Anda di halaman 1dari 20

KASUS-KASUS DARI KONFLIK BUDAYA

Makalah
Sebagai tugas mata kuliah BK Lintas Budaya

Oleh:
Intan Ifa Mustika 1101015032
Nur Ayuni 1101015054

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh


Puji syukur penulis tujukan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tanpa
hambatan apapun. Serta tidak lupa penulis panjatkan shalawat dan salam kepada
Rasulullah SAW.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada dosen pembimbing Bimbingan
Konseling Lintas Budaya yang telah menggunakan banyak waktu, tenaga, dan
pikirannya dalam menyampaikan materi.
Makalah ini ditujukan sebagai Tugas Kelompok untuk mata kuliah
Bimbingan Konseling Lintas Budaya. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan yang terdapat pada makalah ini, sehingga penulis mengharapkan
banyak saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 06 Januari 2014


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN………………………………………….

A. Latar Belakang Masalah…………………………………..

B. Rumusan Masalah…………………………………………

C. Tujuan Penulisan………………………………………......

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………….

A. Pengertian Konflik…………………………………………

B. Penyebab Terjadinya Konflik ………………………………

C. Konflik Budaya di Indonesia………………………………

D. Konflik Budaya di Luar Indonesia…………………………

E. Mengelola Konflik…………………………………………

BAB III PENUTUP……………………………………………………

A. Simpulan……………………………………………………

B. Saran………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu konflik budaya ?
2. Penyebab terjadinya konflik budaya ?
3. Apa saja contoh konflik budaya di indonesia ?
4. Apa saja contoh konflik budaya di luar Indonesia ?
5. Cara mengelola konflik ?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk memberikan informasi tentang konflik budaya.
2. Untuk memberikan informasi mengenai apa saja contoh konflik budaya
yang terjadi di Indonesia.
3. Untuk memberikan informasi mengnai apa saja contoh konflik budaya
yang terjadi di luar Indonesia.
4. Untuk mempelajari bagaimana cara mengelola konlik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik
Konflik adalah hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak
jelas. Bahkan lebih dari itu konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
pendapat antar orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.
Bahwa konflik berkaitan dengan perbedaan, ketidaksesuaian oposisi atau
pertentangan. Dan ini bisa terjadi kapan saja, terutama dalam masyarakat yang
plural dengan beraneka ragam kepentingan dan sasaran. Jadi, konflik
mengandalkan pluralitas dan perbedaan, tetapi bukan sebaliknya, pluraliats dan
perbedaan pasti menimbulkan konflik, apalagi konflik yang merusak. Jadi konflik
berkaitan dengan penanganan pluralitas. Konflik akan timbul kalau pluralitas
tidak dipahami dan tidak dikelola dengan baik.

Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak


pernah dapat diatasi sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih
hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik dimuka bumi ini. Konflik
antar perorangan dan antar kelompok merupakan bagian dari sejarah umat
manusia. Perbedaan pandangan antar perorangan juga dapat mengakibatkan
konflik. Selanjutnya, jika konflik antar perorangan tidak dapat diatasi secara adil
dan proposional, maka hal itu dapat berakhir dengan konflik antar kelompok
dalam masyarakat itu.

Pada umumnya konflik diakibatnya oleh perbedaan pendapat, pemikiran,


ucapan dan perbuatan. Konflik menjadi akumulasi perasaan yang tersembunyi
secara terus menerus yang mendorong seorang untuk berprilaku dan melakukan
sesuatu berlawanan dengan orang lain. Sebuah keinginan ambisi yang kuat akan
menyebabkan terjadinya konflik antar perorangan, sedangkan dorongan emosi
yang kuat untuk menyalahkan orang lain akan menyebabkan seseorang terlibat
konflik dengan orang lain.
B. Penyebab Terjadinya Konflik

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Segala sesuatu yang terjadi
dalam masyarakat pasti ada sebabnya, begitu pula konflik sosial. Konflik dapat
terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, antarmasyarakat dalam
suatu negara, antarmasyarakat dengan negara, antarpemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarnegara dengan
kelompok ilegal, bahkan antarnegara, dan sebagainya.

Ada begitu banyak hal yang mampu memicu timbulnya konflik dalam
masyarakat. Leopold von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan
beberapa hal yang dapat menyebabkan konflik terjadi sebagai berikut.

a. Perbedaan Antarorang : Pada dasarnya setiap orang memiliki karakteristik


yang berbedabeda. Perbedaan ini mampu menimbulkan konflik sosial.
Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang dirasa sebagai pemicu utama
dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita media massa banyak pertikaian
terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati, dan sebagainya. Selain itu,
banyaknya perceraian keluarga adalah bukti nyata perbedaan prinsip mampu
menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau pemikiran lahir
karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap masalah yang
sama.
b. Perbedaan Kebudayaan : Kebudayaan yang melekat pada seseorang mampu
memunculkan konflik manakala kebudayaankebudayaan tersebut berbenturan
dengan kebuddayaan lain. Pada dasarnya pola kebudayaan yang ada
memengaruhi pembentukan serta perkembangan kepribadian seseorang. Oleh
karena itu, kepribadian antara satu individu dengan individu lainnya berbeda-
beda. Contoh, seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan tentunya
berbeda dengan seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian ini,
tentunya membawa perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu
yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antarkelompok manusia.
B. Konflik Budaya di Indonesia

Penduduk Indonesia yang menempati wilayah yang luas ini, bukan hanya
terikat oleh satu sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan yang berlaku di Indonesia
antara lain;
 Sistem kebudayaan daerah
 Sistem kebudayaan agama
 Sistem kebudayaan nasional
 Sistem kebudayaan asing

Keempat unsur diatas harus berintegrasi satu sama lain. Karena hal-hal
tersebut diatas merupakan landasan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
yang majemuk. Namun, ada hal-hal yang dapat menghambat terjadi intergrasi di
Indonesia, yaitu:

 Klaim/tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai


miliknya
 Isu asli tidak asli
 Isu agama
 Prasangka dan etnosentrisme

Dan dibawah ini terdapat beberapa contoh kasus dari konflik budaya yang
terjadi disebabkan karena kurang terintegrasinya keempat unsur dari sistem
kebudayaan di Indonesia

a. Konflik Sampit
Konflik ini dimulai di kota Sampit,Kalimantan Tengah dan meluas ke
seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku
Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah
pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga
Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari
100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang
juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997
yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba
di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun
2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak
merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang
semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura
memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti
perkayuan, penambangan dan perkebunan.

Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu
versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah
Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura
dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di
permukiman Madura.

Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa


pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah
beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang
warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah
sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000. Versi lain mengklaim
bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di
sekolah yang sama.

b. Etnis Tionghoa
Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah datang ke Indonesia
berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara sebagai seorang pedagang; hal
yang sangat lumrah, mengingat pada masa lalu berdagang adalah hal yang bisa
membuat manusia dari berbagai penjuru dunia saling berhubungan. Setelah
kolonialisasi Belanda atas Indonesia—atau juga disebut Hindia Belanda—
dimulai, Belanda berusaha untuk membuat pemisahan dalam strata sosial
masyarakat pada masa itu. Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda
dibagi kedalam tiga golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda, kedua
golongan golongan Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya,
ketiga golongan pribumi (Onghokham 2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai
diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan kedudukan
hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada politik apartheid di
Afrika, yang juga sama-sama pernah menjadi koloni Belanda di masa lalu.

Pemisahan-pemisahan seperti ini juga sangat merugikan kalangan etnis


Cina, karena Belanda sering menjadikan mereka sebagai tameng. Orang-orang
Cina dimasa lalu sering dijadikan tuan-tuan tanah pemungut pajak oleh Belanda,
sehingga apabila ada gejolak dalam masyarakat, merekalah yang akhirnya
dijadikan tumbal. Hal seperti inilah yang membuat hubungan etnis Cina dan
pribumi selalu tidak harmonis.

Kesadaran politik etnis Cina sebenarnya telah lama tumbuh, setidaknya


politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda disinyalir sebagai salah satu faktor
yang membangkitkan perlawanan secara politis. Walaupun mereka ditempatkan
pada kelas kedua dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda pada saat itu,
ternyata secara hukum mereka dirugikan (Benny G. Setiono 2004: 460-461).
Ketidakadilan yang dialami oleh etnis Cina pada saat itu telah membangkitkan
perlawanan yang bersifat politis, dengan tidak mengatasnamakan sebagai orang
yang berasal dari rasa tau etnis tertentu, namun atas nama kelompok yang menjadi
bagian dari penduduk Hindia Belanda. Nasionalisme yang mensyaratkan adanya
rasa cinta terhadap negara mulai tumbuh dalam diri mereka. Dalam
perkembangannya, orang-orang yang berasal dari etnis Cina ikut terlibat dalam
proses awal kemerdekaan Indonesia, sehingga kita bisa menemukan beberapa
nama dari kalangan etnis Cina yang menjadi mentri dimasa kepemimpinan
Soekarno. Dalam bidang politik, posisi etnis Cina sangat tidak diuntungkan.
Seperti yang dikatakan oleh Charles. A Coppel, bahwa etnis Cina diibaratkan
memakan buah simalakama. Jika mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi,
mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka
dianggap oportunis. Bila mereka menjauh dari politik, mereka juga dianggap
oportunis, sebab mereka akan dikatakan hanya mencari keuntungan belaka
(Coppel 1994: 53). Disini etnis Cina benar-benar terlihat sangat tidak bebas
menentukan pilihan secara politis. Imbas dari politik segregasi yang diterapkan
oleh Belanda di masa lalu masih terinternalisasi dalam masyarakat Indonesia—
ada kesan etnis Cina selalu dicurigai segala gerak-geriknya. Kebijakan-kebijakan
penguasa turut membuat mereka hanya “terpojok” dalam satu dunia saja, yaitu
dunia bisnis. Mereka tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti etnis-etnis
lain yang ada di Indonesia untuk ikut merasakan dunia lain selain bisnis—
misalnya kita hampir tidak menemukan mereka dalam dunia militer. Sehingga
ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 mereka menjadi tumbal, karena
dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia. Setelah reformasi bergulir, mereka
mencoba untuk masuk kembali ke dalam dunia politik dengan ide mendirikan
sebuah partai yang mengatas namakan etnis Cina atau Tionghoa. Ini adalah salah
satu usaha untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari rakyat
Indonesia. Walaupun beberapa kalangan yang berasal dari etnis Cina sendiri
menolak gagasan ini, namun ini bisa dianggap sebagai usaha mereka untuk ikut
andil dalam membangun bangsa lewat jalur politis. Hal ini bisa juga dilihat
sebagai usaha untuk merebut kembali hak politik mereka setelah sekian lama
terabaikan.

c. Perang Antar Suku di Lampung

Jika berkunjung ke Lampung, jangan heran menyaksikan jumlah suku asli


lampung lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya. Seperti suku
yang berasal dari Semendo (Sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang,
Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga
keturunan, dan Warga asing (China, Arab). Bahasa yang digunakan sehari – hari
pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan provinsi yang bertetangga dengan
lampung seperti bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan bahasa
daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di beberapa kota/daerah
di lampung bahasa jawa digunakan sebagai bahasa komunikasi.

Dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat


kecenderungan untuk terjadinya konflik pun semakin tinggi. Pada sisi lain
masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan
salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka
kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk
pendatang. Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut mulai luntur
dikarenakan berbagai macam hal.

Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para
pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi
memang terkadang para pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk
asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal
diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan
dengan masalah “harga diri”.

Konflik antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah hal baru,
konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah
berawal dari masalah sepele. Bahkan di tempat yang sama dengan saat ini terjadi
perang suku saat ini yaitu di Sidorejo kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi
pada bulan januari 2012 kemarin, pemicunya adalah perebutan lahan parkir.
Berikut ini beberapa perang antar suku yang pernah terjadi di Lampung :

 Pembakaran pasa Probolinggo Lampung Timur oleh suku bali.


 29 Desember 2010 : Perang suku Jawa / Bali vs Lampung berawal dari
pencurian ayam.
 September 2011 : Jawa vs Lampung
 Januari 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Lampung
 Oktober 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan.
Konflik diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar, selain konflik
besar yang pernah terjadi diatas di lampung juga sering terjadi konflik – konflik
kecil antar suku namun biasanya hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak
membesar.

Dari konflik – konflik kecil tersebut timbullah dendam diantara para suku–
suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi
sebuah konflik besar. Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah
terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja. Di
beberapa sekolah didaerah lampung anak–anak suku bali tidak mau
bermain/bersosialisasi dengan anak– anak suku lainnya begitu juga dengan anak–
anak dari suku jawa maupun lampung. Mereka biasanya berkelompok
berdasarkan suku mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi
perselisihan tentunya akan melibatkan suku mereka.

d. Perang Antar Suku di Papua

Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih


menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang
sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial
yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan,
mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini
juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik
sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok,
sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan
yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang
berlaku pada suku-suku yang ada.

Masalah perzinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar,


dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di
daerah Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di
waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok
di daerah pedalaman papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik
maupun materi lainnya.

Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau
Dani wim dan Amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-
suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga,
Suku Dem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku
Ekari/Me, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang
mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.

Suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti
rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan
semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan
semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif
untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul
kembali.

Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat
telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang
terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka
perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara
membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian
konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu
yang negatif, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat
preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.

b. Konflik Budaya di Luar Indonesia

Kemajemukan budaya atau biasa disebut dengan istilah multikulturalisme


tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain diluar
Indonesia seperti Amerika, Jerman, Afrika, dan sebagainya, namun mungkin
dengan skala kemajemukan yang lebih kecil dan sedikit.
Tetapi, jika kemajemukan budaya itu tidak dikelola dengan baik maka
akan terjadi konflik-konflik yang disebabkan adanya karena adanya perbedaan-
perbedaan yang dipertentangkan. Dan yang pasti banyak pihak yang dirugikan,
sama seperti konflik-konflik budaya yang terjadi di Indonesia.

a. Holocaust
Holocaust adalah genosida terhadap kira-kira enam juta penganut
Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, suatu program pembunuhan sistematis
yang didukung oleh negara Jerman Nazi, dipimpin oleh Adolf Hitler, dan
berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi dari sembilan juta Yahudi
yang tinggal di Eropa sebelum Holocaust, sekitar dua pertiganya tewas. Secara
khusus, lebih dari satu juta anak Yahudi tewas dalam Holocaust, serta kira-kira
dua juta wanita Yahudi dan tiga juta pria Yahudi.

Pada paruh kedua abad ke-19, di Jerman dan Austria-Hongaria muncul


sebuah gerakan bernama gerakan Völkisch, yang dikembangkan oleh para pemikir
seperti Houston Stewart Chamberlain dan Paul de Lagarde. Gerakan ini
menyatakan bahwa Jerman harus memandang orang-orang Yahudi sebagai "ras"
tandingan dalam pertarungan hidup-mati dengan ras "Arya" untuk menguasai
dunia. Antisemit Völkisch ini, berbeda dengan antisemit Kristen. Yahudi
dipandang lebih sebagai "ras" ketimbang sebagai agama.

Dalam pidatonya sebelum Reichstag pada tahun 1895, salah satu


pemimpin völkisch bernama Hermann Ahlwardt menyebut orang-orang Yahudi
sebagai "predator" dan "basil kolera" yang harus "dimusnahkan" demi kebaikan
rakyat Jerman. Dalam buku laris tahun 1912 berjudul Wenn ich der Kaiser
wär (Jika Aku Seorang Kaiser), Heinrich Class, salah satu pemimpin völkisch,
menyarankan agar semua Yahudi di Jerman harus dihapuskan status
kewarganegaraan Jermannya dan ditetapkan sebagai Fremdenrecht (status alien).
Class juga mendesak agar semua Yahudi ditiadakan dari semua aspek kehidupan
Jerman, dilarang memiliki tanah sendiri, memegang jabatan publik, atau
berpartisipasi dalam jurnalisme, perbankan, dan profesi liberal lainnya. Class
mendefenisikan seseorang dianggap sebagai Yahudi jika menganut agama Yahudi
sejak Kekaisaran Jerman diproklamirkan pada tahun 1871, atau siapapun yang
setidaknya memiliki satu garis leluhur Yahudi. Selama masa Kekaisaran Jerman,
gagasan völkisch ini dan rasisme "ilmiah" yang berkaitan dengan Yahudi telah
menjadi hal yang umum dan diterima secara luas di Jerman.

Perubahan IPTEK yang luar biasa di Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 serta diringi dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, menciptakan
harapan luas bahwa "utopia" sudah dekat dan semua permasalahan sosial akan
terselesaikan. Pada saat yang sama, didukung oleh prestise ilmu pengetahuan, di
kalangan elit Jerman berkembang anggapan yang menyatakan bahwa beberapa ras
secara biologis lebih "berharga" dibandingkan dengan ras lainnya. Dalam esainya
pada tahun 1989, sejarawan Detlev Peukert menyatakan bahwa Holocaust tidak
semata-mata berawal dari antisemitisme, namun merupakan produk dari
"radikalisme kumulatif" yang kemudian menghasilkan genosida.

Setelah Perang Dunia I, didukung oleh sedang berlangsungnya Depresi


Besar, permasalahan sosial yang terjadi di Jerman jauh lebih besar daripada yang
diperkirakan oleh birokrat sebelumnya. Permasalahan ini semakin memperkuat
anggapan bahwa beberapa kaum yang "tidak layak" harus disingkirkan untuk
mencapai kesejahteraan.Kalangan medis di Jerman mengusulkan upaya
pemusnahan orang-orang dengan cacat fisik dan mental untuk menghemat
anggaran kesehatan negara. Pada saat Hitler merebut kekuasaan pada tahun 1933,
usulan untuk menyelamatkan ras yang "berharga" dengan cara membersihkan ras
"yang tidak layak" ini semakin mengemuka.

Siapapun yang memiliki tiga atau empat garis leluhur Yahudi harus
dimusnahkan tanpa terkecuali. Dalam peristiwa genosidalainnya, para korban
dapat menghindari kematian dengan cara pindah ke agama lain atau berasimilasi.
Namun pilihan ini tidak tersedia bagi umat Yahudi di negara-negara Eropa yang
diduduki oleh Nazi, kecuali bahwa kakek-nenek mereka telah pindah agama
sebelum tanggal 18 Januari 1871. Selain itu, semua orang yang baru-baru ini
memiliki keturunan Yahudi juga dibinasakan oleh Nazi di wilayah-wilayah yang
dikuasainya.
Dalam surat dan dokumen yang membahas Holocaust, Nazi tidak pernah
menggunakan kata-kata "pemusnahan" atau "pembunuhan.", Mereka
menggunakan kata-kata kode seperti "solusi akhir," "evakuasi" atau "perlakuan
khusus".

b. Orang Kulit Hitam di Amerika

Orang Amerika kulit hitam adalah satusatunya kelompok etnis atau ras
yang dibawa ke Amerika secara paksa. Orang kulit hitam ini didatangkan dari
benua Afrika untuk dijadikan budak. Selama lebih dari dua abad perbudakan,
bahasa dan kebudayaan nenek moyang mereka yang banyak itu pelan-pelan
hilang, dan perbedaan genetik mereka bercampur menjadi satu dengan darah
Kaukasia, menjadi Negro-Amerika.

Jadi orang Amerika kulit hitam ini adalah salah satu diantara orang
Amerika tertua, dan warisan kebudayaan mereka merupakan satu kebudayaan
yang sepenuhnya terbentuk di Amerika.

Amerika memiliki jumlah budak terbesar diantara negara-negara belahan


barat lainnya. Budak di Amerika Serikat biasanya diberi makanan yang bermutu
rendah dan perumahan yang buruk. Budak dijaga agar tetap tidak tahu apa-apa,
ketergantungan, dan ketakutan. Mayoritas budak-budak itu tidak dapat membaca
dan menulis. Dengan banyaknya generasi tanpa inisiatif dan tanpa terangsang
bekerja lebih dari sekedar menghindari hukuman, maka budak berkembang
menjadi orang yang ragu-ragu dalam bertindak, dan pola-pola ini tetap menjadi
suatu warisan kebudayaan lama sesudah perbudakan itu sendiri dihapuskan.

Dikalangan sesama kulit hitam, mereka harus mengembangkan suatu pola


untuk kehidupan. Solidaritas rasial menjadi dasar dari pola itu dan merka
bekerjasama untuk mengkhianati orang kulit putih, walaupun mereka berpura-
pura tidak mengkhianati orang kulit putih yang merupakan pemilik mereka.

Komunitas budak itu sendiri mengembangkan kebudayaan maupun adat


istiadatnya sendiri. Produk kebudayaannya yang paling terkenal adalah gerakan
spiritual Negro yang kelak punya cabang seperti musik blues dan jazz,
membentuk kerangka kerja bagi keseluruhan perkembangan musik populer di
Amerika.

Karena label “budak” yang melekat pada generasi orang kulit hitam ini,
bahkan meskipun perbudakan itu sudah dihapuskan akibat desakan dari negara-
negara diluar Amerika bahwa perbudakan itu melanggar hak asasi manusia, tetap
saja mereka dipandang sebelah mata oleh orang kulit putih. Mereka mendapat
perlakuan diskriminasi, seperti sulit untuk mendapat pekerjaan, pendidikan, dan
penghidupan yang layak. Sepertinya orang kulit putih masih memandang rendah
para orang kulit hitam pada masa itu.

Namun, sekarang seiring perkembangan zaman, dimana sudah banyak


orang yang menyuarakan tentang hak asasi manusia, maka orang kulit hitam di
Amerika kedudukannya sama dengan orang kulit putih. Bahkan justru presiden
mereka sendiri berasal dari golongan kulit hitam.

c. Apartheid

Apartheid adalah sistem diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa


di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga akhirnya dihapuskan di awal 1990-an.
Dengan mengembangkan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam selama
bertahun-tahun, National Party atau Partai Nasional menerapkan apartheid sebagai
model untuk memisahkan pembangunan bagi berbagai ras yang berbeda, meski
pada kenyataannya kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk melindungi
kepentingan orang kulit putih.

Kebijakan tersebut mengklasifikasikan masyarakat sebagai orang kulit


putih, Bantu (kulit hitam), kulit berwarna (ras campuran), atau Asia. Manifestasi
kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih, pemisahan areal permukiman dan
sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri untuk orang kulit hitam, dan
kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang kulit putih.
Sebagai bagian dari usahanya untuk menghapuskan praktik ini selama
beberapa dekade, PBB pada tahun 1973 mengesahkan Konvensi Internasional
tentang Penindasan dan Hukuman terhadap Apartheid, yang diratifikasi oleh 101
Negara. Konvensi ini menyatakan apartheid sebagai suatu pelanggaran yang
dapat dipertanggungjawabkan secara individual.

Konvensi ini juga mendeskripsikan apartheid sebagai sebuah rangkaian


“tindakan tanpa perikemanusiaan yang dilakukan untuk membangun dan
mempertahankan dominasi kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya
dan secara sistematis melakukan penindasan terhadap mereka.” Hal ini termasuk
pengabaian hak terhadap kehidupan dan kemerdekaan, perusakan kondisi hidup
dengan tujuan untuk menghancurkan kelompok tertentu, tindakan legislatif untuk
mencegah partisipasi kelompok tersebut dalam kehidupan kebangsaan, pembagian
populasi berdasarkan kelompok ras, dan eksploitasi terhadap buruh dari kelompok
tertentu. Konvensi tersebut juga menyatakan apartheid sebagai pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.

Pada tanggal 30 Juni tahun 1991, masa kekuasaan rezim rasialisme


Apartheid di Afrika Selatan secara resmi berakhir. Rezim Apartheid mulai
berkuasa sejak tahun 1948 dan secara opresif memberlakukan hukum rasialis
yang menghapuskan sebagian hak asasi warga non-kulit putih. Rezim ini juga
melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penahanan terhadap oposan-oposan
politiknya. Akhirnya, akibat perlawanan di dalam negeri dan tekanan dunia
internasional, kekuasaan rezim ini berakhir pada tahun 1991. Pada tahun 1993 UU
baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam
disahkan. Pada tahun 1994, diadakan pemilu kepresidenan dan pejuang kulit
hitam Nelson Mandela berhasil menang dan diangkat sebagai presiden.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2009. Ilmu Sosial Budaya. Jakarta: Rineka Cipta

Ata Ujan, Andre.2009. Multikulturalisme. Jakarta : PT.Indeks

Inis, konflik komunal di Indonesia saat ini. Universiteit Leiden, Jakarta: 2003.

Sowell, Thomas. 1989. MOSAIK AMERIKA: Sejarah Etnis Sebuah Bangsa.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/300

http://id.wikipedia.org/wiki/Holokaus

Anda mungkin juga menyukai