Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ILMUWAN ISLAM “AL-GHAZALI”

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Filsafat Islam


Dosen Pembimbing : Dr. H. Iwan. M.Ag

Disusun Oleh :

Nama : NAHDIA SYANAZ


Jurusan : IFTK/ADREES TADRC PSC
Kelas : PAI B semester 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga


makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang 1
1.2.Rumusan Masalah 2
1.3.Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Biografi Al Ghazali 3
2.2. Karya-karya Al-Ghazali 8
2.3. Filsafat Al-Ghazali 10
2.3.1. Filsafat di mata Al-Ghazali 10
2.3.2. Tipologi Filsafat Al-Ghazali 14
2.3.3. Paham Qadim-nya Alam 15
2.3.4. Paham bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz’iyyat 17
2.3.5. Paham Kebangkitan Jasmani 18
BAB III PENUTUP
3.1. Simpulan 20
3.2. Saran 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu
pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam
mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam
yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran
Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan
konsep Islam.
Sejarah mencatat bahwa perkembangan pemikiran dan akal sangatlah
cepat, hal ini dapat di lihat dari banyaknya filosof-filosof yang bermunculan
dan mampu memberikan kontribusi positif lewat karya-karyanya yang
mempuni dan banyak dijadikan reference bagi perkembangan dan kemajuan
pemikiran manusia saat ini.
Dalam perkembangannya tidaklah sedikit para filosof terutama filosof
muslim yang menjadi icon perubahan dari jaman ke jamannya, pun demikian
dengan al-Ghazali ia dikenal dengan filosof yang banyak berperan aktif
dalam pengembangan warisan intelektual berupa kekayaan kebudayaan yang
tergambar dalam berbagai bidang yang menjadi titik tolak keberangkatannya
dalam menciptakan buah karya-karya beliau yang luar biasa.
Dewasa ini pemikiran al-Ghazali sedikit banyaknya telah memberikan
pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan akhlak dikalangan
umat muslim, diantaranya mengenai kajian akhlak yang senantiasa memiliki
hubungan dengan kehidupan jiwa karena ia terlebih dahulu disematkan pada
jiwa, hal tersebut menandakan adanya hubungan akhlak dan kebahagiaan
yang merupakan tujuan dari akhlak itu sendiri.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, dalam Pandangan al-Ghazali
bahwa tujuan manusia yang benar itu adalah kebahagiaan ukhrawi, kemudian
ia menuturkan bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut?

1
kebahagiaan ukhrawi hanya bisa dicapai dengan cara mengendalikan sifat-
sifat manusia dalam perbuatan baik.
Oleh karena itu pemahaman tentang riwayat hidup al-Ghazali, al-
Ghazali dan filsafatnya akan di paparkan dalam sebuah kajian khusus tentang
al-Ghazali sebagai salah satu filosof muslim.

1.2. Rumusan Masalah


Kajian tentang al-Ghazali ini di batasi dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
A. Bagaimana Riwayat Hidup/singkat al-Ghazali?
B. Rangkaian karya-karya yang dihasilkan oleh al-Ghazali?
C. Filsafat al-Ghazali dan pengaruh pemikiran-pemikirannya?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan Penulisan makalah ini merupakan jawaban terhadap serangkaian
rumusan masalah di atas yakni :
A. Untuk mengetahui riwayat hidup/ sejarah singkat salah satu filosof muslim
yaitu al-Ghazali.
B. Untuk mengetahui karya-karya al-Ghazali.
C. Untuk mengetahui filsafat al-Ghazali dan pengaruh pemikirannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Biografi Al Ghazali
Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan
(Persia) pada pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah
salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat Al-Islam
(bukti kebenaran agama Islam) dan zayn ad-din (perhiasan agama).1
Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14
Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Al-Ghazali pertama-tama
belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan
akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada
tahun 478 H/1085 M.2
Ayah Al-Ghazali adalah seorang wara' yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri. Pekerjaannya ialah sebagai pemintal dan penjual wol. Pada
waktu-waktu senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh
agama dan para ahli fiqh di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk
mendengarkan nasihat-nasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat-sifat
ayah Al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya
yang mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.
Sang ayah wafat ketika Al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad,
masih dalam usia anak-anak. Ketika hendak wafat, sang ayah berwasiat
kepada salah seorang teman dekatnya dari ahli sufi untuk mendidik dan
membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia berkata kepadanya, "Saya sangat
menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu
terwujud pada kedua anak saya ini maka didiklah keduanya, dan

1
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakatta: Bulan Bintang, 1986), him. 97.
2
H. M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Garuda Persada Pers, Jakarta, 2007, hlm. 86. Imam Al-
Haramain Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini, seorang teolog paling tersohor pada zamannya, yang
bermazhab Asy'ariyyah adalah guru Al-Ghazali yang selanjutnya Al-Ghazali mengadopsi
prinsip-prinsip utama teologi Asy'ariyyah, yang diyakininya hingga akhir hayat. Hal itu terbukti
dalam karya Al-Ghazali, Al-lqtishad /i Al-ltiqad -suatu risalah yang berkaitan dengan ilmu kalam
di masa-masa terakhir tinggal di Baghdad sebagai guru besar pada Madrasah Nizhamiyyah.

3
pergunakanlah sedikij harta yang saya tinggalkan ini untuk mengurus
keperluannya."3
Sang sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Dia
begitu serius memerhatikan kepentingan pendidikan dan moralitas kedua anak
temannya ini, sampai peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika sang sufi
merasa tidak mampu lagi membiayai kehidupan kedua anak itu, ia berkata
kepada Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, "Ketahuilah bahwa saya telah
membiayai kalian sesuai dengan harta kalian berdua yang dititipkan kepada
saya. Kalian tahu bahwa saya adalah orang miskin yang hidup mengasingkan
diri hingga saya tidak mempunyai harta benda yang bisa dipergunakan untuk
membiayai kalian berdua. Untuk itu, saya sarankan kalian berdua untuk pergi
ke sekolah yang menyediakan beasiswa. Sebab, kal ian berdua adalah orang
yang menuntut ilmu. Semoga kalian berdua dapat berhasil sesuai dengan bekal
yang kalian miliki."
Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan untuk belajar kepada
Al-Imam Al-Allamah Abu Nashr Al-Isma'ily. Di Jurjan, Al-Ghazali mulai
menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Kemudian pergi ke
Naisabur, salah satu dari sekian kota ilmu pengetahuan yang terkenal pada
zamannya. Di sini, ia belajar ilmu-ilmu yang populer pada saat itu, seperti
belajar tentang mazhab-mazhab fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika,
dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali
Al-Juwaini,4 seorang ahli teologi Asy'ariyah paling terkenal pada masa itu dan
profesor terpandang di Sekolah Tinggi Nidhamiyah di Naisabur. Al-Ghazali
belajar di Naisabur hingga Imam Al-Haramain wafat pada tahun 478 H/1085
M.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur
menuju Mu'askar,5 untuk menghadiri pertemuan atau majelis yang diadakan

3
Ibid, hlm. 8
4
Thaha, Ibid., hlm. 19-21. Lihat juga Badawi, Muqaddimah, hlm. 8. Ahmad Daudy, Kuliah, hlm.
97
5
Mu'askar adalah suatu lapangan luas di dekat kota Naisabur yang di dalamnya didirikan barak-
barak militer oleh Nidham Al-Muluk.

4
oleh Nidham Al-Muluk, Perdana Menteri daulah Bani Saljuk. Kemudian, Al-
Ghazali pergi ke Baghdad untuk mengajar di madrasah Nidhamiyah itu pada
tahun 484 H/1090 M. Di samping mengajar, ia juga mulai menulis beberapa
buku, di antaranya tentang fiqh dan ilmu kalam, serta kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhadap aliran Bathiniyah (salah satu aliran dari sekte Syi'ah),
aliran Syi'ah Isma'illiyah, dan falsafah.
Setelah satu tahun berada di kota Baghdad, nama Al-Ghazali menjadi
terkenal sampai ke Istana khilafah Abbasiyah. Khalifah Muqtadi bi Amrillah
pada masa pemerintahannya (467-487 H/l 074-1094 M) begitu tertarik
kepadanya, sehingga pada tahun 485 H, ia mengutus Al-Ghazali untuk
menemui permaisuri Raja Malik Syahdan bani Saljuk, yakni Terkanu Khatun,
yang pada saat ilu memegang kendali kekuasaan pemerintahan di belakang
layar untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi.6
Di Baghdad inilah, Al-Ghazali menikmati pangkat, kehormatan, harta,
dan kedudukan yang ia dambakan. Akan tetapi, kemuliaan dan kedudukan
yang ia peroleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai
peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad)
maupun pemerintahan daulah bani Saljuk, di antaranya ialah:
1. Pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan Al-Ghazali
dengan permaisuri raja bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang
terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia
2. Pada tahun yang sama (485 H/l 092 M), Perdana Menteri Nidham Al-
Muluk yang menjadi sahabat karib Al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang
pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi.
3. Dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula khalifah
Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi Al-Ghazali, merupakan orang-orang
yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada Al-Ghazali,
bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal
itu.mengingal ketiga orang tcrscbul mempunyai pengaruh yang besar terhadap

6
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup AlGhazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 40.

5
pemerintahan bani Abbas yang pada saal itu dikendalikan oleh daulah bani
Saljuk, meninggalnya ketiga orang tersebul sangat mengguncangkan
kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/l
094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang
terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi. teror aliran Bathiniyah
yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana
Menteri Nidham Al-Muluk.
Sejalan dengan situasi politik yang sekarang menguntungkan itu, pada
tahun 488 H/l 095 M, Al-Ghazali merasakan krisis rohani, yakni munculnya
keraguan di dalam dirinya yang meliputi masalah akidah dan semuajenis ilmu
pengetahuan, baik yang empiris maupun yang rasional. Krisis tersebut
berlangsung tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studinya
tentang seklc sekte teologi, ilmu kalam, dan falsafah, serta menulis beberapa
buku dalam berbagai disiplin ilmu seperti falsafah, fiqh, dan lain-lain.7 Akan
tetapi, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu. Pada tahun itu
juga, ia bertekad untuk meninggalkan kota Baghdad, meminta berhenti dari
seluruh jabatannya, terutama jabatannya sebagai rektor Universitas
Nidhamiyah.
Al-Ghazali meninggalkan kota Baghdad dengan membawa bekal
secukupnya pergi ke Syam, menetap di sana hampir dua tahun untuk
berkhalwat melatih batin dan berjuang keras membersihkan diri, mendidik
akhlak, dan menyucikan hati dengan mengingat Tuhan, serta beri'tikaf di
masjid Damaskus dengan mengurung diri di menara masjid itu di siang hari.8
Tidak puas dengan berkhalwat di masjid Damaskus, pada tahun 490 H/
1098 M, ia menuju Palestina mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem,
tempat di mana para nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat
wahyu pertama dari Allah. Di tempat ini, ia berharap dapat mengobati
penyakit bimbangnya itu. Ia berdoa di dalam masjid Bayt Al-Muqaddas,

7
Ahmad Daudy, Kuliah..., hlm. 98.
8
Badawi, Muijaddimah..., hlm. 9.

6
masuk ke dalam Shakhrah9 menguncinya dari dalam, seraya memohon kepada
Allah agar diberi petunjuk sebagaimana yang telah dianugerahkan kepada para
nabi.10
Dari Kairo, ia melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana,
ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya,
Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaan dari
tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama
Daulah Muwahhidun. Akan tetapi, dengan alasan yang tidak jelas, ia
mengurungkan keberangkatannya. Kuat dugaan bahwa hal itu disebabkan
munculnya niat untuk melaksanakan ibadah haji, lalu ia berangkat ke Mekah
dan selanjutnya ke Madinah untuk menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
Kemudian, ia kembali lagi ke.daerah asalnya, Naisabur, pada tahun 499 H/
1105 M. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berpindah-pindah tempat, dari
Syam, Bayt Al-Muqaddas, Mesir, dan Hijaz, akhirnya pada tahun 499 H/l 105,
atas panggiladeerinduan terhadap anak-anaknya dan panggilan cinta terhadap
keluarga Al-Ghazali kembali ke Naisabur.
Dalam pada itu, salah seorang putra dari Raja Malik Syah, Sanjar, yang
pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Khurasan, mengangkat Fakhru Al-
Muluk, putra Nidham Al-Muluk, menjadi perdana menterinya. Sebagaimana
juga ayahnya, ia memanggil Al-Ghazali dan mengangkatnya menjadi rektor
Universitas Nidhamiyah di Naisabur.
Di samping jabatannya yang resmi di Naisabur itu, ia juga mendirikan
madrasah fiqh yang khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun
asrama (khanqah) untuk melatih mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di
tempat kelahirannya, Thus.
Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat
perkembangannya yang tinggi Pemikiran-pemikiran tidak berhenti pada hasil
karya individual, tetapi kembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan
listemnya masing-masing. Asy-Syahrastani (w. 548 H) sebagai pemikir yang

9
Sebuah batu besar yang terdapat di dalam masjid Bait Al-Muqaddas.
10
Abidin, Riwayat..., hlm. 44.

7
sezaman dengan Al-Ghazali, menggambarkan betapa banyaknya aliran
pemikiran pada waktu itu yang didasarkan pada pandangan terhadap
persoalan-persoalan tertentu.
Dalam hal ini, Al-Ghazali menggolongkan aliran-aliran tersebut
berdasarkan cara masing-masing dalam menemukan kebenaran. berdasarkan
penggolongan tersebut, menurut Al-Ghazali, ada empat aliran yang populer
pada masa itu, yaitu: ahli kalam, para filsuf, golongan ta'lim, dan para sufi.11
Ahli kalam dan para filsuf dalam mencari kebenaran menggunakan akal,
walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip
menggunakan akal itu. Golongan ta'lim dalam mencari kebenaran menekankan
otoritas imam; sedangkan para sufi dalam mencari kebenaran menggunakan
dzauq (perasaan atau intuisi).

2.2.Karya-karya Al-Ghazali
Al -Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia
Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik
ketika menjadi pembesar negara di Mu'askar maupun ketika sebagai profesor
di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur12 maupun setelah berada dalam
perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir
hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang.
Syekh Abdul Qadir Alaydrus Ba'lawi dalam Ta 'rifAl-Ihyafifadha 'U
Al-ihya menyatakan bahwa ulama besar Quthbu Al-Yaman, Ismail bin
Muhammad Al-Hadrami mengatakan dalam suatu jawabannya tentang nilai
karangan-karangan Al-Ghazali: "Ada tiga Muhammad dalam Islam, yakni
Muhammad bin Abdullah, penghulu segala nabi, Muhammad bin Idris Asy-
Syali'i, penghulu segala imam, dan Muhammad Al-Ghazali, penghulu segala

11
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarra: Rajawali Pers, 1988), hlm.
17-19.
12
Sebagai diketahui Al-Ghazali pernah mengalami masa skeptis di tempat ini, ketika ia sangat
meragukan semua ilmu pengetahuan yang diterimanya, tetapi masa ini hanya berjalan sekitar
dua bulan saja.

8
pengarang.13 Ungkapan Isma'il bin Al-Hadrami ini, agaknya tidaklah
berlebihan, karena sebagaimana akan diuraikan, memang jumlah buku yang
dikarang oleh Al-Ghazali begitu banyak dan pembahasannya juga beragam
(tidak dalam suatu disiplin ilmu).
Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab
yang ada hubungannya dengan karya Al-Ghazali dalam tiga kelompok.
Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Al-Ghazali
yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan
sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab
yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.14
Berbeda dengan pernyataan di atas, Badawi mengatakan bahwa jumlah
karangan Al-Ghazali ada 47 buah. Nama-nama buku tersebut adalah:
1. Ihya Ulum Ad-din (membahas ilmu-ilmu agama),
2. TahafutAl-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
agama),
3. Al-Iqtishadfi Al-'Itiqad (inti ilmu ahli kalam),
4. Al-Munqidz min Adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia
ilmu),
5. JawahirA l-Qur 'an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Quran),
6. Mizan Al- 'Amal (tentang falsafah keagamaan),
7. Al Mcujashid 41 Asnaft Ma 'ani Asma 'illah Al-Husna (tentang arti nama-
nama Tuhan),
8. FaishalAt-Tafriq Baina Al-Islam wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam
dan zindiq),
9. Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat),
10. Al-Mustadhhiry,
11. Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),
12. Mufahil Al-Khilaffi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam
masalah ushul ad-din),
13
Abdul Qadir Alaydrus Ba'lawi, Th'ri/ Al-Ihya fi Fadha'il AUhya, (Jakarta: Daru Ihya'a Al-
Kutub Al-Arabiyah, 1.1.), hlm. 10.
14
Ahmad Daudy, Kuliah, hlm. 99

9
13. Kimiya As-Sa 'adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),
14. Al-Basith (fiqh),
15. Al-Wasith (fiqh),
16. Al-Wajiz (fiqh),
17. Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),
18. Yaqut At-ta 'wilfi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),
19. Al-Mustasfa (ushul fiqh),
20. Al-Mankhul (ushul fiqh),
21. Al-Muntahafi 'ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),
22. Mi'yarAl-'Ilmi(timbanganilmu),
23. Al-Maqashid (yang dituju),
24. Al-madnun bihi 'ala GhairiAhlihi,
25. Misykat Al-anwar (pelajarankeagamaan),
26. Mahku An-Nadhar,
27. Asraru 'ilmi Ad-Din (rahasia ilmu agama),
28. Minhaj Al-Abidin,
29. Ad-Darar Al-Fakhirahfi kasyfi 'Ulum Al-Akhirah (tasawuf),
30. Al-AnisfiAl-Wahdah (tasawuf),
31. Al-Qurbahila Allah 'AzzawaJalla (tasawuf),
32. Akhlaq Al-Abrar (tasawuf),
33. BidayatAl-Hidayah (tasawuf),
34. Al-Arba'infi Ushul Ad-Din (ushul al-din),
35. Adz-Dzari’ah iila Mahakiin AsySyari 'ah (pintu ke pengadilan agama),
36. Al-Mahadi wa Al-Ghayat (permulalan dan tujuan),
37. Talhisu Iblis (tipu daya iblis),
38. Nashihat Al-Muhik (nasihat bagi raja-raja),
39. Syifa'u Al-'Alil fi Al-Qiyaswa At-Talil (ushulfiqh),
40. Iljam Al-Awwam 'an 'ilmiAl-Kalam (ushul ad-din),
41. Al-Intishar limafiAl-Ajnas min Al-Asrar (rahasia-rahasia alam),
42. Al- 'UlumAl-Laduniyah (ilmu laduni),
43. Ar-Risalah A l-Qudsiyah,

10
44. Isbat An-Nadhar,
45. Al-Ma'akhidz (tempat pengambilan),
46. Al-Qaul Al-Jamil fi Ar-Raddi 'Ala Man Ghayyara Al-Injil (perkataan yang
baik bagi orang yang mengubah injil),
47. Al-'Amali.
Terlepas dari adanya perbedaan di atas, kedua pernyataan tersebut
memberi indikasi bahwa Al-Ghazali memang banyak mengarang buku.
Demikianlah uraian singkat tentang biografi Al-Ghazali dan karya-karyanya.

2.3.Filsafat Al-Ghazali
2.3.1. Filsafat di mata Al-Ghazali
Kerangka berpikir memandang Al-Ghazali perlu ditelusuri
secara komprehensif. Pertama-tama, karena berfilsafat itu
menggunakan logika [akal] dengan kajian analisisnya maka apa yang
dimaksud dengan akal dan bagaimana posisi akal. Inilah titik tolak Al-
Ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Yusuf Qardhawi15 yang mengutip kitab Ma’arijul Al-
Quds,16 Ketahuilah bahwa akal lidak akan mendapat petunjuk, kecuali
dengan syara', dan syara' tidak akan jelas, kecuali dengan akal. Akal
bagaikan landasan, sedangkan syara' bagaikan bangunan." Dalam hal
ini, syariat dan ilmu kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf
laksana sebuah bangunan.
Mempelajari filsafatAl-Ghazali dapat tergambarkan dari masa
hidup Al-Ghazali yang pada saat itu berbagai macam aliran agama dan
filsafat tumbuh subur. Sebagaimana ia katakan sebagai berikut:
"... sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau
dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus,
Plato, Aristoteles dan lain-lain..., mereka mendengar perilaku

15
Lihat, Pro dan Kontra Pemikiran AlGhazali, (Jakarta: Risalah Gusti, 1997), hlm. 36.
16
Kitab ini diragukan apakah karya Al-Ghazali atau bukan. Menurut Badawi, kitab ini diragukan
karya Al-Ghazali, lihat Muallifatu AlGhazali, No. 76, hlm. 244 dan Al-Mustasht'a, Jilid I, hlm.
3, sementara menurut Yusuf Al-Qardhawi, kitab tersebut adalah karya Al-Ghazali.

11
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu
para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan teologi...,
mereka juga mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari
semua syariat dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi
ajaran agama. Para filsuf meyakini bahwa agama adalah ajaran-
ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan...."17
Filsafat menurut Al-Ghazali terbagi enam bagian: ''ilmu pasti,
ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu
akhlak."18 Disamping itu, pada dasarnya, Al-Ghazali tidak menyerang
semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika),
di mana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang
"mengalahkan" agama dan syariat sebagaimana dijelaskan dalam
kutipan di atas.
Menurut Al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara' tidak
bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah cahaya petunjuk
dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada
hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al-Ghazali
melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan.
Hal itu terbukti dari ungkapan Al-Ghazali berikut ini:
"...Akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun
diganti. Akal adalah saksi syara'. Akal adalah saksi yang secara
murni dan adil mengatakan bahwa dunia adalah kampung tipuan
bukan kampung bahagia.. .tempat berjual beli, bukan tempat
gedung apartemen. Dunia adalah tempat transaksi yang
modalnya adalah ketaatan. Ketaatan itu ada dua macam; amal
dan ilmu. Ilmu adalah ketaatan terbaik dan beruntung. Ilmu
termasuk salah satu amal, yaitu amalan hati yang merupakan
17
Lihat "muaaddimah" kitab Tahafut AlFalasifah, (Kairo: t.t), 1302 H, hlm. 1.
18
Dengan cakupan yang luas, apa yang dimaksud ilmu filsafat oleh Al-Ghazali berarti tidak sama
dengan apa yang dipahami sekarang.

12
anggota tubuh yang termulia. Ilmu juga merupakan upaya akal
yang merupakan benda termulia, karena akal adalah sendi
agama dan pemikul amanat...."19
Al-Ghazali menjelaskan hubungan antara akal dan syara' dalam
kitab Ihyd Ulum Ad-Din, lebih rinci lagi. Ia menyeru penggabungan
ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu agama bahwa:
"...Bodoh orang yang menyeru untuk sekadar taklid saja dan
mengesampingkan akal secara total. Tertipulah seseorang yang
mencukupkan dirinya dengan akal saja dan mengabaikan cahaya
Al-Quran dan As-Sunnah. Anda jangan termasuk ke dalam dua
kelompok tadi, tetapi jadilah yang menggabungkan antara akal
dan cahaya syara'. Ilmu-ilmu akal bagaikan makanan, sedangkan
ilmu-ilmu syara' bagaikan obatnya...."20
Menurut Al Ghazali, "Akal bagaikan penglihatan sehat,
sedangkan Al-Quran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya.
Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh,
yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Al-
Quran. Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan
menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini
dengan orang buta." Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak
mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara' dan syara'
tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh
akal.
Melihat uraian di atas, tampaknya tidak ada perteritangan antara
akal dan syara'. Selanjutnya, Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal dan
syara'. memiliki keistimewaan dan memiliki bidang kompetensi yang
tidak pernah dilanggarnya. Adanya filsafat di mata Al-Ghazali ketika
membuat spesifikasi akal dalam menetapkan dua masalah besar agama,
yaitu: wujudullah dan ketetapan nubuwwat.

19
Lihat Al-Ghazali, Ai-Mustoshfa fi Al-IIm Al-Usftul, Jilid I, hlm. 3.
20
Al-Ghazali, lhya, Jilid III, hlm. 17.

13
Filsafat Ketuhanan dan Kenabian ini berimplikasi pada status
hukum sebagaimana polemik antara Mutazilah dan Asya'ariah tentang
status oran Islam saat para Rasul belum diutus, apakah mereka berdosa
atau tidak Bertolak dari hal demikian, Al-Ghazali berpendapat bahwa
tugas akal adai untuk membenarkan syara' lewat penetapan Pencipta
alam, dan Kenabi yang diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya.21
Hal itu termaktub dalam mukadimah kitab Al-Mustashfa bahwa,
"Ilm paling mulia adalah ilmu yang menggabungkan akal dan naql,
menyertaki pendapat dan syara'. Ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah ilmu
macam ini karena mengambil syara' dan akal yang bersih secara
bersama-sama." Akan tetapi, Al-Ghazali melihat bahwa dalam bidang
amaliah ini ada bidang yang haram dimasuki akal, yaitu mengetahui
hukum terinci dari ibadat-ibadat syar'iyah. Al-Ghazali melihat hukum-
hukum ibadah ini, aturan dan kadarnya telah ditentukan oleh Nabi.
Maksudnya, akal tidak dapat memahami mengapa sujud dalam shalat
jumlahnya dua kali lipat rukuk, shalat Subuh rakaatnya separuh shalat
Ashar, dan seterusnya. Hal ini merupakan wilayah cahaya kenabian
(nur nubuwwat), meminjam istilah Yusuf Qardhawi, "bukan dengan
instrumen akal."
Dari berbagai uraian di atas, tampak bahwa ilmu logika22
(akal), menurut Al-Ghazali, merupakan instrumen untuk memahami
dalil-dalil syariat. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan
batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang lebih
besar, yaitu nur wahyu ilahi, meminjam istilah Yusuf Qardhawi.
Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum secara
pasti, atau paling tidak, menurut Juhaya S. Praja,23 bahwa berfilsafat
adalah "berpikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa
(mahiyah), bagaimana dan nilai-nilai dari sesuatu itu."

21
Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 43.
22
Salah satu ilmu filsafat yang diadopsi Al-Ghazali adalah ilmu logika. Hal ini bisa dilihat dalam
kitabnya, Mi'ya™ Al-Jlm, Mihakun AnNadzar, dan Qisthasu Al-Mustaqim.
23
Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Uninus, 1995), hlm. 4.

14
2.3.2. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
Menurut penulis, untuk melihat filsafatnya AJ-Ghazali, paling
tidak perlu diketahui apa yang dikritisi oleh Al-Ghazali. Dari sanalah,
kita memulai dan tahu filsafat Al-Ghazali sekaligus dapat memetakan
tipikal filsafat yang dikehendaki Al-Ghazali.
Setelah menganalisis paham atau ajaran yang ada dalam filsafat,
baik yang berasal dari pengaruh Yunani ataupun orisinalitas dari para
filsuf muslim, akhirnya Al-Gazali memberikan pemetaan masalah
sekaligus memberikan ulasan terhadap masalah tersebut, yakni:
1. berpendapat bahwa alam itu azali,
2. berpendapat bahwa alam itu abadi,
3. berpendapat bahwa Allah SWT. adalah pencipta alam dan alam
adalah ciptaan-Nya,
4. menetapkan adanya Pencipta,
5. membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua
Tuhan,
6. menafikan (meniadakan) sifat-si fat Tuhan,
7. berpendapat bahwa substansi Al-Awwal (Tuhan) bukanlah jenis
(genus) dan bukan pula diferensia,
8. berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) adalah wujud yang simpel
tanpa esensi,
9. berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) itu bukan tubuh,
10. seharusnya mereka mengatakan adanya masa dan meniadakan
pencipta alam,
11. berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya,
12. berpendapat bahwa Ia (Tuhan) mengetahui substansi-Nya,
13. berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) tidak mengetahui juz 'iyyat
(yang juz 'il individual/partikular),
14. berpendapat bahwa langit adalah awan yang bergerak dengan iradah
(kehendak),
15. memberikan keterangan tentang tujuan yang menggerakkan langit,

15
16. berpendapat bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz 'iyyat
(semua yang juz’i/individual/particular)
17. menyatakan kemustahilan terjadinya kejadian luar biasa,
18. berpendapat bahwajiwa manusia adalah substansi yang berdiri
dengan dirinya sendiri, bukan dengan tubuh, dan bukan pula dengan
aksiden,
19. menyatakan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia, dan
20. mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk merasakan
kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani di neraka.24
Dengan segala kemampuan daya nalarnya, Al-Gazali
membatalkan pendapat-pendapat pada nomor-nomor: (1), (2), (6), (7),
(8), (13), (15), (16), (17), dan (20); memandang lemah argumen-
argumen mereka pada nomor-nomor: (4), (5), (9), (11), (12), (14), (18),
dan (19); dan menyatakan bahwa pandapat mereka pada nomor (3)
sebagai pendapat mereka yang bukan sebenarnya; dan sebenarnya dan
seharusnya mereka berpendapat seperti pada nomor (10). Di akhir
bukunya, Tahdfut Al-Faldsifah. Al-Ghazali mengafirkan paham nomor
(1), yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the
past), paham nomor (13), yakni pendapat bahwa Tuhan tidak
mengetahui juz 'iyyat (hal-hal yang juz'i/individual/partikular) dan
paham nomor (20), yakni paham yang mengingkari adanya kebangkitan
tubuh di hari akhirat. Itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah
satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam
kekafiran. Adapun paham-paham yang lain bila dianut, tidak membawa
pada kekafiran, meskipun paham-paham itu tidak benar atau tidak kuat
argumentasi/dalilnya.

24
Abdul Alis Dahlan, Filsafat..., dalam Ensiklopedi..., Ibid., hlm. 202-203; lihat pula A. Hanafi.
Pengantar…, Ibid., hlm. 144-152; lihat pula Oliver Leaman, Pengantar Filsafat…, Ibid., hlm.
33-85

16
2.3.3. Paham Qadim-nya Alam
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak bermula:
tidak pernah tidak ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam
itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa pada
kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan
Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Quran yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit,
bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim
dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada,
kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya
Tuhan.
Apa sebenarnya landasan berpikir Al-Ghazali sehingga
mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim.
“Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Mahaperkasa, dan Maha
Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu
yang ia kehendaki; Ia menciptakan semua makhluk dan alam
sebagaimana Ia kehendaki dan dalam bentuk yang Ia kehendaki” (Al-
Ghazali [1928]; 131).
Berikut ini penulis rangkum hasil tulisan Oliver Leaman dalam
buku tersebut dan bagaimana diskusi antarfil suf ini berlangsung
berkenaan dengan masalah filsafat keabadian alam, Tuhan tidak tahu
juz 'iyyat dan kebangkitan jasmani.
Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa
dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan
dasar yang bersifat kekal dan yang secara terus-menerus mengambil
bentuknya yang berbeda. Dia menerima pendapat bahwa dunia
diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu yang lalu
secara terbatas, baik (matter) maupun bentuk (forni) daripada dunia ini,
dulunya telah diciptakan oleh Tuhan dalam tindakan yang asli seperti
itu.

17
Al-Ghazali memberi ulasan bahwasanya Tuhan dengan mudah
mewasiatkan secara abadi agar dunia tercipta pada waktu tertentu pada
masa mendatang, jika dia menginginkan begitu. Sebenarnya, menurut
petunjuk Al-Quran, apa yang perlu dikatakan Tuhan adalah "Jadilah,
makajadilah ia " (Q.S. Ali Tmran: 47). Mengapa dia tidak dapat
membubuhi tanggal sebenarnya, begitu dikatakan, beberapa waktu
kemudian dari tanggal keberadaan alam semesta? Maka duhia ini dapat
saja beradu pada waktu tertentu di kemudian hari. Keberatan yang biasa
muncul dari pihak filsuf terhadap kemungkinan seperti itu adalah
bahwa di sana pasti ada beberapa alasan mengapa seseorang yang
menginginkan sesuatu, yang la sendiri mampu i nelaksanakan tugas itu
pada waktu tertentu, kemudian berhenti dengan begitu saja tidak
melaksanakan pekerjaannya. Jika dia menginginkan X dan dapat 11
lemperoleh X, mengapa dia harus menunggu dalam tempo kepanjangan
waktu tertentu, setelah pelaksanaan tindakan dapat dilaksanakan untuk
memuaskan keinginannya? Pasti, di sana, tidak akan ada halangan yang
dapat merintangi kekuasaan Tuhan untuk melaksanakan tujuan-
tujuannya?
2.3.4. Paham bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz’iyyat
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang
juz’i/individual/ particular) bukanlah paham yang dianut oleh para
filsuf Muslim. Paham demikian dianut oleh Aristoteles. Kendati
demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina
dengan menyatakan bahwa Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan
mengetahui segala sesuatu, denga pengetahuan kulli/umum, tidak
masuk dalam kategori zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya karena
(berbedanya sesuatu itu pada) zaman yang lalu, yang akan datang dan
yang sekarang.
Benarkah demikian pendapat Ibnu Sina, atau benarkah demikian
maksud pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal
yang juz'i. Sebenarnya, pada pembicaraan tentang Ibnu Sina sudah jelas

18
bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan dengan
hal-hal yang juz 'i tidak seperti yang disimpulkan oleh Al-Ghazali. Bagi
Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang kulli, menunit kulli-nya, dan
mengetahui hal-hal yang juz'i menunit juz’i-nya, tetapi pengetahuan
Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Bila pengetahuan manusia
muncul setelah memerhatikan hal-hal juz 'i yang terjadi sehingga
pengetahuan manusia merupakan akibat sedangkan hal-hal yang terjadi
itu merupakan sebab bagi munculnya pengetahuan manusia. Dengan
demikian, pengetahuan Tuhan Mahasuci dari cara mendapatkan seperti
itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz 'i itu dengan pengetahuan yang tidak
berubah Hal ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan
tentang sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat dipahami dengan
pengertian bahwa Tuhan telah mengetahui hal-hal yangjuz 'i itu dengan
pengetahuan yang azali dan tidak berubah. Kendati hal-hal yang juz 'i
itu terus-menerus berubah, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz 'i itu
bukanlah setelah hal-hal yang juz'i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi,
tidak benar bahwa para filsuf muslim berpaham bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal juz'i yang muncul pada alam ciptaan-Nya, atau
dengan kata lain tidak benar bahwa pemahaman para filsuf muslim
tentang pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz 'i.
Sebaliknya, Al-Ghazali memandang bahwa Tuhan Maha Segala
Tahu baik besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan
hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil [partikular].
Tudingan Al-Ghazali penulis kutip sebagai berikut:
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka, "Tuhan
yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal,
tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular." Pernyataan ini
jelas-jelas menunjukkan ketidakberimanan mereka. Sebaliknya,
yang benar adalah "tidak ada sebutir atom pun-di langit maupun
di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya."

19
2.3.5. Paham Kebangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Quran dan hadis Nabi SAW.
tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani
saja. Akan tetapi, pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani.
Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang
pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat
rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani-
jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani
itu, menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena
itu, gambaran Al-Quran dan hadis Nabi SAW. itu haruslah dipahami
secara hakiki saja. Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka
bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali, adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman
demikian, menurutnya, bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh
Al-Quran dan hadis Nabi SAW. dan karena itu dikufurkannya. Al-
Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah
jasmani. Ia berkata:
"...adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim,
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani
manusia tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi hanya
jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan
hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat
spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan
hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada
secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala
dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh
hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”25

25
Ghazali, AlMunqidz—, Mm. 76; lihat pula Oliver Leaman, Pengantar Filsafat..., Ibid., Ulm. 129.

20
Secara universal, Al-Ghazali dikenal sebagai hujjah al-Islam,
dan kualifikasi ini hanya bermakna j ika kita mengakui bahwa karyanya
merupakan sintesis sadar dari tiga aspek konsepsi Islam mengenai
rasionalitas: pencarian teoretis dan filosofis, ketentuan yuridis, dan
praktik mistis. Barangkali jenis rasionalitas semacam ini sangat berbeda
dengan rasionalitas Barat. Namun, keluasan pemikiran Al-Ghazali
menunjukkan bahwa ia dapat dipandang sebagai prototipe intelektual
Muslim (Watt, 1963).

21
BAB III
PENUTUP

3.1.Simpulan
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin
Muhammad Bin Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada
tahun 450 H/1058 M[13] di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di
dekat Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada juga yang mengatakan bahwa
beliau lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M.
Dalam bukunya Tahafut al Falasifah Al Ghazali mengatakan bahwa
para filusuf telah banyak mengungkapkan argumentasi yang bertentangan
dengan Al Qur’an sehingga dia menganggap para filusuf telah mgningkari Al
Qur’an dan ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf menurut Al Ghazali
ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika
namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan
dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagaii orang kafir.
Dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-
Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba
buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena
dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di
antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang
yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali
mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang
berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat
dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan
bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada
dalam logika. Karya yang terbesar dari al-Ghazali adalah kitab Ihya
al’ulumudin.

22
3.2.Saran
Makalah yang kami sajikan ini tidaklah terlepas dari kehilafan dan
kekurangan oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan dari para pakar dan pembaca sekalian.
Semoga makalah ini memberikan manfaat dalam menopang
perkembangan informasi baik bagi para penyaji khususnya dan umumnya
pada semua yang membaca makalah ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Alis Dahlan, Filsafat..., dalam Ensiklopedi..., Ibid., hlm. 202-203; lihat pula
A. Hanafi. Pengantar…, Ibid., hlm. 144-152; lihat pula Oliver Leaman,
Pengantar Filsafat…, Ibid., hlm. 33-85

Abdul Qadir Alaydrus Ba'lawi, Th'ri/ Al-Ihya fi Fadha'il AUhya, (Jakarta: Daru
Ihya'a Al-Kutub Al-Arabiyah, 1.1.), hlm. 10.

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakatta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 97.

Dengan cakupan yang luas, apa yang dimaksud ilmu filsafat oleh Al-Ghazali
berarti tidak sama dengan apa yang dipahami sekarang.

Ghazali, AlMunqidz—, Mm. 76; lihat pula Oliver Leaman, Pengantar Filsafat...,
Ibid., Ulm. 129.

H. M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Garuda Persada Pers, Jakarta, 2007, hlm. 86.
Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini, seorang teolog paling
tersohor pada zamannya, yang bermazhab Asy'ariyyah adalah guru Al-
Ghazali yang selanjutnya Al-Ghazali mengadopsi prinsip-prinsip utama
teologi Asy'ariyyah, yang diyakininya hingga akhir hayat. Hal itu terbukti
dalam karya Al-Ghazali, Al-lqtishad /i Al-ltiqad -suatu risalah yang
berkaitan dengan ilmu kalam di masa-masa terakhir tinggal di Baghdad
sebagai guru besar pada Madrasah Nizhamiyyah.

Kitab ini diragukan apakah karya Al-Ghazali atau bukan. Menurut Badawi, kitab
ini diragukan karya Al-Ghazali, lihat Muallifatu AlGhazali, No. 76, hlm.
244 dan Al-Mustasht'a, Jilid I, hlm. 3, sementara menurut Yusuf Al-
Qardhawi, kitab tersebut adalah karya Al-Ghazali.

Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Uninus, 1995),
hlm. 4.

Lihat, Pro dan Kontra Pemikiran AlGhazali, (Jakarta: Risalah Gusti, 1997), hlm.
36.

Lihat "muaaddimah" kitab Tahafut AlFalasifah, (Kairo: t.t), 1302 H, hlm. 1.

Lihat Al-Ghazali, Ai-Mustoshfa fi Al-IIm Al-Usftul, Jilid I, hlm. 3.

Thaha, Ibid., hlm. 19-21. Lihat juga Badawi, Muqaddimah, hlm. 8. Ahmad
Daudy, Kuliah, hlm. 97

24
Mu'askar adalah suatu lapangan luas di dekat kota Naisabur yang di dalamnya
didirikan barak-barak militer oleh Nidham Al-Muluk.

Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarra: Rajawali


Pers, 1988), hlm. 17-19.

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup AlGhazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 40.

Salah satu ilmu filsafat yang diadopsi Al-Ghazali adalah ilmu logika. Hal ini bisa
dilihat dalam kitabnya, Mi'ya™ Al-Jlm, Mihakun AnNadzar, dan Qisthasu
Al-Mustaqim.

Sebagai diketahui Al-Ghazali pernah mengalami masa skeptis di tempat ini,


ketika ia sangat meragukan semua ilmu pengetahuan yang diterimanya,
tetapi masa ini hanya berjalan sekitar dua bulan saja.

Sebuah batu besar yang terdapat di dalam masjid Bait Al-Muqaddas.

25

Anda mungkin juga menyukai