Penyaji:
dr. Ilham Nugroho WK
1806262064
Pembimbing:
dr. Iskandar Agung SpPD
Chief of Ward:
dr. Andika Indrarespati
2
LEMBAR PENYATAAN ANTI-PLAGIARISME
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, dengan jujur menyatakan bahwa laporan
kasus yang berjudul:
NPM 1806262064
3
DAFTAR SINGKATAN
CM : Compos mentis
CT : Computed- Tomography
DM : Diabetes melitus
4
DAFTAR ISI
5
DAFTAR TABEL
6
DAFTAR GRAFIK
7
DAFTAR GAMBAR
8
BAB I
PENDAHULUAN
9
Cerebral Salt-Wasting Syndrome (CSWS) merupakan kelainan pengaturan
Natrium dan air, yang terjadi sebagai akibat penyakit serebral tanpa disertai
kelainan fungsi ginjal. CSWS ditandai adanya hiponatremia yang berkaitan
dengan hipovolemia, yang sesuai dengan namanya, disebabkan oleh natriuresis.5
SIADH dan CSWS merupakan salah satu bagian hiponatremia yang sampai
saat ini sangat menantang. Kedua kondisi tersebut biasa terjadi pada pasien
dengan penyakit intrakranial dan pasien bedah saraf, namun dapat pula ditemukan
pada pasien – pasien sakit berat. Pada populasi pasien bedah saraf, 62%
hiponatremia disebabkan oleh SIADH, sedang 4,8-31,5% disebabkan oleh
CSWS.1 Dalam praktik klinik, terdapat kesulitan dalam membedakan kondisi
CSWS dengan SIADH. Meskipun demikian, sangatlah penting untuk
membedakan kedua keadaan tersebut oleh karena prinsip terapi yang secara
fundamental berbeda.2
Hiponatremia terkait kanker bisa mempengaruhi respon terhadap terapi
kanker maupun kesintasan pasien.6 Dari suatu studi prospektif didapatkan bahwa
kelompok pasien dengan hiponatremia oleh berbagai sebab memiliki angka
mortalitas yang lebih tinggi dibanding kelompok normonatremia (28% versus
9%).1 Oleh karena itu, tatalaksana hiponatremia penting, selain untuk mencegah
dan mengatasi sekuele neurologis, juga untuk memperbaiki kualitas hidup dan
meningkatkan kesintasan pasien dengan keganasan.7 Hiponatremia pada kasus
yang akan disampaikan berikut ini terjadi pada pasien lanjut usia. Hiponatremia
karena berbagai etiologi memang tidak jarang ditemui pada pasien lanjut usia di
perawatan dengan frekuensi 25−45%.6; 7 Fakta ini tidaklah mengherankan
mengingat terjadi perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit pada lanjut usia.6
Kasus ini diangkat karena kejadian hiponatremia berat sering ditemukan
dalam praktek klinik di rawat inap. Kecurigaan keganasan atau adanya massa di
kepala leher secara epidemiologi adalah penyebab terbanyak kejadian SIADH
seperti yang terjadi pada kasus ini. Kasus ini juga menunjukkan penanganan
multidepartemen dalam tatalaksana pasien SIADH meliputi departemen Penyakit
10
Dalam, THT, Neurologi, Kardiologi, Paliatif, Radiologi, dan Anastesi. Populasi
khusus pada geriatrik seperti pada kasus ini, menjadi perhatian khusus karena
menjadi salah satu komorbid yang dapat memperburuk kondisi hiponatremia.
Penanganan dan kesediaan fasilitas pemeriksaan osmolaritas urin dan elektrolit
urin menjadi salah satu modalitas untuk menegakkan diagnosa SIADH walaupun
saat ini modalitas tersebut terbentur pada kebjiakan asuransi nasional JKN dan
belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan bahkan tipe A sekalipun.
11
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki umur 65 tahun datang dengan keluhan lemah yang semakin
memberat sejak 4 hari SMRS. Kelemahan dirasakan di seluruh tubuh, kelemahan
sesisi disangkal, bicara pelo, nyeri kepala tidak ada, demam disangkal. Kontak dan
komunikasi pasien selama dirumah mulai kurang adekuat. Nafsu makan berkurang,
mual ada muntah 3x dalam sehari terahir. BAB tidak ada kelainan BAK jumlah dan
frekuensi normal. Perdarahan dari hidung sedikit hanya 1x sebanyak 1 sendok teh
tidak disertai nyeri maupun penurunan daya penciuman. Pasien sulit tidur bila
malam hari. Penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 4 bulan terakhir.
Sejak 6 bulan SMRS pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah
kanan. Darah berwarna kemerahan, jumlah sekitar 1-2 sendok setiap keluar darah,
penurunan daya penciuman disangkal. Pasien lalu menjalani perawatan di bidang
THT sekitar 5 bulan SMRS karena perdarahan dari lubang hidung. Pasien juga
mengeluhkan sering nyeri kepala bagian depan, pilek yang sulit sembuh. Pasien
sempat menjalani biopsi hidung namun didapatkan hasil yang normal dan dikatakan
menderita polip dan sinusitis, pasien rutin kontrol di dokter THT.
Sejak 4 bulan SMRS pasien mulai mengalami penurunan nafsu makan. Porsi
makan sedikit sekitar seperempat sampai setengah dari porsi makan biasa. Mual
dan muntah disangkal. Komunikasi masih baik, kontak adekuat. Sehari-hari pasien
masih dapat memakai baju sendiri, mandi sendiri, makan sendiri, berjalan keluar
dari rumah tanpa dituntun.
Riwayat DM, hipertensi, Stroke, penyakit jantung,hati dan ginjal disangkal.
Riwayat keluahan yang sama pada keluarga disangkal. Riwayat psikosial pasien
menikah memiliki 2 orang anak tinggal bersama dengan istri, tidak bekerja,
pembiayaan JKN.Pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran CM apatis (E4 M5 V4)
keadaan umum sakit berat, tekanan darah 120/70, frekuensi nadi100x/menit,
frekuensi nafas 22x per menit, suhu 36.1, saturasi oksigen 99% dengan nasal canule
12
3 liter per menit. Berat badan 55 kg. Tinggi badan 160 cm, indeks massa tubuh
21.48. Pemeriksaan status lokalis didapatkan, kepala mesenchepalus, mukosa bibir
tidak kering, mata tidak cekung, konjunctiva anemis tidak ada, sklera anikterik,
terpasang NGT,terdapat massa di cavum nasi. Pemeriksaan leher leher didapatkan
JVP (5-2) cm H2O, KGB tidak membesar. Pemeriksaan jantung didapatkan bunyi
Jantung 1 dan 2 murni reguler, murmur dan gallop tidak ada. Pemeriksaan paru
didapatkan vesikuler normal, ronkhi basah kasar bilateral, wheezing tidak ada.
Pemeriksaan abdomen didapatkan datar, supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien
tidak teraba, bising usus normal, pemeriksaan genitalia didapatkan terpasang
catheter urine, warna urin kuning jernih. Pemeriksaan ekstrimitas didapatkan akral
hangat, CRT 1 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Leukosit 3-5
Eritrosit 6-8
Silinder -
Sel Epitel 1+
Kristal -
Bakteri -
Berat Jenis 1.010
pH 7.5
Albumin -
Glukosa 3+
Keton -
14
Hb -
Bilirubin -
Urobilnogen 3-4
Nitrit -
LE -
Elektrolit 19/4 21/4 22/4 23/4 24/4 25/4 29/4 2/5 4/5 5/5 7/5 10/5 13/5
Na 109 121 122 122 119 119 117 122 127 129 125 124 123
K 4.2 4.0 3.7 4.0 4.2 4.3 4.0 4.0 4.1 3.8 4.0 3.4 3.0
Cl 81 94 95 98 92 91 89 93 99 97 97 91 90
15
Pemeriksaan radiografi thoraks saat masuk (20/4/2019) tidak didapatkan kelainan,
dengan deskripsi:
- Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada kesan dalam batas normal
- Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
- Jantung tidak membesar (CTR < 50)
- Aorta normal
- Trakea relatif di garis tengah
- Paru baik
Kesan: Tidak tampak kelainan pada radiografi thoraks
16
Pemeriksaan ekg dalam batas normal. Dengan deskripsi sinus rhytm, HR 70x/menit
normo axis, P wave normal, PR interval 0.12, QRS kompleks 0.04, tidak ad
perubahan segmen ST-T, tidak ada RBBB maupun LBBB.
Gambar 2. EKG
CT Scan Kepala dengan Kontras (14 Mei 2019)
17
Gambar 3. Potongan axial Ct scan Kepala
18
CT Scan SPN dengan kontras (7 Mei 2019)
- Tampak masa cavum nasi kanan yang menyengat kontras, meluas ke sinus
maksilaris kanan, ke frontal kanan, ke orofaring, ke sella tursika kanan,
mendestruksi septum nasi, dinding medial sinus maksilaris kanan dan para
sella kanan.
- Osteomeatal kompleks kanan tertutup
- Rongga nasofaring baik tak tampak massa
Kesan:
- Massa sinonasal kanan menyengat kontras dengan perluasannya dd/ polip
- Osteomeatal kompleks kanan tertutup
- Infiltrasi ke sella tursika kanan
19
Gambar 6. Potongan Sagital CT scan SPN
20
BAB III
DISKUSI KASUS
SIADH sering muncul pada dari masalah nonendokrin. Dengan kata lain
sindrom tersebut dapat terjadi pada penderita karsinoma bronkogenik tempat sel-
22
sel paru yang ganas mensintesis dan melepaskan ADH. SIADH juga bisa terjadi
pada pneumonia berat, pneumotoraks dan penyakit paru lainya. Kelainan pada
sistem saraf pusat diperkirakan juga bisa menimbulkan SIADH melalui stimulus
langsung kelenjar hipofisis seperti:
Cidera kepala
Pembedahan pada otak
Tumor
Infeksi otak
Beberapa obat (Vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat
diuretik tiazida dll).7
Patofisiologi SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis
posterior tanpa adanya rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran
ADH yang berlanjut menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus.
Manifestasi Klinis
Manifestasi yang berhubungan dengan SIADH adalah :
Hiponatremi, kebingungan, kesadaran menurun/letargi sensitive koma,
mobilitas gastrointestinal menurun (Anorexia).
Takhipnea.
Kelemahan dan Letargi
Peningkatan BB
Sakit kepala
Mual dan muntah
Kekacauan mental dan Kejang.
Penurunan keluaran urine
25
Tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung pada derajat
lamanya retensi air dan hiponatremia misalnya:
Na serum >125 mEq/L.
Anoreksia.
Gangguan penyerapan nutrisi.
Kram otot.
Na serum = 115 – 120 mEq/L.
Sakit kepala,
Perubahan kepribadian.
Kelemahan dan letargia.
Mual dan muntah.Kram abdomen
Na serum < 1115 mEq/L.
Kejang dan koma.
Reflek tidak ada atau terbatas
Tanda babinski.
Papiledema.
Pemeriksaan Penunjang
Natrium serum menurun <15 M Eq/L.
Natrium urin > 20 M Eq/L menandakan SIADH.
Osmolalitas,umumnya rendah tetapi mungkin normal atau
tinggi.Osmolalitas urin,dapat turun/biasa < 100 m osmol/L kecuali pada SIADH
dimana kasus ini akan melebihi osmolalitas serum. Berat jenis urin:meningkat (<
1,020) bila ada SIADH.
Hematokrit (Ht dan Hb), tergantung pada keseimbangan
cairan,misalnya:kelebihan cairan melawan dehidrasi.
Osmolalitas plasma dan hiponatremia (penurunan konsentrasi
natrium,natrium serum menurun sampai 170 M Eq/L.
26
Prosedur khusus :tes fungsi ginjal(nitrogen urea darah (blood urea
nitrogen/BUN, atau kadang disebut sebagai urea) dan kreatinin).
Pengawasan di tempat tidur : peningkatan tekanan darah (dilakukan pada
pasien yang menjalani rawat inap dirumah sakit dan pemantauan dilakukan untuk
menghidari atau mencegah terjadinya hal yang memperberat penyakit klien).11
Pembahasan kasus ini didapatkan pemeriksaan natrium urin lebih dari 20 kme/l
yang mengarahkan diagnosa ke arah penyebab SIADH atau gangguan hypotiroid
dan gangguan hormon kortisol. Hormon kortisol dan T3 dan TSH sempat
diperiksakan dan didapatkan hasil normal. Pasien mengalamin kondisi delirium
karena adanya gangguan elektrolit.
Pada kasus ini pengukuran osmolalitas plasma merupakan langkah pertama
dalam mendiagnosis penyebab hiponatremia untuk menilai apakah hiponatremia
pada pasien merupakan bagian dari keadaan hipoosmolal murni. Pada pasien
dengan osmolalitas plasma rendah (< 280 mOsm/ kg), diperlukan pemeriksaan
osmolalitas urin untuk menilai kemampuan ekskresi air oleh ginjal. Osmolalitas
urin < 100 mOsm/kg menandakan supresi sekresi hormon antidiuretik (antidiuretic
hormone/ ADH) yang adekuat dan berarti mekanisme dilusi urin intak bila
osmolaritas urin > 100 mOsm/kg menunjukkan adanya gangguan kemampuan
mendilusikan urin. Hiponatremia tidak akan terjadi bila mekanisme dilusi urin ini
intak. Pada pasien ini didapatkan kondisi osmolalitas plasma yang rendah (< 280
mOsm/kg) berdasarkan perhitungan. Langkah selanjutnya adalah melihat nilai
osmolalitas urin. Osmolalitas urin pada pasien ini tidak dapat diperiksakan karena
27
keterbatasn modalitas yang tersedia. Pada saat konsentrasi natrium urin yang >
40 mEq/L dengan status cairan ekstraseluler normal sugestif mengarahkan
penyebab hiponatremia pada peningkatan ADH. Peningkatan sekresi ADH dapat
disebabkan oleh SIADH, defisiensi glukokortikoid, atau hipotiroidisme.
Insufisiensi adrenal dapat disingkirkan karena tidak ditemukan hiperkalemia,
asidosis metabolik dan deplesi cairan ekstraseluler. Manifestasi klinis
hipotiroidisme tidak ditemukan pada pasien ini. Hassil pemeriksaan TSH dan T3
pada pasien ini normal dan pemeriksaan hormon kortisol normal. Dengan demikian
etiologi hiponatremia yang paling mungkin dengan status volume normal pada
pasien ini adalah SIADH. Sebagai catatan, pada pasien dengan status volume cairan
ekstraseluler normal atau mendekati normal, SIADH merupakan diagnosis per
eksklusionam, setelah semua kemungkinan diagnosis lain telah disingkirkan
seperti pada kasus ini
Pada umumnya pengobatan SIADH terdiri dari restriksi cairan (manifestasi
klinis SIADH biasanya menjadi jelas ketika mekanisme haus yang mengarah
kepada peningkatan intake cairan. Larutan hipertonis 3% tepat di gunakan pada
pasien dengan gejala neurologis akibat hiponatremi.
Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan
untuk mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor
ektopik, maka terapi yang ditunjukkan adalah untuk mengatasi tumor tersebut.
Mengurangi retensi cairan yang berlebihan. Pada kasus ringan retensi cairan
dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman umum penanganan
SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat dinormalkan dan
gejala-gejala dapat diatasi.
Pemberian larutan hipertonik mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin. Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik.
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate,
28
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah) dan albumin)dan furosemid (lasix)
adalah terapi pilihan.
30
bikarbonat serum, karena penurunan volume cairan ekstraseluler merupakan faktor
penting dalam alkalosis metabolik.
Secara normal, kadar asam urat serum dapat berguna dalam membedakan CSWS
dengan SIADH. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kadar asam urat akan
menurun pada pasien dengan SIADH, yang menunjukan adanya sedikit
peningkatan volume cairan ekstraseluler. Sebaliknya, kadar asam urat pada pasien
dengan hiponatremia yang terjadi pada keadaan volume cairan ekstraseluler rendah
dapat normal atau sedikit meningkat. Meskipun belum ditelaah lebih lanjut, namun
diketahui bahwa kadar asam urat pada keadaan CSWS cenderung rendah. Faktanya,
hipourisemia dan peningkatan ekskresi fraksi urat dapat merupakan ciri umum
penyakit - penyakit intrakranial. Meskipun koreksi konsentrasi Natrium serum pada
SIADH dapat menormalkan pengaturan asam urat pada ginjal, hipourisemia dan
peningkatan ekskresi asam urat ginjal akan menetap pada CSWS.5
Prinsip utama dalam penatalaksanaan CSWS dan SIADH adalah dengan
membedakan keduanya. Restriksi cairan dilakukan pada SIADH karena
abnormalitas primer yang terjadi berupa ekspansi volume cairan ekstraseluler
31
dengan air. Pemberian NaCl diindikasikan pada CSWS karena volume cairan
ekstraseluler menurun sebagai akibat pengeluaran garam oleh ginjal. Kegagalan
dalam membedakan SIADH dan CSWS berpotensi memberikan efek yang
berlawanan.5
Pasien SIADH membutuhkan restriksi cairan yang ketat dan lambat,
pemberian larutan salin hipertonis, dimana CSWS membutuhkan penggantian
volume cairan dengan larutan salin isotonis dan larutan NaCl 3% hipertonis. Pada
terapi SIADH, pemberian larutan hipertonis (NaCl 3%) secara pelan – pelan, karena
bila koreksi hiponatremia terlalu cepat, dapaT menyebabkan myelinolisis pontin
sentral. Pada pasien yang masih dapat mentoleransi pemberian oral, penggantian
cairan dapat dilakukan secara oral, seringkali dengan suplementasi tablet garam.
Restriksi cairan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan CSWS. Bila
cairan direstriksi, terdapat risiko terjadi vasospasme serebral. Iskemia serebral,
dan/atau infark serebral. Tatalaksana lainnya berupa pemberian flurocortisone
acetate untuk meningkatkan absorbsi Natrium oleh tubulus ginjal.5
Pada kasus ini untuk tatalaksana hiponatremia akibat SIADH Sampai saat ini,
belum ada suatu konsensus mengenai pedoman terapi hiponatremia terkait
keganasan, sehingga hiponatremia ditatalaksana seperti hiponatremia pada
umumnya. Jenis cairan yang diberikan dan kecepatan koreksinya tergantung dari
penyebab dan durasi hiponatremia, presentasi klinis, status volume, fungsi ginjal
dan kadar kalium plasma. Hiponatremia pasien ini adalah hiponatremia berat
disertai gejala. Pada pasien hiponatremia simtomatik dengan osmolalitas urin yang
tinggi dan klinis euvolemia, diperlukan pemberian larutan hipertonik. Selain
pemberian cairan hipertonik, pada pasien ini harus dilakukan restriksi pemberian
cairan.5
Berdasarkan formula yang digunakan untuk mengestimasi kenaikan konsentrasi
natrium dengan pemberian 1 L infusat larutan hipertonik maka jumlah NaCl 3%
yang diperlukan untuk menaikkan natrium serum hingga 130 mEqƒL adalah 1228
mL, akses perifer pada pasien ini menyebabkan jumlah pemberian cairan nacl 3%
32
dbatasi hanya 500 ml per hari sehinga pasien baru dpat mencapai kadar natrium
normal dengan estimasi waktu sekitar 48 jam.5
Parlindungan dalam disertasinya tentang asupan air yang optimal pada
usia lanjut menyimpulkan bahwa asupan air 1000 mL/24 jam, atau 21 mL/kgBB
(dengan minimal 1000 mL/24 jam) merupakan asupan yang optimal untuk
mencegah hiponatremia yang bermakna secara klinis. Asupan ini disarankan
pada lansia yang sehat dengan status normovolemia. Restriksi asupan air ini
didasarkan pada pemikiran bahwa makin tingginya kadar ADH plasma akibat
cisplatin, pengaruh usia, dan keganasan sendiri, akan mempermudah terjadi
hiponatremia bila asupan cairan berlebih.5
33
BAB V
PENUTUP
Koreksi natrium berulang kali pada pasien tidak memberikan hasil yang
memuaskan bahkan selalu berada di bawah nilai 130 meq/l. Etiologi dari SIADH
pada pasien ini harus diatasi. Kolaborasi untuk penanganan pada pasien ini telah
dilakukan dengan perawtan bersama dengan bagian neurologi, THT, Psikiatrik dan
bagian paliatif. Pemeriksaan osmolaritas urin menjadi kendala pada penanganan
pasien ini karena modalitas tersebut tidak tersedia di fasilitas Rumah Sakit dengan
pembiayaan JKN. Diagnosa banding lain dalam kondisi hiponatremia hipoosmolar
euvolemik yatu defisiensi glukokortikoid dan hipotiroid telah disingkairkan dengan
pemeriksaan hormon kortisol normal dan kadar TSH T3 dalam batas normal.
34
DAFTAR PUSTAKA
35