Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

Syndrome of Inappropriate Anti-diuretic Hormone (SIADH) pada


Geriatrik dengan Massa Sinonasal Infiltrasi Sella Tursica

Penyaji:
dr. Ilham Nugroho WK
1806262064

Pembimbing:
dr. Iskandar Agung SpPD

Chief of Ward:
dr. Andika Indrarespati

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Jakarta – 2019
1
LEMBAR VALIDITAS

Laporan Kasus ini disusun oleh:


dr. Ilham Nugroho Widananto Kusuma (NPM 1806262064)
Peserta Didik Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Laporan kasus ini telah disetujui untuk dipresentasikan


Di RS Persahabatan pada Bulan Juni 2019

Supervisor Chief of Ward

dr. Iskandar Agung, SpPD dr. Andika Indrarespati

2
LEMBAR PENYATAAN ANTI-PLAGIARISME

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, dengan jujur menyatakan bahwa laporan
kasus yang berjudul:

Syndrome of Inappropriate Anti-diuretic Hormone (SIADH) pada


Geriatrik dengan Massa Sinonasal Infiltrasi Sella Tursica
ditulis dan disusun tanpa tindakan plagiarisme sesuai aturan yang berlaku di
Universitas Indonesia. Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian
dari laporan ini terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian surat pernyataan
ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari siapa pun juga, untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Juni 2019

dr. Ilham Nugroho Widananto Kusuma

NPM 1806262064

3
DAFTAR SINGKATAN

ADH : antidiuretic hormone

ANP : Atrial natriuretic peptide

BAB : Buang air besar

BAK : Buang Air kecil

CM : Compos mentis

CRT : capillary refill time

CSWS : Cerebral salt wasting syndrome

CT : Computed- Tomography

DM : Diabetes melitus

GCS : Glasgow coma scale

ICU : Intensive care unit

JVP : Jugular venous pressure

JKN : Jaminan Kesehatan Nasional

NGT : nasogastric tube

NACL : Natrium chloride

SIADH : Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone secretion

TSH : Thyroid stimulating hormone

4
DAFTAR ISI

LEMBAR VALIDITAS ............................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ANTIPLAGIARRISME .............................. iii

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... 4

DAFTAR ISI ............................................................................................. 5

DAFTAR TABEL ..................................................................................... 6

DAFTAR GRAFIK ................................................................................... 7

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ 8

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 9

BAB II ILUSTRASI KASUS ................................................................... 12

BAB III DISKUSI KASUS ....................................................................... 21

BAB IV PENUTUP .................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 35

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil Laboratorium .......................................................................................12

Tabel 2 HasilPemeriksaan Elektrolit Urin ..................................................................13

Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Urin Lengkap .................................................................. 13

Tabel 4 Hasil Pemeriksaan Elektrolit Plasma ............................................................ 14

6
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Pemeriksaan Natrium ................................................................................... 14

7
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ronten Thoraks ......................................................................................... 16

Gambar 2 EKG ............................................................................................................ 17

Gambar 3 Potongan Axial CT Scan Kepala .................................................................. 18

Gambar 4 Potongan Coronal CT Scan Kepala ............................................................. 18

Gambar 5 Potongan Axial CT Scan SPN....................................................................... 19

Gambar 6 Potongan Sagital CT Scan SPN .................................................................... 20

Gambar 7 Elektrolit Tubuh .......................................................................................... 21

Gambar 8 Kriteria Barrter dan Schwartz untuk SIADH ............................................... 22

Gambar 9 Algoritma Diagnosis Hipoosmolar Hipovolemik......................................... 23

Gambar 10 Patofisiolofi SIADH ................................................................................... 25

Gambar 11 Mekanisme SIADH pada tubuh ................................................................ 27

Gambar 12 Anatomi Sella tursica dan hipofisis .......................................................... 29

Gamvbar 13 Algoritma CSWS versus SIADH ............................................................... 31

8
BAB I
PENDAHULUAN

Hiponatremia merupakan kondisi yang sering ditemukan pada


pasien−pasien dengan keganasan. Keadaan hiponatremia dapat terjadi bersamaan
atau mendahului diagnosis suatu keganasan. Empat belas persen hiponatremia
pada pasien non−bedah yang dirawat disebabkan karena kondisi terkait tumor.1
Dari suatu studi didapatkan insiden hiponatremia pada populasi pasien dengan
keganasan adalah 3,5−7%. Dari studi yang sama didapatkan penyebab
hiponatremia terbanyak pada pasien dengan keganasan adalah ekskresi natrium
berlebihan dan syndrome of inappropriate anti diuretic hormone secretion
(SIADH), masing−masing sepertiga dari keseluruhan kasus.2 SIADH terjadi pada
1−2% dari seluruh populasi pasien keganasan dan prevalensinya 30% dari seluruh
kasus hiponatremia. Kanker yang sering menginduksi terjadinya SIADH salah
satunya adalah kanker kepala dan leher.3
Kadar natrium serum pada pasien sakit berat dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor. Tubuh manusia terdiri atas 60%-70% air, dengan sekitar 30% air
merupakan cairan ekstraseluler dan NaCl sebagai elektrolit utama (135-145
mEq/L). Hiponatremia terjadi bila kadar Natrium serum kurang dari 135 meq/L,
dan merupakan abnormalitas elektrolit yang paling sering terjadi pada pasien di
rumah sakit dan 30% dari pasien di Intensive Care Unit (ICU)4
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Scretion (SIADH) atau
Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai mengacu pada sekresi
ADH yang berlebihan dari kelenjar hipofisis dalam mengatur osmolalitas serum
subnormal.5 SIADH disebabkan oleh ketidakmampuan absorpsi atau menyerap
air dalam bentuk ADH yang berasal dari hipofisis posterior. SIADH adalah
gangguan pada hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH sebagai
respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan.

9
Cerebral Salt-Wasting Syndrome (CSWS) merupakan kelainan pengaturan
Natrium dan air, yang terjadi sebagai akibat penyakit serebral tanpa disertai
kelainan fungsi ginjal. CSWS ditandai adanya hiponatremia yang berkaitan
dengan hipovolemia, yang sesuai dengan namanya, disebabkan oleh natriuresis.5
SIADH dan CSWS merupakan salah satu bagian hiponatremia yang sampai
saat ini sangat menantang. Kedua kondisi tersebut biasa terjadi pada pasien
dengan penyakit intrakranial dan pasien bedah saraf, namun dapat pula ditemukan
pada pasien – pasien sakit berat. Pada populasi pasien bedah saraf, 62%
hiponatremia disebabkan oleh SIADH, sedang 4,8-31,5% disebabkan oleh
CSWS.1 Dalam praktik klinik, terdapat kesulitan dalam membedakan kondisi
CSWS dengan SIADH. Meskipun demikian, sangatlah penting untuk
membedakan kedua keadaan tersebut oleh karena prinsip terapi yang secara
fundamental berbeda.2
Hiponatremia terkait kanker bisa mempengaruhi respon terhadap terapi
kanker maupun kesintasan pasien.6 Dari suatu studi prospektif didapatkan bahwa
kelompok pasien dengan hiponatremia oleh berbagai sebab memiliki angka
mortalitas yang lebih tinggi dibanding kelompok normonatremia (28% versus
9%).1 Oleh karena itu, tatalaksana hiponatremia penting, selain untuk mencegah
dan mengatasi sekuele neurologis, juga untuk memperbaiki kualitas hidup dan
meningkatkan kesintasan pasien dengan keganasan.7 Hiponatremia pada kasus
yang akan disampaikan berikut ini terjadi pada pasien lanjut usia. Hiponatremia
karena berbagai etiologi memang tidak jarang ditemui pada pasien lanjut usia di
perawatan dengan frekuensi 25−45%.6; 7 Fakta ini tidaklah mengherankan
mengingat terjadi perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit pada lanjut usia.6
Kasus ini diangkat karena kejadian hiponatremia berat sering ditemukan
dalam praktek klinik di rawat inap. Kecurigaan keganasan atau adanya massa di
kepala leher secara epidemiologi adalah penyebab terbanyak kejadian SIADH
seperti yang terjadi pada kasus ini. Kasus ini juga menunjukkan penanganan
multidepartemen dalam tatalaksana pasien SIADH meliputi departemen Penyakit

10
Dalam, THT, Neurologi, Kardiologi, Paliatif, Radiologi, dan Anastesi. Populasi
khusus pada geriatrik seperti pada kasus ini, menjadi perhatian khusus karena
menjadi salah satu komorbid yang dapat memperburuk kondisi hiponatremia.
Penanganan dan kesediaan fasilitas pemeriksaan osmolaritas urin dan elektrolit
urin menjadi salah satu modalitas untuk menegakkan diagnosa SIADH walaupun
saat ini modalitas tersebut terbentur pada kebjiakan asuransi nasional JKN dan
belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan bahkan tipe A sekalipun.

11
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Pasien laki-laki umur 65 tahun datang dengan keluhan lemah yang semakin
memberat sejak 4 hari SMRS. Kelemahan dirasakan di seluruh tubuh, kelemahan
sesisi disangkal, bicara pelo, nyeri kepala tidak ada, demam disangkal. Kontak dan
komunikasi pasien selama dirumah mulai kurang adekuat. Nafsu makan berkurang,
mual ada muntah 3x dalam sehari terahir. BAB tidak ada kelainan BAK jumlah dan
frekuensi normal. Perdarahan dari hidung sedikit hanya 1x sebanyak 1 sendok teh
tidak disertai nyeri maupun penurunan daya penciuman. Pasien sulit tidur bila
malam hari. Penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 4 bulan terakhir.
Sejak 6 bulan SMRS pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah
kanan. Darah berwarna kemerahan, jumlah sekitar 1-2 sendok setiap keluar darah,
penurunan daya penciuman disangkal. Pasien lalu menjalani perawatan di bidang
THT sekitar 5 bulan SMRS karena perdarahan dari lubang hidung. Pasien juga
mengeluhkan sering nyeri kepala bagian depan, pilek yang sulit sembuh. Pasien
sempat menjalani biopsi hidung namun didapatkan hasil yang normal dan dikatakan
menderita polip dan sinusitis, pasien rutin kontrol di dokter THT.
Sejak 4 bulan SMRS pasien mulai mengalami penurunan nafsu makan. Porsi
makan sedikit sekitar seperempat sampai setengah dari porsi makan biasa. Mual
dan muntah disangkal. Komunikasi masih baik, kontak adekuat. Sehari-hari pasien
masih dapat memakai baju sendiri, mandi sendiri, makan sendiri, berjalan keluar
dari rumah tanpa dituntun.
Riwayat DM, hipertensi, Stroke, penyakit jantung,hati dan ginjal disangkal.
Riwayat keluahan yang sama pada keluarga disangkal. Riwayat psikosial pasien
menikah memiliki 2 orang anak tinggal bersama dengan istri, tidak bekerja,
pembiayaan JKN.Pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran CM apatis (E4 M5 V4)
keadaan umum sakit berat, tekanan darah 120/70, frekuensi nadi100x/menit,
frekuensi nafas 22x per menit, suhu 36.1, saturasi oksigen 99% dengan nasal canule

12
3 liter per menit. Berat badan 55 kg. Tinggi badan 160 cm, indeks massa tubuh
21.48. Pemeriksaan status lokalis didapatkan, kepala mesenchepalus, mukosa bibir
tidak kering, mata tidak cekung, konjunctiva anemis tidak ada, sklera anikterik,
terpasang NGT,terdapat massa di cavum nasi. Pemeriksaan leher leher didapatkan
JVP (5-2) cm H2O, KGB tidak membesar. Pemeriksaan jantung didapatkan bunyi
Jantung 1 dan 2 murni reguler, murmur dan gallop tidak ada. Pemeriksaan paru
didapatkan vesikuler normal, ronkhi basah kasar bilateral, wheezing tidak ada.
Pemeriksaan abdomen didapatkan datar, supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien
tidak teraba, bising usus normal, pemeriksaan genitalia didapatkan terpasang
catheter urine, warna urin kuning jernih. Pemeriksaan ekstrimitas didapatkan akral
hangat, CRT 1 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium

LAB 19/4 22/4 23/4 2/5 7/5 14/5


Hb 11.7 10.8 10.6 9.9
Ht 30.9 30.1 29.6 28.2
Leukosit 8940 10.860 13.280 20.110
Trombosit 417000 581.000 519.000 382.000
MCV 74.8 77.4 77.5
MCH 28.3 27.8 27.7
Diff.count 0/6/65/1 0/11/65/ 0/0/88/6/ 0/0/80/6
7/9 12/10 6 /13
GDS 95 89
Osmol 233 258
Ur 11 6 10 28
Cr 0.4 0.4 0.5 0.4
eGFR 283 283 219 283
SGOT 16 42
SGPT 24 108
Ca 8.3
Mg 1.8
P 3.3
PCT 0.05
Laktat 2.2
13
Prot. Total 5.3
Albumin 3.5
Globulin 1.8
AG ratio 1.9
pH 7.41 7.46
PCO2 27.2 28.9
PO2 64.5 82.6
HCO3 17.6 21.1
SaO2 93 91.2
Anti HIV NR
PT 10(11.3)
aPTT 27 (32)
T3 0.9
TSH 1.56
Kortisol 10.3

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Elektrolit Urin

Elektrolit urin 25/4 18/5 Normal

Na urin 212 125 40-220


Na urin 24 jam 392 219 30-220
K Urin 29.2 29.1 125-225
K urin 24 jam 54 51 25-100
Cl Urin 223 119 26-168
Cl urin 24 jam 413 208 120-250

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Urin Lengkap

Urin Lengkap 17/5

Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Leukosit 3-5
Eritrosit 6-8
Silinder -
Sel Epitel 1+
Kristal -
Bakteri -
Berat Jenis 1.010
pH 7.5
Albumin -
Glukosa 3+
Keton -
14
Hb -
Bilirubin -
Urobilnogen 3-4
Nitrit -
LE -

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Elektrolit Plasma

Elektrolit 19/4 21/4 22/4 23/4 24/4 25/4 29/4 2/5 4/5 5/5 7/5 10/5 13/5

Na 109 121 122 122 119 119 117 122 127 129 125 124 123
K 4.2 4.0 3.7 4.0 4.2 4.3 4.0 4.0 4.1 3.8 4.0 3.4 3.0
Cl 81 94 95 98 92 91 89 93 99 97 97 91 90

Elektrolit 16/5 18/5 19/5 22/5 24/5 25/5

Na 122 117 125 123 122 125


K 2.7 3.0 2.6 3.6 2.9 3.6
Cl 89 87 99 101 97 101

Kadar Natrium Selama Perawatan


140
127129 125 125
130 121122122119119 122 124 123 122 123 122125
117 117
120
109
110
Na
100
90

Grafik 1. Hasil Pemeriksaan Elektrolit Plasma

15
Pemeriksaan radiografi thoraks saat masuk (20/4/2019) tidak didapatkan kelainan,
dengan deskripsi:
- Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada kesan dalam batas normal
- Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
- Jantung tidak membesar (CTR < 50)
- Aorta normal
- Trakea relatif di garis tengah
- Paru baik
Kesan: Tidak tampak kelainan pada radiografi thoraks

Gambar 1. Rontgen thoraks

16
Pemeriksaan ekg dalam batas normal. Dengan deskripsi sinus rhytm, HR 70x/menit
normo axis, P wave normal, PR interval 0.12, QRS kompleks 0.04, tidak ad
perubahan segmen ST-T, tidak ada RBBB maupun LBBB.

Gambar 2. EKG
CT Scan Kepala dengan Kontras (14 Mei 2019)

- Sulci dan giri normal


- Sistem ventrikel dan cysterna baik, pons cerebellum dan CPA normal
- Tampak masa cavum nasi kanan yang menyengat kontras, meluas ke sinus
maksilaris kanan, ke frontal kanan, ke orofaring, ke sella tursika kanan,
mendestruksi septum nasi, dinding medial sinus maksilaris kanan dan para
sella kanan.
- Osteomeatal kompleks kanan tertutup
- Rongga nasofaring baik tak tampak massa
Kesan:
Massa sinonasal kanan menyengat kontras dengan perluasannya dd/ malignancy
Osteomeatal kompleks kanan tertutup
Infiltrasi ke sella tursika kanan

17
Gambar 3. Potongan axial Ct scan Kepala

Gambar 4. Potongan Coronal Ct scan Kepala

18
CT Scan SPN dengan kontras (7 Mei 2019)

- Tampak masa cavum nasi kanan yang menyengat kontras, meluas ke sinus
maksilaris kanan, ke frontal kanan, ke orofaring, ke sella tursika kanan,
mendestruksi septum nasi, dinding medial sinus maksilaris kanan dan para
sella kanan.
- Osteomeatal kompleks kanan tertutup
- Rongga nasofaring baik tak tampak massa
Kesan:
- Massa sinonasal kanan menyengat kontras dengan perluasannya dd/ polip
- Osteomeatal kompleks kanan tertutup
- Infiltrasi ke sella tursika kanan

Gambar 5. Potongan axial CT scan SPN

19
Gambar 6. Potongan Sagital CT scan SPN

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ditegakkan


diagnosa Hiponatremia hipoosmolar euvolemik et causa SIADH, massa sinonasal
dengan infiltrasi ke sella tursica kanan dan dispepsia intake sulit. Pasien
dikonsulkan ke bagian THT. Jawaban konsul dari THT adalah rencana biopsi ulang
pada pasien bila kondisi stabil. Konsul ke neurologi, mendapatkan jawaban trapat
pnurunan kesadaran karena adanya massa sinonasal dengan infiltrasi ke sella
tursica, kesimpulan tersebut diberikan oleh bagian neurologi setelah pemeriksaan
CT scan kepala. Pasien selama perawatan endapatkan terapi Oksigen dengan nasal
canull 3 liter per menit, terpasang ngt dengan diet blenderized 1700kkal, infus
NaCL 3% 500 ml per 24 jam, ranitidin 2x30 mg iv domperidon 3x10 mg peroral
nacl capsul 3x500 mg po. Pasien sempat diusulkan alih rawat ke bagian THT untuk
penanganan lebih lanjut massa di sinonasal yang menginfiltrasi ke sella tursica
kanan namun bagian THT menolak. Untuk menegakkan diagnosa SIADH
sebaiknya dilakukan pemeriksaan osmolaritas urin untuk menyingkarkan diagnosa
penyebab hiponatremia lainnya. Namun keterbatasan modalitas pemeriksaan
osmolaritas urin di rumah sakit menjadi kendala untuk pemeriksaan pada pasien ini.

20
BAB III

DISKUSI KASUS

1. Diagnosis Hiponatremia Terkait Keganasan


Yang dimaksud dengan hiponatremia terkait keganasan di sini adalah
hiponatremia yang secara langsung disebabkan oleh tumor sendiri atau akibat
intervensi medis pada tumor, termasuk kemoterapi. Hiponatremia terkait
keganasan adalah diagnosis per eksklusionam dan setiap kasus yang ditemukan
haruslah dievaluasi secara individual
Pada pembahasan kasus ini pasien mengalami kondisi hiponatremia sedang-
berat diaman kadar natrium awal sempat mencapai 109 meq/l dan nilai tertinggi
natrium dengan koreksi nacl pekat dapat mencapai 129. Kondisi ini dapat
menyebabkan edema serebri yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada
pasien. Walaupun dari hasil ct scan tidak didapatkan kesimpulan terserbut hal ini
mungkin disebabkan karena pemeriksaan ct scan dilakukan saat kadar natrium
sudah mengalami perbaikan. Pasien sempat mengalami perbaikan saat selama 2 hari
dengan kontak dan komunikasi mulaui adekuat dan tidak delirium, saat ini
diberikan dexametason 3x5 mg iv oleh bagian neurologi, hal ini dapat dijelaskan
karena berkurangnya keadaan edema serebri pada pasien.

Gambar 7. Komposisi Elektrolit tubuh

2. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) Salah


Satu Etiologi Hiponatremia pada Keganasan
21
SIADH mengacu pada sekresi ADH yang berlebihan dari kelenjar hipofisis
dalam menghadapi osmolalitas serum subnormal. SIADH adalah suatu
karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal
mengabsorpsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang berasal dari hipofisis
posterior. SIADH adalah gangguan yang berhubungan dengan peningkatan jumlah
ADH akibat ketidakseimbangan cairan. SIADH adalah gangguan pada hipofisis
posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH sebagai respon terhadap
peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan.8
SIADH dapat disebabkan oleh kanker paru dan kanker lainnya. Penyakit paru
(pneumonia,TB) dan penyakit SSP( sistem saraf pusat) seperti atrofi serebrum
senilis, hidrosefalus, delifiumtremens, psilosis akut, penyakit demielinisasi dan
degeneratif, penyakit peradangan,trauma/cedera kepala/cerebrovaskular accident ,
pembedahan pada otak, tumor (karsinuma bronkus,leukemia, limfoma, timoma,
sarkoma) atau infeksi otak (ensepalitis, meningitis) dapat menimbulkan SIADH
melalui stimulasi langsung kelenjar hipofisis. Dan beberapa obat (vasopressin,
desmopresin asetat, klorpropamid, klofibrat, karbamazepin, vinkristin, fenotiazin,
antidepresan trisiklik, preparat diuretic tiazida, dan lain-lain) dannikotin dapat
terlibat terjadinya SIADH; zat-zat tersebut dapat menstimulasi langsungkelenjar
hipofisis atau meningkatkan sensitifitas tubulus renal terhadap ADH yang beredar
dalam darah.8

Gambar 8. Kriteria Barrter and Schwartz untuk SIADH

SIADH sering muncul pada dari masalah nonendokrin. Dengan kata lain
sindrom tersebut dapat terjadi pada penderita karsinoma bronkogenik tempat sel-

22
sel paru yang ganas mensintesis dan melepaskan ADH. SIADH juga bisa terjadi
pada pneumonia berat, pneumotoraks dan penyakit paru lainya. Kelainan pada
sistem saraf pusat diperkirakan juga bisa menimbulkan SIADH melalui stimulus
langsung kelenjar hipofisis seperti:
 Cidera kepala
 Pembedahan pada otak
 Tumor
 Infeksi otak
 Beberapa obat (Vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat
diuretik tiazida dll).7
Patofisiologi SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis
posterior tanpa adanya rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran
ADH yang berlanjut menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus.

Gambar 9. Algoritma diagnosis Hipoosmolar Hipovolemia

Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan hiponatremi. Dalam kondisi


hiponatremi dapat menekan rennin dan sekresi aldosteron menyebabkan penurunan
Na diabsorbsi tubulus proximal. Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas
plasma, bila osmolalitas menurun mekanisme Feed back akan menyebabkan
inhibisi ADH. Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh
ginjal untuk meningkatkan osmolalitas plasma menjadi normal. Pada SIADH
23
osmolalitas plasma terus berkurang akibat ADH merangsang reabsoprbsi air oleh
ginjal.8
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal
untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsorbsi ini
meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES).
Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan
konsentrasi urine yang diekskresi.
Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal
dan duktus. Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi.Dimana
akan terjadi penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan natrium
dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi pekat.
Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas
serum menurun, mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini
akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk
meningkatkan osmolaritas serum menjadi normal.
Terdapat beberapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan tubuh dan
dapat menyebabkan sekresi ADH yang abnormal . Tiga mekanisme patofisiologi
yang bertanggung jawab akan SIADH, yaitu: Sekresi ADH yang abnormal dari
system hipofisis. Mekanisme ini disebabkan oleh kelainan system saraf pusat,
tumor, ensafalitis , sindrom guillain Barre. Pasien yang mengalami syok, status
asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat tinggi, atau tidak adanya tekanan positif
pernafasan juga akan mengalami SIADH.
ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik –
hipofisis , yang disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi). Kerja ADH
pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan . bermacam-macam obat-
obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH . obat-obat tersebut
termasuk nikotin , transquilizer, barbiturate, anestesi umum, suplemen kalium,
diuretic tiazid , obat-obat hipoglikemia, asetominofen , isoproterenol dan empat anti
neoplastic : sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin.9
24
Gambar 10. Patofisiologi SIADH

Manifestasi Klinis
Manifestasi yang berhubungan dengan SIADH adalah :
 Hiponatremi, kebingungan, kesadaran menurun/letargi sensitive koma,
mobilitas gastrointestinal menurun (Anorexia).
 Takhipnea.
 Kelemahan dan Letargi
 Peningkatan BB
 Sakit kepala
 Mual dan muntah
 Kekacauan mental dan Kejang.
 Penurunan keluaran urine

25
Tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung pada derajat
lamanya retensi air dan hiponatremia misalnya:
Na serum >125 mEq/L.
 Anoreksia.
 Gangguan penyerapan nutrisi.
 Kram otot.
Na serum = 115 – 120 mEq/L.
 Sakit kepala,
 Perubahan kepribadian.
 Kelemahan dan letargia.
 Mual dan muntah.Kram abdomen
Na serum < 1115 mEq/L.
 Kejang dan koma.
 Reflek tidak ada atau terbatas
 Tanda babinski.

Papiledema.

Pemeriksaan Penunjang
 Natrium serum menurun <15 M Eq/L.
 Natrium urin > 20 M Eq/L menandakan SIADH.
 Osmolalitas,umumnya rendah tetapi mungkin normal atau
tinggi.Osmolalitas urin,dapat turun/biasa < 100 m osmol/L kecuali pada SIADH
dimana kasus ini akan melebihi osmolalitas serum. Berat jenis urin:meningkat (<
1,020) bila ada SIADH.
 Hematokrit (Ht dan Hb), tergantung pada keseimbangan
cairan,misalnya:kelebihan cairan melawan dehidrasi.
 Osmolalitas plasma dan hiponatremia (penurunan konsentrasi
natrium,natrium serum menurun sampai 170 M Eq/L.

26
 Prosedur khusus :tes fungsi ginjal(nitrogen urea darah (blood urea
nitrogen/BUN, atau kadang disebut sebagai urea) dan kreatinin).
 Pengawasan di tempat tidur : peningkatan tekanan darah (dilakukan pada
pasien yang menjalani rawat inap dirumah sakit dan pemantauan dilakukan untuk
menghidari atau mencegah terjadinya hal yang memperberat penyakit klien).11

Gambar 11. Mekanisme SIADH terhadap tubuh

Pembahasan kasus ini didapatkan pemeriksaan natrium urin lebih dari 20 kme/l
yang mengarahkan diagnosa ke arah penyebab SIADH atau gangguan hypotiroid
dan gangguan hormon kortisol. Hormon kortisol dan T3 dan TSH sempat
diperiksakan dan didapatkan hasil normal. Pasien mengalamin kondisi delirium
karena adanya gangguan elektrolit.
Pada kasus ini pengukuran osmolalitas plasma merupakan langkah pertama
dalam mendiagnosis penyebab hiponatremia untuk menilai apakah hiponatremia
pada pasien merupakan bagian dari keadaan hipoosmolal murni. Pada pasien
dengan osmolalitas plasma rendah (< 280 mOsm/ kg), diperlukan pemeriksaan
osmolalitas urin untuk menilai kemampuan ekskresi air oleh ginjal. Osmolalitas
urin < 100 mOsm/kg menandakan supresi sekresi hormon antidiuretik (antidiuretic
hormone/ ADH) yang adekuat dan berarti mekanisme dilusi urin intak bila
osmolaritas urin > 100 mOsm/kg menunjukkan adanya gangguan kemampuan
mendilusikan urin. Hiponatremia tidak akan terjadi bila mekanisme dilusi urin ini
intak. Pada pasien ini didapatkan kondisi osmolalitas plasma yang rendah (< 280
mOsm/kg) berdasarkan perhitungan. Langkah selanjutnya adalah melihat nilai
osmolalitas urin. Osmolalitas urin pada pasien ini tidak dapat diperiksakan karena
27
keterbatasn modalitas yang tersedia. Pada saat konsentrasi natrium urin yang >
40 mEq/L dengan status cairan ekstraseluler normal sugestif mengarahkan
penyebab hiponatremia pada peningkatan ADH. Peningkatan sekresi ADH dapat
disebabkan oleh SIADH, defisiensi glukokortikoid, atau hipotiroidisme.
Insufisiensi adrenal dapat disingkirkan karena tidak ditemukan hiperkalemia,
asidosis metabolik dan deplesi cairan ekstraseluler. Manifestasi klinis
hipotiroidisme tidak ditemukan pada pasien ini. Hassil pemeriksaan TSH dan T3
pada pasien ini normal dan pemeriksaan hormon kortisol normal. Dengan demikian
etiologi hiponatremia yang paling mungkin dengan status volume normal pada
pasien ini adalah SIADH. Sebagai catatan, pada pasien dengan status volume cairan
ekstraseluler normal atau mendekati normal, SIADH merupakan diagnosis per
eksklusionam, setelah semua kemungkinan diagnosis lain telah disingkirkan
seperti pada kasus ini
Pada umumnya pengobatan SIADH terdiri dari restriksi cairan (manifestasi
klinis SIADH biasanya menjadi jelas ketika mekanisme haus yang mengarah
kepada peningkatan intake cairan. Larutan hipertonis 3% tepat di gunakan pada
pasien dengan gejala neurologis akibat hiponatremi.
Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
 Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan
untuk mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor
ektopik, maka terapi yang ditunjukkan adalah untuk mengatasi tumor tersebut.
 Mengurangi retensi cairan yang berlebihan. Pada kasus ringan retensi cairan
dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman umum penanganan
SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat dinormalkan dan
gejala-gejala dapat diatasi.
 Pemberian larutan hipertonik mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin. Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik.
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate,

28
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah) dan albumin)dan furosemid (lasix)
adalah terapi pilihan.

Gambar 12. Aantomi sella tursica dan hipofisis

3. Pengaruh Usia Terhadap Hiponatremia


Pasien pada kasus ini adalah seorang lansia. Pada lansia, ada beberapa
perubahan dalam pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, termasuk natrium.
Perubahan−perubahan tersebut meliputi penurunan cairan tubuh total, penurunan
kemampuan mengekskresikan kelebihan air, penurunan kemampuan pemekatan
urin, penurunan laju filtrasi glomerulus, penurunan kemampuan retensi natrium,
penurunan sekresi aldosteron, peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) dan
peningkatan sekresi ADH. Kedelapan hal tersebut akan menyebabkan retensi air
dan meningkatkan ekskresi natrium dalam urin pada pasien usia lanjut yang
akhirnya mempermudah terjadinya kondisi hiponatremia pada kasus ini.
Pelepasan ADH memang tidak terganggu dengan proses penuaan namun
sekresinya akan meningkat. Sekresi ini meningkat pada osmolalitas plasma
berapapun dibandingkan dengan individu berusia lebih muda. Karena aktivitas
29
ADH meningkat pada lansia, batasan osmolalitas urin yang dianggap normal pada
lansia pun otomatis meningkat. Suatu studi potong lintang terhadap 28 individu usia
> 60 tahun di sebuah panti werdha di Jakarta Selatan menetapkan bahwa batasan
osmolalitas urin yang dianggap normal pada lansia adalah 407− 755
mOsmƒkg.19 Dengan mengacu pada nilai tersebut, osmolalitas urin awal pada
pasien kasus ini sebenarnya terhitung normal (452 mOsmƒkg) namun bila
dibandingkan dengan osmolalitas urin saat natrium serum pasien telah meningkat
(368 mOsmƒkg), osmolalitas urin awal jelas mengalami peningkatan akibat
cisplatin. Asupan air yang terlalu banyak merupakan pemicu hiponatremia tersering
pada lansia yang memang aktivitas ADH−nya telah meningkat.

4. Perbedaan SIADH dengan CSWS


Membedakan CSW dengan SIADH dalam praktik klinik biasanya agak sulit,
karena adanya kemiripan pada nilai – nilai laboratorium dan hubungan tumpang
tindih dengan penyakit intrakranial. Penentuan volume cairan ekstraseluler tetap
merupakan cara utama untuk membedakan kedua kelainan tersebut. Volume cairan
ekstraselular meningkat pada keadaan SIADH, dimana volumenya rendah pada
CSWS.5
Temuan pada pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis CSWS berupa
perubahan tekanan darah dan nadi othostatik, membran mukosa yang kering, dan
vena-vena leher yang flat. Penurunan berat badan dan keseimbangan cairan negatif
dapat merupakan bukti terjadinya penurunan volume cairan ekstraseluler. Adanya
tanda – tanda deplesi volume cairan ekstraseluler berupa hipotensi, penurunan berat
badan dan turgor kulit melambat dapat ditemukan pada CSWS, sedang tanda –
tanda ekspansi volume cairan ekstraseluler pada SIADH berupa penurunan urin
output dan peningkatan berat badan akibat retensi cairan.5
Pada pemeriksaan laboratorium, bukti yang bersifat mendukung diagnosis
CSWS berupa hemokonsentrasi, yang tampak pada peningkatan hematokrit dan
peningkatan konsentrasi albumin serum, serta adanya peningkatan konsentrasi

30
bikarbonat serum, karena penurunan volume cairan ekstraseluler merupakan faktor
penting dalam alkalosis metabolik.

Gambar 12. Algoritma CSWS versus SIADH

Secara normal, kadar asam urat serum dapat berguna dalam membedakan CSWS
dengan SIADH. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kadar asam urat akan
menurun pada pasien dengan SIADH, yang menunjukan adanya sedikit
peningkatan volume cairan ekstraseluler. Sebaliknya, kadar asam urat pada pasien
dengan hiponatremia yang terjadi pada keadaan volume cairan ekstraseluler rendah
dapat normal atau sedikit meningkat. Meskipun belum ditelaah lebih lanjut, namun
diketahui bahwa kadar asam urat pada keadaan CSWS cenderung rendah. Faktanya,
hipourisemia dan peningkatan ekskresi fraksi urat dapat merupakan ciri umum
penyakit - penyakit intrakranial. Meskipun koreksi konsentrasi Natrium serum pada
SIADH dapat menormalkan pengaturan asam urat pada ginjal, hipourisemia dan
peningkatan ekskresi asam urat ginjal akan menetap pada CSWS.5
Prinsip utama dalam penatalaksanaan CSWS dan SIADH adalah dengan
membedakan keduanya. Restriksi cairan dilakukan pada SIADH karena
abnormalitas primer yang terjadi berupa ekspansi volume cairan ekstraseluler
31
dengan air. Pemberian NaCl diindikasikan pada CSWS karena volume cairan
ekstraseluler menurun sebagai akibat pengeluaran garam oleh ginjal. Kegagalan
dalam membedakan SIADH dan CSWS berpotensi memberikan efek yang
berlawanan.5
Pasien SIADH membutuhkan restriksi cairan yang ketat dan lambat,
pemberian larutan salin hipertonis, dimana CSWS membutuhkan penggantian
volume cairan dengan larutan salin isotonis dan larutan NaCl 3% hipertonis. Pada
terapi SIADH, pemberian larutan hipertonis (NaCl 3%) secara pelan – pelan, karena
bila koreksi hiponatremia terlalu cepat, dapaT menyebabkan myelinolisis pontin
sentral. Pada pasien yang masih dapat mentoleransi pemberian oral, penggantian
cairan dapat dilakukan secara oral, seringkali dengan suplementasi tablet garam.
Restriksi cairan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan CSWS. Bila
cairan direstriksi, terdapat risiko terjadi vasospasme serebral. Iskemia serebral,
dan/atau infark serebral. Tatalaksana lainnya berupa pemberian flurocortisone
acetate untuk meningkatkan absorbsi Natrium oleh tubulus ginjal.5
Pada kasus ini untuk tatalaksana hiponatremia akibat SIADH Sampai saat ini,
belum ada suatu konsensus mengenai pedoman terapi hiponatremia terkait
keganasan, sehingga hiponatremia ditatalaksana seperti hiponatremia pada
umumnya. Jenis cairan yang diberikan dan kecepatan koreksinya tergantung dari
penyebab dan durasi hiponatremia, presentasi klinis, status volume, fungsi ginjal
dan kadar kalium plasma. Hiponatremia pasien ini adalah hiponatremia berat
disertai gejala. Pada pasien hiponatremia simtomatik dengan osmolalitas urin yang
tinggi dan klinis euvolemia, diperlukan pemberian larutan hipertonik. Selain
pemberian cairan hipertonik, pada pasien ini harus dilakukan restriksi pemberian
cairan.5
Berdasarkan formula yang digunakan untuk mengestimasi kenaikan konsentrasi
natrium dengan pemberian 1 L infusat larutan hipertonik maka jumlah NaCl 3%
yang diperlukan untuk menaikkan natrium serum hingga 130 mEqƒL adalah 1228
mL, akses perifer pada pasien ini menyebabkan jumlah pemberian cairan nacl 3%

32
dbatasi hanya 500 ml per hari sehinga pasien baru dpat mencapai kadar natrium
normal dengan estimasi waktu sekitar 48 jam.5
Parlindungan dalam disertasinya tentang asupan air yang optimal pada
usia lanjut menyimpulkan bahwa asupan air 1000 mL/24 jam, atau 21 mL/kgBB
(dengan minimal 1000 mL/24 jam) merupakan asupan yang optimal untuk
mencegah hiponatremia yang bermakna secara klinis. Asupan ini disarankan
pada lansia yang sehat dengan status normovolemia. Restriksi asupan air ini
didasarkan pada pemikiran bahwa makin tingginya kadar ADH plasma akibat
cisplatin, pengaruh usia, dan keganasan sendiri, akan mempermudah terjadi
hiponatremia bila asupan cairan berlebih.5

33
BAB V
PENUTUP

Kasus ini merepresentasikan kondisi hiponatremia pada lansia dengan


kecurigaan malignancy karena adanaya massa sinonasal dengan infiltrasi ke sella
tursica kanan. Kondisi geriatrik memberi peranan pada produssi ADH sehingga
menjadi salah satu fator yang mempengaruhi keseimbangan elektrolit pada pasien,
pengaruh kedua aadalah kondisi dispepsia sebagai salah satu penyebab intake yang
kurang baik walaupun faktor tersebut tidak terlalu brpengaruh banyak. Penyeba
utama keluhan neurologik pada pasien ini jika dikaitkan dengan ganguan elktrolit
adalah adanya massa di sinonasal dengan hasil ct scan otak dan SPN menunjukkan
adanya infiltrasi ke sella tursica kanan dimaana trdapat kelenjar hipofisi sebagai
pusat pengaturan sekresi ADH.

Koreksi natrium berulang kali pada pasien tidak memberikan hasil yang
memuaskan bahkan selalu berada di bawah nilai 130 meq/l. Etiologi dari SIADH
pada pasien ini harus diatasi. Kolaborasi untuk penanganan pada pasien ini telah
dilakukan dengan perawtan bersama dengan bagian neurologi, THT, Psikiatrik dan
bagian paliatif. Pemeriksaan osmolaritas urin menjadi kendala pada penanganan
pasien ini karena modalitas tersebut tidak tersedia di fasilitas Rumah Sakit dengan
pembiayaan JKN. Diagnosa banding lain dalam kondisi hiponatremia hipoosmolar
euvolemik yatu defisiensi glukokortikoid dan hipotiroid telah disingkairkan dengan
pemeriksaan hormon kortisol normal dan kadar TSH T3 dalam batas normal.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Gill G, Huda B, Boyd A, Skagen K, Wile D WI. No Title 1. Gill G, Huda


B, Boyd A, Skagen K, Wile D, Watson I, et el. Characteristics and
mortality of severe hyponatraemia − a hospital− based study. Clin
Endocrinol (Oxf) 2006;65:246−9.
2. Berghmans T, Peasmans M BJA. prospective study on hyponatraemia in
medical cancer patients: epidemiology, aetiology and differential diagnosis.
Support Care Cancer 2000;8:192−7.
3. H R. Diagnosis and management of hyponatremia in cancer patients.
Support Care Cancer 2007;15:1341−7.
4. Zomp A AE. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone and cerebral
salt wasting in critically ill patients. AACC. 2012;23:233-9.
5. Yee AH, Burns JD WE. Cerebral salt wasting: pathophysiology, diagnosis,
and treatment. Neurosurg Clin N Am. 2010;21:339-52.
6. Anpalahan M. Chronic idiopathic hyponatremia in older people due to
syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH)
possibly related to aging. J Am Geriatr Soc 2001;49(6):788−92.
7. Siregar P. Frekuensi kejadian hiponatremia pada pasien usia lanjut yang
rawat inap di Rumah Sakit Siloam, Lippo−Karawaci, Tangerang, selama
tahun 2006. Forthcoming 2006.
8. Corwin JE. Patofisiologi:Sistem Endokrin. Jakarta. EGC. 2001.

35

Anda mungkin juga menyukai