Anda di halaman 1dari 7

HIPERBILIRUBINEMIA

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan bayi baru lahir, dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg/dl pada minggu pertama yang ditandai
berupa warna kekuningan pada bayi atau disebut dengan ikterus. Keadaan ini
terjadi pada bayi baru lahir yang sering disebut dengan ikterus neonatorum yang
bersifat patologis atau yang lebih dikenal dengan hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin dalam
jaringan ekstravaskuler sehingga konjungtiva, kulit dan mukosa berwarna
kuning.keadaan tersebut yang berpotensi menyebabkan kern ikterus yang
merupakan kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek di otak (Hidayat,
2005).
Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap akumulasi
bilirubin dalam darah. Karakteristik dari hiperbilirubinemia adalah jaundice atau
ikterus (Wong, 2007).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar devisiasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari 90%. Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
dengan pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus akan secara klinis tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin dalam darah 5-6 mg/dl (Soleh, 2010).

B. Jenis Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah lahir,
peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl setiap jamnya. Ikterus bertahan
setelah 8 hari untuk bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan dan
adanya penyakit lain yang mendasari seperti muntah, alergi, penurunan berat badan
yang berlebihan, dan asupan yang kurang (Maharani, 2005).
Hiperbilirubinemia fisiologi merupakan konsentrasi bilirubin plasma
meningkat dari nilai normal kurang dari 1 mg/dl menjadi rata-rata 5 mg/dl selama 3
hari pertama kehidupan. Kemudian secara bertahap turun kembali ke nilai normal
sewaktu hati mulai berfungsi dan keadaan ini berhubungan dengan ikterik ringan
(kekuningan) pada kulit bayi dan terutama pada sklera mata selama satu atau dua
minggu (Guyton & Hall, 2012).

C. Penyebab
Hiperbilirubinemia merupakan akibat dari bilirubin bebas atau terkonjugasi
menumpuk dalam darah, kulit, sklera dan membran mukosa menjadi kuning.
Biasanya dapat terdeteksi apabila bilirubin plasma lebih besar dari 2 mg/dl
(Ganong, 2003).
Penyebab hiperbilirubinemia:
1. Pembentukan bilirubin berlebih (anemia hemolitik).
2. Penurunan ambilan bilirubin oleh sel-sel hati.
3. Gangguan konjugasi atau peningkatan protein intra sel.
4. Gangguan sekresi bilirubin terkonjugasi kedalam kanalikulus biliaris
5. Sumbatan duktus biliaris intra atau ekstra hepatik.
Sedangkan menurut Price (2005) ada empat mekanisme umum yang
menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebih
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh sel hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan konjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekskresi
hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme pertama, sedangkan mekanisme ke empat terutama menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi.

D. Pembentukan Hiperbilirubinemia
Pembentukan bilirubin yang berlebih atau hiperbilirubinemia disebabkan oleh
peningkatan hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit yang merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebih. Ikterus yang timbul
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah.
Meskipun demikian, pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang
melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta bersifat kuning
pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat
diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi
terjadi peningkatan pembentukan urobilirubinogen (akibat peningkatan beban
bilirubin terhadap hati dan akibat peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang
selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan
feses akan berwarna lebih gelap.
Penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin
S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam
serum (inkompabilitas Rh atau tranfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun),
pemberian beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian besar kasus ikterus
hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoiesis
yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan destruksi eritrosit atau perkusornya
dalam sum-sum tulang (thalassemia, anemia pernisiosa dan porfiria).

E. Tanda Hiperbilirubinemia
Jaundice dan ikterus merupakan keadaan diskolorasi kuning pada jaringan
(kulit, sclera dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice
berasal dari bahasa perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa
yunani yaitu: ikteros. Jaundice merupakan tanda dari hiperbilirubinemia (misalnya
kadar total bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl)
(Juffrie, 2010).
Derajat kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah
deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotenemia dalam
menyebabkan kulit berwarna kuning, tetapi sklera akan tetap berwarna putih.
Banyak keadaan yang berhubungan dengan neonatal jaundice, beberapa dapat
merupakan tanda hemolisis, infeksi ataupun gagal hati. Secara umum tidak ada
bayi jaundice sejak lahir (setidaknya 1/3 dari bayi yang lahir akan mengalami
jaundice), walaupun jaundice akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan
kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetus dalam
beberapa hari berikutnya. Hampir semua bayi mengalami peningkatan kadar
bilirubin serum (1,4 mg/dl). Peningkatan kadar serum, kulit akan menjadi lebih
jaundice dangan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak dikepala dan
bergerak kearah kausal ke telapak tangan dan telapak kaki. Kremer menemukan
kadar bilirubin indirek serum sebagai perkembangan jaundice. Kepala dan leher= 4-
8 mg/dl, tubuh sebelah atas= 5-12 mg/dl, tubuh sebelah bawah dan paha= 8-16
mg/dl, lengan dan tungkai bawah=11-18 mg/dl, telapak tangan dan kaki >15 mg/dl,
dan jika kadar bilirubin >15 mg/dl maka seluruh tubuh akan ikterus. Cara terbaik
untuk melihat jaundice adalah dengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup (Juffrie, 2010).

F. Toksisitas Neonatal Hiperbilirubinemia


Toksisitas ini berupa kern ikterus (kern= nucleus, ikterus= kuning)
merupakan temuan neuropatologis yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian karena timbulnya warna kuning
pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis, cerebellum, dan nuclei
didasar ventrikel ke IV. Mekanisme klinis yang berhubungan dengan kern ikterus
disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan reflex moro, opistotonus,
hipotonia, vomitus dan kematian. Mekanisme jangka panjang berupa spastisitas,
koreoatetosis dan tuli sensorineural (Juffrie, 2005).
Ensefalopati bilirubin adalah komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis
akibat efek toksis bilirubin indirek terhadap susunan saraf pusat (SSP). Kejadian
ensefalopati bilirubin tersebar diseluruh dunia, baik di negara maju maupun
negara-negara berkembang. Gejala klinis dari ensefalopati bilirubin terdiri dari dua
tahap yaitu fase akut dan fase kronis. Pada fase awal dan intermediate dari fase akut
bersifat revesible (sementara) yang masih aman jika segera diterapi (tranfusi tukar
dan fototerapi). Fase lanjut dan kronis bersifat irreversible (menetap) yang berakhir
dengan gejala sisa neurologis/ bersifat fatal, walaupun dilakukan tranfusi tukar dan
fototerapi. Ensefalopati bilirubin sebagian besar bersifat preventable, apabila tenaga
kesehatan dan rumah sakit mau mengikuti rekomendasi petunjuk tatalaksana ikterus
neonatorum secara benar (Usman, 2007).
Ensefalopati bilirubin merupakan manifestasi klinis dari efek toksin bilirubin
di SSP, sedangkan istilah kern ikterus didefenisikan sebagai suatu perubahan
neuropatologi yang ditandai dengan deposisi pigmen dari beberapa daerah diotak
terutama diganglion basalis, pons dan cerebellum (Abdurrahman Sukadi, 2014).
G. Manajemen Hiperbilirubinemia
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk: pencegahan, fototerapi, dan
tranfusi tukar (IDAI, 2014).
a. Strategi pencegahan hiperbilirubin
1) Pencegahan primer: Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling
sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama, tidak memberikan
cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yamg mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi
2) Pencegahan sekunder: Melakukan penilaian sistematik terhadap risiko
kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal,
semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa, memastikan
bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari 8-12 jam, protokol untuk
penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang dituntut untuk
dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutaneus atau memeriksakan
bilirubin serum total.
3) Evaluasi laboratorium: Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin
serum total harus dilakukan pada bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam
pertama setelah lahir dan pengukuran ulang dilakukan tergantung pada daerah
dimana kadar bilirubin serum total terletak, pengukuran bilirubin
transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan bila tampak
ikterus yang berlebihan atau derajat ikterus meragukan terutama pada kulit
hitam oleh kerana pemeriksaan derajat ikterus secara visual seringkali salah,
semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam.
4) Penyebab kuning: Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi
yang menerima fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan
tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, bayi
yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan
analisis dan kultur urin dan pemeriksaan laboratorium tambahan untuk
mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisis, bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih
3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis juga dilakukan penyaringan terhadap
tiroid dan galaktosemia, pemeriksaan terhadap kadar G6PD (glucose-6-
phosphatase dehydrogenase) dirokemendasikan untuk bayi ikterus yang
mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/ asal geografis
yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan
respon terhadap fototerapi yang buruk.
5) Penilaian risiko sebelum bayi dipulangkan: Sebelum pulang dari rumah sakit
setiap bayi harus dinilai terhadap risiko berkembangnya hiperbilirubinemia
berat dan dinilai sesuai protokol yang telah ditetapkan dengan pengukuran
bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko atau penilaian
faktor risiko klinis. Ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur
72 jam.
6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit (RS): Harus memberikan informasi
tertulis dan lisan kepada orangtua saat keluat dari RS, termasuk penjelasan
tentang kuning, perlunya monitoring terhadap kuning, dan anjuran bagaimana
monitoring harus dilakukan, saat tindak lanjut untuk beberapa bayi yang
dipulangkan sebelum 48 jam, diperlukan 2 kunjungan tindak lanjut yaitu
kunjungan pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam, menunda
pulang dari RS bila tindak lanjut tidak dapat dilakukan terhadap adanya
peningkatan risiko timbulnya hiperbilirubinemia berat sampai tindak lanjut
yang memadai dapat dipastikan atau periode risiko terbesar telah dilalui (72-
96 jam). Penilaian tindak lanjut harus termasuk berat badan bayi dan
perubahan persentase berat lahir, asupan yang adekuat, pola buang air besar
serta ada tidaknya kuning, ini diperlukan untuk menentukan perlu tidaknya
pemeriksaan bilirubin. Jika pemeriksaan visual meragukan, kadar bilirubin
transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus diperiksa.
b. Pengelolaan bayi dengan ikterus
1) Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI (Air Susu Ibu): Observasi
semua feses awal bayi dan pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran
jika feses tidak keluar dapat 24 jam, segera mulai menyusui dan beri sesering
mungkin, tidak dianjurkan pemberian air, dekstrose atau formula pengganti,
observasi berat badan, ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl tingkatkan
pemberian minum.
2) Penggunaan farmakoterapi: immunoglobulin intravena, fenobarbital,
metalloprotoporphyrin, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin
(Sn-MP), inhibitor β-glukoronidase.
3) Foto terapi
Foto terapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green
spectrum yang panjang gelombangnya 430-490 nm) dengan kekuatan paling
kurang 30 uW/cm2 (diperiksa dengan radiometer, atau diperkirakan dengan
menempatkan bayi langsung dibawah sumber sinar dan kulit bayi yang
terpajan lebih luas. Jika kadar bilirubin total serum tidak turun dan terus
meningkat walaupun telah mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah
terjadi hemolisis dan direkomendasikan untuk menghentikan fototerapi.
4) Tranfusi tukar
Direkomendasikan tranfusi tukar bila bayi menunjukkan gejala enselopati
akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau
bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dl diatas garis patokan. Pada bayi sehat dan
usia kehamilan 35-37 minggu (risiko sedang) tranfusi tukar dapat dilakukan
bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya.

Anda mungkin juga menyukai