Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komplikasi Diabetes Melitus yang bersifat kronis meliputi makroangiopati


yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi
dan pembuluh darah otak; sedangkan mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil,
retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati dan kaki diabetik (Aini & Aridiana,
2016). Salah satu komplikasi dari diabetes melitus tipe 2 yang mempengaruhi sistem
saraf perifer yaitu Peripheral Arterial Disease (PAD) merupakan suatu kondisi dimana
terdapat lesi di pembuluh darah sehingga menyebabkan aliran darah dalam arteri yang
mensuplai darah ke ekstremitas menjadi terbatas dan penyakit ini juga sangat ditakuti
karena mempengaruhi kualitas hidup dan fungsi sosial penderitanya (Williams &
Wilkins, 2011). Peripheral Arterial Disease (PAD) ditandai dengan adanya
penyempitan arteri perifer akibat proses aterosklerosis dan umumnya terjadi pada arteri
di kaki (Chesbro et al, 2011).

Diabetes melitus menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian.


Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4% meninggal sebelum usia 70
tahun. Penelitian di Asia oleh Sang Youl Rhee, et all (2007) melaporkan prevalensi
PAD pada penderita diabetes tipe 2 sebesar 17,7%. Lebih dari 50% penderita PAD
dijumpai tanpa gejala atau gejala yang tidak khas, 25% dengan keluhan klasik dan
10% dengan critical ischemia limb (CLI) atau penyakit arteri perifer yang berat (adanya
ischemic rest pain), ulkus iskemik yang tidak sembuh (nyeri, kulit ulkus yang sembuh
terutama pada di daerah distal atau terdapat adanya gangren). Berdasarkan World
Health Organization (2014) melaporkan prevalensi diabetes melitus diatas usia 18
keatas pada tahun 1980 sebesar 4,7% dengan jumlah 108 juta dan mengalami
peningkatan pada tahun 2014 sebesar 8,5% dengan jumlah 422 juta penderita diabetes
melitus. Di Indonesia, diabetes melitus merupakan ancaman serius bagi pembangunan
kesehatan karena dapat menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, penyakit jantung, stroke
dan kaki diabetes (gangren) sehingga harus diamputasi. Diperkirakan pada tahun 2030
akan memiliki penyandang diabetes mellitus sebanyak 21,3 juta jiwa, sehingga
menjadikan Indonesia berada diurutan ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, India, dan
China (Depkes RI, 2013).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia


terdapat 10 juta orang penderita diabetes dan 17,9 juta orang yang beresiko menderita
penyakit ini. Sementara provinsi jawa timur masuk 10 besar prevalensi penderita
diabetes se-Indonesia atau menempati urutan ke Sembilan dengan prevalensi 6,8 juta.
Angka ini satu tingkat diatas DKI Jakarta yang berada di urutan kesepuluh dengan
prevalensi 6,6 juta. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di
Puskesmas Gedongan Kota Mojokerto pada bulan Februari 2018, didapatkan data
bahwa penderita penyakit diabetes melitus tipe 2 pada tahun 2017 sebanyak 655 orang
di Puskesmas Gedongan. Dilakukan pengukuran Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
pada 10 penderita diabetes melitus tipe 2 secara acak didapatkan data sebagai berikut :
8 dari 10 penderita diabetes melitus mengalami nilai ABI dibawah normal.Penyakit
Arteri Perifer disebabkan oleh meningkatnya lemak di kaki, ketidakseimbangan
hormon, diabetes, kecanduan alkohol dan tumor jinak atau ganas (Smith, Joan
Liebmann & Egan, Jacqueline Nardi, 2007).

Penyakit Arteri Perifer (PAP) menyebabkan klaudikasio intermiten, yaitu rasa


sakit, kram, tidak nyaman, atau lelah di kaki yang terjadi saat berjalan dan lega ketika
istirahat. Klaudikasi biasanya terjadi pada betis tapi bisa terjadi di kaki, paha, pinggul,
pantat, atau, jarang, lengan (Koon K Teo, 2017). Kebiasaan merokok dapat
berpengaruh terhadap munculnya komplikasi-komplikasi pada penderita diabetes
melitus contohnya, CVD (Cardivascular Disease) dan PAD (American Diabetic
Association, 2015).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Collins (2005) yang
menyebutkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PAD sebesar 2,11 kali
dibandingkan dengan yang tidak merokok (Cahyono, Taufik, 2016). Peripheral
Arterial Disease (PAD) juga merupakan faktor resiko utama amputasi ekstremitas
bawah terutama pada penderita diabetes melitus. Apalagi pada penderita asimtomatik,
PAD penanda penyakit vaskuler sistemik yang dapat melibatkan koroner, serebral,
pembuluh ginjal dan dapat juga menyebabkan resiko yang lebih parah, seperti infak
miokardium, stroke dan kematian (American Diabetes Association, 2013).

Pasien dengan PAD berisiko tiga sampai empat kali terkena penyakit
kardiovaskuler dibandingkan pasien tanpa PAD (Dachun et al, 2010). Pada umumnya
tidak terdiagnosis dan kurang mendapat perawatan optimal. Hanya 40% pasien
mengalami gelaja ini dan hanya 1/3 nya yang melaporkan gejalanya pada dokter
(O’Donnell et al,2011). Gejala klasik dari PAD ini yaitu klaudikasio intermiten, pasien
umumnya mengeluh nyeri saat beraktifitas dan nyeri berkurang jika beristirahat. Salah
satu cara yang dilakukan untuk mendeteksi adanya PAD yaitu melalui pemeriksaan
Ankle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan ABI merupakan gold standart pengukuran
non invasif untuk mendeteksi PAD dan direkomendasikan sebagai bagian dari
pengkajian individu yang berisiko terhadap penyakit tersebut (Migliacci, 2008).
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah dengan cara merendam kaki
dengan air hangat. Merendam kaki selama setangah jam akan memiliki efek
menghilangkan rasa nyeri. Cara ini tidak mengakibatkan terjadinya ketegangan pada
jantung, sirkulasi darah, atau sistem saraf dan dapat menghasilkan otot relaksasi dan
pembesaran pembuluh darah (Pudjiastuti, 2011). Beberapa tahun terakhir terapi air
telah membuktikan dirinya sebagai salah satu metode perawatan penyakit atau
gangguan fisik yang sangat efektif, tanpa efek samping dan bahkan bisa dikatakan tidak
perlu mengeluarkan uang (Chaiton, 2002).

Cara kerja air pada tubuh bila anda menempelkan suatu yang panas atau hangat
pada jaringan-jaringan kulit, maka otot-otot akan relaks dan pembuluh-pembuluh darah
akan terbuka lebih lebar. Ini menyebabkan semakin banyak darah yang bisa mencapai
jaringan-jaringan itu. Kecuali jika tidak diikuti dengan aktivitas tertentu (seperti
kontraksi dan relaksasi otot selama olahraga) atau aplikasi air dingin pada tubuh,
jaringan-jaringan itu akan mengalami kongesti yang sesungguhnya sia-sia belaka. Atas
dasar inilah, aplikasi air dingin harus selalu mengikuti air panas dalam metodemetode
terapi air. Penggunaan aplikasi air dingin dalam waktu singkat (kurang dari satu menit)
akan mengakibatkan kontraksi pembuluh-pembuluh darah lokal. Ini memiliki efek
terjadinya dekongesi pada jaringan-jaringan tubuh dan yang dengan cepat diikuti oleh
sebuah reaksi dimana pembuluhpembuluh darah terbuka dan jaringan-jaringan
dibersihkan dengan darah yang banyak mengandung oksigen segar. Aplikasi air dingin
dan air panas secara bergantian menghasilkan pertukaran sirkulasi dan meningkatkan
drainase serta suplai oksigen ke jaringan-jaringan, jaringan otot, kulit atau organ-organ
tubuh. Dua kaidah utama dalam terapi air adalah bahwa aplikasi air dingin dalam waktu
singkat atau perendaman tubuh harus selalu diberikan setelah aplikasi air panas dan
lebih baik sebelum aplikasi air panas diberikan (kecuali bila ada perlakuan lainnya) dan
bahwa bila aplikasi air panas diberikan, derajat panasnya harus diterima oleh pasien
dan tidak boleh terlalu panas sehingga menyebabkan kulit terkelupas. Panas
didefinisikan sebagai satuan temperatur air dalam rentang 98-104oF atau 36,7-40oC.
Pemakaian air yang lebih panas dari skala ini tidak boleh dilakukan karena sangat
berbahaya bagi kesehatan kulit (Chaiton, 2002).

Berdasarkan fenomena di atas dan melihat manfaat rendam air hangat, peneliti
tertarik untuk meneliti mengenai “Pengaruh Rendam Air hangat Terdahap Perubahan
Nilai Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2”
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah pengaruh


rendam kaki air hangat terhadap perubahan Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien
diabetes melitus tipe 2?”.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh rendam kaki air hangat terhadap peningkatan sirkulasi


darah perifer dilihat dari nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada penderita diabetes
melitus tipe 2

b. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi nilai Ankle Brachial Index (ABI) sebelum dilakukan rendam air
hangat.

2. Mengidentifikasi nilai Ankle Brachial Index (ABI) setelah dilakukan rendam air
hangat.

3. Menganalisis pengaruh rendam air kaki hangat terhadap peningkatan sirkulasi darah
perifer dilihat dari nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien diabetes melitus tipe2

1.4 Manfaat Penelitian

a. Praktisi

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mahasiswa


STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto.
b. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan evidence base tentang teori
mengurangi resiko keparahan penderita penyakit arteri perifer. Selain itu, diharapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus sebagai suatu kelompok penyakit metabolic dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (American Diabetes Association,2010).

Diabetes melitus adalah suatu keadaan ketika tubuh tidak mampu menghasilkan
atau menggunakan insulin (hormon yang membawa glukosa darah ke sel-sel dan
menyimpangnya sebagai glikogen). Dengan demikian, terjadi hiperglikemia yang
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, melibatkan kelainan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak serta menimbulkan berbagai komplikasi
kronis pada organ tubuh (Nur Aini & Aridiana, Ledy Martha, 2016).

Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai


kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes melitus adalah suatu
sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemi yang tidak semestinya sebagai
akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin
atau keduanya. (Rendy, M.Clevo & Margareth, 2012).

2.1.2 Penyebab Diabetes Melitus

Penyebab menurut jenisnya :

a. Diabetes tipe-1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus) menurut Rendy, M.Clevo &
Margareth (2012)
1. Faktor Genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA
(Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.

2. Faktor Imunologi

Pada diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing.

3. Faktor Lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pancreas.

b. Diabetes tipe-2 (Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus)

Menurut Aini, Nur & Aridiana, Ledy Martha, (2016) penyebab resistensi
insulin pada diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor yang banyak berperan
antara lain sebagai berikut :

1) Usia

Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis


menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko
pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.

2) Gaya hidup dan stres


Stres kronik cenderung membuat sesorang mencari makanan yang cepat saji
kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini yang berperan besar terhadap kerja
pankreas.

3) Pola makan yang salah

Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan risiko terkena
diabetes.

4) Obesitas (terutama pada abdomen)

Obesitas mengakibatkan sel-sel pancreas mengalami hipertrofi sehingga


akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Peningkatan BB 10 kg pada
pria dan 8 kg pada wanita dari batas normal IMT (Indeks masa tubuh) akan
meningkatkan risiko diabetes mellitus tipe 2 (Aini & Aridiana, 2016).

5) Infeksi

Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel
pankreas.

2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus

Sebagian besar menurut Riyadi & Sukarmin (2009) patologi diabetes melitus
dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu :

a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan


peningkatan konsentrasi glukosa darah sampa setinggi 300 sampai 1200 mg per 200
ml.

b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga


menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding
vaskuler
c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Keadaan patologi tersebut berdampak :

1) Hiperglikemia

Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi pada


rentang non puasa sekitar 140-160 mg/ 100 ml darah.

Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam
tubuh akan di fasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu
kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan
masih ada sisa akan disimpan sebagai glukogen dalam sel-sel hati dan sel otot (Sebagai
massa otot sel). Proses glikogenesis (pementukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat
mencegah hiperglikemia. Pada penderita diabetes mellitus proses ini tidak dapat
berlangsugn dengan baik, sehingga glukosa banyak menumpuk di darah
(hiperglikemia).

Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena deficit insulin tergambar


pada perubahan metabolik sebagai berikut :

a) Transport glukosa yang melintasi membrane sel-sel berkurang.

b) Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat


kelebihan glukosa dalam darah.

c) Glikolisis (pemecah glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang,


dan glukosa di dalam hati dicurahkan ke dalam pembuluh darah secara terus menerus
melebihi kebutuhan.

d) Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan


lebih banyak lagi glukosa “hati” yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam
amino dan lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme
dengan cepat seperti jamur dan bakteri. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok
dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap timbul peradangan maka akan terjadi
mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat
mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan
mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan
jamur.

2) Hiperosmolaritas

Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotic pada plasma sel


karena adanya peningkatan konsetrasi zat. Pada penderita diabetes melitus terjadinya
peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebuhan amang pada
ginjal untuk memfiltrasi dan reasorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225mg /
menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan
kehilangan sejumlah besar air (diuresis asmotik) dan berakibat peningkatan volume air
(Poliuria).

3) Starvasi Selluler

Starvasi selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena
glukosa sulit untuk masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada istilah
“kelaparan di tengah lumbung padi”. Ada banyak bahan makanan tetapi tidak bisa
dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa tidak dapat masuk karena tidak ada yang
memfasilitasi yaitu insulin.

Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk
tetap mempertahankan fungsi sel, proses itu antara lain :
a) Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan
peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Kondisi ini
akan berdampak pada penurunan masa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.

b) Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan


asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk gluconeogenesis
dalam hati. Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan
penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah
protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam
hepar dan ekskresikan menjadi urine. Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi
kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang
rusak (sulit sembuh kalau ada cidera)

c) Starvasi selluler juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak


(lipolysis) asam lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersikulasi dan
menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan untuk
melakukan aktivitas sel.

Adanya starvasi selluler akan menigkatkan mekanisme penyesuaian tubuh


untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi).
Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi
penurunan produksi energi. Kerusakan beragai organ reproduksi yang salah satunya
dapat timbul impotensi dan organ tubuhlainnya seperti perasafan perifer dan mata
(muncul rasa baal dan mata kabur).

2.1.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Riyadi & Sukarmin (2009) klasifikasi diabetes melitus dan


penggolongan intoleransi glukosa yang lain :
a. Insulin Depedent Diabetes Mellitus (IDDM)

Yaitu Defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan


dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antingen) spesifik, predisposisi pada insulitas
fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan
ini terjadi karena kerusakan system imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian
merusak sel-sel pulau Langerhans di pancreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan
produksi insulin.

b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

Yaitu diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua
umur.

c. Diabetes Melitus tipe yang lain

Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu


hiperglikemik terjadi karena penyakit lain; penyakit pancreas, hormonal, obat atau
bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu

d. Gangguan Toleransi Glukosa (Impaired Glukosa Tolerance)

Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi
normal atau tetap tidak berubah

e. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)

Intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan

2.1.5 Manifetasi Klinis Diabetes Melitus

Menurut Riyadi & Sukarmin (2009) manifetasi klinik yang sering dijumpai
pada pasien diabetes mellitus yaitu :
a. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urine)

b. Polidipsia (Peningkatan rasa haus)

Volume urine yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi
ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan
berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang
hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH
(Antidiuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus

c. Polifagia (Pengingkatan rasa lapar)

d. Rasa lelah dan kelemahan otot

Gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama. Katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi

e. Peningkatan angka infeksi

Penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi, penigkatan konsentrasi


glukosa di sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada
diabetes kronik.

f. Kelainan kulit : gatal, bisul

Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi di daerah ginjal. lipatan kulit seperti
di ketiak dan di bawah payudara, biasanya tumbuh jamur.

g. Kelainan genekologis

Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida

h. Kesemutan rasa baal akibat terjadi neuropati


Pada penderita diabetes mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat
kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel
persarafan terutama perifer mengalami kerusakan.

i. Kelemahan tubuh

Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan
oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal.

j. Luka atau bisul yang tidak sembuh – sembuh

Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur
makanan yang lain. Pada penderita diabetes melitus bahan protein banyak
diformulasikan untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk
penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan. Selain itu luka yang sulit
sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada
penderita diabetes melitus.

k. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi

Ejakulasi dan dorongan seksualitas laki-laki banyak dipengaruhi oleh peningkatan


hormone testosterone. Pada kondisi optimal (periodik hari ke-3) maka secara otomatis
akan meningkatkan dorongan seksual. Penderita diabetes melitus mengalami
penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan testoren dan system yang
berperan.

l. Mata Kabur

Katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia.

2.1.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa
normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu terapi diet,
latihan, pemantauan, terapi farmakologi dan pendidikan (Smeltzer, et al 2002).

a. Diet

Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar merupakan dasar dari
penatalaksanaan dari diabetes (Smeltzer, et al 2002). Tujuan pokok pelaksanaan
pelaksanaan terapi diet penderita DM adalah mengurangi hiperglikemia, mencegah
episode hipoglikemia pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan insulin dan
mengurangi resiko komplikasi terutama penyakit kardiovaskuler. Beberapa tujuan
khusus diet yaitu :

1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal

a) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl

c) Kadar A1c <7%

2) Mencapai kadar serum lipid yang optimal

a) Kolesterol LDL < 100 mg/dl

b) Kolesterol HDL > 40 mg/dl

c) Trigliserida < 150 mg/dl

3) Tekanan darah < 130/80 mmHg

4) Meningkatnya sensitivitas reseptor insulin


5) Memperbaiki reseptor koagulasi darah

6) Memberikan energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan

berat badan yang memadai

7) Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang


menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit-penyakit jangka pendek. Masalah
yang berhubungan dengan latihan jasmani dan komplikasi kronik diabetes seperti :
penyakit ginjal, neuropatik, autonomik , hipertensi dan penyakit jantung

8) Meningkatnya kesehatan secara keseluruhan malalui gizi yang optimal.

b. Latihan

Kegiatan fisik mempunyai implikasi fisiologis dan psikologis yang sangat penting.
Gerak badan adalah sensitizer yang luar biasa untuk insulin dan dapat menigkatkan
ambilan glukosa ke dalam skeletal. Gerak badan tidak dianjurkan pada waktu pasien
mengalami hiperglikemi (glukosa darah finger stick 250 mg/dl) dan fisiologis pada
tubuh dengan akibat hiperglikemia bisa menjadi progresif (meningkat terus) (Baradero
et al,. 2002).

c. Pemantauan

Pemantauan kadar glukosa darah sendiri atau Self-Monitoring Blood Glucose (SMBG)
memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemi atau hipoglikemia, serta
bberperan dalam memelihara normalisasi glukosa darah.

d. Terapi
Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes.
Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula darah normal atau mendekati normal
(Smeltzer, et al 2002).

2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus

a. Komplikasi yang bersifat akut

Menurut Ernawati (2013) terdapat 3 komplikasi yang bersifat akut yaitu:

1. Koma hipoglikemia Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obat diabetik


yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah.
Glukosa yang ada sebagian besar di fasilitasi untuk masuk ke dalam sel (Riyadi &
Sukarmin, 2009).

2. Ketoasidosis

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah dekompensasi kekacauan metabolik yang


ditandai oleh trias hiperglikemi, asidosis dan ketosis, terutama defisiensi insulin
absolut atau relatif. Keadaan komplikasi akut ini memerlukan penanganan yang tepat
karena merupakan ancaman kematian bagi diabetes. Penyebab KAD yaitu :

a) Insulin tidak diberikan atau diberikan dosis yang dikurangi

b) Keadaan sakit atau infeksi

c) Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak
terobati

3. Syndrom Hyperosmolar NonKetotic (NHNK)


Syndrom Hyperosmolar NonKetotic (NHNK) merupakan keadaan yang didominasi
oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran
(sense of awareness). Gejala klinisnya yaitu pasien mengalami hipotensi, dehidrasi
berat yang ditujukkan dengan membran mukosa kering, turgor kulit tidak elastis, mata
cekung, takikardi, distensi abdomen, penigkatan suhu tubuh. Pasien mengalami tanda-
tanda neurologis seperti perubahan sensori, kejang-kejang, hemiparesis. Status pasien
dapat berupa disorientasi hingga koma.

b. Komplikasi yang bersifat kronis

1. Makroangiopati

a) Penyakit Arteri Koroner Penyakit arteri koroner yang menyebabkan penyakit


jantung koroner merupakan salah satu komplikasi makrovaskuler. Penderita diabetes
mellitus mengalami lesi aterosklerotik karena beberapa hal seperti hiperglikemia,
inflamasi, dyslipidemia, hipertensi.

Pada pasien diabetes mellitus terjadinya iskemia atau infark miokard tidak disertai
dengan nyeri dada yang khas (angina pectoris). Pasien tidak menujukkan tanda-tanda
awal penurunan aliran darah koroner dan dapat mengalami infark koroner asimtomatik.
Kedaan ini disebut dengan silent myocardial ischemia / infarction (SMI). Terjadinya
SMI pada pasien diabetes melitus disebabkan karena adanya gangguan sensitifitas
sentral terhadap rasa nyeri, penurunan kada beta endorphin dan neuropati perifer yang
menyebabkan denervasi sensorik.

b) Penyakit Serebrovaskuler

Pasien yang mengalami perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah serebral atau
pembentukkan emboli di tempat lain dalam sistem pembuluh darah sering terbawa
aliran darah dan terkadang terjepit dalam pembuluh darah serebral. Gejala penyakit
serebroaskuler yaitu pusing, vertigo, gangguan penglihatan, bicara pelo, dan
kelemahan.
c) Penyakit vaskuler perifer

Penyakit vaskuler perifer disebabkan oleh perubahan aterosklerotik dalam pembuluh


darah besar pada ekstermitas bawah. Pasien dengan gangguan pada vaskuler perifer
akan mengalami berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio interminen (nyeri
pada pantat atau betis ketika berjalan). Penyakit oklusi arteri yang parah pada
eksterimitas bawah merupakan penyebab utama terjadinya gangren yang dapat
berakibat amputasi pada pasien diabetes mellitus (Ernawati, 2013).

2. Mikroangiopati

Menurut Aini, Nur dan Martha, Ledy (2016) Mikroangiopati yang mengenai pembuluh
darah kecil, yaitu :

a) Nefropati

Perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan


komplikasi pada pelvis ginjal.

b) Retinopati (perubahan dalam retina)

Penurunan protein dalam retina dan kerusakan endotel pembuluh darah. Perubahan ini
dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.

c) Neuropati

Perubahan metabolik pada diabetes mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf
menurun, yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan persepsi nyeri. Neuropati
dapat terjadi pada tungkai dan kaki (gejala yang paling dirasakan adalah kesemutan
kebas), saluran pencernaan (neuropati pada saluran pencernaan menyebabkan diare dan
konstipasi), kandung kemih (kencing tidak lancar), dan reproduksi (Impotensi).

d) Rentan infeksi seperti TB paru, gingivitis dan infeksi saluran kemih

e) Kaki diabetik
Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan
ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi,
gangren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik

2.2 Konsep Penyakit Arteri Perifer (Peripheral Arterial Disease)

2.2.1 Definisi Penyakit Arteri Perifer

Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyakit yang dimana plak/sumbatan yang
menempel terbentuk di arteri yang membawa darah ke kepala, organ dan anggota tubuh
lainnya. Plak atau sumbatan tersebut terdiri dari lemak, kolesterol, kalsium, jaringan
fibrosa, dan zat lainnya dalam darah. Saat plak terbentuk di arteri dalam tubuh, itu yang
dinamakan arterosklerosis. Semakin lama plak tersebut di arteri, maka plak tersebut
akan mengeras dan mempersempit arteri. Hal ini dapat membatasi aliran darah yang
kaya oksigen ke organ dan bagian tubuh lainnya. Penyakit Arteri Perifer pada
umumnya mempengaruhi pada arteri kaki, tapi PAP juga dapat mempengaruhi pada
arteri yang membawa darah jantung ke kepala, lengan, ginjal dan perut (National Heart,
Lung, and Blood Institute, 2010).

Penyakit Arteri Perifer adalah sirkulasi yang buruk pada arteri perifer sehingga arteri
tidak dapat mengalirkan darah dengan normal. Hal ini diakibatkan oleh arterosklerosis,
seperti lengan dan kaki (Hallet, 2017).

2.2.2 Penyebab Penyakit Arteri Perifer

Menurut Hallet John W (2017), Penyebab dari Penyakit Arteri Perifer berdasarkan
klasifikasinya digambarkan menjadi dua, yaitu :

a. Penyakit Arteri Perifer Oklusif

Penyakit Arteri Perifer Oklusif disebabkan oleh suatu pembuluh darah yang secara fisik
menyempit atau menghalangi arteri. Penyebab paling utama adalah aterosklerosis
(Pengerasan arteri). Displasia fibromuskular adalah contoh lain penyakit arteri perifer
oklusif.

b. Penyakit Arteri Perifer Fungsional

Penyakit arteri perifer Fungsional disebabkan aliran darah menurun karena arteri tidak
berfungsi dengan baik. Biasanya disfungsi melibatkan kontraksi otot-otot (spasme)
yang tiba-tiba dan abnormal di dalam dinding pembuluh darah. Acrocyanosis,
erythromelalgia, dan Raynaud sindrom adalah contoh penyakit pembuluh darah perifer
fungsional.

Dikutip dari National Heart, Lung, and Blood Institute (2010)

penyebab paling umum penyakit arteri perifer adalah aterosklerosis. Ateroskleris


adalah penyakit yang bermulai dimana terdapat plak atau sumbatan yang terbentuk di
arteri. Penyakit ini bisa dimulai dari beberapa faktor yang merusak lapisan dalam arteri.
Faktor-faktor ini meliputi:

a. Merokok

Menurut hasil penelitian dari Eka aryani tentang hubungan perokok dengan status
penyakit arteri perifer dan data serupa juga ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh
National Health and Nutrition Examination Survey (2014) dimana perokok pasif tidak
terbukti berhubungan dengan risiko perkembangan PAP. Akan tetapi pada perokok
aktif berisiko besar terkena PAP, dimana diperlukan dosis tinggi dari nikotin untuk
membuat endotel rusak.

Menurut Priscilla LeMone, Karen M. Burke dan Gerene Bauldoff (2016), dalam
kandungan rokok mempunyai peranan-peranan dalam meningkatkan resiko terkena
arterosklerosis, yaitu:

1. Karbon monoksida merusak endothelium vaskular yang dapat meningkatkan


penumpukkan kolesterol.
2. Nikotin merangsang pelepasan katekolamin, meningkatkan tekanan darah, frekuensi
jantung dan pemakaian oksigen miokardium dan memperkecil arteri (membatasi
perfusi jaringan). Nikoti juga mengurangi kadar HDL dan meningkatkan agregasi
tromosit dan meningkatkan resiko thrombus.

b. Kelebihan lemak dan kolesterol

Diabetes melitus bermanifestasi dengan hiperglikemia, asam lemak bebas yang


berlebih dan resistensi insulin yang menyebabkan meningkatnya stres oksidatif,
menurunnya nitrit oxide (NO), meningkatnya endhotelin-1, meningkatnya angiotensin
II, aktivasi platelet, dan berkurangnya fibrinolisis yang mana semua ini menyebabkan
disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini menyebabkan mudahnya
lipoproteinlipoprotein menginfiltrasi endotel. Peran dislipidemia adalah dengan
meningkatnya trigliserid maka terjadi modifikasi bentuk LDL menjadi small, dense
LDL dimana bentuk ini adalah bentuk LDL yang aterogenik yang mudah masuk ke
endotel sehingga terjadi proses aterogenesis. HDL juga memiliki fungsi yang penting
terhadap pembentukan lesi aterosklerotik ini. HDL berperan dalam mendukung
transportasi balik kolesterol dan dapat mencegah oksidasi lipoprotein, menjadi anti-
inflamasi in vitro, dan mendukung proliferasi sel. Selain itu, HDL mendorong
terbentuknya NO. Menurunnya HDL menyebabkan berkurangnya perlindungan untuk
melawan aterosklerosis. Beberapa studi menemukan bahwa tingginya kadar kolesterol
total dan rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan meningkatnya risiko
PAP. Oleh karena itu, pasien dengan faktor risiko DM tipe II dan dislipidemia lebih
banyak yang memiliki PAP jika dibandingkan dengan orang dengan satu faktor risiko
saja. (Aryani, Eka., Margawati, Ani., Nugroho, dan K. Heri. 2016)

c. Tekanan darah tinggi (Hipertensi)

Menurut Pepine, CJ (2001) Mekanisme hubungan antara hipertensi dengan status PAP
adalah peran hipertensi dalam terjadinya proses aterosklerosis. Hipertensi
menyebabkan perubahan yang kompleks dalam struktur dinding arteri. Data serupa
juga ditunjukkan oleh Priscilla LeMone, Karen M. Burke dan Gerene Bauldoff (2016)
Hipertensi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga dapat
menyebabkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas tonus
otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, gangguan
koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten yang menjadikan orang dengan
hipertensi lebih rentan terhadap proses aterorombotik.

d. Kelebihan gula dalam darah karena resistensi insulin atau Diabetes.

Diabetes mempengaruhi endotelium pembuluh darah, berperan pada perkembangan


aterosklerosis. Hiperglikemia dan hipersulinemia, perubahan fungsi trombosit,
kenaikan kadar fibrinogen, dan inflamasi juga berperan pada perkembangan
aterosklerosis.

2.2.3 Manifestasi Klinis Penyakit Arteri Perifer

Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2006) Gambaran klinis pada penderita
penyakit arteri perifer dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Iskemia Kronis

1. Klaudikasio Interminen pada betis (femoralis), paha (iliaka), atu bokong

(aortoiliaka).

2. Perifer dingin

3. Waktu pengisian kapiler memanjang

4. Nyeri saat istirahat, terutama pada malam hari

5. Pelebaran vena

6. Pulsasi memanjang

7. Ulkus arterial, khususnya di sekitar titik tekanan (tumit, jari kaki)


8. Kontraktur lutut.

b. Iskemia Akut

1. Nyeri

2. Pucat

3. Tidak ada pulsasi

4. Parestesia

5. Paralisis

6. Dingin ‘mati rasa’

7. Onset tiba-tiba ‘pistol shot’

8. Titik-titik bewarna

9. Rigiditas otot

Menurut Koon K Teo (2017) Penyakit Arteri Perifer (PAP) menyebabkan klaudikasio
intermiten, yaitu rasa sakit, sakit, kram, tidaknyaman, atau lelah di kaki yang terjadi
saat berjalan dan lega karena istirahat. Klaudikasio biasanya terjadi pada betis tapi bisa
terjadi di kaki, paha, pinggul, pantat, atau, jarang, lengan. Klaudikasio adalah
manifestasi iskemia reversibel yang diinduksi olahraga, mirip dengan angina pektoris
(Nyeri dada) . Pada penderita Penyakit arteri perifer ringan sering kali tidak merasakan
apapun atau tanpa gejala (Asymptomp) dan pasien dengan penyakit arteri perifer parah
mungkin mengalami rasa sakit saat istirahat, yang mencerminkan iskemia ireversibel.
Rasa sakit istirahat biasanya lebih parah secara distal, diperparah oleh elevasi kaki
(sering menyebabkan rasa sakit di malam hari), dan berkurang saat kaki berada di
bawah tingkat jantung. Rasa sakit bisa terbakar, mengencang, atau terasa sakit. Sekitar
20% pasien dengan penyakit arteri perifer tidak bergejala, terkadang karena mereka
tidak cukup aktif untuk memicu iskemia kaki. Beberapa pasien memiliki gejala atipikal
(misalnya intoleransi olahraga nonspesifik, nyeri pinggul atau nyeri sendi lainnya).
Penderita penyakit arteri perifer ringan sering tidak menimbulkan tanda dan gejala.
Sedangkan dengan penderita penyakit arteri perifer berat biasanya menyebabkan
berkurangnya atau tidak ada aliran darah ke pembuluh darah perifer (popliteal, tibialis
posterior, dorsalis pedis) pulses dan Ultrasonografi droppler adalah alat yang
digunakan saat nadi tidak dapat dideteksi dengan palpasi. Saat berada di bawah level
jantung, kaki mungkin tampak berwarna merah kehitaman. Pada beberapa pasien,
mengangkat kaki menyebabkan hilangnya warna dan memperburuk nyeri iskemik;
Saat kaki diturunkan, pengisian vena berkepanjangan (> 15 detik). Edema biasanya
tidak muncul kecuali pasien membuat kaki tetap tidak bergerak dan dalam posisi
tergantung untuk menghilangkan rasa sakit. Penderita penyakit arteri perifer kronis
mungkin memiliki kulit tipis dan pucat (atrofi) dengan rambut yang menipis atau
hilang. Kaki pada bagian distal mungkin terasa dingin. Kaki yang terkena mungkin
berkeringat berlebihan dan menjadi sianosis, mungkin karena saraf simpatik terlalu
aktif. Seperti iskemia memburuk, bisul bisa muncul (biasanya pada jari kaki atau tumit,
kadang pada kaki atau kaki), terutama setelah trauma lokal. Ulkus cenderung
dikelilingi oleh jaringan nekrotik hitam (gangren kering). Penderita biasanya
merasakan sakit yang luar biasa, tetapi orang dengan neuropati perifer karena diabetes
atau alkoholisme mungkin tidak merasakannya. Infeksi ulkus iskemik (gangren basah)
terjadi dengan mudah, menyebabkan selulitis progresif cepat.

2.2.4 Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer

Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2006) penetalaksanaan pada penderita
POVD (Peripheral Occlusive Vasculer Disease) ada dua, yaitu:

a. Non Farmakologi

1. Hentikan kebiasaan merokok

2. Menganjurkan penurunan asupan lemak jenuh dan kolesterol dengan strategi


menurunkan kadar LDL
3. Atur untuk program olahraga secara rutin

4. Perawatan kaki

b. Famakologi

1. Klaudikasio tanpa kecacatan

a) Hindari blocker β

b) Aspirin 75mg per hari

c) Cilostazol 100 mg 2 kali sehari

Memperbaiki jarak klaudikasio (kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung


kongestif).

2. Klaudikasio dengan kecacatan / iskemia kritis

a) Angioplasti balon ± stent intravaskuler

b) Pembedahan pintas

c) Amputasi

d) Terapi i.v : iloprost

3. Iskemia Akut

a) Antikoagulan Heparin

b) Embolektomi bedah

c) Terapi trombolitik

2.2.5 Ankle Brachial Index (ABI)

Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk
mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
sangat baik untuk mendeteksi PAP. Selain itu, ABI dapat digunakan sebagai pedoman
untuk menentukan keparahan penyakit dan informasi prognosis mengenai komplikasi
pada tungkai (Coffman, 2003). Pengukuran ABI ini dapat digunakan secara serial
untuk memonitor perjalanan penyakit.ABI merupakan standar diagnosis PAP untuk
pengobatan klinis atau studi epidemiologi dan memberikan informasi yang berguna
untuk menyelamatkan tungkai bawah, penyembuhan luka dan perkiraan survival
pasien. Pemeriksaan ABI dapat dilakukan pada populasi dengan risiko sebagai
skrinning. ABI juga dapat digunakan sebagai marker untuk prognosis gangguan
kardiovaskuler meskipun tidak ditemukan gejala PAP (Rhee SY, 2015). Kebanyakan
pasien PAP (>50%) adalah asimptomatik sehingga pemeriksaan dengan ABI
merupakan pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh ACCF/AHA sebagai
alat diagnosis utama PAP. Diagnosis PAP dengan menggunakan Ankle Brachial Index
(ABI) merupakan pemeriksaan yang mudah dilaksanakan dalam praktek umum.

2.3 Konsep Terapi Air

2.3.1 Definisi Terapi Air

Terapi Air adalah metode perawatan dan penyembuhan dengan menggunakan air untuk
mendapatkan efek-efek terapis. Terapi air menggunakan pendekatan “low-tech”, yang
mengandalkan diri pada respon respon tubuh sangat khusus terhadap aplikasi terapi air
secara tepat, berdasarkan pola-pola yang bisa diprediksi yang telah dikembangkan
selama ratusan tahun dari pengamatan tentang bagaimana pengaruh air terhadap tubuh
dan juga bagaimana respon-respon tubuh terhadap air (Chaiton, 2002) Terapi air
(Hidroterapi) adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meredahkan beragai
macam penyakit ringan dan air bisa digunakan dalam sejumlah cara yang berbeda.
Sifat-sifat penyembuhan air telah dikenal sejak zaman kuno terutama oleh peradaban
Yunani, Romawi, dan Turki, namun juga oleh orang-orang di Eropa dan Cina.
Kebanyakan orang yang sudah tau manfaat mandi air panas untuk melenturkan tubuh,
memulihkan kekakuan, dan sakit otot dan membantu agar tidur nyenyak. Air panas
atau uap mengakibatkan pembuluh-pembuluh darah membesar, membuka, pori-pori
kulit dan mendorong keluarnya keringat dan mengendurkan otot-otot dan anggota
badan. Air dingin atau pancuran memiliki manfaat sebaliknya dan menyehatkan tubuh.
Air dingin membantu pembuluh-pembuluh darah di kulit mengerut dan darah dialirkan
ke jaringan-jaringan dan organ-organ dalam untuk membantu mempertahankan suhu
bagian tengah tubuh. Es atau air dan dingin bisa digunakan untuk meredahkan bengkak
atau memar dan dapat mengakibatkan pori-pori kulit mengecil (Geddes & Grosset,
2000).

2.3.2 Tujuan Terapi Air

Sifat – sifat air tersebut dapat memberikan efek pijatan dan stimulasi pada jaringan
kulit dan otot dengan berbagai keuntungan, antara lain:

a. Melancarkan peredaran darah

b. Merilekskan otot

c. Merangsang pemubuangan toksin metabolik / racun-racun yang ada dalam sel ke


aliran darah melalui keringat atau urin.

d. Mengurangi ketegangan saraf.

Terapi air seacara umum bertujuan untuk menyegarkan, memulihkan tenaga,


merilekskan (refresh, revitalize, relax) dan memelihara serta meningkatkan kesehatan
baik fisik fungsional maupun jiwa serta keindahan penampilan. Hal ini terimplimentasi
dengan kebiasaan dalam tradisi masyarakat secara turun-temurun mandi setiap hari
untuk membersihkan diri dari kotoran, memperindah diri, menyegarkan diri dan
membuat rileks (Louise Jumarani, 2009).

2.3.3 Manfaat Terapi Air

Terdapat beberapa manfaat dari terapi air, misalnya :

a. Memperkuat sistem kekebalan tubuh (immune system)


b. Meningkatkan sirkulasi darah dan getah bening (improve blood vessels dan
lymphatic gland)

c. Memperbaiki sistem metabolisme tubuh

d. Memperbaiki sistem pencernaan (Louise Jumarani, 2009).

2.3.4 Mekanisme Kerja Air pada Tubuh

2.3.4.1 Fakta-Fakta yang Mengagumkan Tentang Air

Jika para ilmuwan diminta untuk menciptakan sebuah zat dimana :

a. Zat-zat lainnya bisa larut (banyak hal yang bisa larut dalam air dibanding zat-zat cair
lainnya sehingga memungkinkan air sebagai sarana distribusi ideal zat-zat dalam tubuh
seperti mineral-mineral ke permukaan tubuh).

b. Hampir tersedia di seluruh dunia dan amat ekonomis (tidak mahal).

c. Sama sekali tidak mengandung racun dan tidak menimbulkan iritasi apapun.

d. Dengan cepat bisa menyerap dan mempertahankan panas, namun juga bisa dengan
cepat melepaskan panas tanpa tubuh harus dingin terlalu cepat.

e. Bisa menyimpan energi dan mengubahnya dari zat cair menjadi uap atau zat padat
(Chaiton, 2002).

2.3.4.2 Kualitas-kualitas Air

Air memiliki kualitas-kualitas utama berikut ini, yang semuanya bisa kita gunakan
dalam terapi air :

a. Air adalah zat alami yang sangat berlimpah di planet kita (air adalah kombinasi
elemen-elemen, dalam hal ini hidrogen sekitar 90% dan oksigen lebih dari 10%).
b. Air sangat fleksibel dan bisa dikonsumsi untuk menjangkau hampir seluruh bagian
permukaan tubuh dan dalam tubuh juga tentunya). Bila diserap ke dalam handuk atau
materi lainnya, air bisa digunakan untuk menjangkau seluruh kontur dan permukaan-
permukaan luar tubuh sehingga mampu berinteraksi dengan kulit dalam berbagai cara
yang mengagumkan. Kualitas ini memungkinkan air sangat berguna dalam perawatan
pribadi (self-treatment).

c. Air menyerap dan mampu mengeluarkan panas dalam jumlah besar, tanpa

mengubah temperaturnya sendiri terlalu banyak (Chaiton, 2002).

2.3.4.3 Cara Kerja Air pada Tubuh

a. Bila anda menempelkan sesuatu yang panas atau hangat pada jaringanjaringan kulit,
maka otot-otot akan relaks dan pembuluh- pembuluh darah akan terbuka lebih lebar.
Ini menyebabkan semakin banyak darah yang bisa mencapai jaringan-jaringan itu. Atas
dasar inilah, aplikasi air ingin harus selalu mengikuti aplikasi air panas dalam metode-
metode terapi air.

b. Penggunaan aplikasi air dingin dalam waktu singkat (kurang dari satu menit) akan
mengakibatkan kontraksi pembuluh-pembuluh darah lokal. Ini memiliki efek
terjadinya dekongesi pada jaringan- jaringan tubuh dan yang dengan cepat diikuti oleh
sebuah reaksi dimana pembuluh-pembuluh darah terbuka dan jaringan-jaringan
dibersihkan dengan darah yang banyak mengandung oksigen segar.

c. Aplikasi air dingin dan air panas secara bergantian menghasilkan pertukaran sirkuler
dan meningkatkan drainase serta suplai oksigen ke jaringan-jaringan, apakah jaringan
otot, kulit ayau organ-organ tubuh.

d. Dua kaidah utama dalam terapi air adalah bahwa aplikasi air dingin dalam waktu
singkat atau perendaman tubuh harus selalu diberikan setelah aplikasi air panas dan
lebih baik sebelum aplikasi air panas dan bahwa bila aplikasi air panas diberikan,
derajat panasnya harus bisa diterima oleh pasien dan tidak boleh terlalu panas sehingga
menyebabkan kulit terkelupas (Chaiton, 2002).

2.3.4.4 Prinsip-prinsip Umum Aplikasi Air Panas Dan Air Dingin

a. Aplikasi aplikasi air dingin dalam waktu singkat akan merangsang sirkulasi.

b. Aplikasi air dingin dalam waktu panjang (lebih dari satu menit akan menghalangi
proses sirkulasi dan metabolisme tubuh.

c. Aplikasi aplikasi air panas dalam waktu panjang menyebabkan daerahdaerah yang
diaplikasi mengalami kongesti dan statis sehingga menuntut diberikannya aplikasi air
dingin untuk membantu mengembalikan normalitasnya.

d. Aplikasi aplikasi air dingin dalam waktu singkat (kurang dari satu menit)
merangsang sirkulasi, tapi aplikasi-aplikasi air panas dalam waktu panjang (lebih dari
satu menit) menghalangi baik sirkulasi dan metabolisme tubuh secara drastis.

e. Aplikasi air panas dalam waktu singkat yang diikuti aplikasi-aplikasi air dingin
dalam waktu singkat menyebabkan perubahan yang diikuti dengan kembalinya status
tubuh ke tingkat normal.

f. Hangat didefinisikan sebagai satuan temperatur air dalam rentang 98-104 0F atau
36,7-40 0C. Pemakaian air yang lebih panas dari skala ini tidak boleh dilakukan karena
sangat berbahaya bagi kesehatan kulit.

g. Aplikasi-aplikasi air netral (mandi) pada panas tubuh sangat menyegarkan dan
menenangkan.

h. Dingin didefinisikan sebagai satuan temperatur air dalam rentang 55-65 oF atau
12,7-18,3°C.
i. Air yang lebih dingin dari skala dingin disebut sangat dingin, sementara yang lebih
hangat disebut suam-suam kuku (66-80 oF atau 18,5-26,5 oC) atau tepid (81-92 0F atau
26,5-33.33 oC) atau netral hangat (93-9TF atau 33,8-36,1 oC) (Chaiton, 2002).

2.3.5 Jenis-jenis Terapi Air

a. Mandi rendam (underwater massage)

Terapi air dengan cara berendam di dalam sebuah bak mandi (bath tub) yang dirancang
dengan berbagai jet atau nozzle dengan tekanan dan suhu yang bias diatur/ dikontrol.

b. Pusaran air (whirlpool)

Terapi air yang menggunakan berbagai jet dengan ukuran tertentu.

c. Kolam terapi (aquamedik)

Kolam terapi ini didesain dengan modifikasi jet shower yang tekanan airnya
disesuaikan dengan bagian-bagian tubuh yang sering mendapatkan keluhan secara
fisiologi dan anatomis. Tekanan dan suhu bias diatur sesuai kebutuhan terapi.

d. Terapi Semprot Air (jet shower)

Air hangat dan dingin disemprotkan langsung ke tubuh again belakang selama 2-3
menit. Terapi ini untuk menstimulasi sirkulasi dan organ bagian dalam. Fungsi dari
terapi ini adalah untuk mengatasi kurang darah, radang sendi, asma, dan nyeri dada.

e. Pancuran Air (veichy shower)

Terapi dengan pancuran air menggunakan tekanan dan suhu tertentu yang diatur sesuai
kebutuhan, Veichi shower biasanya dipadukan dengan terapi lain, seperti lulur, masker
dan sebagainya.

f. Terapi Air Panas dan Dingin (Contrast bath)

Terapi ini menggunakan dua jenis temperatur, hangat dan dingin.


g. Bubble Bath

Terapi air berupa berendam dalam bak mandi (Bath tub) yang didesain khusus dengan
media air yang dapat diatur tekanan dan suhu tertentu.

h. Mandi Rendam Rempah

Terapi ini menggunakan bahan-bahan herbal dan media air untuk berendam.

i. Mandi Rendam Air Garam

Terapi ini menggunakan air garam. Produk garam khusus berfungsi untuk
merileksasikan otot-otot tubuh.

j. Terapi Air Laut (Thalasotherapy)

Terapi air dengan menggunakan media air laut yang memiliki unsur penyembuh.
Mineral dalam rumput laut, misalnya, berkhasiat mengurangi produksi keringat yang
berlebih, membersihkan sekaligus memelihara kesehatan kulit.

k. Mandi Uap (Steam)

Mandi uap adalah duduk tenang dalam ruangan beruap selama 20 menit. Berfungsi
mempercepat keluarnya keringat dan mengangkat segala kotoran di permukaan kulit.

l. Mandi Sauna

Hampir sama dengan steam, terapi kondisinya lebih kering dan menggunakan suhu
tinggi

m. Kompres

Terapi ini menggunakan handuk yang direndam dalam air panas atau dingin. Setelah
diperas lalu dibalutkan pada bagian tubuh yang dituju. Kompres panas berfungsi
meningkatkan aliran darah, sedangkan kompres dingin bermanfaat untuk mengurangi
pembengkakan.
n. Balut

Menggunakan handuk yang sudah dibasahi air hangat atau dingin yang dililitkan ke
sekujur tubuh. Kemudian tubuh dibalut lagi dengan handuk kering dan selimut.
Perawatan ini bertujuan untuk mengeluarkan lebih banyak keringat tubuh. Keringat
tersebut akan membawa serta toksin atau racun-racun dari dalam tubuh. Terapi ini juga
cocok bagi penderita demam, flu, sakit punggung dan kelainan pada kulit.

o. Ratus

Terapi ini dengan menggunakan uap air. Terapi ratus ada 3 jenis yaitu : ratus rambut,
ratus badan, ratus untuk organ intim wanita atau sering disebut dengan V-Spa.

2.3.6 Rendam Kaki Air Hangat

Terapi rendam kaki dengan air hangat dapat terjadi secara konduksi dimana terjadi
perpindahan panas/hangat dari air hangat ke dalam tubuh karena ada banyak titik
akupuntur di telapak kaki yaitu ada enam meridian. Kerja air hangat pada dasarnya
adalah meningkatkan aktivitas (sel) dengan metode pengaliran energi melalui konveksi
(pengaliran lewat medium cair). Metode perendaman kaki dengan air hangat
memberikan efek fisiologis terhadap beberapa bagian tubuh organ manusia seperti
jantung. Tekanan hidrostatik air terhadap tubuh mendorong aliran darah dari kaki
menuju ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di pembuluh darah besar jantung.
Air hangat akan mendorong pembesaran pembuluh darah dan meningkatkan denyut
jantungefek ini berlangsung cepat setelah terapi air rendam air hangat diberikan.
Prinsip kerja terapi ini juga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan
penurunanketegngan otot sehingga dapat memperlancar peredaran pembuluh darah
yang akan mempengaruhi tekanan arteri oleh baroreseptor pada sinus kortikus dan
arkus aorta yang akan menyampaikan impuls yang dibawa serabut saraf yang
membawa isyarat dari semua bagian tubuh untuk menginformasikan kepada otak
perihal tekanan darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua organ ke pusat saraf
simpatis ke medulla sehingga akan merangsang tekanan sistolik yaitu regangan otot
ventrikel akan merangsang ventrikel untuk berkontraksi. Keadaan dimana kontraksi
ventrikel mulai terjadi sehingga dengan adanya pelebaran pembuluh darah, aliran darah
akan lancar sehingga akan mudah mendorong darah masuk ke jantung sehingga
menurunkan tekanan sistoliknya. Pada tekanan diastolik keadaan relaksasi ventrikular
isovolemik saat ventrikel turun drastis, aliran darah lancar dengan adanya pelebaran
pembuluh darah sehingga menurunkan tekanan diastoliknya (Perry & Potter, 2007).

2.3.7 Manfaat Rendam Kaki Air Hangat

a. Menghilangkan kesesakan dalam kepala, dada dan pinggang oleh mengalirkan darah
dari bagian-bagian itu ke tungkai dan kaki

b. Menghentikan mimisan

c. Menghilangkan nyeri dan kejang kaki dan tungkai

d. Memeras keringat dalam kasus deman untuk menurunkan suhu badan

e. Menghilangkan kejang haid oleh mengendurkan kekejangan otot Rahim

f. Menghilangkan sakit kepala

g. Mengendurkan seluruh tubuh (Herminia, 1988).


BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2011). Pada bagian metode penelitian
ini akan diuraikan tentang desain penelitian, populasi, sampling, sampel, identifikasi,
variable penelitian, definisi operasional, prosedur penelitian, pengumpulan data, serta
analisa data.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian (Design riset) adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang
dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bias diterapkan
(Nursalam, 2013). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre
experimental design, dikatakan Pre Experimental Design, dengan rancangan One
Group Pretest Posttest Design karena desain ini belum merupakan eksperimen
sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap
terbentuknya variabel dependen, jadi hasil eksperimen ini terdapat pretest, sebelum
diberikan perlakuan dan posttest setelah perlakuan. Dengan demikian hasil perlakuan
dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum
dan setelah diberi perlakuan (Sugiyono, 2011).

3.2 Populasi, Sampling dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmojo,
2010). Populasi dapat bersifat terbatas dan tidak terbatas. Dikatakan terbatas apabila
jumlah individu atau objek dalam populasi tersebut terbatas dalam arti dihitung.
Sedangkan bersifat tidak terbatas dalam arti tidak dapat ditentukan jumlah individu
atau objek dalam populasi tersebut (Hidayat, 2010). Populasi pada pennelitian ini
adalah seluruh penderita diabetes melitus tipe 2 yang berkunjung ke Puskesmas
Gedongan sebanyak 179 orang.

3.2.2 Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi.
Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar
memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian
(Nursalam 2013).

Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik tertentu dalam mengambil sampel
penelitian, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya
(Notoatmojo, 2010). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non
Probability Sampling tipe Consecutive Sampling yaitu pemilihan sampling dengan
menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian
sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi,. Jadi
peneliti melakukan penelitian di Puskesmas Gedongan selama 20 hari.

3.2.3 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2013). Dalam buku Research Methods For Business (1982 : 253)
memberikan saran-saran tentang ukuran sampel untuk penelitian seperti berikut ini :

a. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian antara 30 sampai dengan 500.

b. Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya : Pria-wanita, Pegawai negeri-swasta


dan lain-lain) maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.

c. Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate (korelasi atau
regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari jumlah variable yang
diteliti. Misalnya variabel penelitiannya ada 5 (independen + dependen), maka jumlah
anggota sampel 10 x 5 = 50.
d. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok
eksperimen dan kelompok control, maka jumlah anggota sampel masing-masing antara
10 s/d 20 (Sugiyono, 2016).

Berikut adalah kriteria insklusi dan eksklusi pada penelitian ini :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi yang
terjangkau yang akan diteliti. Pembimbing ilmiah harus menjadi pedoman dalam
menentukan kriteria inklusi (Nursalam, 2008).

Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah:

1. Penderita Diabetes Melitus tipe 2

2. Klien dengan tanda dan gejala gangguan sirkulasi darah perifer

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang memenuhi


kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab, antara lain :

1. Penderita diabetes melitus dengan ulkus di dorsalis pedis

2. Penderita diabetes melitus dengan lesi brachialis

3. Penderita diabetes yang tidak kooperatif

4. Penderita diabetes yang memiliki gangguan jiwa

Jadi sampel pada penelitian ini adalah sebagian penderita diabetes melitus tipe
2 yang berkunjung di Puskesmas Gedongan Kota Mojokerto sebanyak 30 penderita
diabetes mellitus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian

Anda mungkin juga menyukai