KARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh:
WENNY EKA FILDAYANTI, S.Ked
N 111 16 027
Pembimbing Klinik:
dr. CHRISTIAN LOPO., Sp.THT-KL
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan
Pembimbing Co-Assisten
2
BAB I
PENDAHULUAN
kepala leher dengan prevalensi terbanyak. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher di
Indonesia merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring dalam persentase yang
sedikit.3Angka kejadiannya lebih dari separuh kejadian semua karsinoma didaerah kepala
dan leher. Insiden yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan
virus Epstein-Barr.4
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah,
hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga
diagnosis sering terlambat. Gejala awal yang paling sering ditemukan dari karsinoma
nasofaring adalah massa pada leher akibat metastasis ke servikal. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.2,5
Penanganan karsinoma nasofaring saat ini adalah terapi radiasi dan kemoterapi yang
terbukti dapat meningkatkan angka harapan hidup. Oleh karena itu, diharapkan dokter dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma
nasofaring ini.6
1
BAB II
A. ANATOMI FARING
Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip seperti
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sebagai esofagus setinggi vertebra cervicalis enam. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga
mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laryngis, dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. 7
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Faring mempunyai dinding
musculomembranosa yang tidak sempurna di bagian depan. Di sini, jaringan
musculomembranosa diganti oleh apertura nasalis posterior, isthmus faucium (muara ke
7
dalam rongga mulut), dan aditus laryngis.
Dinding faring terdiri atas tiga lapis : (1) mucosa, (2) fibrosa (3) muscular. Faring terbagi
7
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
2
Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Nasofaring
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila palatum
molle di angkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan,
maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding
7
anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.
Batas nasofaring:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia (os occipital dan sphenoid)
Gambar 2. Nasofaring
3
Gambar 3. Nasofaring
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya
dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup
bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing1,3,6
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
4
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan srco yang bernama raffae pharingei
2. Orofaring
Orofaring terletak di bawah cavum oris dan terbentang diantara palatum molle
sampai ke pinggir atas epiglottis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral.7
Atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharyngeus.
Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam sub mucosa permukaan bawah
palatum molle.Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertikal) dan
celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mucosa yang meliputi
sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan
limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membrana mucosa melipat dari lidah
menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
5
glossoepiglotica mediana dan dua plica glossoepiglotica lateralis. Lekukan kanan dan
7
kiri plica glossoepiglotica mediana disebut vallecula.
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring
(isthmus faucium) Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae.Dinding
posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ke tiga.Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya. 7
Arcus palatoglossus adalah lipatan membarana mucosa yang menutupi m.
palatoglossus yang terdapat di bawahnya. Celah di antara kedua arcus palatoglossus
7
merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium.
Arcus palatopharyngeus adalah lipatan membrana mucosa pada dinding lateral
orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Lipatan ini menutupi m. palatopharyngeus
7
yang ada di bawahnya.
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
orofaring di antara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus di belakang.
Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrana
mucosa, dan permukaan medialny yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada
pemukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk crypta tonsilaris.
Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa, disebut
capsula. 7
Tonsila mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah
pubertas akan mengecil dengan jelas. Tonsila di vaskularisasi oleh A. tonsilaris yang
merupakan sebuah cabang dari a. facialis dan dan vena-vena menembus m. constrictor
pharyngis superior dan bergabung dengan v. palatina externa, v. pharyngealis, atau v.
facialis. 7
6
Aliran limfe tonsila yaitu dimana pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi
lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus
7
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan di belakang angulus mandibulae.
Gambar 6. Tonsil
7
3. Laringofaring (hipofaring)
Laringofaring terletak di belakang aditus laryngis dan permukaan posterior laring, dan
terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai dengan pinggir bawah cartilago cricoidea.
7
Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral.
Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis danmembrana mucosa yang meliputi
permukaan posterior laring.Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis
7
ketiga, keempat, kelima, dan keenam.
Dinding lateral disokong oleh cartilago thyroidea dan membrana thyroidea. Sebuah alur
kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kiri dan kanan
aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang dari dorsum linguae
menuju esogfagus. Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglotica dan di
7
lateral oleh lamina cartilago thyroidea dan membrana thyroidea.
8
Kontraksi otot-otot constrictor secara berturut-turut mendorong bolus ke bawah
masuk ke dalam esogafus. Serabut-serabut paling bawah m. constrictor pharyngis inferior
kadang-kadang disebut m. cricopharyngeus. Otot ini diyakini melakukan efek spinchter pada
ujung bawah faring, yang mencegah masuknya udara ke dalam esogfagus selama gerakan
menelan. 7
M. constrictor pharyngis superior berfungsi membantu palatum molle dalam
menutup nasofaring, mendorong bolus ke bawah. M. constrictor pharyngis medius dan
inferior berfungsi dalam mendorong bolus ke bawah. M. cricopharyngeus berfungsi sebagai
spinchter pada ujung bawah faring. M. stylopharyngeus berfungsi mengangkat laring selama
proses menelan. M. salphyngopharyngeus berfungsi dalam mengangkat faring. M.
palatopharyngeus berfungsi mengangkat dinding faring dan menarik plica palatopharyngeal
ke medial.7
9
Persarafan Faring
Persarafan faring berasal dari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh cabang-cabang
n. glossopharyngeus, n. vagus, dan n. sympaticus.Persarafan motorik berasal dari pars.
cranialis n. aceesorius, yang berjal an melalui cabang n. vagus menuju ke plexus
pharyngeus, dan mempersarafi semua otot pharynx, kecuali m. stylopharyngeus yang
Vaskularisasi Faring
Suplai arteri faring berasal dari cabang-cabang a. pharyngea ascendens, a. palatina
ascendens, a. facialis, a. maxillaris, dan a. lingualis. Vena bermuara ke plexus venosus
pharyngeus, yang kemudian bermuara ke V. jugularis interna. 7
10
B. FISIOLOGI NASOFARING
1. Fungsi Menelan (Deglutisi)
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring membantu fungsi
pernapasan dan menelan. Faring diubah hanya dalam beberapa detik menjadi traktus
untuk mendorong masuk makanan. Yang terutama penting adalah respirasi tidak
terganggu karena proses menelan.9
Proses menelan terbagi menjadi tiga fase, yaitu :
11
relaksasi muskulus krikofaring sehingga UpperEsophagealSpinchter(UES) terbuka dan
bolus makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter
akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus saat istirahat sehingga refluks dapat
dihindari. Selanjutnya bolus makanan akan di dorong ke distal oleh gerakan peristaltik
esofagus. Dalam keadaan istirahat Lower Esophageal Spichter (LES) selau tertutup
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofageal, sfingter ini
akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka
sfingter ini akan menutup kembali. 9
2. Fungsi Respirasi
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.
A. B.
Gambar 10. A. Aliran udara saat inspirasi; B. Aliran udara saat ekspirasi
12
Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :7
a. Rambut (vibrissae)pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Lendir (mucousblanket), debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
3. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rhinolalia).22,24Pembentukan suara ucapan/bicara (Molds of the
speech) dibentuk oleh bibir, gigi, mukosa bucal, lidah, orofaring, faring, nasofaring,
cavum nasi, sinus paranasal.
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot palatum dan
faring.Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum molle ke arah dinding belakang
faring.Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.
salpingopharynx dan m. palatopharyngeus, kemudian m. levator veli palatini bersama m.
konstriktor faring superior.Pada gerakan penutupan nasofaring m. levator veli palatini
menarik palatum molle ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi
akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.
13
2.1 HISTOLOGI NASOFARING
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitelium pseudostratificatum columnare silia dan diantaranya terdapat sel-sel
goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratificatum columnare non silia.
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel basal, sel penunjang, dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Dalam keadaan normal
mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh parut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epitel skuamosa.1
Sistem transport mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap
virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas
sistem transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini
dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian
bawah dari parut lendir terdiri dari cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor
lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik. Sedangkan bagian permukaannya terdiri dari
mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG,
IgM, dan faktor komplemen.1
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat
antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan
mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. 1
14
Gambar 11. Epitelia bersilia tipe respiratory
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara
histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah
menjadi epitel gepeng berlapis (stratified squamous epithelium). Epitel skuamous
terutama melapisi dindinganterior dan posterior bagian bawah, juga bagian anterior
dinding lateral. Epitelkolumnar bersilia pseudostratificatum terutama melapisi regio
posterior nares (choanae) dan atap daridinding posterior.Di antara keduanya terdapat
epitel peralihan atau zona intermediet (transitional epithelium) yang terutama didapatkan
pada dinding lateral di daerah fossa Rosenmulleryang terdiri atas sel-selbasaloiddengan
sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau kuboid. Kadang-kadang pada saat
biopsi zona ini diduga sebagai daerah displasia ataukarsinoma in situ.Mukosa mengalami
invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai
jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel
radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated patern. Kelenjar
seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga
hidung.3,10
15
Gambar 12. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring
16
BAB III
KARSINOMA NASOFARING
A. DEFINISI
Karsinoma adalah tumor ganas yang timbul dari epitel. Tumor ganas sering kali
tumbuh dengan pesat, bersifat invasif (menginfiltrasi jaringan sekitarnya) dan
bermetastasis, bila tidak mendapatkan terapi yang efektif biasanya membawa kematian.
Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang terdapat pada nasopharing, berada
diantarabelakang hidung dan esofagus, kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak (60%) ditenukan di Indonesia, yang timbul pada epitel
nasopharing.1,2
B. ETIOLOGI
Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu genetik,
lingkungan dan virus Ebstein Barr.11
1. Genetik
17
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor
pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.12
Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya
karsinoma nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca
Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium
Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi
EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan
protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini
dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di
dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan oleh hasil
penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam
serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma
nasofaring primer. 13
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan
oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma
nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. 13
3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker
nasofaring. Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan
makanan lain yang di awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospurrolidene (NYPR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok
18
pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang terpapar
debu kayu diakui faktor resiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.6
C. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian
THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma
nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai
Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105
di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong),
dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000
penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun
2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak
kasus pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika
utara dan timur tengah 1,4
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan
KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden
rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan
19
insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun
dan menurun setelahnya 5
Pada tahun 2002, ditemukan sekitar 80.000 insiden kanker nasofaring di seluruh dunia,
dan diperkirakan menyebabkan kematian pada 50.000 penderita. Di Indonesia, dari seluruh
kanker kepala dan leher, kanker nasofaring menunjukkan entitas yang berbeda secara
epidemiologi, manifestasi klinis, marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik.
Prevalensi kanker nasofaring di Indonesia adalah 6.2/100.000, dengan hampir sekitar
13.000 kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan. Marlinda
dkk., melaporkan kanker nasofaring adalah kanker kepala leher tersering (28.4%), dengan
rasio pria-wanita adalah 2.4, dan endemis pada populasi Jawa.5
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup
tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan
Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemiologik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah
satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring
(KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun
di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang
bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan
Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih
(Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka
kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan
dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan
yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran
tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih
mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi
karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama
ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk
diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi
ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru
selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin
20
ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang
terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. 5
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people)
yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok
pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti
epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang
dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh
keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi Karsinoma
nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi, di mana
karsinoma nasofaring non keratinisasi ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi.
Pada penelitian ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan
dan terapi lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-
keratinisasi merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).14
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)
jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan
dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun
demikan tetap ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara
umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok.
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh
Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar
mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish).
Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan
ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air
5,14
susu ibu pada saat menyapih.
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari
pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina
selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1
menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma
nasofaring menderita keganasan organ lain.5,14
21
D. PATOFISIOLOGI
1. Patogenesis Molekuler Kanker 15
Pengetahuan mengenai patogenesis molekuler kanker secara umum dibutuhkan untuk
memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat beberapa prinsip yang perlu
diketahui mengenai dasar terbentuknya kanker, dan prosesnya terangkum dalam
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yangnonletal. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh agen yang terdapat di lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau
virus. Selain itu, Agen ini bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi,
mutase juga dapat terjadi secara acak dan tidak terduga.
Sebuah tumor berasal dari satu sel precursor yangrusak dan mengalami ekspansi
klonal.
Gen yang menjadi target kerusakan adalah empat kelas gen regulator normal:
protoonkogenyang mempromosikan pertumbuhan, gen supresor tumor yang
menginhibisi pertumbuhan, gen pengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam
reparasi DNA.
Karsinogenesis terdiri dari banyak langkah pada tingkat genetik maupun fenotipe
akibat banyak mutasi. Hasilnya, neoplasma dapat berprogresi menjadi ganas,
dengan karakteristik neoplasma ganas seperti pertumbuhan berlebihan, invasi
local, dan kemampuan metastasis yang jauh.
Jadi, jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat
merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur
pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak
terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada neoplasma
yang malignan. Neoplasma malignan memiliki karakteristik berupa invasi dan
metastasis. Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran
darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs awalnya. Proses
metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks ekstraseluler, diseminasi vaskular,
penempatan sel tumor, dan kolonisasi. Melalui studi pada manusia dan tikus,
ditemukan bahwa metastasis tidak selalu timbul, meski jutaan sel terlepas dalam
sirkulasi setiap harinya dari suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai mekanisme
22
control (misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang mengatur setiap
15
langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat bertahan hidup.
2. Patogenesis KNF
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan virus
EBV (EpsteinBarr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan NPC salah satunya
dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer
antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan
patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnyajelas. Selain
itu, meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel
epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat
mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula dibutuhkan infeksi
laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan genetik yang dapat
diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik
terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan
transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. Selain faktor
genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-
kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko
NPC. Selain diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan,
misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di
nasofaring.15
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan merangsang
perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan epitel tersebut.
Virus EBV menginfeksi sel NPC secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase
infeksi litik yang produktif. Tumor NPC diketahui mengekspresikan tiga protein yang
dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di
antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan NPC, diduga
LMP1 memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam
sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi
lingkungan di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru
fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi
beberapa pathway persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel
23
epitel. LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal
transition). Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel
tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu,
LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari NPC. Peningkatan
EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor
kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel. Protein-
protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan dalam karsinogenesis
NPC, contohnya LMP2 yang mempertahankan latensi virus.21
E. KLASIFIKASI
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fossa
rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan
pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang
nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran
histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa dengan diferensiasi baik.
2. Bentuk Endofitik
Tumbuh di bawah mukosa, agak sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar atau yang biasa
disebut creeping tumor, tidak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret. Pada rhinoskopi posterior, tidak terlihat massa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tidak rata, dan vaskularisasi meningkat. Gambaran histopatologik bentuk ini
biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya
ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya
tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor ini
24
dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke
dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma. 12
F. GAMBARAN KLINIS
1) Gejala Nasofaring
Epistaksis terus-menerus; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang
dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh
darah tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring
dan menutupi koana.
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.1,6
25
2) Gejala Matadan Syaraf
Sindrom petrosphenoid
o Diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma
opticus akan menimbulkan kebutaan.
o Kelumpuhan otot kelopak mata/Ptosis Palpebra (gangguan N. III)
o Neuralgia trigeminal (gangguan N. V cabang 1)
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean (gangguan N. IX, X, XI,
dan XII)
o Kesulitan menelan
o Afonia
o Tanda-tanda kelumpuhan pada:Lidah, Palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, M. trapezeus 6,11
3) Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa atau benjolan pada leher
Metastase ke tulang, paru, dan hepar.1
G. GAMBARAN RADIOLOGI
akan dilakukan.
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah
nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.13,15
26
a. Foto Polos
Pada fototengkorak potongan anteroposterior dan lateral, sertaposisi waters tampak
jaringan lunak di daerahnasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukandestruksi atau
erosi tulang daerah fossa serebri media.Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu
dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
Posisi basis kranii atau submentoverteks
Tomogram lateral daerah nasofaring
Tomogram antero-posterior daerah nasofaring
b. Computed Tomography Scan (C. T Scan)
Pemeriksaan CT Scan, mempunyai makna klinis dimana aplikasinya adalah membantu
diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat menetapkan zona target
terapi dan merancang medan radiasi secara tepat, serta memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaan lanjut.12
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk :
Mengetahui metastase ke organ lain, hal ini penting untuk menentukan tingkatan
staging sehingga dapat dipilih penatalaksanaan yang tepat.
Mengetahui apakah tumor sudah mengecil setelah pemberian kemoterapi, dilakukan
pemeriksaan setelah 4–6 minggu setelah pemberian kemoterapi.
Mendeteksi rekurensi, dilakukan pemeriksaan setiap 5 tahun.12
27
a. b.
Gambar 14. Diagnosis awal; karsinoma nasopharyng. A. tampak blunting fossa rosenmuller dan
pembesaran otot levator palatine. Tampak asimetris permukaan mukosa fossa nasopharyng; B.
Tumor melapisi fasia pharyngbasilar meliputi parapharyngeal fat space dan tampak fossa
rosenmuller asimetris
Gambar 15. Tampak potongan sagital dan coronal MRI dari nasopharyng
28
H. GAMBARAN SITOLOGI DAN HISTOPATOLOGI
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizingsquamouscel
carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercelularbridge atau keduanya. (2)
Non keratinizing squamous cel carcinoma yang ditandaidengan batas sel yang jelas
(pavementcel patern). (3) Undiferentiatedcarcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan
syncitial, sel-sel poligonal berukuranbesar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang
menonjol dan stroma denganinfiltrasi sel-sel radang limfosit. 1,2,3,4
Sedangkan klasifikasi
WHO tahun 1991membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizingsquamous cel
carcinoma, Non keratinizing squamous cel carcinoma terdiri atas diferentiated dan
undiferentiateddanBasaloidCarcinoma.1,17
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. 17
a. Sitologi
SquamousCelCarcinoma
Inti squamouscellcarcinomabentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan
khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan
membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat
khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan
jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal.
Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi
merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke
arah squamous cel. Bila keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada
sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel
merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai
18
squamouscelcarcinoma.
29
Gambar 16.Sitologi memperlihatkan clusters keratinizing squamous carsinoma
UndiferentiatedCarcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undiferentiated carcinoma berupa
kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yangmembesar dan
khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasmasedang, dijumpai latar
belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. 19,20,21Dijumpai gambaran
mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada
kelenjar getah bening regional 18,19
30
b. Histopatologi
KeratinizingSquamousCelCarcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamouscelcarcinoma memiliki
kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. 5,13Dijumpai adanya
diferensiasi dari sel squamous dengan intercelular bridge ataukeratinisasi.2,6 Tumor
tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkandengan stroma yang desmoplastik
dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, selplasma, neutrofil dan eosinofil yang
bervariasi. Sel-sel tumor berbentukpoligonal dan stratified. Batas antar sel jelas dan
dipisahkan oleh intercelularbridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan
sitoplasma eosinofilikyang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya
keratinpearls.18,19
NonKeratinizingSquamousCelCarcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cel carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.2,12 Sel-
selmenunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercelularbridge
yang samar-samar. Dibandingkan dengan undiferentiatedcarcinoma ukuran sel lebih
kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatikdan anak inti tidak
menonjol18,19
31
Gambar 19.NonKeratinizngSqua
mousCelCarcinoma
UndiferentiatedCarcinoma
Pada pemeriksaan undiferentiated carcinomamemperlihatkan gambaran
sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai
anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor
dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya
limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel
radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell
(walaupun jarang)2,13
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undiferentiatedyaitu tipe Regauds,
yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi
oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke,sel-sel
epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering
dikacaukan dengan largecellmalignantlymphoma18,19
32
Gambar 20.Undfe
i rentiatedCarcinomta erdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat (
“Regaud type”); Undifere aterdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran
ntiatedCarcinom syncytial
yang difus (Schmincke type)
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma
nasofaring dan large cel malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring
memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan
anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya
pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna
basofilik atau amphofilik. Terkadang undiferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk
18,19
oval atau spindle.
BasaloidSquamousCelCarcinoma
Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cel
carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel
squamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak
dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi
lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-
sel squamous dapat insitu atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous
jelas. 18,19
33
Gambar 21. Basa
loidSquam apada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan
ousCelCarcinom festoonin
growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton.
I. STADIUM
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di Amerika dan
Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC /
34
Kelenjar limfe regional (N)
IVb : Semua T N3 Mo
IVc : Semua T No-3 M1
35
J. KOMPLIKASI
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu
terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi
dalam bentuk :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :
2. Retroparidean sindrom
36
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura
palpebralis, enoftalmus dan miosis.19
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal
ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan
bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang,
masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 13
K. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu
dengan subkelompok yang lain. Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik
ataupun molekuler. klinik (pemeriksaan fisik maupun penunjang). Prognosis pada pasien
keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun. Menurut Handbook of
Clinical Oncology, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF:
- Stadium I : 46 %
- Stadium II : 37%,
- Stadium III: 25%,
- Stadium IV : 11%21
37
L. PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah beresiko
tinggi. Memindahkan ( migrasi ) penduduk di daerah yang beresiko ketempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan dan
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social ekonomi dan berbagai
hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan factor penyebab melakukan tes
serologi IgA anti VCA dan IgA anti EA secara missal dimasa yang akan datang akan
bermanfaat dalam menentukan karsinoma nasofaring secara lebih dini. 16
38
BAB IV
DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung
lendir bercampur darah dan sakit kepala kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan
yang adekuat. Pada stadium lanjut dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan
saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI6).
B. Pemeriksaan Fisik
Otoskopi: membran timpani dapat terlihat retraksi karena oklusi tuba eustachius dan
bisa terjadi otitis media.
Tes Garpu Tala: Pada tes rinne dan weber sering menunjukkan tuli konduktif
Rhinoskopi anterior:
Pada tumor endofitik tidak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret. Pada tumor eksofitik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum molle negatif.
Rhinoskopi posterior:
Pada tumor endofitik tidak terlihat massa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol,
tidak rata dan vaskularisasi meningkat. Tumor eksofitik tampak massa kemerahan.
Bila perlu rhinoskopi posterior dilakukan dengan menarik palatum molle ke depan
dengan kateter nelaton.
Faringoskopi dan Laringoskopi
Kadang-kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring. Refleks
6
muntah dapat menghilang (negatif).
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nasopharyngoskopi, dengan
endoskopi rigid atau flexibel. 19
Pemeriksaan Radiologi 19
Foto Polos
CT-Scan
39
MRI
Pemeriksaan Histopatologi dan sitologi
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush).Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical
dengan xylocain 10%. Biopsy dapat dilakukan dengan cara:
Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher
Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor ganas
nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical triangle node,
dan supraclavicular node jangan di biopsi terlebih dulu sebelum ditemukan tumor
induknya. Yang mungkin dilakukan adalah Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH).
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi: Darah rutin, LED
40
1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi
spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai
1280 dan terbanyak 160.
D. Diagnosis Banding
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seperti
tampak pada karsinoma.6
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos
akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat
meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi
tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah
depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal sebagai antralsign. Karena
tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan
sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.6
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor
sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama. 6
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring
ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.6
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian
41
besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada
pemeriksaan C.T.Scan.6
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF
pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama
di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening. 6
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Gambaran CT
meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini. 6
E. Penatalaksanaan
Stadium I : Radioterapi
Stadium II dan III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
42
a. Radioterapi
43
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya
sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel
7
kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula.
Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun
tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan
sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan
dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada
jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah
memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan
kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir
telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring
dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai
IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara
maju. 16
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose
Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat
paa khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel
menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan
menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium
profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah
nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring
sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah.
Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga
hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. 7
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan
radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan
belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat. Dengan lapangan radiasi yang
terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad .
44
pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan
sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai
sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fossa supraklavikula. Apabila
tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan
penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah
didaerah leher tengah.16
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang
responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi
radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan
metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita
karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah
stadium penyakit.7
Teknik Radioterapi Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :7,16
1. Radiasi Eksterna / Teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh.
Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh
suatu tumor tergantung dari:
Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
Jarak antara sumber energi dan tumor
Kepadatan massa tumor.
45
I. Teknik Konvensional 2 Dimens1i 6
46
II. Radiasi Konformal 3 Dimensi dan IMRT
i. Target radiasi
Pendefinisian target radiasi 3 dimensi harus berdasarkan terminologi International
Commissionon RadiationUnitsandMeasurements- 50 (ICRU-50); yaitu grosstumorvolume(GTV), clinicaltargetvolume
(CTV) dan planningtargetvolume(PTV).Proses simulator dengan CT-Scan, pasien
diposisikan dalam posisi supine,dengan fiksasi masker termoplastik untuk
imobilisasi kepaladan leher, termasuk bahu. Pemberian kontras intravena sangat
membantu dalam mendelineasi GTV, terutama pada kelenjar getah bening. Fusi
dengan modalitas pencitraan lain seperti MRI dapat dilakukan, lebih baik dengan
yang ketebalan slice-nyaminimal 3mm. Basis kranii (clivus dan nervus 17ntracranial)
sangat baik bila dilihat dengan MRI. Marrowinfiltrationpaling baik dilihat pada sekuens MRI
T1- non kontras.Target volume mencakup GTV dan CTV. Pada teknik IMRT,
CTV dapat dibedakan menjadi 2 atau lebih, terkait grossdisease,highrisk,atau lowrisk.16
Dosis radioterapi kuratif definitif tanpa kemoterapi adalah (NCCN, kategori 2A)
:16
- PTV risiko tinggi (tumor primer dan KGB positif, termasukkemungkinan infiltrasi
subklinis pada tumor primer dan KGB risiko tinggi) : 66 Gy (2,2 Gy/fraksi) sampai
70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi).
- PTV risiko rendah hingga menengah (lokasi yang dicurigaiterjadi penyebaran
subklinis) : 44-50 Gy ( 2 Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi).
- Dosis radioterapi konkuren kemoterapi (kemoradiasi) adalah (NCCN, kategori
:
2A)
o PTV risiko tinggi : 70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi)
o PTV risiko rendah hingga menengah: 44-50 Gy ( 2 Gy/fraksi)sampai 54-63 Gy
(1.6-1,8 Gy/fraksi). Jika menggunakan teknik 3DCRT, dosis direkomendasikan
44-50 Gy, jika menggunakan IMRT dapat diberikan 54-53 Gy.
47
2. Radiasi Interna / Brachiterapi
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam
rongga tubuh. Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer
tanpaketerlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan dosis (4x3 Gy),sehari 2 x.
Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikanpenyinaran dengan
elektron.Ada beberapa jenis radiasi interna:
Interstitial Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
jarum radium atau jarum irridium.
Intracavitair Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
- After loading Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke
tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop
ke dalam aplikator itu.
- Instalasi Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal:
pleura atau peritoneum.
Brakhiterapi16
48
Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis
radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu.
7
Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis
mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir
istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan
lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu
radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total
adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka
radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy. 7
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan
KGB leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat
megavoltage dan menggunakan radioisotop Cobalt60. 7
IV. Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor
primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
o Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar.
o Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
o No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
o Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
7
V. Komplikasi radioterapi
a) Komplikasi dini
7
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
49
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang
terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.
Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi
kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk
mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung
adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak
tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan
yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan.
Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan
simptomatik terhadap keluhan tersebut.7
b. Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan
kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini dapat digunakan
sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi
karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-
sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.21
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.6
50
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien
dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 >
6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan
pada kasus rekuren/metastatik. Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah
dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti
dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. 21
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik:
Terapi Kombinasi
- Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
- Cisplatin/5-FU
- Carboplatin
- Cisplatin/gemcitabine
- Gemcitabine
- Taxans + Patinum +5FU
Terapi Tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
- Docetaxel
- 5-FU
- Methotrexate
- Gemcitabine
- Capecitabine
1. Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor
ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga
untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana
vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima
51
kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat
sensitif terhadap kemoterapi ini. 21
2. Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
52
fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin
(obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M).21
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. 21
4. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja
dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau
fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada
tumor kepala leher dibagi sebagai berikut:21
1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk
sintesis timidin
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX (Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan
replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin
mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan
demikian menghambat produksi mRNA
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
53
Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi
Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada
kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan
limfoma)
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu
terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama
dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya
terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu
terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.21
concurrent,simultaneousatauconcomitantchemoradiotherapy(diberikanbersamaan denganpenyinaranatauoperasi).
post definitve atau adjuvan chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi )8
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena
efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih
cepat pulih dari pada sel kanker8
54
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan
salah satu efek samping pemberian kemoterapi. 23Kemoradioterapi kombinasi adalah
pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor
secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel
kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.8
7. Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :
hipoksia.
ii. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
iii.
Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 7
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah
sempat terpapar radiasi.7
55
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
7
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap
radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah
resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery
DNA pada sel kanker yang sublethal. 7
Beberapa sitostatika telah mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan
pada keganasan didaerah kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring yaitu Cisplatin,
Carboplatin, Methotrexate, 5-Fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin,
Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel (Fisher et al, 1997).
Berikut ini beberapa contoh regimen kemoterapi (cisplatin base chemotherapy) yang dapat
digunakan untuk keganasan didaerah kepala leher : 23
56
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam
Diulang tiap 28 hari.
d. Cisplatin / Fluorouracil
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-FIuorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam.
57
Cisplatin 80 mg/m2, IV, hari ke 1.
Vinorelbine 25 mg/m2, IV, hari ke 1 dan hari ke 8.
Cisplatin diberikan dalam waktu lebih dari 90 menit. Sebelum penyuntikan Cisplatin
dilakukan prehydration, posthydration dan pemberian antiemetik.
j. Simultaneous Fluorouracil / Cisplatin / Radiation
5-FIuorouracil 1000 rag/m2/hari, diberikan melalui infus selama 96 jam.
Cisplatin 75 mg/m2, IV hari 1. Bersamaan dengan radiasi sebanyak 3000 cGy dibagi
dalam 15 fraksi antara hari 1 dan 19 sebagai bagian dari regimen ini
Diulang setiap 4 sampai 6 minggu.
24
Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :
1. Kemoterapi adjuvan
Kemoterapi adjuvan Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan
radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan
kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata: - Kanker masih ada,
dimana biopsi masih positif. - Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada
bukti secara makroskopis. - Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena
tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh) 11,13
2. Kemoterapi neoadjuvan.
Pemberian kemoterapi neoadjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika
lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian
kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor
mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. 11
Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan infus
15- 20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra
vena, diulang setiap 21 hari. Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa
1.000 mL saline 0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus.
Setelah pemberian cisplatin, dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam
mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai profilaksis
yang terdiri dari 5- hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg
58
deksametason. Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3
siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap
kemoterapi.11
3. Kemoterapi Concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi
yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi
tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium
lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin
radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil yang
memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer.
Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari
dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3
minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. 14
Agen kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan
metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin
dan carboplatin merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%.
Agen aktif yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.
59
60
DAFTAR PUSTAKA
3. Adam, Boeis., 1997. Buku Ajar IlmuPenyakit THT, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
9. Guyton C Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
10. Stenvenson, M, et all., 2016. Nasopharyngeal Cancer Staging. Emedicine. diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/2048007-overview
61
12. Ahmad, A.. 2002. DiagnosisDanTindakanOperatif PadaPenatalaksanaanKarsinoma
NasofaringDanPengobatanSuportif.Jakarta:FKUI. Hal. 1-13.
13. Cottrill CP, Nutting CM., 2003.TumorsAtTheNasopharynx.In:PrinciplesAndPractice
OfHeadAndNeckOncology.London:Martin Dunitz; p. 193–214.
14. Arif Mansjoer, et al.. 1999. KapitaSelektaKedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
15. Abraham J, Allegra J, Gulley J., 2014.Handbook Of Clinical Oncology edisi 4.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. hal 19-20.
16. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan., 2007. Efek SampingRadioterapi Pada Pengobatan
KarsinomaNasofaring.Referat.Medan : FK USU. h. 1-16.
20. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans P.H.R.,
Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and Neck
Oncology.United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.
21. Kentjono WA, 2002. Kemoterapi Pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher Pendidikan
SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya November
22. Chan TC, Teo PM, 2002.Nasopharyngeal Carcinoma:Review; Annals of Oncology 13:
2002; 1007-15.
62
LAMPIRAN
63