatif.
5) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
R: pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema
serebral, meminimalkan fluktuasi aliran faskuler, tekanan darah dan TIK.
6) Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan
R: menurunkan hipoksia yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang meningkatkan TIK
7) Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera
R: kejang dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi serebral, hipoksia. Atau
peningkatan TIK dan kejang dapat meningkatkan TIK lebih lanjut yang
meningkatkan kerusakan jaringan serebral.
8) Observasi TD catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus
dan tekanan nadi yang semakin berat. Terhadap hipertensi pada pasien
yang mengalami.
R: normalnya autoregulasi mempertahankan alitran darah otak yang
konstan pada saat fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan
autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral local atau
menyebar (menyeluruh). Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
olehpenurunan tekanan darah diastolic merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, juga diikuti penurunan tingkat kesadaran .
9) Observasi status neurologis dan bandingkan dengan nilai standar.
R: mengkaji adanya kecendrungan pada tingkat kesadaran dan patensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

6. Gangguan eliminasi urine berhubungan penurunan isyarat kandung


kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih
sekunder akibat cedera

19
Tujuan: gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) teratasi setelah
dilakukan tindakan keperawatan dengan criteria hasil :Pemenuhan
kebutuhan eliminasi pasien terpenuhi,Pasien dapat berkemih secara normal
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien penyebab inkontinensia urin
R: inkontinensia disebabkan karena penurunan kontrol volunter.
2) Kolaborasi dalam pemasangan kateter tetap
R: mencegah pembungan urin disembarang tempat
3) Observasi pola berkemih, jumlah, warna dan bau urin
R: untuk mengukur output pasien dan perubahan karakteristik urin.
7. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
keinginan untuk makan sekunder akibat anoreksia
Tujuan: kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan criteria hasil : peningkatan berat badan dan tidak ada
mual muntah.
Intervensi :
1) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering
R: meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
2) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit
R: konsultasi dapat membantu menetapkan diet yang memenuhi asupan
kalori dan nutrisi yang optimal.
3) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau suara hiperaktif
R: fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus cedera kepala.
4) Observasi kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, dan
mengatasi sekresi
R: untuk menentuka pemilihan jenis makanan sehingga pasien terlindung
dari aspirasi.
8. Gangguan mobilitas fisik berhubung dengan ketidakcukupan dan
ketahanan untuk ambulasi dan alat eksternal
Tujuan : peningkatan kekuatan otot ekstremitas setelah dilakukan tindakan
keperawatan criteria hasil : meningkatnya kekuatan / tahanan otot,
mempertahankan posisi fungsi optimal.
Intervensi :
1) Jelaskan penyebab diberikannya indikasi tirah baring pada pasien
R : menurunkan tingkat kecemasan diri dan mencegah persepsi
menurunnya harga diri pasien
2) Berikan bantuan untuk melakukan latihan rentang gerak
R : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal
ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
3) Bantu pasien dengan memberikan alat bantu mobilisasi.
R : proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala
dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari
suatu program pemulihan.

20
4) Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab
dang anti linen / pakaian pasien agar tetap bersih, dan bebas dari kerutan
R : meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko
t\erjadinya ekskoriasi kulit.
9. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan nyeri.
Tujuan : terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri setelah
melakukan tindakan keperawatan terjadi peningkatan perilaku dalam
perawatan diri dengan kriteria hasil: Klien dapat menunjukan perubahan
gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, Klien mampu melakukan
aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan,
Mengidentifikasi personal atau masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi :
1) Kaji derajat ketidakmampuan klien dalam hal perawatan diri
R: Mengetahui sejauh mana keterbatasan kemampuan individual.
2) Berikan bantuan dengan aktivitas perawatan diri yang
diperlukan
R: Memenuhi kebutuhan akan perawatan diri.
3) Anjurkan kepada keluarga untuk membantu memenuhi
aktivitas perawatan diri yang diperlukan klien
R: Membantu memenuhi kegiatan aktivitas perawatan diri klien.
4) Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat
dilakukan pasien sendiri tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
R: Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung
dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah
frustasi adalah sangat penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak
mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan
meningkatkan pemulihan.
5) Berikan umpan balik yang positif untuk semua usaha yang
dilakukan atau keberhasilannya.
R: Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan
mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.

21
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Alih Bahasa:
Yasmin Asih. 2006. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Alih
Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar. 2009. Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanan


Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa. 1999. Jakarta:
EGC

Fakultas Kedokteran, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesenlapios

Hudak, Carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Ahli Bahasa: Monica
E. D. Adiyanti. 1996. Jakarta: ECG

Muttaqim, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa: Brahm U. Pendik. 2005. Jakarta: EGC

Rosjidi, Cholik Harun & Saiful Hidayat. 2009. Buku Ajar Peraeatan Cedera Kepala &
Stroke Untuk Mahasiswa DIII Keperawatan. Yogyakarta: Ardena Media.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Suddarth.


Alih Bahasa: Agung Waluyo. 2001. Jakarta: EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai