Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama
pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000
mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatn di rumah sakit, dua
pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai
signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi kejadian
dan selama transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantara nya
meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecela kaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan. Trauma kepala didefinis ikan sebagai trauma non degeneratif non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kog nitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/kelumpuhan pada usia
dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak
adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras.

1
Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan
kendaraan bermotor dan terbentur selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala
karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan
bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama,
digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari cedera kepala ?
2. Apa etiologi dari cedera kepala ?
3. Apa saja klasifikasi dari cedera kepala ?
4. Bagaimana patofisiologi cedera kepala ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari cedera kepala ?
6. Apa saja komplikasi dari cedera kepala ?
7. Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan cedera kepala ?

1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi cedera kepala
2. Untuk mengetahui etiologi cedera kepala
3. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala
4. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera kepala
6. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepala
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan cedera kepala

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of American (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik.

2.2. Etiologi Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu
cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intracranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intracranial dan
perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).

2.3. Manifestasi Klinis Cedera Kepala


a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah

3
f. Pusing kepala
g. Terdapat hemoatoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(Rhinorrohea) dan telingga (ottorrhea) bila fraktur tulang temporal.
k. Peningkatan TD, pemurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

2.4. Patofisiologi Cedera Kepala

4
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu cedera
primer dan cedera sekunder.
Cedera Primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan, karena tenaga
kinetik mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini meliputi akselerasi,
deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-countercoup. Akselerasi terjadi ketika
objek bergerak membentur kepala yang sedang dalam kondisi diam (statis).
Deselerasai terjadi saat kepala yang sedang bergerak membentur objek statis (mis.,
tembok). Akselerasi-deselarasi terjadi dalam peristiwa tabrakan kendaraan
bermotor dalam kecepatan tinggi atau kendaraan yang menabrak pejalan kaki.
Sedangkan coup-countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi intrakranial
terhadap kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan pada daerah yang dekat
dengan area yang terbentur. Sedangkan cedera countra coup menyebabkan
kerusakan pada area yang berlawanan dengan benturan. Kebanyakan kerusakan
yang relatif dekat daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup"
berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cedera primer dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur tengkorak, laserasi dan kontusio
otak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral.
Sedangkan cedera difus menyebabkan mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axonal injury.
a. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak ini biasanya diikuti dengan laserasi
scalp, yaitu lapisan terluar pelindung otak yang sangat kaya dengan pembuluh
darah, sehingga dapat menimbulkan perdarahan dalam jumlah banyak
keparahan fraktur tengkorak ini tergantung pada lokasi dan kerusakan jaringan
yang ada. Fraktur basilar di fosa anterior dapat menimbulkan periorbital
ekimosis (raccoon atau panda eyes) dan rhinorrea (keluarnya darah atau cairan
otak dari hidung). Sedangkan fraktur basiler di fosa middle atau posterior dapat
menimbulkan memar di atas mastoid (battle sign) dan drainase darah atau
cairan otak melalui telinga (othorea).

5
b. Laserasi dan kontusio otak. Laserasi dan kontusio jaringan otak biasanya
ditemukan pada lobus frontal dan temporal. Laserasi merupakan kondisi
robeknya jaringan otak yang dapat juga terjadi pada fraktur tengkorak depresi.
Sedangkan kontusio merupakan memarnya permukaan korteks otak. Pasien
dengan kondisi ini akan tampak gelisah, kehilangan ingatan sementara,
disfungsi motorik, gangguan bicara, atau koma. Pembedahan debridemen
diperlukan jika tekanan intrakranial sulit dikontrol dengan obat-obatan.
c. Hematoma. Hematoma otak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa antara
lain epidural, subdural, dan intraserebral.
1) Hematoma epidural. Hematoma epidural terjadi saat fraktur linear
menembus tulang temporal dan melukai arteri meningeal. Pasien biasanya
mengalami perburukan secara cepat dan akhirnya meninggal. Mortalitas
dan morbiditas meningkat dari perdarahan arteri, menimbulkan herniasi
uncal dan secara langsung mencederai otak. Herniasi uncal adalah kondisi
uncal (ujung anterior parahippocampal gyrus berbentuk kait dan berada di
atas permukaan basomedial lobus temporal) mengalami displasi akibat
peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi kerusakan otak dan
batang otak secara progresif. Herniasi uncal ini menekan saraf kranial III,
otak tengah, dan arteri serebral posterior, sehingga menimbulkan koma dan
gagal napas (Hill, 2002).
Hematoma yang berada di antara dura dan kranium dapat menekan dan
menggeser otak. Penderita biasanya mengalami perubahan pupil ipsilateral
yang berkembang dari pupil sluggish dan elliptical hingga terjadi dilatasi
dan terfiksasi pada salah satunya. Terdapat pula perubahan simultan
motorik kontralateral yang berkembang dari hemiparese ringan, menjadi
dekortikasi. deserebrasi, atau flaccid paralysis. Penanganan yang cepat
dapat membuat prognosisnya menjadi baik.
2) Hematoma subdural. Hematoma subdural ini merupakan penyebab
mortalitas dan morbiditas tertinggi kedua dalam cedera kepala. Hematoma
ini aslinya berasal dari perdarahan vena korteks atau vena di antara

6
permukaan otak dengan dura, sehingga memiliki progresivitas yang lebih
lambat dibandingkan dengan hematoma epidural.
Terdapat tiga jenis hematoma yaitu:
a) Akut: Gejala tampak dalam 24-72 jam setelah cedera dan biasanya
membutuhkan pembedahan segera
b) Sub-akut: Gejala muncul dalam 72 jam sampai 2 minggu pasca-cedera
dan membutuhkan pemantauan ketat terhadap tanda-tanda
peningkatan intrakranial dan herniasi. Pembedahan evakuasi
bergantung dari konsistensi dan ukuran bekuan yang ada
c) Kronis: Gejala muncul setelah lebih dari dua minggu pasca-cedera.
Perdarahan berjalan lambar dan lebih banyak ruangan dalam otak yang
terisi bekuan sebelum korban mengalami gangguan neurologis. Angka
mortalitas berkisar dari 30-63%.
3) Hematoma intraserebral. Area perdarahan pada hematoma intraserebral
memiliki batas yang tegas yaitu 2 cm atau lebih ke dalam parenkim otak.
Hematoma ini menimbulkan defisit neurologis fokal sesuai dengan lokasi
otak yang terkena. Operasi pengambilan bekuan darah dilakukan jika
memiliki batas tegas dan mudah dicapai. Angka mortalitasnya berkisar
antara 25-60%.
d. Diffuse axona. Cedera difuse axonal biasanya diakibatkan oleh tabrakan
kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi sehingga terjadi gesekan antara
permukaan subtansia grisea dan subtansia alba. Hal ini menyebabkan robekan
dan perlukaan axon bermielin dalam subtansia grisea. Hasil CT scan sering
menunjukkan gambaran normal atau terdapat tanda-tanda perdarahan pada
korpus kallosum, area periventrikular, atau batang otak. Angka morbiditas dan
mortalitasnya tinggi sesuai dengan tingkat keparahan cedera ringan, sedang,
atau berat. Cedera difuse axonal ringan mengalami hilang kesadaran antara 6
sampai dengan 24 jam. Sedangkan pada derajat sedang, kondisi koma
memanjang dan angka mortalitas mencapai 20%. Kondisi koma yang lebih
panjang terjadi pada cedera berat yang ditandai dengan disfungsi batang otak

7
yang memicu ketidakstabilan hemodinamik dan jantung. Angka mortalitasnya
meningkat mencapai 60-70%. Disfungsi autonomik yang sering terjadi pasca-
cedera ini ditandai dengan peningkatan tekanan intrakranial dilatasi pupil,
dioferesis, hipertensi, takikardi dan postur tubuh fleksi atau ekstensi abnormal.
e. Perdarahan subarachnoid. Perdarahan pada ruang subarachnoid dan memicu
vasospasme ini terjadi pada sekitar 25-405 pasien dengan cedera otak akut.
Pasien dengan perdarahan subarachnoid ini membutuhkan waktu perawatan di
ruang intensif yang lebih lama. Vasospasme meningkat pada hari ke-3 hingga
ke-7 setelah perdarahan dan menyusut pada hari ke-10.
f. Konkusi serebral. Konkusi serebral/ otak merupakan kondisi hilangnya
kesadaran sesaat, dan amnesia biasanya berlangsung kurang dari 6 jam dengan
sedikit atau tanpa gejala neurologis sisa. Hasil CT scan menunjukkan kondisi
normal tanpa adanya lesi makroskopik jaringan otak. Konkusi serebral sendiri
merupakan bentuk umum dari cedera kepala. Berdasarkan berat ringannya
gejala yang ditimbulkan, konkusi serebral dapat dibedakan menjadi ringan dan
klasik. Konkusi ringan merupakan disfungsi neurologis sementara tanpa
disertai hilangnya kesadaran maupun ingatan. Sedangkan konkusi klasik
meliputi disfungsi neurologis sementara dan hilangnya kesadaran serta daya
ingat (amnesia).
Sebagian besar pasien akan sadar penuh dalam waktu 48 jam, tetapi biasanya
masih menyisakan gejala sisa. Pada beberapa kasus, cedera sekunder dapat
terjadi akibat dari hipoksia dan iskemia serebral. Hal ini akan memicu edema
serebral dan peningkatan intracranial.
Sebagian pasien mungkin akan mengalami sindrom pascakonkusi yaitu gejala
sisa pascacedera setelah cedera kepala ringan. Gajala yang dialami dapat
berlangsung dalam beberapa minggu hingga satu tahun. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan intracranial (subdural, parenkimal,
maupun epidural).

Cedera Sekunder

8
Kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupakan perubahan biofisik
maupun biokimia yang mengganggu perfusi sehingga dapat menimbulkan
disfungsi neuronal sampai dengan kematian. Jika penanganan sebelumnya
berfokus pada peningkatan tekanan intracranial, pada kondisi ini berfokus pada
peningkatan perfusi yang adekuat (Bucher dan Melander, 1999).
Aliran darah serebral normalnya dipertahankan pada kisaran 50-150 mmHg.
Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah serebral berdilatasi.
Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh darah serebral
mengalami vasokontriksi. Aliran darah ke otak dikontrol oleh mekanisme
autoregulasi serebral. Kerusakan pada sistem autoregulasi akan memengaruhi
keberhasilan pengobatan yang dilakukan (Bucher dan Melander, 1999).
Beberapa jam pascacedera, aliran darah serebral menurun hingga setengah dari
jumlah normal yaitu 50 mL/100 gram otak/menit. Iskemia terjadi saat aliran darah
serebral turun di bawah 20 mL/100 mg otak/menit, dan menimbulkan kematian sel
jika telah mencapai 10-15 mL/100 mg otak/menit.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan
maupun traumatic. Mekanisme terjadinya iskemia karena adanya tekanan pada
pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya
tetap dan vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan di dalam
ruang anatara lapisan araknoid dan piamater meningen. Biasanya perdarahan
intraserebral secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan
kesadaran (Price dan Wilson, 2006).
Hipoksia dan iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan proses
neurotoksik. Kondisi ini meliputi regulasi chanel ion kalsium, natrium, dan
kalium; pengeluaran exitotxic asam amino; produksi superoxide dan radikal bebas,
perioksidasi lemak dan pengeluaran mediator inflamasi. Hal itu semua
menimbulkan kerusakan sel serebral dan jika tidak ditangani, dapat menyebabkan
kematian sel. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama
15-20 menit akan terjadi infark atau kematian jaringan (Price dan Wilson, 2006)

9
2.5. Klasifikasi Cedera Kepala
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu
reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi
lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit < 48 jam.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9.

2.6. Komplikasi Cedera Kepala


a. Gejala cidera kepala berat : beberapa pasien dengan cidera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi
saraf klranial) maupun mental (gangguan kognitif dan perubahan
keperibadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
b. Kebucoran cariran serebrospinal : bila hubungan antara rongga subaracnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil
dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah
diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
c. Epilepsi pascatrauma : terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
d. Hematom subdural kronik

10
e. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cidera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cidera vestibular (konkusi labirintin) (Adams,2000).

2.7. Penatalaksanaan
Secara umum pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit
untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran,
fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani
hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka/ laserasi
kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat
diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
a. Bedah
1. Intrakranial : evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak
tulang
2. Ekstrakranial : inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan
pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah
segera dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk
mencegah infeksi lanjut pada meningen dan otak.
b. Medikamentosa
1. Bolus mannitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada psien dengan penurunan kesadaran.
2. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
3. Antikonvulsan untuk kejang.
4. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).

2.8. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Cedera Kepala


A. Pengkajian
1. Riwayat

11
a. Riwayat trauma baru (jatuh, kecelakaan kendaraan, luka tembak, cedera
tembak atau ledakan).
2. Temuan pemeriksaan fisik
a. Perubahan tingkat kesadaran pada saat kejadian (perasaan aneh,
bingung, kunang-kunang)
b. Perubahan penglihatan (pandangan ganda, seolah melihat Gerakan
dinding/lantai atau objek diam)
c. Kelemahan
d. Gangguan keseimbangan
e. Perubahan kepribadian
f. Mual
g. Amnesia seputar kejadian trauma
h. Perubahan kemampuan berfikir
i. Vertigo, masalah keseimbangan
j. Telinga berdering, pendengaran terganggu
k. Kesemutan, kebas pada ekstermitas
l. Tidak ada atau perubahan rasa pengecap atau penghidu
m. Sakit kepala dengan variasi intensitas dan lokasi, biasanya menetap dan
lama
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Laboratorium
1) GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
dan peningkatan tekanan intracranial (TIK)
2) Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan
yang memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolisme
dan diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan natrium
(hypernatremia)
b. Pencitraan

12
1) CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma,
kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran
jaringan otak
2) MRI lebih sensitive untuk memeriksa deficit neurologis yang tidak
terdeteksi oleh ST scan
c. Prosedur diagnostic
1) EEG menunjukkan adanya atau terjadinya gelombang patologi

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma
kepala
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan kerusakan kognitif, kerusakan
sensori persepsi, penurunan kekuatan atau kontrol otot
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit robek, prosedur
invasif, kebocoran cairan serebrospinal
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis – status hipermetabolik, ketidakmampuan untuk
mengonsumsi zat gizi – tingkat kesadaran
C. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)


Keperawatan
NANDA
1. Risiko ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Neurologis :
perfusi jaringan otak keperawatan diharapkan Independen
berhubungan dengan perfusi jaringan dapat efektif 1. Tentukan faktor yang
trauma Kepala dengan kriteria hasil : berhubungan dengan
1. Mempertahankan atau situasi individual,
meningkatkan tingkat penyebab koma atau

13
kesadaran, kognisi, dan penurunan perfusi
fungsi motorik dan serebral dan potensial
sensorik. peningkatan tekanan
2. Mendemonstrasikan kranial
tanda vital stabil dan 2. Pantau dan
tidak ada tana-tanda dokumentasikan status
peningkatan TIK. neurologis dengan sering
3. Tidak menunjukkan dan dibandingkan dengan
perburukan lebih lanjut nilai dasar.
atau pengulangan 3. GCS selama 48 jam
kejadian defisit. pertama.
4. Evaluasi pembukaan
mata-spontan (terjaga),
hanya terbuka terhadap
stimulus nyeri, mata tetap
tertutup (koma).
5. Kaji respon verbal : catat
apakah klien sadar,
terorientasi pada orang,
tempat dan waktu atau
menggunakan kata yang
tidak masuk akal
6. Kaji respon motorik
terhadap perintah
sederhana. Perhatikan dan
catat gerakan ekstermitas
dan dokumentasikan sisi
kiri dan kanan secara
terpisah.

14
7. Pantau TTV:
8. TD, perhatikan awitan
berkelanjutan hipertensi
sistolik serta pelebaran
tekanan nadi
9. Pantau hipotensi pada
klien yang mengalami
trauma multiple.
10. Catat Frekuensi dan irama
jantung
11. Catat pola dan irama
pernafasan termasuk
periode apnea setelah
hiperventilitasi dan
pernapasan Cheyne-
Strokes.
12. Evaluasi pupil, catat
ukuran bentuk, kesamaan,
dam reaktivitas terhadap
cahaya.
13. Kaji posisi gerakan mata,
catat apakah berada
ditengah atau
menyimpang. Catat
terjadinya kehilagan
reflex mata boneka atau
reflex ukulosefalik.

15
14. Catat ada atau tidaknya
reflex-berkedip, batuk,
muntah,Babinski.

Peningkatan Perfusi Otak :


Independen
1. Pantau suhu lingkungan
sesuai indikasi.
2. Pantau asupan dan
haluran. Catat turgor kulit
dana status membrane
mukosa.
3. Pertahankan kepala dan
leher dalam posisi di
tengah atau dalam posisi
netral. Hindari meletakkan
kepala diatas bantal besar.
4. Hindari dan batasi
pengguanaan restrain.
5. Kaji riditas nukal,
kedutan, peningkatan
kegelisahan,iritabilitasi
dan awitan aktivitas
kejang.
6. Tinggikan kepala tempat
tidur maksimal semi
fowler hindari bentuk
fowler.

Kolaboratif

16
1. Beri cairan IV isotonic
2. Beri oksigen tambahan
melalui rute yang tepat.
3. Pantau gas darah arteria
tau oksimetri nadi.
4. Berikan medikasi sesuai
indikasi
5. Persiapkan untuk
intervensi bedah, seperti
kraniotomi atau inseri
drain ventrikel atau
monitor tekanan TIK, jika
diindikasikan, dan
pindahkan knlevel asuhan
yang lebih tinggi.
2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan Pemantauan pernapasan :
napas berhubungan keperawatan selama Independen
dengan kerusakan diharapkan pola nafas 1. Pantau frekuensi, irama,
neuromuscular kembali efektif dengan dan kedalaman
kriteria hasil : pernapasan. Catat
1. Memiliki frekuensi ketidakteraturan
pernapasan dalam batas pernapasan, missal
normal dibandingkan nilai pernapasan apneustik,
dasar. ataksik, atau kluster.
2. Mengekspresikan redanya 2. Catat kompetensi refleks
perasaan sesak nafas. muntah dan menelan serta
3. Pola nafas efektif. kemampuan klien untuk
4. Bunyi nafas normal tau melindungi jalan
bersih napasnya sendiri.

17
5. TTV dalam batas normal. Masukkan jalan napas
6. Batuk berkurang. tambahan jika
7. Ekspansi paru diindikasikan.
mengembang. 3. Tinggikan kepala tempat
tidur jika diperbolehkan
dan posisikan klien dalam
posisi miring, sesuai
indikasi.
4. Dorong napas dalam jika
klien sadar.
5. Lakukan pengisapan
dengan sangat hati-hati
tidak lebih dari 10 sampai
15 detik.
6. Catat karakter, warna dan
bau sekresi.
7. Auskultasi suara napas,
catat area hipoventilasi
dan keberadaan suara
napas tambahan – crakles,
ronki, dan mengi.
8. Pantau penggunaan obat
depresan pernapasan,
seperti sedative.

Kolaborasi
1. Pantau gas darah arteri
serial dan oksimetri nadi.
2. Pantau foto ronsen dada.

18
3. Beri oksigen tambahan
melalui cara yang teapat.
4. Bantu dengan fisioterapi
dada jika diindikasikan.
3. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan asuhan Terapi latihan control otot
fisik berhubungan keperawatan diharapkan Independen
dengan keruskan pasien dapat tetap 1. Tinjau kemampuan
kognigtif, kerusakan mempertahankan fungsional dan alas an
sensori-persepsi, pergerakannya dengan hambatan gangguam.
penurunan kekuatan kriteria hasil : 2. Kaji derajat mobilitas,
atau kontrol otot 1. Menggunakan posisi menggunakan skala untuk
duduk dengan benar menilai ketergantungan
2. Mempertahankan (0-4)
kekuatan otot 3. Instruksikan dan bantu
3. Mempertahankan klien dengan program
fleksibilitas sendi latihan dan penggunaan
alat mobilitas tingkatkan
aktivitas dan partisipasi
dalam perawatan diri
sesuai toleransi.
Perawatan Tirah Baring :
Independen
1. Posisikan klien untuk
menghindarikerusakan
kulit dan jaringan akibat
tekanan. Miringkan klien
pada interval teratur, dan
buat perubahan posisi

19
kecil di antara
penggantian posisi
2. Beri perawatan kulit
dengan cermat, masase
dengan emollient. Beri
linen dan pakaian basah,
dan pertahankan seprei
terbebas dari kerutan.
3. Pertahankan kesejajaran
tubuh fungsional pinggul,
tungkai bawah, dan
tangan. Pantau ketepatan
penempatan alat dan
tanda tekanan dari alat
tersebut.
4. Topang kepala dan batang
tubuh, lengan dan bahu
serta kaki dan tungkai
bawah ketika klien berada
di kursi roda atau kursi.
Bantali alas duduk kursi
menggunakan busa atau
bantalan berisi air, dan
bantu klien memindahkan
berat badannya pada
interval yang sering
5. Beriperawatan mata
dengan air mata artificial

20
dan pelindung mata sesuai
indikasi
6. Pantau haluaran urine.
Catat warna dan bau urine
bantu pelatihan kembali
kandung kemih jika tepat
7. Beri cairan dalam
toleransi individual (yaitu
sesuai masalah neurologis
dan jantung) sesuai
indikasi
8. Pantau eliminasi usus dan
beri atau bantu rutinitas
defekasi secara teratur.
Periksa impaksi fases;
gunaan stimulasi digital
(stimulasi dengan jari
tangan), sesuai indikasi .
dudukan klien tegak di
kursi toilet atau defekasi
pada interval teratur.
Tambahkan serat, bulk
dan jus buah ke dalam
diet
9. Inspeksi nyeri tekan lokal,
kemerahan, kulit hangat,
ketegangan otot atau vena
yang menyerupai tali di
betis kaki

21
Terapi latihan : kontrol otot
Kolaboratif
1. Rujuk ke ahli terapi fisik
dan okupasi sesuai
indikasi.
4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Beri perawatan yang
berhubungan dengan keperawatan diharapkan cermat, bersih atau
trauma jaringan, kulit risiko infeksi dapat teratasi aseptik; pertahankan
robek, prosedur invasif, dengan kriteria hasil : teknik mencuci tangan
kebocoran cairan 1. Perbaikan luka tepat yang baik.
serebrospinal waktu 2. Pantau area kerusakan
2. Tidak ada tanda-tanda integritas kulit (luka,
infeksi ( tumor, kalor, ganris jahitan, tempat
dolor, rubor dan fungsio insersi slang invasive),
laesa) perhatikan karakteristik
drainase dan keberadaan
inflamasi
3. Pantau suhu secara rutin.
Perhatikan terjadinya
menggigil, diaphoresis
dan perubahan mental
4. Dorong pernapasan dalam
dan pengeluaran
pulmonal yang agresif.
Pantau karakteristik
sputum
5. Beri perawatan perineum.
Pertahankan integritas
system drainase tertutup

22
juka digunakan. Dorong
asupan cairan yang
adekuat
6. Pantau warna dan
kejernihan urine. Catat
keberadaan bau urine
yang tidak sedap
7. Periksa dan batasi akses
orang yang menjenguk
klien atau pemberian
asuhan yang mengalami
infeksi saluran napas atas
(ISPA)
8. Ambil specimen sesuai
indikasi
5. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Independen :
nutrisi kurang dari keperawatan diharapkan 1. Kaji kemampuan
kebutuhan tubuh ketidakseimbangan nutrisi mengunyah, menelan,
berhubungan dengan kurang dari kebutuhan tubuh batuk, dan menangani
faktor biologis – status pasien teratasi dengan kriteria sekresi.
hipermetabolik, hasil : 2. Timbang berat baan
ketidakmampuan untuk 1. Pasien tidak lemas sesuai dengan indikasi.
mengonsumsi zat gizi – 2. Pasien tidak mengeluh 3. Beri pengaman saat
tingkat kesadaran mual pemberian makan, seperti
3. Konjungtiva tidak anemis meninggikan kepala
4. Tidak terjadi penurunan tempat tidur saat
berat badan secara drastis makan,atau pada saat
pemberian makan
melakui selang.

23
4. Beri makanan dalam
jumlah sedikit tapi sering.
5. Tingkatkan lingkungan
yang menyenangkan,
rileks, termasuk
sosialisasi saat makan dan
dorong keluarga untuk
membawa makanan yang
disukai oleh pasien.
6. Periksa adanya darah
dalam feses, aspiran
lambung, dan muntah.

Kolaboratif
1. Kolaborasi engan ahli gizi
atau pendukung nutrisi.
2. Pantau studi laboratorium
( albumin, transferin,
profil asam amino, zat
besi, BUN, glukosa, AST,
ALT)
3. Beri makanan dengan
cara yang benar (IV),
pemberian makan melalui
selang dan pemberian
makan lunak dan cairan
kental.

24
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Skenario Kasus Cedera Kepala


Seorang laki-laki berusia 25 tahun pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan
lalu lintas karena terserempet busway. Korban ditolong oleh polisi lalu lintas untuk
kemudian dibawa ke UGD RS terdekat. Saat di UGD korban teriak kesakitan. Tampak
berlumuran darah yang berasal dari kepala, terlihat jejas kemerahan pada pelipis kanan,
dan daerah frontal. Hasil pemeriksaan Nadi 110 x/menit, TD: 100/70 mmHg, RR
28x/menit, pasien tampak kesakitan skala nyeri 7. Saat ditanya identitasnya pasien
tampak bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan yang di ajukan. Penolong
mengatakan saat kejadian pasien muntah dan tidak sadarkan diri. Di UGD pasien
langsung dipasang neck collar. Perawatan luka untuk menghentikan perdarahan,
pemberian Oksigen, pemasangan infuse RL dan pemasangan kateter urine. Pasien di
rencanakan akan di lakukan operasi.

3.1. Pengkajian
A. Data Fokus
Data Subjektif
1. Penolong mengatakan saat kejadian pasien muntah dan tidak sadarkan
diri
Data Objektif
1. Pasien tampak berlumuran darah dari daerah kepala
2. Pasien tampak kemerahan pada pelipis kanan dan daerah frontal
3. N 110x/mnt, TD 100/70 mmHg, RR 28x/mnt, Skala nyeri 7
4. Pasien tampak bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan yang
diajukan

25
5. Pasien tampak berteriak kesakitan
6. Pasien tampak terpasang neck collar
7. Pasien direncanakan untuk operasi

B. Analisa Data
NO Data Masalah Etiologi
1. DS : Perfusi serebral Kerusakan
a. Penolong mengatakan tidak efektif neuromuscular
klien sempat tidak
sadarkan diri dan muntah
DO :
a. Pasien tampak
berlumuran darah
b. Ditemukan jejas
kemerahan pada pelipis
kanan dan daerah frontal
c. Klien tampak bingung
dan tidak dapat
menjawab pertanyaan
yang diajukan
d. Klien terpasang neck
collar
e. Klien direncanakan
untuk operasi
f. TD : 100/70 mmHg
2. DS : Nyeri akut Cedera kepala /
a. Skala nyeri 7 agen pencedera
DO : fisik
a. Pasien berteriak
kesakitan

26
b. N: 110x/menit
c. Rr : 28x/menit
d. Skala nyeri 7

3. DS : - Pola nafas tidak Cedera Kepala


DO : efektif
a. Rr : 28x/menit

3.2.Diagnosa Keperawatan

1. Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuscular


2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera kepala / agen pencedera fisik
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala

3.3.Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1. Perfusi serebral tidak Setelah dilakukan tindakan Observasi
efektif keperawatan selama 4 x 24 1. Monitor tanda-tanda
jam diharapkan perfusi vital.
serebral efektif dengan 2. Monitor frekuensi dan
kriteria hasil : irama jantung.
1. Mendemonstrasikan
tanda-tanda vital stabil Terapeutik
dan tidak ada tanda- 1. Posisikan dengan
tanda peningkatan TIK. kepala sedikit
2. Tidak menunjukkan ditinggikan.
perburukan lebih lanjut 2. Jadwalkan pendidikan
atau pengulangan kesehatan sesuai
kejadian defisit. kesepakatan.

27
Edukasi
1. Jelaskan perlunya
tindakan yang
dilakukan.

Kolaborasi
1. Beri medikasi sesuai
indikasi (mis.
trombolitik intravena).
2. Persiapkan untuk
pembedahan.
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 1. Identifikasi lokasi,
jam diharapkan nyeri dapat karakteristik, durasi,
teratasi dengan kriteria frekuensi, kualitas,
hasil : intensitas nyeri.
1. Pasien mampu 2. Identifikasi skala nyeri.
mengontrol nyeri 3. Identifikasi respons
2. Tingkat nyeri menurun nyeri non verbal.
4. Identifikasi faktor yang
memperberat dan
meperingan nyeri.

Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.

28
2. Fasilitasi istirahat dan
tidur.

Edukasi
1. Ajarkan teknik untuk
mengurangi rasa nyeri
(relaksasi nafas dalam).

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik.
3. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 2 x 24 1. Monitor pola napas
jam diharapkan mampu (frekuensi, kedalaman,
menunjukkan pola nafas usaha napas).
yang efektif dengan kriteria 2. Monitor bunyi napas
hasil : tambahan (mis.
1. Nilai normal gurgling, mengi,
pernapasan 12-20 wheezing, ronkhi
x/menit kering).
2. Dapat bernafas dengan
mudah dan tidak Terapeutik
dangkal 1. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien.
2. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-tit dan chin-lift

29
(jaw-thrust) jika curiga
(trauma servikal).
3. Posisikan semi-fowler
atau fowler

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
brokondilator,
ekspektoran, mukolitik,
perlu.

3.4.Implementasi
No Hari/Tanggal Implementasi Respon Paraf
1. Jum’at, 22 Nov Observasi Respon Subjektif :
2019 1. Memonitor tanda- - Klien
tanda vital. mengatakan
2. Memonitor frekuensi sudah mengerti
dan irama jantung. dengan
keadaan yg
Terapeutik dialami Dan
1. Memposisikan dengan siap untuk
kepala sedikit pembedahan
ditinggikan. Respom Objektif :
2. Menjadwalkan - Klien tampak
pendidikan kesehatan rileks
sesuai kesepakatan.

Edukasi

30
1. Menjelaskan perlunya
tindakan yang
dilakukan.

Kolaborasi
1. Memberikan medikasi
sesuai indikasi (mis.
trombolitik intravena).
Persiapkan untuk
pembedahan.
2. Jum’at, 22 Nov Observasi Respon Subjektif :
2019 1. Mengidentifikasi lokasi, 1. Klien
karakteristik, durasi, mengatakan nyeri
frekuensi, kualitas, dapat terkontrol.
intensitas nyeri. 2. Klien
2. Mengidentifikasi skala mengatakan nyeri
nyeri. berkurang.
3. Melakukan identifikasi Respon Objektif :
respons nyeri non verbal. 1. Ekspresi wajah
4. Mengidentifikasi faktor klien normal
yang memperberat dan (tidak meringis).
meperingan nyeri. 2. Klien Nampak
bisa
Terapeutik mengendalikan
1. Memberikan teknik nyeri dengan
nonfarmakologis untuk teknik non
mengurangi nyeri. farmakologi
2. Memfasilitasi istirahat dan
tidur.

31
Edukasi
1. Mengajarkan teknik untuk
mengurangi rasa nyeri
(relaksasi nafas dalam).

Kolaborasi
1. Berkolaborasi pemberian
analgetik
3. Jum’at. 22 Nov Observasi : Respon Subjektif :
2019 1. Memonitor pola napas 1. Klien
(frekuensi, kedalaman, mengatakan sesak
usaha napas). berkurang
2. Memonitor bunyi napas
tambahan (mis. gurgling, Respon Objektif :
mengi, wheezing, ronkhi 1. Pola napas
kering). 20x/menit.
Terapeutik 2. Klien terlihat
1. Mengatur interval tidak
pemantauan respirasi menggunakan
sesuai kondisi pasien. otot bantu nafas.
2. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head-tit dan chin-
lift (jaw-thrust) jika curiga
(trauma servikal).

Kolaborasi

32
1. Melakukan kolaborasi
pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.

a. Evaluasi
No Diagnosa Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
1. Perfusi serebral tidak efektif S : Klien mengatakan sudah
lebih ringan sakit di kepala
O : Luka kering dan bersih
A : Masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
2. Nyeri akut S : Klien mengatakan skala
nyeri berkurang saat
menggunakan teknik non
farmakologi.

O : Klien nampak dapat


mengontrol nyeri.

A : Masalah teratasi sebagian.

P : Intervensi dilanjutkan
1. Memberikan teknik
distraksi.
2. Memfasilitasi istirahat
dan tidur.
3. Pola nafas tidak efektif S : Klien mengatakan sudah
tidak sesak.

33
O : RR : 18x/menit.
A : Masalah teratasi sebagian.

P : Intervensi dilanjutkan.
1. Memposisikan klien
semi fowler.

34
BAB IV

JURNAL READING

JUDUL :
Hubungan Cedera Kepala Dengan Disorientasi Pada Pasien Kecelakaan Lalu Lintas di
IGD RS Bhayangkara Manado

NAMA PENELITI :
Hendro Bidjuni dan Sefty Rompas

TAHUN TERBIT :
2017

ASAL PENELITI :
Indonesia

TUJUAN PENELITIAN :
Untuk mengetahui hubungan cedera kepala dengan pasien disorientasi di RS
Bhayangkara

METODE PENELITIAN :
1. Design cross sectional
2. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang di rawat di IGD
RS Bhayangkara Manado. Besar sampel yang penelitian berjumlah 38 pasien.
3. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
Accidental sampling. ).
4. Instrument dalam penelitian ini adalah, lembar observasi dan lembar kuesioner dan
Pengolahan data melalui tahap editing, coding, tabulating, dan analisis univariate
dan bivariate dengan menggunakan uji Pearson Chi-Square tingkat kepercayaan (
CI) 95% atau tingkat kemaknaan α ≤ 0.05.

35
HASIL DAN PEMBAHASAN :
Ada hubungan antara cedera kepala dengan disorientasi pasien kecelakaan lalu lintas
di IGD RS Bhayangkara. Dari 18 responden yang mengalami cedera kepala sedang,
26,3% mengalami disorientasi sedang sedangkan yang ringan sebanyak 21,1%. Data
juga menunjukkan bahwa dari 20 responden yang mengalami cedera kepala ringan,
2,6% mengalami disorientasi sedang sedangkan sebanyak 50,0% disorientasi ringan.
Dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,002 dengan demikian probabilitas (signifikansi)
lebih kecil dari 0,05 (0,001<0,05) , maka HI diterima atau ada hubungan antara cedera
kepala dengan disorientasi. Dilihat dari OR (Odds Ratio) menunjukkan bahwa dengan
cedera kepala sedang akan membuat pasien mengalami disorientasi sedang sebesar 23
kali lebih besar disbanding cedera kepala ringan.

36
BAB V
FARMAKOLOGI
Nama obat : Ketorolac Trometamin

Golongan : Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID)


Indikasi :
1. Penanganan jangka pendek untuk nyeri pasca bedah yang sedang (tablet);
penanganan jangka pendek untuk nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat
(injeksi).
Mekanisme Kerja :
Ketorolac memiliki efikasi analgesik yang setara dengan morfin atau pethidin.
Mula kerja efek analgesik ketorolac sedikit lebih lambat, tetapi memiliki masa kerja
yang lebih panjang dibanding dengan opioid. Penggunaan bersama dengan opioid akan
dapat mengurangi dosis opioid sebanyak 20 - 50%, dan pada beberapa pasien akan
disertai penurunan efek samping dari opioid, lebih cepatnya normalisasi fungsi saluran
cerna, dan lebih singkatnya lama perawatan di rumah sakit.
Beberapa penelitian telah meneliti efektivitas analgesik Ketorolac
tromethamine intramuskular pada dua model nyeri pasca bedah akut; bedah umum
(ortopedik, ginekologik dan abdominal) dan bedah mulut (pencabutan M3 yang
mengalami impaksi). Penelitian ini merupakan uji yang dirancang paralel, dosis
tunggal primer, yang membandingkan Ketorolac tromethamine dengan Meperidine
(Phetidine) atau Morfin yang diberikan secara intramuskular. Pada tiap model, pasien
mengalami nyeri sedang hingga berat pada awal penelitian. Jika dibandingkan dengan
Meperidine 50 dan 100 mg, atau Morfin 6 dan 12 mg pada pasien yang mengalami
nyeri pasca bedah, Ketorolac tromethamine 10, 30 dan 90 mg menunjukkan
pengurangan nyeri yang sama dengan Meperidine 100 mg dan Morfin 12 mg.
Onset aksi analgesiknya sebanding dengan Morfin. Durasi analgesia Ketorolac
tromethamine 30 mg dan 90 mg lebih lama daripada narkotik. Berdasarkan

37
pertimbangan efektivitas dan keamanan setelah dosis berulang, dosis 30 mg
menunjukkan indeks terapetik yang terbaik.
Sediaan :
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus
intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.
Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya
efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan
maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia
umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan
respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus
secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping
dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.

Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg
tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis
harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang
lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg.
Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis
efektif terendah dan sesingkat mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul,
dosis harian total kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut
usia, gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).

Pasien lanjut usia


Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai kisaran
dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat Perhatian).

Anak-anak :
Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena itu,
Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun.

38
Efek samping
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan ketorolac IM 20 dosis dalam
5 hari.
Insiden antara 1 hingga 9% :
Saluran Cerna : diare, dyspepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.

Kontraindikasi :
1. Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.
2. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau
obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
3. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
4. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
5. Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
6. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
7. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
8. Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
9. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).
10. Riwayat asma.
11. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500–
5.000 unit setiap 12 jam).
12. Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
13. Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
14. Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam
vesikulobulosa.
15. Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).

39
16. Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis
benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan
DAFTAR PUSTAKA

Yasmara, Deni dkk. 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah NANDA,
NIC, dan NOC. Jakarta : EGC.
Lemone, priscilla. 2016. Buku ajar keperawatan Medikal-Bedah: gangguan
neurologi, Ed.5. Jakarta: EGC

Bidjuni, Hendro., Rompas Sefty. 2017. Hubungan cedera kepala dengan disorientasi
pada pasien kecelakaan lalu lintas di igd rs bhayangkara manado. E-Journal
Keperawatan (e-Kp). Vol (5) No (1)
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/25155/24854 (diakses
pada tanggal 21 November 2019)

Chandra, Chrysario., Tjitrosantoso, Heedy., Widya, Astuty Lolo. Studi Penggunaan


Obat Analgetik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion) di RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado Periode Januari-Desember. 2014. Jurnal Ilmiah
Farmasi. Vol (5) No (2)
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/12190 (diakses
pada tanggal 23 November 2019)

40

Anda mungkin juga menyukai