RINGKASAN
Semenjak tahun 1970-an, negara-negara yang dahulu memiliki masa lalu bersifat
otoriter atau totaliter muncul dan telah berubah menjadi negara-negara yang bersifat demokrasi
baru. Beberapa pemimpin dari negara-negara demokrasi baru tersebut memiliki harapan yang
penuh atas masa depan mereka. Hal ini dapat dilihat, dalam mendefinisikan visi atas masa depan
bagi penduduknya ternyata harus melalui suatu rekonsiliasi dengan warisan masa lalu mereka
yang berupa pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut “HAM”) yang
ditinggalkan oleh rezim otoriternya. Meskipun memiliki pengalaman yang sama, namun
negara-negara demokrasi baru tersebut memilih untuk mengadopsi berbagai mekanisme yang
Menurut Samuel P. Huntington dalam dua hingga tiga dekade terkahir ini, kita melihat
terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoritarianisme menuju
demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara. Dalam hal ini, rezim otoritarianisme telah
berubah secara signifikan. Beberapa kasus termasuk di berbagai rezim militer, kelompok
reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi.
Namun, pada kasus lainnya, transisi politik ini muncuk dari negosiasi antara pemerintah dan
kelompok oposisi. Sehingga, ada yang lahir dari digusur atau ambruknya rezim otoritarianisme
1
ini. Disisi lain, terdapat kasus yang ada intervensi Amerika Serikat dalam menjatuhkan
Dalam perspektif Anthony Giddens, tema-tema berakhirnya politik, dan negara yang
dilanda oleh pasar global, menjadi begitu menonjol dalam literatur akhir-akhir ini, sehingga apa
saja yang bisa dicapai oleh pemerintah dalam dunia kontemporer saat ini layak untuk diulang
bersaing ini;
(c) menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas
(d) menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk
(e) mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika
monopoli mengancam;
(f) menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan
kebijakan;
(g) mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam
sistem pendidikan;
(i) memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi
2
(j) membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku
secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam
(k) mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global.
Selanjutnya, jika tidak didera oleh krisis ekonomi dan moneter, John Naisbitt telah
memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang akan membawa Asia ke arah
commonwealth of nations, yang bentuknya sebagai berikut: (a) From nations-states to network;
(b) From traditions to options; (c) From export-led to consumer driven; (d) From government-
controlled to market-driven; (e) From farms to supercities; (f) From labor-intensive industry to
high technology; (g) From male dominance to the emergence of women; dan (h) From west to
east.
Pada dasarnya, rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain. Terdapat
faktor-faktor internasional maupun dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengkondisikan dan mempengaruhi jalannya transisi. Hal itu yang membuat suatu negara
memiliki histori dan cara yang berbeda dalam masa transisi dari otoritarinime menjadi
demokrasi.
Menurut Franz Magnis- Suseno, totaliterisme adalah istilah ilmu politik untuk menyebut suatu
gejala yang paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, dimana pada awal abad ke-20
mencuat negara totaliter. Negara totaliter tidak hanya mengontrol kehidupan masyarakat
dengan ketat dan mempertahankan dengan tegas kekuasaan sebuah elit politik, tetapi juga
mengontrol, menguasai dan memobilisasi seluruh kehidpan masyarakat. Sehingga, dengan kata
lain Negara totaliter adalah sebuah sistem politik yang dengan melebihi bentuk-bentuk
3
kenegaraan despotic tradisional secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasi
Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh George Orwell dalam bukunya Animal Farm.
Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau
memiliki monopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana masyarakat
hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau
mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan.
mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan pengaruh-
pengaruh dominan tetap berasal dari dalam negeri. Pentingnya peran individu-indovidu dalam
proses historis yang kompleks. Pentingnya ketetapan waktu, kerumitan dari proses-proses
interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang menunjukkan berbagai cara
yang dihasilkannya.
mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil – militer mereka tidak begitu
diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan sipil militer sebagaimana
yang ada di negara industrial yang demokatis, yang disebutnya dengan istilah “kontol sipil
obyektif” (objective civilian control) yang mengandung hal-hal sebagai berikut : (1)
profesionalisme militer tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas
profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2) subordinasi yang efektif dari militer kepada
pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;
4
(3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan
profesonal dan otonomi bagi militer; dan akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam
Dominasi militer di Indonesia dapat dilihat pada rezim Orde Baru. Pada rezim ini
dominasi besar dan hegemonik dari militer merupakan faktor struktural yang sangat sulit
dinetralisisr oleh kekuatan sipil. Namun, pada rezim sipil, seperti pada masa kepemimpinan
Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki konsep yang tajam dan konsistensi yang kuat untuk
menetralisir militer. Karena pada dasarnya, kemampuan militer untuk melakukan pemulihan
jelas akan mengancam transisi demokrasi di Indoensia. Dalam konteks transisi menuju
demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi hubungan sipil-militer dalam arti yang menyeluruh,
Sebelumnya
Tidak dapat dipungkiri adanya transisi politik tidak lepas dari kasus-kasus pelanggaran
HAM. Hal ini yang mendorong setiap negara demokrasi baru membuat kebijakan-kebijakan
rezim sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana; jika luka-luka di masyarakat bersifat
segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa, perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan.
Dalam kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk berhubungan
dengan masa lalunya, yaitu dengan membentuk “komisi-komisi kebenaran” yang bertujuan
untuk membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu
5
pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para
korban.
mereka merupakan suatu sarana yang tepat untuk seluruh keadaan. Sehingga, untuk menyikapi
para diktator sebelumnya harus dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat dan
didasarkan pada penghormatan terhadap atura-aturan hukum. Perlu adanya suatu argumen dari
perspektif politik, hukum, dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan
pidana dalam menetapkan landasan bagi suatu tata demokrasi yang sungguh-sungguh
diperbaiki.
Harold Crouch, seorang pengamat militer dari Australia, menyatakan bahwa kondisi
baru yang mengarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI untuk mengubah
doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi, yang selama ini dijadikan landasan untuk
melegitimasikan kekuasaan politiknya. Kelompok reformis TNI berpendapat bahwa TNI tidak
memliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Berdasarkan hal
itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai “Paradigma Baru”
Dalam formatnya yang orisinil, “Paradigma Baru” menyarankan agar militer tetap
berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi untuk
6
pengaruh politik, namun pengaruhnya harus secara tidak langsung, tidak bersifat langsung. Dan
radikal berpendapat bahwa TNI hanya dapat diubah secara gradual. Sehingga, menuju ke arah
itu, menurut Crouch, ada beberapa langkah terbatas, namun penting yang harus dilakukan (atau
yang disebut “Lima Langkah Reformasi TNI”), yaitu meliputi: (1) reduction in military
officers to civilian positions); (3) political “neutrality”; (4) separation of police from the
Salah satu kasus pelanggaran HAM dalam transisi masa politik adalah kasus
pembunuhan Steven Biko seorang pendiri Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam di Afrika.
Biko meninggal pada 12 September 1977 di rumah sakit penjara Pretoria, dengan mulut penuh
bekas pukulan dan berbusa. Pembunuhan terhadapnya merupakan salah satu bentuk kejahatan
dari sederetan kekejaman mengerikan yang banyak terjadi selama diterapkannya sistem
apartheid di Afrika Selatan, suatu sistem yang diberi label oleh Majelis Umum Perserikatan
Dua puluh tahun kemudian, 5 (lima) orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko
Afrika Selatan. Namun, hal ini hanya dapat diberikan jika mereka bersedia “membeberkan atau
membuka sepenuhnya semua fakta yang relevan”. Namun, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan secara eksplisit mengakui adanya suatu amnesti yang lebih kuat dan bertanggung jawab
7
secara positif dan menegaskan bahwa hal itu sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi
dan rekonstruksi.
Namun, Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko menilai bahwa argumentasi tersebut
merupakan pembusukan. Ntsiki Biko menghendaki agar para pembunuh suaminya dihukum.
Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius atau
pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab “ya”. Itulah
sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum pidana. Dan tentu saja
yang lebih nyata adalah bahwa sebenarnya hukum internasional sudah mengandung beberapa
peraturan khusus yang berkaitan dengan upaya penuntutan dan pemberian hukuman. Ada
persetujuan yang meluas di kalangan para ahli dan organisasi-organisasi HAM bahwa
kewajiban untuk melakukan penuntutan secara alamiah didasarkan pada putusan-putusan yang
Sehingga, dalam putusannya pada tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untu memberikan amnesti terhadap
para pembunuh Steven Biko, berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu: (1) para pembunuh Biko belum
memberikan kesaksiannya dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada Komisi; dan
menyatakan bahwa kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk
8
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat analisis tentang perspektif hukum internasional dalam
“inward looking” dan “outward looking”. Menurut pandangan kelompok “outward looking”
bahwa semua ketentuan dari badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
memang perlu dihormati dan dilaksanakan, karena berkaitan dengan konsep kedaulatan negara
yang dianut oleh masyarakat luas yang telah dipengaruhi dengan fenomena globalisasi.
Akan tetapi, diyakini pula bahwa di negeri-negeri yang lemah ekonominya, disamping
memenuhi hak-hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan hak asasi
pembangunan (right of development). Hal itu sangat krusial untuk terselenggaranya suatu
pemerintahan yang viable (yang berfungsi) dan efektif. Sebab itulah yang merupakan prasyarat
Adapun pengalaman beberapa negara lain yang mengalami transisi politik dari masa
otoriter menjadi demokratis, yaitu kelompok negara-negara Amerika Selatan (Amerika Latin)
dan negara non-Amerika Latin. Di negara Amerika latin sebelum memulai masa tansisinya
dikenal dengan rezim otoriterisme birokratis, seperti di negara Argentina, Bolivia, Brazil. Di
Peru, terdapat jenis otoriterisme lain yang diistilahkan “populis”. Transisi politik dari
Portugal, Sanyol yang dalam tahun 1974 sampai dengan 1975 terjadi.
9
1.2 KEADILAN TRASISIONAL
1.2.1 Pengantar
1.2.1.1 Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru
a. Menghukum Masa Lalu atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis
Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk
menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah
memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transnasional”. Menurut
Daan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat beberapa kata yang
menarik untuk didiskusikan dan juga merupakan bagian dari parameter-parameter untuk
menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan transisional, yaitu sebagai
berikut: Pertama, adalah kata kebenaran yang diadopsi dari nama Komisi yang didirikan di
Chile, yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kedua, adalah kata rekonsiliasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi
korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya, dan mencapai
kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan
tersebut. Ketiga, adalah keadilan, meskipun peran keadilan dalam proses transisi dan
prioritas yang diberikannya berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.
10
(3) Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara
terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu
tata pemerintahan yang liberal?
(4) Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?
Pemberian sanksi terhadap kejahatan HAM terdapat dalam salah satu putusan di
Pengadilan Nuremberg, yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan menghukum
orang-orang yang turut berkonspirasi melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam Piagam yang
dibentuk oleh negara-negara yang memegang kekuasaan utama yang mengatur yurisdiksi
dan fungsi dari Pengadilan Nuremberg. Dalam putusan tersebut mengadili 22 orang
terdakwa atas pasal 6 Piagam.
c. Politik Memori
Dalam masa transisi politik menuju demokratis terdapat kaitan dengan terminologi,
yaitu transiology dan consolidology. Terhadap subdisiplin tersebut, menurut Schmitter ada
kemungkinan terjadinya kontradiksi di antara tahapan-tahapan dari proses perubahan rezim dan
ilmu-ilmu semu yang mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya, Schmitter
berpendapat bahwa seorang transitologis yang beralih menjadi seorang konsolidologis secara
pribadi harus membuat suatu pergeseran epistemologis agar dapat mengikuti perubahan-
perubahan tingkah laku yang para aktornya sendiri sedang mengalami atau menjalaninya.
Dalam hal ini, kontradiksi yang terdapat diantara transiology dan consolidology
diuraikan dalam 11 (sebelas) refleksi. Dimana sekumpulan refleksi yang dimaksud meliputi
tujuh hal sebagai berikut: Pertama, tanpa kekerasan atau penghilangan fisik dari para pemain
utama dari otokrasi sebelumnya. Kedua, tanpa banyak mobilisasi massa yang membawa
kejatuhan dari ancien régime dan penentuan waktu dari transisi. Ketiga, tanpa mendapatkan
suatu tingkat tinggi dari pembangunan ekonomi. Keempat, tanpa menyebabkan suatu distribusi
kembali dari pendapatan yang substansial atau kekayaan. Kelima, tanpa kehadiran sebelumnya
dari para borjuis nasional. Keenam, tanpa budaya kewarganegaraan. Ketujuh, tanpa (banyak)
demokrat.
11
Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber
yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan
mereka-mereka yang berada di luar negeri. Menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing
didorong untuk memainkan suatu peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi
mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi
mereka untuk diadili. Karena pada dasarnya isu-isu mengenai keadilan transisional menjadi
suatu pembangkit titik nyala api yang tinggi di berbagai negara yang baru bangkit dari represi
politik. Sehingga, para penyusun kebijakan politik luar negeri akan disarankan untuk menjada
lensa ini sebagai fokus saat mereka melakukan monitor, mengantisipasi, dan merespon ke
transisi-transisi di seluruh dunia.
Konsep penengah yang lain dari aturan hukum trasisional adalah hukum internasional.
Hukum internasional menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui
hukum dan politik domestik. Dalam periode transisi politik, hukum internasional menawarkan
suatu konstruksi alternatif dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang
substansial, tetap berlangsung dan kekal. Selain itu, hukum internasional berperan sebagai
konsep penengah untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan
pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari Pengadilan Nuremberg
berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif. Selanjutnya, dalam periode ini,
hukum internasional menawarkan suatu konsep mediasi yang berguna. Didasarkan pada hukum
positif, namun memasukkan nilai-nilai keadilan yang disatukan dengan hukum alam, hukum
internasional menengahi dilema dari aturan hukum.
Dalam ruang lingkup pembahasan konteks internasional pada masa transisi ini, dapat
pula dicatat permasalahan keadilan retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda. Keadilan di
ketiga negara tersebut sampailah pada waktunya ketika aturan-aturan yang bersifat
supranasional tentang penghormatan terhadap HAM dan aturan-aturan hukum justru lemah dan
tidak ada. Dimana Dewan Eropa kemudian mempublikasikan konvensinya, yakni European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada tahun 1950.
Terdapat analisis perbandingan yang dilakukan oleh Huyse terhadap Belgia, Perancis,
dan Belanda dengan Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia (negara pascakomunis), yang
didapatkan 2 (dua) kesimpulan, yaitu: (1) tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit
politik merupakan suatu fungsi dari kondisi-kondisi yang menjadi jalan ke arah demokrasi; dan
(2) tidak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan dengan masa lalu yang represif.
12
luar negeri, karena UU ini dipandang telah melanggar Pasal III dari konvensi ILO tentang
diskriminasi di tempat kerja. Pada bulan Nopember 1992, MK Cekoslovakia menyatakan tidak
sah pasal-pasal yang berkaitan dengan conscious collaborators, namun tetap membelakukan
pasal-pasal lainnya.
Para analis berpendapat bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi arah dari
keadilan pascakomunis, hal yang paling menentukan ialah faktor keseimbangan di antara
kekuatan-kekuatan dari masa lampau dan para elit penggantinya pada masa transisi.
Selanjutnya, Samuel P. Huntington, Huyse, maupun Rustow membuat beberapa skenario
mengenai masa depan pascakomunisme. Keseluruhan skenario secara mendasar dapat direduksi
menjadi 4 (empat) kemungkinan skenario sebagai berikut: Skenario Pertama adalah apa yang
dapat disebut sebagai “becoming like the West”, yaitu suatu negara pascakomunis secara
gradual bertransformasi menjadi suatu negara demokrasi pluralis yang stabil; Skenario Kedua
adalah dari suatu sistem otoritarian, dimaksudkan bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara
kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi – dengan asumsi adanya
kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama.; Skenario Ketiga, secara esensial tidak
mengarah pada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang
abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah; dan Skenario Keempat adalah skenario
yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat diprediksi, sejak ia tidak
dapat disesuaikan dengan kategori-kategori yang eksis sebelumnya.
Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat
2 (dua) pandangan yang saling berhadapan yang saling berhadapan, yakni pandangan kelompok
realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus
menunjang pembangunan demokrasi. Menurut Ruti G. Teitel, dilema awal dimulai dari konteks
keadilan dalam transformasi politik: Hukum dicerna sebagai suatu fenomena yang terletak di
antara masa lalu dan masa yang akan datang, antara pandangan masa lalu (backward looking)
dan pandangan ke masa yang akan datang (forward looking), antara retropektif dan prospektif,
antara individual dan kolektif.Dengan demikian, keadilan transisional adalah keadilan yang
diasosiasikan dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Sehingga, dalam periode
dinamis keadaan politik yang mengalami perubahan terus-menerus, respon-respon hukum
membangkitkan suatu paradigma sui generis dari hukum yang transformaif.
Dalam pandangan ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara
luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam
masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan
kekuasaan. Hukum hanya suatu produk dari perubahan politik. Menurut De Brito, hubungan
antara keadilam politik dan demokrasi merupakan sesuatu yang kompleks, dimana rezim
pengganti yang bersifat non-demokratis diperlengkapi dengan lebih baik dalam konteks
13
filosofis dan psikologis untuk mengimplementasikan suatu kebijakan-kebijakan keadilan yang
lebih komprehensif, karena terdapat pluralisme yang bersifat terbatas dan non-existent atau
kekurangan perhatian terhadap proses hukum.
BAB II
TANGGAPAN
DAFTAR PUSTAKA
14