Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERTROPHY)

Oleh :

Komang Noviantari

1302105006

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana

2016
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/Pengertian
- Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar,
memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
keluar urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya
tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukkan adanya keterlibatan hormonal.
Kondisi ini yang umum terjadi pada pria diatas usia 50 tahun (Pierce & Neil,
2006).
- BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat;
pertumbuhan tersebut di mulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa dan
pembesaran bagian periuretral akan menyebakan obstruksi leher kandung
kemih dan urertra pars prostatika yang mengakibatkankan berkurangnya aliran
kemih dari kandung kemih (Price & Wilson, 2006)
- BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan
bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada
waktu meningkatnya usia sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran
dari kelenjar ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin
sehingga menyulitkan berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi
pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada leher
kandung kemih dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini umumnya terkait
dengan proses penuaan dan terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.
2. Epidemiologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai dengan
pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul pada > 50% pria
berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun (Davey, 2002). BPH
merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih 30% populasi kulit putih
Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan gejala sedang hingga berat (Mitchell
et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria
berusia di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak ditemukan
adalah hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70%
pria beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa
gejala obstruksi aliran keluar kandung kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk
BPH. Data menunjukkan bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang
lebih tinggi tampaknya berada pada status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan
yang buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir
50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan
hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5%
pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu,
jika dilihat dari 200 juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100
juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia
menderita penyakit BPH (Heffner, 2005).
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-
reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam
sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT).
Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
kompleks. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel (Hardjowidjoto,
2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel yang
telah mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan didegradasi oleh enzim
lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone yang
merupakan mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone ini disintesis di
dalam kelenjar prostat dari hormone testosterone yang beredar dalam darah, dimana
proses tersebut terjadi melalui kerja enzim 5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT
terlihat sebagai factor trofik utama yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat,
hormone estrogen juga ikut terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh
factor-faktor pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis
obstruksi traktus urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat yang
dimediasi oleh otot polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos kelenjar
prostat dimediasi oleh adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di dalam stroma
kelenjar prostat (Mitchell et al, 2008).
Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya nodul-
nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah periuretral) (Mitchell
et al, 2008). Hiperplasia prostatika adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Pertumbuhan tersebut dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat
tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian peri uretral akan menyebabkan
obstruksi leher vesika urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan
berkurangnya aliran urine dari vesika urinaria. Penyebab BPH kemungkinan
berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan hormon. Dengan
penuaan, kadar testosteron serum menurun dan kadar esterogen serum meningkat.
Terdapat teori bahwa rasio esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang
hiperplasia jaringan prostat (Price and Wilson, 2005).

(Pathways terlampir)
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Gejala Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang,
volume urine menurun, dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak
lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa seperti
kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml
urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan
infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer,
2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut
dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia, urgensi (kebelet),
urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk
mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat berkemih, inkontinensia overflow, dan
kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba
pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang
penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan
rectal untuk menilai besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk menyingkirkan
gagal ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria dengan
hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan ini
dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau dicurigai mengidap
hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna BPH.
Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran dilakukan.
Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL, kemudian laju maksimal
aliran urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami hematuria
dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US atau
praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen spesifik-prostat
dalam serum dapat membantu memperkirakan perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi
urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya  20 gram, derajat II = beratnya antara
20 – 40 gram, derajat III = beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi
dasar kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan
divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang.
Pemeriksaan urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang
dari 10 mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung
kemih yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).

10. Terapi/Tindakan Penanganan


Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2007) adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi konsumsi
kafein; menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya fenoksibenzamin,
prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler prostat
(misalnya finasteride); kateterisasi intermiten jika terdapat kegagalan otot
detrusor; dan dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak
siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin  100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy

Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH


tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
11. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
12. Prognosis
Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah
prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka) (Grace and Borley, 2007). Lebih
dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5
tahun (Schwartz, 2000).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan pembesaran
fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan
pembesaran kandung kemih
(McPhee & Ganong, 2010)
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan
renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
- Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan adanya
retensi urine
- Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
- Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi knee
chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah
untuk menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat
perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya?
Dan apa penyebab sakitnya saat ini?
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai
aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4. Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu
mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan
lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
7. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien,
bagaimana status neurologis klien, apakah ada gangguan?
8. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien
dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan
klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan
peran selama klien sakit?
9. Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
10. Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana
klien menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan
obat-obatan untuk mengurangi stresnya?
11. Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan
dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK
yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada
pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?

2. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaborasi


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien BPH yaitu:
a) Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik (BPH)
ditandai dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit, nokturia, dysuria,
retensi urine, urgensy (dorongan berkemih), anyang-anyangan, dan dribling.
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (BPH) ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, peningkatan denyut nadi, peningkatan
frekuensi pernapasan, peningkatan tekanan darah, meringis, melokalisasi nyeri.
c) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pemasangan kateter).
d) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan
ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
e) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi
ditandai dengan pengungkapan masalah.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional Evaluasi
Keperawatan
1 Gangguan Setelah diberikan asuhan NIC Label: Urinary Urinary Elimination S: pasien mengatakan
eleminasi urin keperawatan selama…. x 24 Elimination Management Management sudah bisa berkemih
berhubungan jam, diharapkan pasien 1. Monitor eleminasi urin 1. Memonitor adanya dengan lancar, tidak
dengan obstruks dapat berkemih dengan termasuk frequensi, perubahan pola eliminasi mengalami nokturia,
anatomik (BPH) kriteria hasil: konsistensi, bau, volume, 2. Prevensi terjadinya retensi tidak nyeri saat
ditandai dengan NOC Label : Urinary dan warna jika urin yang berat berkemih, perasaan
BAK frekuensi Elimination diperlukan 3. Mengurangi kejadian puas saat berkemih
sering namun a. Pola eleminasi klien 2. Monitor tanda dan gejala ketidaknyamanan (pengosingan VU
sedikit-sedikit, teratur dari retensi urinary 4. Mengevaluasi sempurna)
b. Jumlah urin dalam
nokturia, 3. Identifikasi factor keseimbangan input dan
rentang normal (0.5 – 1
dysuria, retensi kontribusi yang output cairan O: pola eliminasi pasien
cc/kgBB/jam)
urine, urgensy menyebabkan 5. Untuk mengetahui pola teratur, jumlah output
c. Tidak nyeri saat
(dorongan gangguaneliminasi urine berkemih klien urine dalam rentang
berkemih
berkemih), d. Tidak mengalami 4. Instruksikan klien dan normal, tidak ada tanda-
anyang- nokturia keluarga mencatat tanda distensi abdomen,
e. Tidak mengalami retensi
anyangan, dan urinary output jika Urinary Retention Care karakteristik urine
urine
dribling diperlukan 1. Memberikan perawatan normal
f. Warna urine jernih
5. Catat waktu berkemih yang lebih spesifik untuk
kekuningan
g. Pengosongan kandung Urinary Retention Care mengatasi inkontinensia A: tujuan tercapai
kemih yang sempurna 1. Rangsang refleks klien
h. Tidak ada darah ketika
kandung kemih dengan 2. Membantu mengosongkan P: pertahankan kondisi
berkemih
mengaplikasikan kompres kandung kemih dengan pasien
i. Pasien tidak merasa
dingin di perut, mengelus teknik nonfarmakologis
panas ketika berkemih
paha bagian dalam atau 3. Membantu klien untuk
dengan air mengalir mengosongkan kandung
2. Minta klien dan keluarga
kemih
memperhatikan input dan
4. Memandirikan klien dan
output cairan klien
keluarga
3. Memonitor input dan
5. Memastikan apakah output
output cairan klien
sesuai dengan input cairan
Urinary Catheterization
klien
1. Jelaskan prosedur
pemasangan kateter
2. Gunakan teknik sterile Urinary Catheterization
ketika melakukan 1. Meningkatkan pengetahuan
pemasangan kateter klien dan keluarga serta
3. Gunakan selang kateter
menurunkan kecemasan
dengan ukuran yg paling
klien terhadap prosedur
kecil, tidak memaksakan
yang akan dilakukan
ukuran yang besar
2. Mencegah terjadinya
4. Tunjukkan dan ajarkan
pasien untuk melakukan infeksi
perawatan kateter atau 3. Menurunkan rasa nyeri
pengosongan urin bag. pada saat prosedur
Medication Management dilakukan, mencegah
1. Berikan obat apa yang terjadinya ruptur pembuluh
dibutujkan dan darah pada saluran kemih.
diadministrasikan 4. Mencegah terjadinya
menurut resep dan infeksi akibat pemasangan
prosedur kateter
2. Monitor efek therapeutik
dari obat Medication Management
3. Monitor tanda dan gejala 1. Penanganan farmakologis
adanya efek toksik untuk penyebab gangguan
4. Monitor efek samping 2. Memantau keefektifan
dari obat pemberian medikasi
5. Pantau ketaatan pasien 3. Menghindari adanya
terhadap regiment respon yang merugikan
medication 4. Menghindari efek yang
6. Kaji pengetahuan klien tidak diinginkan
tentang obat 5. Monitoring perbaikan
7. Ajarkan klien dan prilaku untuk mempercepat
keluarga prosedur terapi penyembuhan
obat 6. Meningkatkan
8. Ajarkan klien tanda dan pengetahuan klien tentang
gelaja dari efek terapi, medikasi yang diberikan
efek samping dan efek 7. Meningkatkan pemahaman
toksik dari regimen terapi klien dan keluarga
mengenai cara penggunaan
Bladder Irrigation obat
8. Agar klien paham tentang
1. Pastikan apakah irigasi
efek samping dan
akan terus berkelanjutan
penanganannya
atau intermiten (sesuai
kebutuhan)
2. Lakukan irigasi dengan Bladder Irrigation
teknik steril
1. Agar tindakan yang
3. Bersihkan tempat untuk
dilakukan benar dan tidak
memasukan dan cairan
membahayakan kondisi
mengeluarkan cairan
pasien
dengan alkohol
2. Untuk mencegah terjadinya
4. Monitor dan pertahankan
infeksi
kecepatan aliran yang
3. Tujuan membersihkannya
sesuai
adalah agar tidak ada
5. Catat cairan yang
digunakan, karakteristik kontaminasi bakteri yang
output dan jumlahnya. dapat menyebabkan infeksi
apabila masuk ke tubuh
pasien
4. Agar cairan yang masuk
tidak kurang dan tidak lebih
serta sesuai dengan kondisi
bladder pasien.
5. Jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan
yang keluar sehingga tidak
ada cairan yang tertahan di
dalam tubuh pasien.
Karakteristik output
mencerminkan keadaan
bladder pasien
2 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Pain Pain Management S: pasien mengatakan
berhubungan keperawatan selama ...x 24 Management nyeri yang dialami
1 Nyeri merupakan pengalaman
dengan agen jam diharapkan nyeri klien sudah berkurang sampai
1 Kaji nyeri secara koprehensif subjektif dan harus dijelaskan
cedera biologis dapat teratasi dengan hilang
(lokasi, karakteristik, oleh pasien. Identifikasi
(BPH) ditandai kriteria hasil
durasi, frekuensi, kualitas karakteristik nyeri dan factor
dengan O: tidak ada respon
dan factor presipitasi) yang berhubungan dengan
melaporkan NOC Label : Pain Level 2 Eliminasi factor yang nyeri merupakan hal yang nonverbal yang
nyeri secara memicu terjadinya nyeri penting untuk dikaji, untuk menunjukkan adanya
1. Pasien melaporkan skala 3 Kalaborasi pemberian terapi
verbal, memilih intervensi yang tepat nyeri pada pasien
nyeri berkurang analgetik secara tepat
peningkatan 2. Pasien tidak tampak 4 Anjurkan dan mengevaluasi
teknik
denyut nadi, melokalisasi nyeri dan keefektifan dari terapi yang A: tujuan tercapai
nonfarmakologi seperti
peningkatan tidak tampak meringis diberikan
relaksasi, distraksi, napas
3. Respiration rate pasien 2 Faktor pencetus nyeri dapat
frekuensi P: pertahankan kondisi
dalam sebelum nyeri
normal (16-20x /menit) meningkatkan nyeri pasien
pernapasan, pasien
4. Tekanan darah normal terjadi atau meningkat 3 Agen- agen analgetik secara
peningkatan 5 Gunakan strategi komunikasi sistemik dapat menghasilkan
(120/80 mmHg)
tekanan darah, 5. Nadi normal (60- terapeutik untuk relaksasi umum
meringis, memberikan terapi4 Tindakan distraksi dan relaksasi
100x/menit)
memungkinkan klien untuk
melokalisasi Nonfarmakologi
NOC Label : Pain contol mengontrol rasa nyeri rasa
nyeri NIC Label : Vital Sign
nyeri yang muncul secara
1 Menggunakan analgetik 1. Pantau tanda-tanda vital mandiri
seperti yang tidak 5 Komunikasi terapeutik diperlukan
pasien (tekanan darah,
dalam menjalin BHSP dan
direkomendasikan nadi, suhu dan respirasi)
2 Pasien dapat melaporkan memudahkan perawat dalam

ketika tidak dapat memberikan intervensi

mengontrol nyeri Vital Sign

1. Tanda-tanda vital mampu


menentukan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam
tubuh pasien.
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Infection NIC Label : Infection Control S: pasien mengatakan
berhubungan keperawatan selama .....x24 Control 1. Mencegah terjadinya tidak mengalami tanda-
dengan prosedur jam status kekebalan pasien 1. Bersihkan lingkungan infeksi nosocomial yang tanda infeksi seperti
invasive meningkat dengan kriteria setelah dipakai pasien dapat memperburuk kondisi kemerahan, serta
(pemasangan hasil: lain pasien baru bengkak
2. Batasi pengunjung bila
kateter) NOC Label: 2. Mengurangi resiko infeksi
perlu
Risk Control : Infectious yang mungkin ditularkan O: tidak ada
3. Instruksikan pengunjung
Process oleh pengunjung peningkatan WBC
untuk mencuci tangan
a. Dapat mengidentifikasi 3. Mengurangi kuman yang
saat berkunjung dan
factor risiko infeksi ditularkan melalui tangan A: tujuan tercapai
setelah berkunjung
b. Mampu melaksanakan
4. Gunakan sabun anti pengunjung
peningkatan waktu
mikroba untuk cuci 4. Membantu membunuh P: pertahankan kondisi
istirahat
tangan kuman yang ditularkan pasien
c. Mampu
5. Cuci tangan sebelum dan
melalui tangan
mempertahankan
sesudah tindakan
5. Mencegah terjadinya
kebersihan lingkungan
keperawatan
d. Mengetahui risiko infeksi selama melakukan
6. Gunakan universal
infeksi personal intervensi keperawatan
precaution dan gunakan
e. Mengetahui kebiasaan
6. Mengurangi resiko
sarung tangan selama
yang berhubungan
terjadinya infeksi akibat
kontak dengan kulit yang
dengan risiko infeksi
tidak utuh kontak dengan kulit yang
7. Tingkatkan intake nutrisi
tidak utuh
dan cairan
7. Nutrisi dan cairan dapat
8. Berikan terapi antibiotik
meningkatkan imunitas
bila perlu
9. Observasi dan laporkan pasien
tanda dan gejal infeksi 8. Mengurangi infeksi yang
seperti kemerahan, dialami pasien
panas, nyeri, tumor 9. Agar dapat melakukan
10. Kaji temperatur tiap 4
penanganan infeksi dengan
jam
segera
11. Catat dan laporkan hasil
10. Perubahan temperature
laboratorium, WBC
12. Istirahat yang adekuat merupakan salah satu
13. Kaji warna kulit, turgor
indicator terjadinya infeksi
dan tekstur, cuci kulit
11. Peningkatan WBC
dengan hati-hati
menunjukkan terjadinya
14. Ajarkan klien dan
infeksi pada pasien
anggota keluarga
12. Istirahat yang cukup dapat
bagaimana mencegah
membantu meningkatkan
infeksi
imunitas pasien
13. Memantau adanya tanda-
tanda infeksi
14. Karena mencegahan infeksi
harus dilakukan oleh semua
pihak
4 Kerusakan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Wound Care Wound Care S: klien mengatakan
1. Monitor karakteristik 1. Untuk mengetahui jenis
integritas keperawatan selama ....x 24 lebih merasa nyaman
luka termasuk drainase, luka dan keadaan luka
jaringan jam diharapkan terjadi
O: tidak ada drainase
warna, ukuran, dan bau. pasien.
berhubungan perluasan regenerasi sel
2. Bersihkan luka dengan 2. Cairan normal saline purulen, tidak terjadi
dengan prosedur dengan kriteria hasil :
normal saline merupakan cairan fisiologis peningkatan temperatur
NOC Label: Wound
pembedahan
menggunakan teknik (mirip cairan tubuh) kulit, jaringan granulasi
Healing: Primary
ditandai dengan
steril sehingga aman untuk mulai terbentuk, tidak
Intention
adanya luka 3. Rawat kulit di sekitar
a. Pembentukan jaringan digunakan, teknik steril ada bau pada luka.
insisi luka
granulasi (luka mulai digunakan untuk mencegah
4. Gunakan obat salep kulit A: tujuan tercapai
pembedahan
menutup) terjadinya infeksi.
sesuai kebutuahan P: pertahankan kondisi
b. Tidak ditemukan eksudat 3. Mencegah terjadinya iritasi
apabila diindikasikan. pasien.
purulen dan serousa pada kulit dan membantu
5. Terapkan balutan yang
c. Tidak ada pembekakan,
mempercepat proses
disesuaikan dengan tipe
eritema, dan bau pada
penyembuhan luka.
luka
luka 4. Untuk membantu proses
6. Ajarkan pasien dan
penyembuhan luka dan
keluarga tentang
NOC Label: Tissue menjaga kelembaban kulit
prosedur perawatan luka
5. Menjaga luka tetap tertutup
Integrity 7. Monitor keadaan luka
serta tidak terpapar
1. Perfusi jaringan normal NIC Label: Infection mikroorganisme.
2. ketebalan dan tekstur 6. Agar pasien dan keluarga
Protection
jaringan normal dapat melakukan secara
1. Monit mandiri terutama saat
or adanya tanda dan dirawat di rumah.
gejala sistemik atau local 7. Mengetahui perkembangan
dari infeksi luka
2. Anjur
kan pemberian antibiotic
Infection Protection
sesuai resep dokter bila
diperlukan 1. Mengetahui terjadinya
3. Ajarka infeksi
n pasien dan keluarga 2. Pemberian antibiotic

tentang tanda dan gejala adalah untuk membantu

infeksi melawan mikroorganisme


4. Ajarka pathogen penyebab infeksi
n pasien untuk mencegah 3. Agar dapat segera

terjadinya infeksi melaporkan ke pelayanan


kesehatan serta mencegah
terjadinya komplikasi
4. Agar tidak terjadi infeksi.

6 Defisiensi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Teaching : Teaching : Disease Process S: pasien mengatakan
pengetahuan keperawatan selama .....x24 Disease Proces 1. Tingkat pengetahuan pasien sudah mengetahui
berhubungan jam pasien mengetahui 1. Berikan penilaian tentang akan mempengaruhi tentang penyakit yang
dengan kurang tentang proses penyakit tingkat pengetahuan perilaku sehat pasien dideritanya
pajanan ditandai dengan kriteria hasil: pasien tentang proses 2. Meningkatkan pengetahuan
dengan NOC Label: Knowledge : penyakit yang spesifik pasien mengenai penyakit O: pasien terlihat
2. Jelaskan patofisiologi
pengungkapan Disease Process yang dialaminya mampu menjalani
dari penyakit dan
masalah a. Pasien dan keluarga 3. Mengajarkan pasien untuk perawatan dengan
bagaiman hal ini
familiar dengan nama mengenal tanda dan gejala disiplin
berhubungan dengan
penyakit yang mungkin terjadi
b. Pasien dan keluarga anatomi dan fisiologi
4. Meningkatkan pengetahuan A: tujuan tercapai
3. Gambarkan tanda dan
mampu
pasien mengenai penyakit
gejala yang biasa muncul
mendeskripsikan proses
yang dialaminya P: pertahankan kondisi
pada penyakit
penyakit, faktor
4. Gambarkan proses 5. Mengetahui penyebab pasien
penyebab, faktor risiko,
penyakit penyakit sehingga
efek penyakit, tanda dan 5. Identifikasi kemungkinan
pengobatan yang diberikan
gejala, perjalanan penyebab dengan cara
dapat tepat sasaran
penyakit. yang tepat
6. Agar pasien mengetahui
c. Pasien dan keluarga 6. Sediakan informasi
kondisi penyakit yang
mampu tentang kondisi pasien
7. Sediakan keluarga sedang dialaminya
mendeskripsikan
informasi tentang 7. Agar keluarga mengetahui
tindakan untuk
kemajuan pasien kemajuan pengobatan yang
menurunkan
8. Diskusikan perubahan
dijalani pasien
progresifitas penyakit.
gaya hidup yang mungkin 8. Perubahan gaya hidup dapat
diperlukan untuk membantu mempercepat
mencegah komplikasi di proses penyembuhan
masa yang akan datang 9. Pilihan terapi yang tepat
dan atau proses akan mempercepat proses
pengontrolan penyakit penyembuhan pasien
9. Diskusikan pilihan terapi
10. Meningkatkan pengetahuan
10. Gambarkan rasional
pasien dan keluarga
rekomendasi manajemen
mengenai intervensi yang
terapi
diberikan sehingga mampu
menjalani intervensi dengan
disiplin
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl M.
2013. Nursing Interventtions Classification (NIC), Sixth Edition.USA : Mosby
Elsevier
Davey, P. (2002). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series
Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga
Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University
Press
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series
Herdman, T.H. and Kamitsuru, Shigemi. 2014. Nursing Diagnoses Definitions and
Classification (NANDA) 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell
McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto. (2008).
Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue., Jonson, Marion., Mass, Meridean L. and Swanson, Elizabeth. 2008.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier
Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal of
medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 4 Januari
2016
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Sederhana Untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta: Gramedia.


http://books.google.co.id/books?
id=6GUZoTu03b4C&pg=PA112&dq=benign+prostatic+hyperplasia+adalah&hl=en
&sa=X&ei=lCd8VJaFFYLUuQS7nILQAg&redir_esc=y#v=onepage&q=benign
%20prostatic%20hyperplasia%20adalah&f=false (diakses pada tanggal 4 Januari
2016)

Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai