Anda di halaman 1dari 8

LEMBAR TUGAS MANDIRI

MODUL TUMBUH KEMBANG


FARMAKOLOGI OBAT CACING
Yusuf Ananda Fikri, 1406568406
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

I. Pendahuluan
Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan yang terjadi pada sebagian
anak di Indonesia. Sebagian besar cacing menggunakan media tanah untuk
menginfeksi manusia, tetapi ada juga yang menginfeksi melalui cara hand-to-mouth,
di mana infeksi cacing berhubungan dengan kebiasaan anak memasukkan jari
tangannya ke mulutnya. Infeksi cacing bersifat kronis karena dampak yang
ditimbulkan umumnya terlihat dalam jangka panjang dalam bentuk gangguan kognitif
anak dan gangguan tumbuh kembang anak.1
Prevalensi kecacingan di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama pada
golongan masyarakat yang hidup dengan sanitasi buruk dan lingkungan yang padat,
baik di daerah urban maupun rural.1 Pada tahun 2006, prevalensi kecacingan di
Indonesia mencapai 32,6%, dan sebagian besar terjadi pada masyarakat dengan
tingkat ekonomi yang rendah. Hal tersebut bisa dijelaskan karena kelompok
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah umumnya kurang mampu menjaga
sanitasi dengan baik pada lingkungan tempat tinggalnya.2
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dampak dari infeksi cacing bersifat
jangka panjang dan dapat termanifestasi dalam bentuk gangguan kognitif dan
gangguan tumbuh kembang. Kedua gangguan ini utamanya disebabkan oleh nutrisi
yang banyak diserap oleh cacing yang hidup di saluran pencernaan. Apabila tidak
segera ditangani, dampak yang ditimbulkan akan semakin parah dan akhirnya akan
menjadi ireversibel.

II. Isi
Infeksi cacing yang paling umum di dunia adalah infeksi cacing Ascaris
lumbricoides, yang biasa disebut askariasis. Anak berumur 3-8 tahun merupakan
kelompok yang paling rentan terkena askariasis, karena biasanya anak dengan umur
tersebut belum mengerti secara menyeluruh cara menjaga kebersihan dengan baik
apabila tidak dibiasakan sejak dini, contohnya tidak mencuci tangan setelah bermain
di tanah yang ternyata terdapat cacing Ascaris.3 Berikut akan dijelaskan obat-obatan
untuk menangani anak dengan infestasi cacing beserta farmakologinya.
A. Mebendazole
Mebendazole merupakan turunan dari benzimidazol. dipakai untuk mengobati
infeksi cacing tambang, Ascaris, Trichuris, dan Enterobius. Mebendazole merupakan
obat yang sifatnya bekerja dengan lambat. Mebendazole bekerja dengan menghambat
penyerapan glukosa pada cacing. Mebendazole berikatan dengan situs colchicine-
sensitive pada tubulin di tegumen dan usus cacing, sehingga tubulin tidak dapat
berpolimerisasi menjadi mikrotubulus. Tidak adanya mikrotubulus di tegumen dan
usus cacing akan menghambat proliferasi sel sehingga menghambat penyerapan
glukosa dan nutrien dari host cells dan cacing akan kekurangan nutrien untuk
energinya & lama kelamaan akan mati.4
Kadar mebendazole yang diabsorpsi ke dalam tubuh sangat rendah, yaitu
sekitar 5-10%, tetapi asupan lemak dapat meningkatkan absorpsi. Mebendazole yang
masuk ke dalam aliran darah sistemik akan dimetabolisme oleh hati menjadi 2-amino-
5-benzoylbenzimidazole. 2% kadar mebendazole yang ada di dalam tubuh akan
dieliminasi melalui urin dan sisanya dieliminasi melalui feses baik dalam bentuk
mebendazole utuh atau dalam bentuk metabolit primer. Waktu paruh obat ini berkisar
antara 2.5-5.5 jam, tetapi dapat mencapai 35 jam pada pasien dengan fungsi hati yang
tidak baik. Dosis mebendazole yang dapat menjadi racun dalam tubuh adalah 620
mg/kg berat badan.4 Obat turunan benzimidazol, albendazole dan mebendazole,
melalui penelitian pada hewan juga terbukti memiliki potensi untuk menjadi
embriotoksik dan teratogen sehingga penggunaan obat ini pada ibu hamil dan bayi
harus dilakukan dengan hati-hati.5
B. Albendazole
Seperti mebendazole, albendazole juga merupakan turunan dari benzimidazol.
Albendazole dipakai untuk mengobati infeksi Ascaris, Enterobius, Trichuris, cacing
tambang, Strongyloides, dan Trichinella. Sisi farmakodinamik dan mekanisme kerja
dari obat ini pun sama dengan mebendazole, yaitu berikatan dengan -tubulin pada
tegumen dan sel usus cacing dan menghambat polimerisasi dan pembentukan
mikrotubulus. Mikrotubulus yang tidak adekuat akan menghambat proliferasi sel di
tegumen cacing sehingga akan mengganggu penyerapan glukosa dari cacing dan
cacing lama kelamaan akan mati.6
Penelitian membuktikan bahwa albendazole memiliki efek terapeutik yang
lebih besar dan berhasil menurunkan jumlah telur cacing lebih banyak daripada
mebendazole. Tingkat kesembuhan yang diamati selama setahun pada anak dengan
albendazole pada interval 6 bulan terhadap infeksi cacing tambang, askariasis, dan
infeksi Trichuris trichiura berturut-turut mencapai 92.4%, 83.5%, dan 67.8%,
sedangkan pada mebendazole 50%, 79.6%, dan 60.6%, membuktikan bahwa
albendazole lebih efektif untuk menangani tiga jenis infeksi cacing.7
Seperti mebendazole, kadar albendazole yang diabsorpsi ke dalam tubuh
sangat rendah, karena kelarutannya yang rendah dalam air. Tingkat absorpsi dapat
meningkat apabila konsumsi obat bersamaan dengan konsumsi makanan tinggi lemak.
Oleh karena itu, cara pemakaian obat ini harus sesuai dengan letak parasit dalam
tubuh. Apabila parasit berada dalam sistem pencernaan, obat ini dikonsumsi saat perut
kosong, sedangkan apabila parasit berada di dalam jaringan, obat ini dikonsumsi
bersamaan dengan makanan berlemak.9 Albendazole dimetabolisme di hati menjadi
albendazole sulfoksida yang kemudian akan dimetabolisme menjadi albendazole
sulfonat. Sebagian besar metabolit tersebut dieliminasi melalui empedu. Kadar
metabolit yang sangat sedikit (<1%) juga ditemukan di urin. Waktu paruh dari dosis
tunggal albendazole 400 mg berkisar antara 8-12 jam.6
C. Praziquantel8
Praziquantel merupakan turunan sintetis dari isoquinoline-pyrazine. Indikasi
pemakaian praziquantel adalah infeksi cacing Schistosoma, atau yang disebut
schistosomiasis, dan infeksi oleh beberapa trematoda dan cestoda. Schistosoma
merupakan salah satu jenis cacing pipih yang bersifat parasit.
Praziquantel mengubah permeabilitas membran sel terhadap ion Ca2+. Influks
ion kalsium yang meningkat akan menyebabkan kontraksi dan menyebabkan spasme
dan kelumpuhan pada cacing hingga akhirnya cacing mati. Praziquantel juga
menyebabkan disrupsi tegumen cacing. Sebagian parasit yang mati ini akan difagosit
oleh sistem imun, dan sebagian akan diekskresikan bersama feses. Efektivitas dari
praziquantel akan menurun setelah pemakaian pertama, dan efektivitas minimum
terjadi pada 3-4 minggu setelah pemakaian. Efektivitas akan kembali meningkat pada
6-7 minggu setelah pemakaian. Praziquantel juga menunjukkan efek samping yang
minimum.
Praziquantel diabsorpsi dengan cepat, dengan persentase bioavailabilitas
sebesar 80% setelah pemakaian. Kadar tertinggi obat dalam darah dicapai pada 1-3
jam setelah pemakaian. Sebagian besar kadar obat dimetabolisme dengan cara
hidroksilasi. Waktu paruh obat berkisar antara 0.8-1.5 jam. Praziquantel diekskresikan
oleh ginjal (60-80%) dan empedu (15-35%).

D. Pirantel pamoat
Pirantel pamoat merupakan antihelmintik berspektrum luas yang mempunyai
efektivitas yang tinggi untuk mengobati infeksi cacing kremi, Ascaris, dan
Trichostrongylus orientalis.8
Pirantel pamoat merupakan turunan dari tetrahidropirimidin. Tingkat absorpsi
pirantel pamoat di saluran gastrointestinal tergolong rendah dan kadar pirantel pamoat
pada plasma darah paling tinggi terjadi pada 1-3 jam setelah dikonsumsi. Sebagian
kecil pirantel pamoat yang masuk ke dalam aliran darah akan dimetabolisme oleh
hati. Sebagian besar kadar pirantel yang dikonsumsi akan dieksresikan bersama feses
dalam bentuk pirantel pamoat (tidak diubah & dimetabolisme), dan 7% akan
dikeluarkan bersama urin dalam bentuk metabolitnya.8,9
Pirantel pamoat bekerja sebagai neuromuscular blocking agent yang
menyebabkan pelepasan asetilkolin dan penghambatan kerja enzim kolinesterase,
yang menyebabkan kelumpuhan pada cacing dan diikuti dengan pembuangan cacing
bersama feses.
E. Ivermectin8
Ivermectin merupakan obat pertama (drug of choice) digunakan untuk mengobati
infeksi cacing Strongyloides dan Onchocerca. Ivermectin juga merupakan obat
alternatif untuk berbagai jenis infeksi cacing lainnya.
Ivermectin merupakan campuran dari avermectin B1a dan B1b, yang
merupakan hasil fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis.
Penggunaan ivermectin secara oral hanya dilakukan pada manusia. Ivermectin
diabsorpsi dengan cepat, dan memiliki distribusi yang luas ke jaringan di seluruh
tubuh. Ivermectin mempunyai waktu paruh sekitar 16 jam, dan hampir seluruh kadar
ivermectin yang dikonsumsi diekskresikan melalui feses.
Ivermectin melumpuhkan cacing dengan cara mengintensifikasi transmisi
sinyal yang dimediasi asam -amunobutirat (GABA) pada sistem saraf cacing. Pada
infeksi Onchocerca, ivermectin bersifat mikrofilarisidal. Ivermectin tidak secara
efektif membunuh cacing dewasa tetapi menghambat pelepasan mikrofilaria. Pada 2-3
hari setelah konsumsi ivermectin dosis tunggal, jumlah mikrofilaria pada jaringan-
jaringan tubuh akan menurun drastis, tetap rendah selama beberapa bulan, dan akan
kembali meningkat. Oleh karena itu, perlu pengulangan dosis setelah beberapa bulan
tertentu. Dengan pengulangan dosis, ivermectin terbukti dapat menurunkan produksi
mikrofilaria secara permanen.
F. Thiabendazole8
Thiabendazole merupakan obat alternatif selain ivermectin atau albendazole untuk
infeksi Strongyloides dan larva-larva parasit pada kulit. Thiabendazole merupakan
senyawa yang termasuk ke dalam benzimidazole. Thiabendazole juga merupakan
chelating agent, yaitu zat yang dapat mengikat ion-ion logam sehingga dapat
digunakan untuk kasus keracunan logam seperti keracunan merkuri, timah, dan
antimonit.
Thiabendazole diserap dengan cepat setelah dikonsumsi. Pada dosis standar,
kadar tertinggi thiabendazole pada plasma darah terjadi pada 1-2 jam setelah
dikonsumsi; waktu paruh rata-rata adalah 1-2 jam. Hampir seluruh thiabendazole
yang dikonsumsi dimetabolisme oleh hati menjadi 5-hydroxythiabendazole yang
dieliminasi bersama urin.
Farmakodinamik dari thiabendazole belum diketahui secara pasti. Namun,
diperkirakan cara kerja thiabendazole sama seperti benzimidazole dan turunannya.
Thiabendazole bersifat ovisidal, yaitu membunuh telur-telur parasit. Thiabendazole
juga diperkirakan bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim fumarat reduktase
pada parasit.
Thiabendazole bersifat lebih toksik daripada benzimidazole dan ivermectin,
sehingga penggunaan kedua obat tersebut lebih dianjurkan daripada penggunaan
thiabendazole.
G. Piperazine
Piperazine merupakan obat alternatif untuk pengobatan askariasis. Tingkat
kesembuhan pada pengobatan askariasis dengan piperazine relatif tinggi, yaitu 90%
pada pemakaian selama 2 hari. Piperazine cepat diabsorpsi oleh tubuh dalam bentuk
N-mononitrosopiperazine, dan kadar piperazine dalam plasma paling tinggi terjadi
pada 2-4 jam setelah pemakaian8. 25% kadar piperazine akan dimetabolisme oleh hati
menjadi N-nitroso-3-hydroxypyrrolidine. Sebagian besar kadar piperazine
diekskresikan bersama urin dalam bentuk N-mononitrosopiperazine.10
Piperazine bekerja secara selektif dengan cara berikatan dengan reseptor
GABA pada sistem saraf cacing yang menyebabkan hiperpolarisasi pada ujung saraf
cacing, sehingga pada akhirnya cacing akan mengalami kelumpuhan.10
Dosis umum dari piperazine adalah 75 mg/kg berat badan, dengan dosis
maksimum 3.5 g, secara oral sekali selama 2 hari.5
H. Diethylcarbamazine
Diethylcarbamazine merupakan obat pertama (drug of choice) yang dapat digunakan
untuk filariasis dan loiasis. Diethylcarbamazine juga sebetulnya dapat mengobati
onchocerciasis, tetapi pengobatan onchocerciasis dengan diethylcarbamazine sering
memunculkan gejala alergi akut karena protein-protein asing yang diproduksi oleh
cacing yang mati, sehingga pengobatan pertama untuk onchocerciasis digantikan oleh
ivermectin.8
Obat ini diserap dengan cepat; setelah penggunaan dosis 0.5 mg/kg berat
badan, kadar obat tertinggi dalam plasma darah dicapai dalam 1-2 jam. Obat ini
diekskresikan bersama urin baik dalam bentuk diethylcarbamazine maupun
diethylcarbamazine N-oxide.8,11
Diethylcarbamazine bekerja dengan cara mengimobilisasi & mengubah
struktur permukaan mikrofilaria, membuatnya rentan terhadap sistem imun bawaan.
Kerja diethylcarbamazine pada cacing dewasa masih belum diketahui.8,12

III. Kesimpulan
Pilihan pengobatan infeksi cacing sangat tergantung pada jenis obatnya. Beberapa
obat memiliki toksisitas yang lebih tinggi daripada obat lainnya, sehingga perlu
diketahui obat yang mana yang merupakan drug of choice dari infeksi cacing tertentu.
Tiap obat juga memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda.

IV. Daftar Pustaka


1. Winita R, Mulyati, Astuty H. Hubungan sanitasi diri dengan kejadian
kecacingan pada siswa SDN X Paseban, Jakarta Pusat. Majalah Kedokteran
FK UKI [Internet]. 2012 Apr [cited 2015 Oct 1]; 28(2):61-5. Available from:
http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2012-02-artikel-
01.pdf
2. Ahdal MT, Sirajuddin S, Alharini S. Hubungan infestasi kecacingan dengan
status gizi pada anak SDN Cambaya di wilayah pesisir kota Makassar
[Internet]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2014 Aug 29 [cited 2015 Oct
1]. Available from: http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10845
3. Adams. Pharmacology for Nurses [Internet]. [Place unknown]: S4Carlisle;
[year unknown]. Available from:
http://www.hccfl.edu/media/581883/m35_adam9811_03_se_ch35.pdf
4. DrugBank. Mebendazolee (DB00643) [Internet]. [Place unknown]:
DrugBank; [date unknown] [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00643
5. Kliegman R, Stanton BF, Schor NF, St. Geme JW, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
6. DrugBank. Albendazolee (DB00518) [Internet]. [Place unknown]: DrugBank;
[date unknown] [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00518
7. Muchiri EM, Thiong’o FW, Magnussen P, Ouma JH. A comparative study of
different albendazolee and mebendazolee regimens for the treatment of
intestinal infections in school children of Usigu Division, western Kenya. J
Parasitol [Internet]. 2001 Apr [cited 2015 Oct 4]; 87(2):413-8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11318574
8. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic & Clinical Pharmacology. 12th ed.
San Francisco: McGraw-Hill; 2012.
9. Drugs.com. Pyrantel pamoate monograph for professionals [Internet]. [Place
unknown]: Drugs.com; [date unknown] [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.drugs.com/monograph/pyrantel-pamoate.html
10. DrugBank. Piperazine (DB00592) [Internet]. [Place unknown]: DrugBank;
[date unknown] [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00592
11. DrugBank. Diethylcarbamazine (DB00711) [Internet]. [Place unknown]:
DrugBank; [date unknown] [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00711
12. antimicrobe – Infectious Disease & Antimicrobial Agents.
Diethylcarbamazine [Internet]. [Place unknown]: antimicrobe; [date unknown]
[cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.antimicrobe.org/drugpopup/Diethylcarbamazine.htm

Anda mungkin juga menyukai