Anda di halaman 1dari 10

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING

DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH


SECARA LANGSUNG

YOKA FAREL SEPTIAN TAMBUNAN

NIM: 170254244018

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG PINANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-
nya kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Transportasi Hasil Perairan.

Makalah berjudul “TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM


KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA
LANGSUNG”

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan baik dalam
materi ataupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis
yang masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan agar kedepannya dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Tanjungpinang, 10 Desember 2019

Penyusun,
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu bentuk transportasi ikan hidup yang paling populer dan sederhana di Indonesia
adalah cara pengangkutan ikan hidup dengan menggunakan media air (sistem basah). Tujuan
kegiatan yang bersifat tradisional ini pada mulanya untuk mendukung kegiatan budi daya dalam
pendistribusian benih ikan. Namun, dalam perkembangannya telah meluas untuk tujuan
distribusi ikan konsumsi, misalnya ikan mas, gurame, lele, nila dan sebagainya.
Sistem transportasi lainnya yaitu transportasi tanpa media air (sistem kering). Saat ini
transportasi ikan hidup sistem kering semakin berkembang terutama untuk crustacea, tetapi
untuk ikan masih merupakan hal yang baru dan belum berkembang di masyarakat. Teknik ini
perlu dikembangkan terutama untuk tujuan ekspor karena dapat mengurangi berat dan resiko
kebocoran di pesawat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam transportasi ikan hidup tanpa
media air adalah jenis media pengemas, perlakuan ikan sebelum dikemas (imotilisasi atau
hibernasi), suhu media selama pengangkutan dan kemungkinan penggunaan anti metabolit (zat
anestesi).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses penanganan atau
pemingsanan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi
kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama
transportasi rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas
angkut dapat meningkat. Metode pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan cara menggunakan
zat anestesi atau dapat juga menggunakan penurunan suhu.
Zat anestesi yang biasa digunakan untuk proses pemingsanan ikan yaitu, berupa bahan kimia
seperti MS-222 (tricaine methane sulphonate), CO2 dan quinaldine serta bahan alami seperti
eksrak biji karet dan ekstrak cengkeh. Penggunaan bahan kimia seperti MS-222 cukup popular
digunakan, tetapi harganya mahal. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan
nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode pemingsanan harus memperhatikan
aspek kesehatan. Metode pemingsanan menggunakan penurunan suhu menjadi salah satu pilihan
yang aman karena tidak mengandung residu kimia di dalamnya.
Proses pemingsanan menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu pemingsanan
dengan penurunan suhu bertahap dan pemingsanan dengan penurunan suhu langsung. Ada
beberapa keuntungan dan kerugian metode pemingsanan dengan penurunan suhu langsung dan
bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada
ikan dan memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan
suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat
proses pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Teknologi transportasi ikan hidup sistem kering
ini tidak dapat distandarkan untuk semua jenis ikan, karena tingkat kelulusan hidup (survival
rate) ikan selama transportasi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga setiap jenis ikan
memerlukan perlakuan yang spesifik.
Salah satu jenis ikan yang potensial untuk dipasarkan dalam keadaan hidup adalah ikan
nila. Cara yang biasa dilakukan dalam pengangkutan ikan nila hidup adalah dengan sistem basah.
Cara ini untuk keperluan jarak dekat dan kurang efektif jika digunakan untuk jarak jauh, karena
dibutuhkan tempat yang lebih besar sehingga menjadi berat. Transportasi ikan hidup sistem
kering dapat menjadi pilihan untuk distribusi ikan nila hidup dengan waktu pengangkutan yang
relatif lebih lama.
Beberapa penelitian transportasi sistem kering untuk ikan nila hidup sudah dilakukan
yaitu, ikan nila dipingsankan menggunakan arus listrik 120 volt selama 3 menit memiliki tingkat
kelulusan hidup 100 % untuk waktu kemas 1 jam dan memiliki tingkat kelulusan hidup 10 %
untuk waktu kemas 4 jam (Achmadi 2005). Ikan nila yang dipingsankan menggunakan ekstrak
Caulerpa racemosa 48 % memiliki tingkat kelulusan hidup 100 % selama waktu kemas 2 jam
(Pramono 2002), sedangkan pemingsanan menggunakan gas CO2 15 mmHg memiliki tingkat
kelulusan hidup 66,67 % selama waktu kemas 2 jam (Hidayah 1998). Rendahnya tingkat
kelulusan hidup ikan nila dalam waktu kemas yang tidak lama menunjukkan bahwa masih perlu
dicoba metode pembiusan lainnya agar ikan tetap hidup dalam waktu yang relatif lebih lama.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan secara langsung
terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam transportasi tanpa
media air (sistem kering).
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan nila banyak dibudidayakan,
terutama Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di Indonesia, ikan ini sudah tersebar
hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air (Amri dan Khairuman 2003).
Ikan nila termasuk famili Cichlidae yang mempunyai sifat menyimpan telur dan larvanya di
dalam mulut. Secara umum klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1980), diacu dalam Suyanto
(2003) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang sangat populer karena ikan
ini berasal dari luar Indonesia yang hampir mirip dengan ikan mujair. Usaha budi daya ikan nila
dilakukan di kolam-kolam (tergenang atau mengalir), sawah dan karamba jaring apung. Usaha
pembudidayaan ikan nila kini tidak hanya sebagai usaha sampingan, melainkan sudah pada tahap
budi daya secara intensif. Pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia mengalami kemajuan
yang sangat pesat dengan adanya penemuan-penemuan genetika yang baru seperti nila merah,
nila gift dan nila TA (Pearson 2009).
Ikan nila merah dikenal juga sebagai nila nifi atau nirah. Semula ada yang menduga nila
merah adalah nila biasa yang mengalami penyimpangan genetika warna tubuh sehingga menjadi
albino, tetapi dugaan itu ternyata keliru. Nila merah adalah varietas tersendiri. Dalam
perkembangannya, nila merah disebut juga dengan nila hibrida. Penamaan ini untuk
membedakan dengan nila lokal
dalam hal pertumbuhan karena nila merah mempunyai laju pertumbuhan yang cepat (Amri dan
Khairuman 2003).
Nila gift merupakan hasil persilangan beberapa varietas ikan nila. Nila gift memiliki
ukuran tubuh yang lebih pendek dan lebar dibandingkan dengan nila lokal. Tanda lainnya yang
membedakan nila gift dengan nila lokal adalah warna tubuh. Warna tubuh nila gift hitam agak
putih. Bagian bawah tutup insangnya berwarna putih. Nila TA tergolong baru sehingga belum
banyak dikenal secara luas oleh masyarakat. Bentuk tubuhnya sangat mirip dengan nila gift.
Namun, jumlah garis-garis vertikal di tubuh nila TA lebih sedikit dibandingkan nila gift (Amri
dan Khairuman 2003).
Hal lain yang menyebabkan ikan nila sangat diminati oleh petani ikan adalah rendahnya
biaya produksi, sehingga petani dengan modal kecil dapat mengusahakan kegiatan budi daya
ikan nila ini. Kebutuhan pasar ikan nila ukuran konsumsi tidak hanya di pasar lokal, tetapi ikan
ini mampu menembus pasar ekspor Singapura, Jepang, Hong Kong, Arab Saudi, Amerika dan
negara-negara Eropa dalam bentuk fillet. Pada pasar lokal, minat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia terhadap ikan nila menempati posisi kedua setelah ikan mas. Hal ini disebabkan harga
ikan nila cukup bersaing dengan harga ikan mas. Ikan untuk konsumsi lokal pada umumnya
memiliki ukuran 200–250 gram/ekor atau ukuran 5–4 ekor/kg, sedangkan untuk pangsa pasar
ekspor dibutuhkan ikan nila dengan ukuran minimal 500 gram/ekor. Hal ini dikarenakan ekspor
ikan nila dalam bentuk fillet, sehingga untuk mendapatkan daging yang banyak dibutuhkan
ukuran ikan yang lebih besar pula (Pearson 2009).
Penanganan pasca panen ikan nila dapat dilakukan dengan cara penanganan ikan hidup
maupun ikan segar (Syamsudin 2001).
1) Penanganan ikan hidup
Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam keadaan hidup. Hal
yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke konsumen dalam keadaan hidup, segar dan
sehat antara lain:
a. Dalam pengangkutan menggunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 oC.
b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari.
c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.
2) Penanganan ikan segar
Ikan segar merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu diperhatikan
untuk mempertahankan kesegaran antara lain:
a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka.
b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dari lendir.
c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Pengangkutan jarak dekat (2 jam perjalanan),
dapat menggunakan keranjang yang dilapisi dengan daun pisang atau plastik. Pengangkutan
jarak jauh menggunakan kotak dan seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg
dengan tinggi kotak maksimum 50 cm.
d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 oC. Gunakan es berupa
potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan jumlah es dan ikan (1:1). Dasar kotak
dilapisi es setebal 4-5 cm. Ikan disusun di atas lapisan es setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es
lagi dan seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga antara ikan
dengan penutup kotak.
2.3 Transportasi Ikan Hidup
Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan ikan dalam suatu
lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan disertai perubahan-perubahan
sifat lingkungan yang sangat mendadak (Hidayah 1998). Ada dua sistem transportasi yang
digunakan untuk hasil perikanan hidup di lapangan. Sistem transportasi tersebut terdiri dari
transportasi sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003).
Menurut Jailani (2000), pada transportasi sistem basah, ikan diangkut di dalam wadah
tertutup atau terbuka yang berisi air laut atau air tawar tergantung jenis dan asal ikan. Pada
pengangkutan dengan wadah tertutup, ikan diangkut di dalam wadah tertutup dan suplai oksigen
diberikan secara terbatas yang telah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama
pengangkutan. Pada pengangkutan dalam wadah terbuka, ikan diangkut dengan wadah terbuka
dengan suplai oksigen secara terus menerus dan aerasi selama perjalanan. Transportasi basah
biasanya digunakan untuk transportasi hasil perikanan hidup selama penangkapan di tambak,
kolam dan pelabuhan ke tempat pengumpul atau dari satu pengumpul ke pengumpul lainnya.
Menurut Achmadi (2005), transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem kering)
merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Pada
transportasi ikan hidup tanpa media air, ikan dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi
dan metabolismenya rendah. Transportasi sistem kering ini biasanya menggunakan teknik
pembiusan pada ikan atau ikan dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas
dalam media tanpa air (Suryaningrum et al. 2007).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses penenangan terlebih
dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme
dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah
sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat
ditingkatkan lagi. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu
air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan
dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode imotilisasi harus
memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006).
Syarat utama dalam pengangkutan ikan hidup adalah kesehatan ikan. Ikan harus dalam
keadaan sehat, tidak berpenyakit dan dalam kondisi prima. Ikan yang sehat dan bugar biasanya
sangat gesit, aktif, responsif sesuai dengan karakter masing-masing ikan (Nitibaskara et al.
2006). Menurut Achmadi (2005), ikan dalam keadaan hidup normal memiliki ciri-ciri reaktif
terhadap rangsangan luar, keseimbangan dan kontraksi otot normal. Ikan yang kurang sehat atau
lemah mempunyai daya tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama pemingsanan
dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008).
Menurut Achmadi (2005), ikan hidup yang akan dikirim dipersyaratkan dalam keadaan
sehat dan tidak cacat. Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan mortalitas yang tinggi, sedangkan adanya cacat seperti cacat sirip, mata, kulit
rusak dan sebagainya dapat menurunkan harga.
Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebugaran
udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan hidup yang tinggi.
Sedangkan menurut Praseno (1990), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang
diangkut merupakan kriteria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi
ikan hidup. Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah
satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah kondisi
kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang dibius pada suhu 9-10 oC lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan nila yang dibius pada suhu 7-9 oC dan 6-7 oC. Ikan nila yang dibius
dengan suhu 9-10 oC secara langsung selama 20 menit dan dikemas dalam media serbuk gergaji
dingin dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya selama 3 jam sebesar 67 % dan selama 6 jam
sebesar 40 %.
5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan cara untuk mempertahankan suhu media pengisi
kemasan agar tetap rendah (sesuai dengan suhu pembiusan) dan mengamati perubahan suhu
media pengisi kemasan setiap interval waktu. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai
aplikasi transportasi ikan hidup yang sebenarnya agar diperoleh hasil yang optimal bagi tingkat
kelulusan ikan yang dikemas.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi D. 2005. Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan listrik untuk
transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Amri K, Khairuman. 2003. Budi daya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Andasuryani. 2003. Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada peti kemas transportasi
sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Arie U. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Jakarta: Penebar Swadaya.
[BPPAT DKP ] Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Departemen Kelautan dan Perikanan.
2001. Nila Gift (Tilapias) http://suharjawanasuria.tripd.com/index.htm. [01 Januari 2009].
Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA: Department of
Fisheries and Allied Aquaqultures, Agricultural Experiment Station Auburn University,
Alabama.
Coyle SD, Durborow RM, Tidwell JH. 2004. Anesthetics in Aquaculture. Southern Regional
Aquaculture Center. Publication No 3900.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Bagi Pengolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Yogyakarta: Kanisius.
Gayatri D.2000. Studi pola penurunan suhu pada bak pemingsanan udang windu (Penaeus
monodon Fab.) tipe batch [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Handini W. 2008. Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem transportasi udang
galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hidayah AM. 1998. Studi Penggunaan Gas CO2 sebagai Bahan Pembius untuk Transportasi Ikan
Nila Merah ( Oreochromis sp. ). http://help.lycos.com/newticket.php. [01 Januari 2009].
Ikasari D, Syamsidi, Suryaningrum TD. 2008. Kajian fisiologis lobster air tawar (Cherax
quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk penanganan dan transportasi hidup
sisitem kering. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3:45-53.

Anda mungkin juga menyukai