Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERBEDAAN PLANET DAN BINTANG DALAM HAL MEMANTULKAN


DAN MENGASILAKAN CAHAYA

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keterpaduan IPTEK Dan Islam yang diampu oleh
Bapak Dr. Hamdan Hadi Kusuma, M.Sc)

Disusun oleh :

1. Nikmatul Khoiriyah (1608066022)


2. Yulfani (1608066025)

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu sains dan agama sejatinya memiliki keterkaitan satu sama lain.
Keduanya dapat saling melengkapi dalam penyempurnaan ilmu pengetahuan. Banyak
teori yang sebenarnya sudah ada dalam Al-Qur’an sejak dahulu namun baru
diintegrasikan dengan kajian sains pada masa-masa sekarang. Dalam hal ini berarti
ilmu pengetahuan sains maupun umum semuanya sudah ada dalam Al-Quran hanya
saja belum semua dapat ditafsirkan dan diintegrasikan dengan ilmu modern atau
sains.

Hal yang tidak kalah menarik untuk diintegrasikan adalah mengenai bintang
dan sinar serta pancaran cahayanya. Benda-benda langit apabila diamati secara awam
dari bumi Nampak bercahaya dan sangat terang. Namun, apakh sebenarnya cahaya
yang memnacar pada benda tersebut merupakan cahaya yang berasal dari benda
tersebut sendiri atau berasal dari benda yang lainnya diangkasa. Pada saat sains
empiris tidak menjelaskan perbedaan antara cahaya dan sinar, sebenarnya dalam Al-
Qur’an senantiasa sudah dideskripsikan bahwasanya matahari sebagai benda yang
bersinar dan bulan sebagai benda yang bercahaya.

Dengan kata lain bersinar dan bercahay mempunyai arti kata yang berbeda.
Oleh karenaya, dalam makalah ini akan dibahas mengenai perbedaan planet dan
bintang dalam memantulkan serta menghasilkan cahaya juga perbedaan antara
bersinar dan bercahaya.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang diambil yaitu
bagaimanakah perbedaan planet dan bintang dalam hal memantulkan dan
menghasilkan cahaya dalam Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bintang dan Planet Menurut Sains


1. Bintang
Bintang – bintang berawal dari awan gas antarbintang. Sebagian awan gas
antarbintang memiliki kandungan materi – materi berat seperti oksigen atau
silikon dalam beberapa persen massa, namun kebanyakan hanya mengandung zat
paling sederhana di alam semesta yaitu hidrogen. Adanya gangguan dari
lingkungan, membuat awan gas tersebut menjadi tidak stabil dan berkontraksi
membentuk kumpulan – kumpulan massa yang masing – masing berotasi dan
mengerut akibat gravitasi penyusunnya. Saat itu terbentuklah protobintang atau
disebut juga sebagai “janin” bintang (Misbahuddin). Ketika gas berkontraksi,
energi potensial gravitasi diubah menjadi energi kinetik molekul gas. Dengan kata
lain, ketika molekul gas jatuh, mereka mempercepat. Karena suhu gas sebanding
dengan energi kinetik rata-rata molekulnya, gas menjadi lebih panas saat terus
berkontraksi. Akhirnya, gas menjadi sangat panas sehingga tumbukan
menghilangkan elektron dari atom gas, dan gas menjadi terionisasi. Kemudian,
inti menjadi sangat panas sehingga terjadi reaksi fusi nuklir yang mengubah
hidrogen menjadi deuterium lalu menjadi helium. Reaksi nuklir mengarah ke
keseimbangan antara tekanan luar dari panas yang dihasilkan dan melawan
tarikan kedalam oleh gravitasi. Bintang kemudian mengendap dan menjadi apa
yang disebut bintang "urutan utama" (Lichtenberg, 2007). Pertama kali terjadinya
reaksi inti disebut sebagai momen kelahiran bintang, dimana untuk pertama kali
bintang bisa memancarkan energinya sendiri untuk menerangi alam semesta yang
gelap (Misbahudin).
Bintang “urutan utama” memiliki hubungan antara luminositas dan suhu
permukaannya. Luminositas bintang adalah jumlah total energi elektromagnetik
yang dipancarkannya dari permukaannya per detik, termasuk energi yang
dipancarkan pada panjang gelombang yang tidak terlihat oleh mata manusia. Suhu
permukaan dapat ditandai dengan warna yang dimiliki bintang, semakin tinggi
suhu bintang semakin biru warnanya, dan semakin dingin suhu bintang semakin
merah warnanya. Bintang-bintang dalam urutan utama bervariasi dalam
luminositas dengan jumlah besar. Beberapa bintang supermasif bercahaya lebih
dari 100.000 kali daripada matahari, sementara yang lain hanya 1 persen
bercahaya (Lichtenberg, 2007).
Sifat-sifat pemancaran cahaya bintang mendekati sifat-sifat pancaran
benda hitam. Benda hitam yaitu benda ideal yang menyerap semua energi cahaya
yang diterimanya. Bintang memancarkan cahaya pada seluruh panjang
gelombang, mulai dari sinar gamma hingga gelombang radio. Namun intensitas
(kekuatan) pancarannya tidak merata untuk semua panjang gelombang, artinya
ada panjang gelombang tertentu dimana bintang akan paling kuat memancarkan
cahaya. Secara matematis, panjang gelombang dimana intensitas mencapai
maksimum berbanding terbalik dengan suhu efektif benda. Hal tersebut
dinyatakan oleh hukum pergeseran Wien,

Dimana λ dinyatakan dalam cm, dan temperatur dalam Kelvin.


Astronom menyatakan terang suatu bintang menggunakan satuan
magnitudo, yang merupakan logaritma dari jumlah energi yang diterima. Seorang
astronom Yunani kuno, bernama Hipparchos, membagi bintang – bintang
menjadi enam satuan magnitudo. Bintang yang paling terang memiliki magnitudo
1 sedangkan bintang yang paling redup memiliki magnitudo 6. Pogson
menyatakan bahwa bintang bermagnitudo 1 seratus kali lebih terang dari bintang
bermagnitudo 6. Dengan kata lain, perbedaan terang setiap magnitudo yaitu
5
√100 = 2,512 (Misbahudin).
Walaupun magnitudo dapat menyatakan terang suatu bintang, namun
magnitudo semu suatu bintang gagal menunjukan terang asli atau luminositas
suatu bintang, karena ada satu faktor yang mempengaruhi yaitu jarak bintang.
Misalnya, ketika pengamat melihat suatu bintang yang luminositasnya tinggi
dengan jarak yang sangat jauh, maka bintang akan memiliki magnitudo semu
besar (redup di langit). Magnitudo semu atau apparent magnitude yaitu magnitudo
yang kita lihat di langit. Dari skala pogson, terdapat bintang yang magnitudonya
lebih kecil dari satu, misalnya Sirius. Bintang kedua paling terang di langit
memiliki magnitudo1,46. Bahkan matahari yang merupakan bintang paling terang
di langit memiliki magnitudo -26,7. Untuk menghilangkan pengaruh faktor jarak
bintang, maka dibuat sistem magnitudo yang meletakkan semua bintang pada
jarak yang sama, yaitu 10 parsec dan disebut magnitudo mutlak. Secara
sederhana, magnitudo mutlak ialah magnitudo semu yang akan diamati apabila
bintang berada pada jarak 10 parsec dari pengamat. Parsec adalah satuan jarak
yang biasa dipakai astronom. Parsec sendiri setara dengan 3,26 tahun cahaya
(Lichtenberg, 2007).
Jarak tahun cahaya yang dimiliki bintang menunjukan bahwa cahaya yang
dipancarkan oleh bintang hingga sampai ke mata pengamatan di bumi
membutuhkan waktu sebesar jarak yang dimiliki oleh bintang tersebut. Misalnya,
pengamat di bumi melihat sebuah bintang dilangit yang jaraknya satu juta tahun
cahaya, artinya cahaya yang dilihat oleh pengamat merupakan cahaya satu juta
tahun yang lalu. Contoh lain yaitu matahari yang memiliki jarak 8 menit cahaya.
Maka ketika kita melihat matahari akan terbenam di ufuk barat, sesungguhnya
matahari sudah terbenam beberapa menit yang telah lalu.
(http://sains.kompas.com, diakses pada tanggal 7 Mei 2019)

2. Planet
International Astronomical Union (IAU) mendefinisikan "planet" dan benda
lainnya di dalam Tata Surya dalam tiga kategori berdasarkan Resolusi 5A IAU
pada 14 – 26 Agustus 2006 :
a) Planet yaitu benda langit yang memiliki karakteristik :
 Mempunyai cukup massa sehingga gaya gravitasinya mampu
mempertahankan bentuknya mendekati bundar dan ada dalam
keseimbangan hidrostatik.
 Bebas dari tetangga disekitar orbitnya.
 Mengorbit di sekeliling Matahari, tidak memotong orbit planet
yang lain.
b) Planet kerdil yaitu benda langit yang memiliki sifat:
 Lintasannya mengelilingi Matahari.
 Mempunyai cukup massa, sehingga mempunyai gravitasi sendiri,
dalam keseimbangan hidrostatik bentuknya bundar.
 Tidak mempunyai tetangga disekitar orbitnya dan ia bukan suatu
satelit.
c) Seluruh objek kecuali satelit yang bergerak mengelilingi Matahari disebut
“Benda Kecil Sistem Tata Surya”.

Planet dan bintang yang terlihat dilangit dapat dibedakan karena cahaya planet
tidak berkelap – kelip. Hal tersebut disebabkan oleh dekatnya jarak planet dengan
bumi. Semua planet memancarkan cahaya, namun bukan berasal dari dirinya
sendiri. Planet memancarkan cahaya yang dipantulkan dari matahari. Pecahan
cahaya yang dipantulkan disebut “albedo”. Selain itu, planet memiliki diameter
sudut yang jauh lebih besar dari diameter sudut bintang (yang berupa benda titik)
dan apabila dilihat dari teleskop akan tampak seperti piringan (Misbahudin).

B. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Tafsir Ayat yang Membahas Bintang


Allah telah membahas benda – benda langit dalam al qur’an, salah satunya yaitu
di surat Nuh ayat 15

Artinya : “Dan disana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan
matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?”.

Menurut tafsir Al Misbah karya M. Quraish Shihab, penafsiran ayat ke 16 surat


An Nuh mengacu pada kata “bulan sebagai nur dan matahari sebagai pelita”,
dimana kata ‫ فيهن‬berbentuk jamak dan mengacu pada kata ‫ سبع سموات‬yang artinya
langit ketujuh. Dimana secara harfiah Allah menciptakan bulan pada langit ketujuh.
Dengan penafsiran lain, bahwasanya ada sekian banyak bulan di jagat raya ini, dan
masing-masing memantulkan cahaya yang diperoleh dari bintang-bintang atau planet
yang lain.
Pada kata “Dia menjadikan bulan (sebagai) nur” mengisyaratkan bahwasanya
ada perbedaan antara matahari dan bulan. Matahari Allah jadikan sebagai pelita,
yakni sumber cahayanya berasal dari matahari sendiri. Sedangkan bulan, tidak
dijadikan sebagai pelita, namun bulan juga bercahaya. Dimana maksud ayat ini yaitu
bulan bukanlah suatu benda langit yang memilki cahaya sendiri, namun hanya
memantulkan cahaya dari benda langit yang lain, berbeda dengan matahari.
Penjelasan ini menyambung ke Q.S Yunus ayat 5.

Artinya : “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan
dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu menetahui bilangan tahun,
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang sedemikian itu melainkan
dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.”

Spesifiknya, para ulama memahami kata ‫ ضياء‬sebagai cahaya yang sangat terang
karena menurut mereka kata ini digunakan untuk menggambarakan matahari.
Sedangakan kata ‫ نور‬digunakan untuk bulan, karena cahaya bulan tidak seterang cahaya
matahari. Menurut penafsiran ayat-ayat kauniyah oleh Hanafi Ahmad, kata ‫ضياء‬
digunakan dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk namun menjelaskan benda-benda
langit yang cahayanya bersumber dari dirinya sendiri. Contohnya, digunakan untuk api
(Q.S Al-Baqarah : 17) dan kilat (Q.S Al-Baqarah : 20). Penggunaan dalam ayat ini berarti
menginformasikan bahwasanya cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, bukan
pantulan dari benda langit yang lain seperti bulan yang mengggunakan kata nur untuk
mengisyaratkan bahwa sinar bulan bukan dari dirinya sendiri namun pantulan dari sinar
matahari. Ayat ini juga menjelaskan mengenai kekusaan Allah dalam memelihara
manusia lewat pemberian cahaya pada benda langit, yaitu ayat ini menekankan bahwa
Allah yang menciptakan matahari atau bulan sehingga dengan demikian seluruh makhluk
hidup diplanet ini memperoleh manfaat daripadanya.

Pendapat lain menurut As-Sya’rawi menyebutkan bahwa mengapa matahari


memancarkan cahaya sendiri juga dikarenakan cahaya yang dihasilkan bersifat
panas/menghangatkan, sedangkan pada bulan hanya menerangi saja. Pada surat Al-
An’am ayat 97 dijelaskan bahwasanya bintang mempengaruhi peristiwa atau kejadian
alam yang ada dimuka bumi. Pada ayat ini disebutkan bahwa bintang adalah penunjuk
jalan, dimana sekarang para antariksawan berpedoman pada matahari dan bintang dalam
menentukan arah perjalanan pada suatu masa tertentu. Mereka juga menggunakan gugus
bintang dalam penentuan waktu, contohnya pada gugus bintang biduk, dengan demikian
manusia dapat mengetahui waktu dari bintang seperti yang dimaksudkan oleh ayat ini.

Artinya : “ Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu


menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Kami telah menjelaskan
tanda-tanda (kekuasaan kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Penjelasan lain bahwa bintang – bintang sebagai penunjuk jalan juga terdapat
dalam surat an – Nahl ayat 16 :
Artinya : “ Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan
bintang-bintang mereka mendapat petunjuk.”

Penafsiran lain daripada “penunjuk jalan” ini adalah karena bintang itu dapat
bercahaya sehingga kita, manusia dapat mlihat bintang dari permukaan bumi, yang mana
menunjukan bahwa bintang memancarkan cahaya. Dalam ayat ini dijelaskan juga
bahwasanya Al-Qur’an telah menunjukan bahwa petunjuk jalan dalam kegelapan adalah
bintang-bintang, dan bukan merupakan planet-planet. Padahal apabila dilihat dari segi
sains, planet-planet juga bersinar sebagaimana bintang-bintang dan sinar planet tersebut
juga sampai pada permukaan bumi, sehingga kita dapat mengetahui planet-planet lain
dari permukaan bumi selain planet yang kita tinggali ini. Adapun sebenarnya sinar yang
terpancar dari planet-planet tersebut bukan merupakan sinar yang berasal dari planet itu
sendiri atau sinar yang hakiki, melainkan didapatkan dari pancaran bintang – bintang
yang kemudian dipantulkan ke bumi.

Ayat ini menyambung pada surat At-Thariq ayat 1-3 yang dijelaskan oleh para
pakar bahwasanya benda panas yang bercahaya itu lahir sinar yang dapat terlihat
disamping yang tidak terlihat. Cahaya atau sinar bintang itu ada yang sedemikian rupa
terangnya sehingga melebihi ratusan bahkan ribuan kali cahaya atau sinar matahari, tetapi
ada juga sebaliknya yang sedemikian redup ratusan atau ribuan kali dari sinar matahari.
Pada makna ini menjelaskan bahwa benda langit itu jumlahnya sangatlah banyak, dan
dari semua itu ada yang bersinar atau bercahaya dan juga ada yang kelihatan sangat redup
atau bahkan tidak terlihat.

Artinya : “ Demi langit yang datang pada malam hari. Dan tahukah kamu apa
yang dating pada malam hari itu?. (Yaitu) bintang yang bersinar tajam.”
Dalam tafsir al – Misbah , dijelaskan bahwa kata “an najm” berasal dari kata
“najama” yang berarti muncul atau tampak ke permukaan. Kata tersebut digunakan
dalam artian bintang yang muncul atau tampak cahayanya. Pakar Al –Qur’an
membedakan antara kata najm dan kaukab dilihat dari sisi bahwa najm adalah bintang
yang cahayanya berasal dari dirinya sendiri, sedang kaukab tidak. Sementara ulama
memahami kata an najm dalam ayat ini sebagai semua bintang yaitu semua benda langit
yang memancarkan cahaya dan tersusun dari gas – gas yang sangat panas. Ada yang
memahami sebagai bintang tertentu dan juga ada yang mengartikan sebagai meteor
karena kehadirannya terlihat di waktu malam bagaikan sesuatu yang berjalan. Kata “ats
tsaqib” berasal dari kata tsaqaba yang erarti melubangi atau menembus sesuatu yang
padat atau menyatu. Bumi yang ditutupi oleh kegelapan malam, namun dari celah –
celahnya terlihat bintang dengan cahayanya bagikan menembus dan melubangi kegelapan
tersebut.

Dari kesekian tafsir ayat Al-Qur’an tersebut menjelaskan bahwasanya makna


bersinar dan bercahaya mengandung pengertian yang berbeda. Dalam beberapa ayat
dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan kata bersinar untuk matahari yang diibaratkan
sebagai pelita sedangkan bulan digunakan kata bercahaya. Penjelasan semacam ini
banyak ditemukan dalam Al-Qur’an yang mana membahas mengenai ilmu pengetahuan
tentang perbedaan benda-benda langit. Sesungguhnya dalam Al-Qur’an penjelasan
semacam ini sudah secara gamblang dibedakan antara benda yang dapat memancarkan
cahaya sendiri dengan benda yang menerima cahaya dari benda langit yang lain.

C. Azbabun Nuzul Ayat

Pada surat Al An’am ayat 6, dahulu orang percaya bahwa bintang-bintang dan
benda langit adalah dewa-dewa yang mempunyai pengaruh pada bumi dan isinya. Yang
mana mengetahui gerak bumi dan langit dipercayai oleh masyarakat dapat mengetahui
apa yang akan terjadi pada seseorang atau masyarakat dan manusia seluruhnya. Ayat ini
diturunkan ketikan masyarakat jahiliyah masih mempercayai hal yang bersifat
kedukunan. Hal ini tidak direstui oleh agama, dikarenakan yang mereka percayai ilmu
perbintangan astrologi, bukan astronomi. Seperti sabda rasul “ Barang siapa mempercayai
satu ilmu dari bintang-bintang (astrologi), maka dia telah mempelajari satu bagian dari
sihir. Sihirnya akan bertambah dengan bertambahnya ilmu perbintangan itu” (HR. Abu
Daud dan Ibn Majah).

D. Integrasi Sains dan Islam


Al – Qur’an menyebutkan bahwa bintang merupakan benda langit yang mampu
memancarkan cahaya sendiri. Ayat yang menyatakan hal tersebut diantaranya yaitu surat
Nuh ayat 15, surat Yunus ayat 5, Surat an – Nahl ayat 16, surat al – An’am ayat 97, serta
surat at – Thoriq ayat 1 sampai 3. Kata yang digunakan dalam ayat – ayat al –Qur’an
dibedakan antara bintang dengan benda langit lainnya seperti bulan dan planet. Perbedaan
tersebut mengacu pada makna bahwa bintang memiliki sumber cahaya sendiri dan
memancarkannya sedang benda langit lainnya tidak. Sains menyatakan bahwa bintang
mulai memancarkan cahaya untuk menerangi alam semesta pada saat masa kelahiran
bintang dan cahaya yang dihasilkan berasal dari reaksi inti yang terjadi.
Al – Qur’an juga menyatakan bahwa Allah menciptakan bintang yang besar yaitu
matahari untuk dijadikan sebagai pelita. Matahari memiliki sumber cahaya yang berasal
dari matahari sendiri. Teori sains juga menyatakan bahwa matahari merupakan salah satu
bintang yang sangat panas dan masuk kedalam jenis bintang paling terang dengan
magnitudo -26,7. Oleh karena itu, allah menjadikan bulan hanya bercahaya karena cahaya
yang dimiliki bulan tidak seterang matahari. Sains juga menyatakan bahwa bulan
bukanlah suatu jenis bintang, namun bulan merupakan satelit.
Allah juga menjadikan bintang – bintang sebagai penunjuk jalan karena bintang
memiliki cahaya sendiri sedangkan planet tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya yang
dipancarkan planet merupakan cahaya yang didapatkan dari bintang – bintang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut tafsir Al Misbah karya M. Quraish Shihab, dari penjelasan mengenai


bercahaya dan bersinar memiliki arti yang berbeda, dimana benda langit yang dapat
memancarkan cahaya sendiri disebut dengan bintang, baik itu matahari maupun benda
langit yang lain. Sedangkan benda langit seperti bulan maupun planet memancarkan sinar
dari pantulan bintang yang kemudian di teruskan ke bumi. Hal ini senada dengan ilmu
sains yang kita pelajari. Menurut banyak ilmuan, benda-benda langit yang dapat
menghasilkan cahaya sendiri disebut dengan bintang.
DAFTAR PUSTAKA

Litchenberg, Don. 2007. The Universe and The Atom. Singapura : World Scientific
Publishing (pdf)
Misbahudin. Materi Olimpiade Kebumian Astronomi (pdf)
Thayyarah, Nadiah. 2013. Buku Pintar Sains Dalam Al-Qur’an. Jakarta : Zaman
Shihab, M. Quraish. 2016. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an.
Tangerang : PT Lentera Hati
Syakir, Syaikh Ahmad. 2012. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta Timur : Darus
Sunah Press
http://sains.kompas.com diakses pada tanggal 7 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai