Anda di halaman 1dari 14

BAB I

RINGKASAN

1.1 HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK

1.1.1 Transisi Politik Menuju Demokrasi

1.1.1.1 Dari Otoritas ke Demokrasi: Kemunculan Negara-negara Demokrasi Baru

Semenjak tahun 1970-an, negara-negara yang dahulu memiliki masa lalu bersifat

otoriter atau totaliter muncul dan telah berubah menjadi negara-negara yang bersifat demokrasi

baru. Beberapa pemimpin dari negara-negara demokrasi baru tersebut memiliki harapan yang

penuh atas masa depan mereka. Hal ini dapat dilihat, dalam mendefinisikan visi atas masa depan

bagi penduduknya ternyata harus melalui suatu rekonsiliasi dengan warisan masa lalu mereka

yang berupa pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut “HAM”) yang

ditinggalkan oleh rezim otoriternya. Meskipun memiliki pengalaman yang sama, namun

negara-negara demokrasi baru tersebut memilih untuk mengadopsi berbagai mekanisme yang

berbeda untuk berhubungan dengan masa lalunya.

Menurut Samuel P. Huntington dalam dua hingga tiga dekade terkahir ini, kita melihat

terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoritarianisme menuju

demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara. Dalam hal ini, rezim otoritarianisme telah

berubah secara signifikan. Beberapa kasus termasuk di berbagai rezim militer, kelompok

reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi.

Namun, pada kasus lainnya, transisi politik ini muncuk dari negosiasi antara pemerintah dan

kelompok oposisi. Sehingga, ada yang lahir dari digusur atau ambruknya rezim otoritarianisme

1
ini. Disisi lain, terdapat kasus yang ada intervensi Amerika Serikat dalam menjatuhkan

kediktatoran dan menggantikannya dengan rezim yang dipilih rakyat.

Dalam perspektif Anthony Giddens, tema-tema berakhirnya politik, dan negara yang

dilanda oleh pasar global, menjadi begitu menonjol dalam literatur akhir-akhir ini, sehingga apa

saja yang bisa dicapai oleh pemerintah dalam dunia kontemporer saat ini layak untuk diulang

kembali. Dalam perspektif Giddens, keberadaan pemerintah adalah untuk:

(a) menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;

(b) menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling

bersaing ini;

(c) menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas

mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

(d) menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk

bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif;

(e) mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika

monopoli mengancam;

(f) menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan

kebijakan;

(g) mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam

sistem pendidikan;

(h) menopang sistem hukum yang efektif;

(i) memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi

makro maupun mikro-ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;

2
(j) membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku

secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam

sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;

(k) mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global.

Selanjutnya, jika tidak didera oleh krisis ekonomi dan moneter, John Naisbitt telah

memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang akan membawa Asia ke arah

commonwealth of nations, yang bentuknya sebagai berikut: (a) From nations-states to network;

(b) From traditions to options; (c) From export-led to consumer driven; (d) From government-

controlled to market-driven; (e) From farms to supercities; (f) From labor-intensive industry to

high technology; (g) From male dominance to the emergence of women; dan (h) From west to

east.

Pada dasarnya, rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain. Terdapat

faktor-faktor internasional maupun dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung dapat

mengkondisikan dan mempengaruhi jalannya transisi. Hal itu yang membuat suatu negara

memiliki histori dan cara yang berbeda dalam masa transisi dari otoritarinime menjadi

demokrasi.

Dalam rezim otoritarian memiliki kaitan erat dengan terminologi totaliterisme.

Menurut Franz Magnis- Suseno, totaliterisme adalah istilah ilmu politik untuk menyebut suatu

gejala yang paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, dimana pada awal abad ke-20

mencuat negara totaliter. Negara totaliter tidak hanya mengontrol kehidupan masyarakat

dengan ketat dan mempertahankan dengan tegas kekuasaan sebuah elit politik, tetapi juga

mengontrol, menguasai dan memobilisasi seluruh kehidpan masyarakat. Sehingga, dengan kata

lain Negara totaliter adalah sebuah sistem politik yang dengan melebihi bentuk-bentuk

3
kenegaraan despotic tradisional secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasi

segala segi kehidupan masyarakat.

Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh George Orwell dalam bukunya Animal Farm.

Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau

memiliki monopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana masyarakat

hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau

mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan.

Faktor-faktor internasional, secara langsung atau tidak langsung, mungkin

mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan pengaruh-

pengaruh dominan tetap berasal dari dalam negeri. Pentingnya peran individu-indovidu dalam

proses historis yang kompleks. Pentingnya ketetapan waktu, kerumitan dari proses-proses

interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang menunjukkan berbagai cara

bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi dan paradoks

yang dihasilkannya.

1.1.1.2 Reposisi Hubungan Sipil – Militer

Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya,

mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil – militer mereka tidak begitu

diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan sipil militer sebagaimana

yang ada di negara industrial yang demokatis, yang disebutnya dengan istilah “kontol sipil

obyektif” (objective civilian control) yang mengandung hal-hal sebagai berikut : (1)

profesionalisme militer tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas

profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (2) subordinasi yang efektif dari militer kepada

pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;

4
(3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan

profesonal dan otonomi bagi militer; dan akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam

politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.

Dominasi militer di Indonesia dapat dilihat pada rezim Orde Baru. Pada rezim ini

dominasi besar dan hegemonik dari militer merupakan faktor struktural yang sangat sulit

dinetralisisr oleh kekuatan sipil. Namun, pada rezim sipil, seperti pada masa kepemimpinan

Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki konsep yang tajam dan konsistensi yang kuat untuk

menetralisir militer. Karena pada dasarnya, kemampuan militer untuk melakukan pemulihan

jelas akan mengancam transisi demokrasi di Indoensia. Dalam konteks transisi menuju

demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi hubungan sipil-militer dalam arti yang menyeluruh,

dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja.

1.1.1.3 Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim

Sebelumnya

Tidak dapat dipungkiri adanya transisi politik tidak lepas dari kasus-kasus pelanggaran

HAM. Hal ini yang mendorong setiap negara demokrasi baru membuat kebijakan-kebijakan

dan instrument-instrumen hukum yang demokratis untuk menyelesaikan permasalahan pada

rezim sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan untuk mewujudkan

kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana; jika luka-luka di masyarakat bersifat

segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa, perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan.

Dalam kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk berhubungan

dengan masa lalunya, yaitu dengan membentuk “komisi-komisi kebenaran” yang bertujuan

untuk membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu

5
pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para

korban.

Pada kenyataannya, tidak ada jaminan bahwa pengadilan-pengadilan merupakan

sarana yang terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM ataupun bahwa

mereka merupakan suatu sarana yang tepat untuk seluruh keadaan. Sehingga, untuk menyikapi

segala tuntutan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh

para diktator sebelumnya harus dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat dan

didasarkan pada penghormatan terhadap atura-aturan hukum. Perlu adanya suatu argumen dari

perspektif politik, hukum, dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan

pidana dalam menetapkan landasan bagi suatu tata demokrasi yang sungguh-sungguh

diperbaiki.

1.1.1.4 Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer

Harold Crouch, seorang pengamat militer dari Australia, menyatakan bahwa kondisi

baru yang mengarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI untuk mengubah

doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi, yang selama ini dijadikan landasan untuk

melegitimasikan kekuasaan politiknya. Kelompok reformis TNI berpendapat bahwa TNI tidak

memliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Berdasarkan hal

itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai “Paradigma Baru”

sebagai pedoman bagi aktivitas-aktivitas politik TNI.

Dalam formatnya yang orisinil, “Paradigma Baru” menyarankan agar militer tetap

berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi untuk

mendominasi pemerintahan. Militer tetap akan melanjutkan upaya-upaya untuk memberikan

6
pengaruh politik, namun pengaruhnya harus secara tidak langsung, tidak bersifat langsung. Dan

militer harus berbagi kekuasaan dengan kelompok sipil.

Berdasarkan “Paradigma Baru” tersebut, kelompok reformis yang berpandangan

radikal berpendapat bahwa TNI hanya dapat diubah secara gradual. Sehingga, menuju ke arah

itu, menurut Crouch, ada beberapa langkah terbatas, namun penting yang harus dilakukan (atau

yang disebut “Lima Langkah Reformasi TNI”), yaitu meliputi: (1) reduction in military

representation in the legislatures; (2) elimination of “kekaryaan” (secondment of military

officers to civilian positions); (3) political “neutrality”; (4) separation of police from the

military; dan (5) defence orientation.

1.1.2 Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

1.1.2.1 Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika

Salah satu kasus pelanggaran HAM dalam transisi masa politik adalah kasus

pembunuhan Steven Biko seorang pendiri Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam di Afrika.

Biko meninggal pada 12 September 1977 di rumah sakit penjara Pretoria, dengan mulut penuh

bekas pukulan dan berbusa. Pembunuhan terhadapnya merupakan salah satu bentuk kejahatan

dari sederetan kekejaman mengerikan yang banyak terjadi selama diterapkannya sistem

apartheid di Afrika Selatan, suatu sistem yang diberi label oleh Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dua puluh tahun kemudian, 5 (lima) orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko

mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Afrika Selatan. Namun, hal ini hanya dapat diberikan jika mereka bersedia “membeberkan atau

membuka sepenuhnya semua fakta yang relevan”. Namun, Mahkamah Konstitusi Afrika

Selatan secara eksplisit mengakui adanya suatu amnesti yang lebih kuat dan bertanggung jawab

7
secara positif dan menegaskan bahwa hal itu sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi

dan rekonstruksi.

1.1.2.2 Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi

Namun, Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko menilai bahwa argumentasi tersebut

merupakan pembusukan. Ntsiki Biko menghendaki agar para pembunuh suaminya dihukum.

Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius atau

pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab “ya”. Itulah

sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum pidana. Dan tentu saja

yang lebih nyata adalah bahwa sebenarnya hukum internasional sudah mengandung beberapa

peraturan khusus yang berkaitan dengan upaya penuntutan dan pemberian hukuman. Ada

persetujuan yang meluas di kalangan para ahli dan organisasi-organisasi HAM bahwa

kewajiban untuk melakukan penuntutan secara alamiah didasarkan pada putusan-putusan yang

ada dalam hukum internasional.

Sehingga, dalam putusannya pada tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untu memberikan amnesti terhadap

para pembunuh Steven Biko, berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu: (1) para pembunuh Biko belum

memberikan kesaksiannya dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada Komisi; dan

(2) pembunuhan Biko tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

1.1.2.3 Perspektif Hukum Internasional

Dalam gugatannya kepada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Ntsiki Biko

menyatakan bahwa kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk

memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional.

8
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat analisis tentang perspektif hukum internasional dalam

konteks amnesti terhadap pelanggar HAM.

Dalam perspektif hukum internasional terdapat dua perdebatan yaitu kelompok

“inward looking” dan “outward looking”. Menurut pandangan kelompok “outward looking”

bahwa semua ketentuan dari badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.

Sedangkan menurut pandangan kelompok “inward looking” bahwa keputusan internasional

memang perlu dihormati dan dilaksanakan, karena berkaitan dengan konsep kedaulatan negara

yang dianut oleh masyarakat luas yang telah dipengaruhi dengan fenomena globalisasi.

Akan tetapi, diyakini pula bahwa di negeri-negeri yang lemah ekonominya, disamping

memenuhi hak-hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan hak asasi

pembangunan (right of development). Hal itu sangat krusial untuk terselenggaranya suatu

pemerintahan yang viable (yang berfungsi) dan efektif. Sebab itulah yang merupakan prasyarat

untuk berdirinya suatu negara demokrasi yang terkonsolidasi.

1.1.3 Pengalaman Beberapa Negara

Adapun pengalaman beberapa negara lain yang mengalami transisi politik dari masa

otoriter menjadi demokratis, yaitu kelompok negara-negara Amerika Selatan (Amerika Latin)

dan negara non-Amerika Latin. Di negara Amerika latin sebelum memulai masa tansisinya

dikenal dengan rezim otoriterisme birokratis, seperti di negara Argentina, Bolivia, Brazil. Di

Peru, terdapat jenis otoriterisme lain yang diistilahkan “populis”. Transisi politik dari

pemerintahan otoriter ke demokratis di negara non-Amerika Latin, dialami di Negara Yunani,

Portugal, Sanyol yang dalam tahun 1974 sampai dengan 1975 terjadi.

9
1.2 KEADILAN TRASISIONAL
1.2.1 Pengantar
1.2.1.1 Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru
a. Menghukum Masa Lalu atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis

Sebagaimana telah diuraikan di atas, masyarakat di seluruh dunia sedang berupaya


untuk memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi.
Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan menutup mata
mereka secara kolektif. Contohnya: Autria, telah lama menggambarkan dirinya sebagai
“korban pertama” dari Nazisme; Spanyol, mulai bergerak setelah Franco meninggal dunia;
Uruguay, rakyat memberikan suaranya dalam suatu referendum untuk tidak menyelidiki
pemerintahan militer yang penuh kekerasan yang berakhir pada tahun 1985. Namun, juga
terdapat beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia
historisnya di hadapan korban-korban yang terus-menerus berjatuhan. Contohnya: bangsa
Jepang dan perlakuan mereka terhadap Cina dan Korea selama masa-masa perang; atau
bangsa Turki dan pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia.

b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan

Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk
menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah
memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transnasional”. Menurut
Daan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat beberapa kata yang
menarik untuk didiskusikan dan juga merupakan bagian dari parameter-parameter untuk
menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan transisional, yaitu sebagai
berikut: Pertama, adalah kata kebenaran yang diadopsi dari nama Komisi yang didirikan di
Chile, yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kedua, adalah kata rekonsiliasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi
korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya, dan mencapai
kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan
tersebut. Ketiga, adalah keadilan, meskipun peran keadilan dalam proses transisi dan
prioritas yang diberikannya berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

1.2.1.2 Empat Permasalahan Utama: Politik Memori

a. Empat Permasalah Utama

Sehubungan dengan berbagai persoalan yang timbul dalam upaya-upaya pencarian


konsepsi keadilan transisional dalam proses trasisi politik menuju demokrasi, maka Ruti G.
Teitel, memberikan 4 (empat) pertanyaan yang relevan untuk diangkat dan dijadikan sebagai
tolak ukur terkait dengan perlakuan dari masa lalu suatu negara terhadap masa depannya,
yang mencakup sebagai berikut:
(1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru
terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
(2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformative?

10
(3) Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara
terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu
tata pemerintahan yang liberal?
(4) Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?

b. Beberapa Sanksi terhadap Kejahatan HAM Berat: Putusan Pengadilan Nuremberg

Pemberian sanksi terhadap kejahatan HAM terdapat dalam salah satu putusan di
Pengadilan Nuremberg, yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan menghukum
orang-orang yang turut berkonspirasi melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam Piagam yang
dibentuk oleh negara-negara yang memegang kekuasaan utama yang mengatur yurisdiksi
dan fungsi dari Pengadilan Nuremberg. Dalam putusan tersebut mengadili 22 orang
terdakwa atas pasal 6 Piagam.

c. Politik Memori

Dalam bahasa Alexandra Barahona de Brito, Carmen Gonzales-Enriquez, dan Paloma


Aguilar, keempat permasalahan utama sebagaimana dikemukakan oleh Ruti G. Teitel
disebut sebagai the politics of memory. Salah satu di antara permasalahan-permasalahan
politik dan etika yang dihadapi selama masa transisi politik dari rezim otoriter atau totaliter
ke rezim demokratis adalah bagaimana untuk menghadapi berbagai hal yang berkaitan
dengan represi masa lalu.

1.2.1.3 Beberapa Wacana tentang “Transitology” dan “Consolidology”

Dalam masa transisi politik menuju demokratis terdapat kaitan dengan terminologi,
yaitu transiology dan consolidology. Terhadap subdisiplin tersebut, menurut Schmitter ada
kemungkinan terjadinya kontradiksi di antara tahapan-tahapan dari proses perubahan rezim dan
ilmu-ilmu semu yang mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya, Schmitter
berpendapat bahwa seorang transitologis yang beralih menjadi seorang konsolidologis secara
pribadi harus membuat suatu pergeseran epistemologis agar dapat mengikuti perubahan-
perubahan tingkah laku yang para aktornya sendiri sedang mengalami atau menjalaninya.
Dalam hal ini, kontradiksi yang terdapat diantara transiology dan consolidology
diuraikan dalam 11 (sebelas) refleksi. Dimana sekumpulan refleksi yang dimaksud meliputi
tujuh hal sebagai berikut: Pertama, tanpa kekerasan atau penghilangan fisik dari para pemain
utama dari otokrasi sebelumnya. Kedua, tanpa banyak mobilisasi massa yang membawa
kejatuhan dari ancien régime dan penentuan waktu dari transisi. Ketiga, tanpa mendapatkan
suatu tingkat tinggi dari pembangunan ekonomi. Keempat, tanpa menyebabkan suatu distribusi
kembali dari pendapatan yang substansial atau kekayaan. Kelima, tanpa kehadiran sebelumnya
dari para borjuis nasional. Keenam, tanpa budaya kewarganegaraan. Ketujuh, tanpa (banyak)
demokrat.

1.2.2 Konteks Internasional pada Waktu Transisi


1.2.2.1 Internasionalisasi Permasalahan

11
Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber
yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan
mereka-mereka yang berada di luar negeri. Menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing
didorong untuk memainkan suatu peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi
mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi
mereka untuk diadili. Karena pada dasarnya isu-isu mengenai keadilan transisional menjadi
suatu pembangkit titik nyala api yang tinggi di berbagai negara yang baru bangkit dari represi
politik. Sehingga, para penyusun kebijakan politik luar negeri akan disarankan untuk menjada
lensa ini sebagai fokus saat mereka melakukan monitor, mengantisipasi, dan merespon ke
transisi-transisi di seluruh dunia.

1.2.2.2 Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif

Konsep penengah yang lain dari aturan hukum trasisional adalah hukum internasional.
Hukum internasional menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui
hukum dan politik domestik. Dalam periode transisi politik, hukum internasional menawarkan
suatu konstruksi alternatif dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang
substansial, tetap berlangsung dan kekal. Selain itu, hukum internasional berperan sebagai
konsep penengah untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan
pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari Pengadilan Nuremberg
berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif. Selanjutnya, dalam periode ini,
hukum internasional menawarkan suatu konsep mediasi yang berguna. Didasarkan pada hukum
positif, namun memasukkan nilai-nilai keadilan yang disatukan dengan hukum alam, hukum
internasional menengahi dilema dari aturan hukum.

1.2.2.3 Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda

Dalam ruang lingkup pembahasan konteks internasional pada masa transisi ini, dapat
pula dicatat permasalahan keadilan retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda. Keadilan di
ketiga negara tersebut sampailah pada waktunya ketika aturan-aturan yang bersifat
supranasional tentang penghormatan terhadap HAM dan aturan-aturan hukum justru lemah dan
tidak ada. Dimana Dewan Eropa kemudian mempublikasikan konvensinya, yakni European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada tahun 1950.
Terdapat analisis perbandingan yang dilakukan oleh Huyse terhadap Belgia, Perancis,
dan Belanda dengan Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia (negara pascakomunis), yang
didapatkan 2 (dua) kesimpulan, yaitu: (1) tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit
politik merupakan suatu fungsi dari kondisi-kondisi yang menjadi jalan ke arah demokrasi; dan
(2) tidak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan dengan masa lalu yang represif.

1.2.2.4 UU Lustrasi Cekoslovakia

Pada tanggal 4 Oktober 1991, Cekoslovakia memberlakukan Law on Lustration.


Ukuran ini digariskan dari suatu jajaran yang luas dari posisi-posisi kenegaraan yang melalui
pemilihan atau pengangkatan, dan posisi-posisi kuasi kenegaraan, bagi mereka yang
diidentifikasikan sebagai conscious collaborators dalam berbagai records StB. Namun, dalam
perkembangannya, UU ini banyak mendapatkan kritisisme yang signifikan dari dalam maupun

12
luar negeri, karena UU ini dipandang telah melanggar Pasal III dari konvensi ILO tentang
diskriminasi di tempat kerja. Pada bulan Nopember 1992, MK Cekoslovakia menyatakan tidak
sah pasal-pasal yang berkaitan dengan conscious collaborators, namun tetap membelakukan
pasal-pasal lainnya.

1.2.2.5 Akibat yang Lebih Signifikan dan Empat Skenario Pascakomunis

Para analis berpendapat bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi arah dari
keadilan pascakomunis, hal yang paling menentukan ialah faktor keseimbangan di antara
kekuatan-kekuatan dari masa lampau dan para elit penggantinya pada masa transisi.
Selanjutnya, Samuel P. Huntington, Huyse, maupun Rustow membuat beberapa skenario
mengenai masa depan pascakomunisme. Keseluruhan skenario secara mendasar dapat direduksi
menjadi 4 (empat) kemungkinan skenario sebagai berikut: Skenario Pertama adalah apa yang
dapat disebut sebagai “becoming like the West”, yaitu suatu negara pascakomunis secara
gradual bertransformasi menjadi suatu negara demokrasi pluralis yang stabil; Skenario Kedua
adalah dari suatu sistem otoritarian, dimaksudkan bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara
kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi – dengan asumsi adanya
kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama.; Skenario Ketiga, secara esensial tidak
mengarah pada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang
abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah; dan Skenario Keempat adalah skenario
yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat diprediksi, sejak ia tidak
dapat disesuaikan dengan kategori-kategori yang eksis sebelumnya.

1.2.3 Keadilan dalam Masa Transisi Politik


1.2.3.1 Pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis

Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat
2 (dua) pandangan yang saling berhadapan yang saling berhadapan, yakni pandangan kelompok
realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus
menunjang pembangunan demokrasi. Menurut Ruti G. Teitel, dilema awal dimulai dari konteks
keadilan dalam transformasi politik: Hukum dicerna sebagai suatu fenomena yang terletak di
antara masa lalu dan masa yang akan datang, antara pandangan masa lalu (backward looking)
dan pandangan ke masa yang akan datang (forward looking), antara retropektif dan prospektif,
antara individual dan kolektif.Dengan demikian, keadilan transisional adalah keadilan yang
diasosiasikan dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Sehingga, dalam periode
dinamis keadaan politik yang mengalami perubahan terus-menerus, respon-respon hukum
membangkitkan suatu paradigma sui generis dari hukum yang transformaif.

1.2.3.2 Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan Politik

Dalam pandangan ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara
luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam
masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan
kekuasaan. Hukum hanya suatu produk dari perubahan politik. Menurut De Brito, hubungan
antara keadilam politik dan demokrasi merupakan sesuatu yang kompleks, dimana rezim
pengganti yang bersifat non-demokratis diperlengkapi dengan lebih baik dalam konteks

13
filosofis dan psikologis untuk mengimplementasikan suatu kebijakan-kebijakan keadilan yang
lebih komprehensif, karena terdapat pluralisme yang bersifat terbatas dan non-existent atau
kekurangan perhatian terhadap proses hukum.

1.2.3.3 Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Politik

1.2.4 Dilema Penerapan Aturan Hukum


1.2.4.1 Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan
1.2.4.2 Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para Mantan
Kolaborator Nazi

BAB II
TANGGAPAN

2.1 Tanggapan atas Ringkasan Transisi Politik Menuju Demokrasi


2.2 Tanggapan atas Ringkasan Keadilan Transisional

DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai