Makalah Kasus-Kasus Budaya
Makalah Kasus-Kasus Budaya
Makalah
Sebagai tugas mata kuliah BK Lintas Budaya
Oleh:
Intan Ifa Mustika 1101015032
Nur Ayuni 1101015054
KATA PENGANTAR…………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………………
C. Tujuan Penulisan………………………………………......
A. Pengertian Konflik…………………………………………
E. Mengelola Konflik…………………………………………
A. Simpulan……………………………………………………
B. Saran………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu konflik budaya ?
2. Penyebab terjadinya konflik budaya ?
3. Apa saja contoh konflik budaya di indonesia ?
4. Apa saja contoh konflik budaya di luar Indonesia ?
5. Cara mengelola konflik ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk memberikan informasi tentang konflik budaya.
2. Untuk memberikan informasi mengenai apa saja contoh konflik budaya
yang terjadi di Indonesia.
3. Untuk memberikan informasi mengnai apa saja contoh konflik budaya
yang terjadi di luar Indonesia.
4. Untuk mempelajari bagaimana cara mengelola konlik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik adalah hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak
jelas. Bahkan lebih dari itu konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
pendapat antar orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.
Bahwa konflik berkaitan dengan perbedaan, ketidaksesuaian oposisi atau
pertentangan. Dan ini bisa terjadi kapan saja, terutama dalam masyarakat yang
plural dengan beraneka ragam kepentingan dan sasaran. Jadi, konflik
mengandalkan pluralitas dan perbedaan, tetapi bukan sebaliknya, pluraliats dan
perbedaan pasti menimbulkan konflik, apalagi konflik yang merusak. Jadi konflik
berkaitan dengan penanganan pluralitas. Konflik akan timbul kalau pluralitas
tidak dipahami dan tidak dikelola dengan baik.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Segala sesuatu yang terjadi
dalam masyarakat pasti ada sebabnya, begitu pula konflik sosial. Konflik dapat
terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, antarmasyarakat dalam
suatu negara, antarmasyarakat dengan negara, antarpemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, antarsuku bangsa, antarpemeluk agama, antarnegara dengan
kelompok ilegal, bahkan antarnegara, dan sebagainya.
Ada begitu banyak hal yang mampu memicu timbulnya konflik dalam
masyarakat. Leopold von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan
beberapa hal yang dapat menyebabkan konflik terjadi sebagai berikut.
Penduduk Indonesia yang menempati wilayah yang luas ini, bukan hanya
terikat oleh satu sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan yang berlaku di Indonesia
antara lain;
Sistem kebudayaan daerah
Sistem kebudayaan agama
Sistem kebudayaan nasional
Sistem kebudayaan asing
Keempat unsur diatas harus berintegrasi satu sama lain. Karena hal-hal
tersebut diatas merupakan landasan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
yang majemuk. Namun, ada hal-hal yang dapat menghambat terjadi intergrasi di
Indonesia, yaitu:
Dan dibawah ini terdapat beberapa contoh kasus dari konflik budaya yang
terjadi disebabkan karena kurang terintegrasinya keempat unsur dari sistem
kebudayaan di Indonesia
a. Konflik Sampit
Konflik ini dimulai di kota Sampit,Kalimantan Tengah dan meluas ke
seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku
Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah
pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga
Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari
100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang
juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997
yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba
di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun
2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak
merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang
semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura
memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti
perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu
versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah
Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura
dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di
permukiman Madura.
b. Etnis Tionghoa
Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah datang ke Indonesia
berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara sebagai seorang pedagang; hal
yang sangat lumrah, mengingat pada masa lalu berdagang adalah hal yang bisa
membuat manusia dari berbagai penjuru dunia saling berhubungan. Setelah
kolonialisasi Belanda atas Indonesia—atau juga disebut Hindia Belanda—
dimulai, Belanda berusaha untuk membuat pemisahan dalam strata sosial
masyarakat pada masa itu. Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda
dibagi kedalam tiga golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda, kedua
golongan golongan Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya,
ketiga golongan pribumi (Onghokham 2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai
diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan kedudukan
hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada politik apartheid di
Afrika, yang juga sama-sama pernah menjadi koloni Belanda di masa lalu.
Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para
pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi
memang terkadang para pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk
asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal
diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan
dengan masalah “harga diri”.
Konflik antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah hal baru,
konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah
berawal dari masalah sepele. Bahkan di tempat yang sama dengan saat ini terjadi
perang suku saat ini yaitu di Sidorejo kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi
pada bulan januari 2012 kemarin, pemicunya adalah perebutan lahan parkir.
Berikut ini beberapa perang antar suku yang pernah terjadi di Lampung :
Dari konflik – konflik kecil tersebut timbullah dendam diantara para suku–
suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi
sebuah konflik besar. Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah
terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja. Di
beberapa sekolah didaerah lampung anak–anak suku bali tidak mau
bermain/bersosialisasi dengan anak– anak suku lainnya begitu juga dengan anak–
anak dari suku jawa maupun lampung. Mereka biasanya berkelompok
berdasarkan suku mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi
perselisihan tentunya akan melibatkan suku mereka.
Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini
juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik
sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok,
sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan
yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang
berlaku pada suku-suku yang ada.
Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau
Dani wim dan Amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-
suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga,
Suku Dem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku
Ekari/Me, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang
mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.
Suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti
rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan
semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan
semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif
untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul
kembali.
Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat
telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang
terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka
perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara
membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian
konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu
yang negatif, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat
preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.
a. Holocaust
Holocaust adalah genosida terhadap kira-kira enam juta penganut
Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, suatu program pembunuhan sistematis
yang didukung oleh negara Jerman Nazi, dipimpin oleh Adolf Hitler, dan
berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi dari sembilan juta Yahudi
yang tinggal di Eropa sebelum Holocaust, sekitar dua pertiganya tewas. Secara
khusus, lebih dari satu juta anak Yahudi tewas dalam Holocaust, serta kira-kira
dua juta wanita Yahudi dan tiga juta pria Yahudi.
Perubahan IPTEK yang luar biasa di Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 serta diringi dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, menciptakan
harapan luas bahwa "utopia" sudah dekat dan semua permasalahan sosial akan
terselesaikan. Pada saat yang sama, didukung oleh prestise ilmu pengetahuan, di
kalangan elit Jerman berkembang anggapan yang menyatakan bahwa beberapa ras
secara biologis lebih "berharga" dibandingkan dengan ras lainnya. Dalam esainya
pada tahun 1989, sejarawan Detlev Peukert menyatakan bahwa Holocaust tidak
semata-mata berawal dari antisemitisme, namun merupakan produk dari
"radikalisme kumulatif" yang kemudian menghasilkan genosida.
Siapapun yang memiliki tiga atau empat garis leluhur Yahudi harus
dimusnahkan tanpa terkecuali. Dalam peristiwa genosidalainnya, para korban
dapat menghindari kematian dengan cara pindah ke agama lain atau berasimilasi.
Namun pilihan ini tidak tersedia bagi umat Yahudi di negara-negara Eropa yang
diduduki oleh Nazi, kecuali bahwa kakek-nenek mereka telah pindah agama
sebelum tanggal 18 Januari 1871. Selain itu, semua orang yang baru-baru ini
memiliki keturunan Yahudi juga dibinasakan oleh Nazi di wilayah-wilayah yang
dikuasainya.
Dalam surat dan dokumen yang membahas Holocaust, Nazi tidak pernah
menggunakan kata-kata "pemusnahan" atau "pembunuhan.", Mereka
menggunakan kata-kata kode seperti "solusi akhir," "evakuasi" atau "perlakuan
khusus".
Orang Amerika kulit hitam adalah satusatunya kelompok etnis atau ras
yang dibawa ke Amerika secara paksa. Orang kulit hitam ini didatangkan dari
benua Afrika untuk dijadikan budak. Selama lebih dari dua abad perbudakan,
bahasa dan kebudayaan nenek moyang mereka yang banyak itu pelan-pelan
hilang, dan perbedaan genetik mereka bercampur menjadi satu dengan darah
Kaukasia, menjadi Negro-Amerika.
Jadi orang Amerika kulit hitam ini adalah salah satu diantara orang
Amerika tertua, dan warisan kebudayaan mereka merupakan satu kebudayaan
yang sepenuhnya terbentuk di Amerika.
Karena label “budak” yang melekat pada generasi orang kulit hitam ini,
bahkan meskipun perbudakan itu sudah dihapuskan akibat desakan dari negara-
negara diluar Amerika bahwa perbudakan itu melanggar hak asasi manusia, tetap
saja mereka dipandang sebelah mata oleh orang kulit putih. Mereka mendapat
perlakuan diskriminasi, seperti sulit untuk mendapat pekerjaan, pendidikan, dan
penghidupan yang layak. Sepertinya orang kulit putih masih memandang rendah
para orang kulit hitam pada masa itu.
c. Apartheid
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Inis, konflik komunal di Indonesia saat ini. Universiteit Leiden, Jakarta: 2003.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/300
http://id.wikipedia.org/wiki/Holokaus