Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah salah satu virus golongan RNA
(Ribonucleic Acid). Virus HIV masuk kedalam tubuh melalui aliran darah kemudian virus
ini akan menginfeksi sel, kemudian sel yang telah terinfeksi oleh virus HIV akan
membentuk replika DNA mengunakan enzime reverse transcriptase. Jika tidak
mendapatkan penangananan yang tepat, maka virus HIV ini akan menyebabkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Widoyono, 2011).
AIDS (Acquired Immuno Defisiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala dan
infeksi yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penyebab utamanya
yaitu virus HIV (Human Immunodefeciency Virus). Sesorang yang terinfeksi HIV/AIDS
akan mengalami gejala umum seperti penurunan berat badan, demam tinggi, diare
berkepanjangan, batuk berkepanjangan, dan mengalami pembengkakan pada kelenjar
getah bening (Nursalam, 2006).
Berdasarkan United Nasions Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Global Statics
(2015). pada saat ini HIV/AIDS telah tersebar di seluruh negara, terutama di negara
berkembang. Pada tahun 2014 didapat data sebanyak 35 juta penderita HIV dan di akhir
tahun 2014 sebanyak 1,2 juta orang meninggal karena AIDS. Kejadian HIV/AIDS di
Indonesia mengalami peningkatan sangat pesat, terutama dari tahun 2009 ke 2010 yang
mana Jumlah penderita HIV/AIDS di tahun 2009 terdapat 9.793 dan pada tahun 2010
terdapat 21.591. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan tahun 2014 kasus HIV
sudah tersebar di 381 dari 498 kabupaten atau kota di seluruh provinsi indonesia (Ditjen
PP & PL Kemenkes RI, 2014).
Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2014) di Jawa Timur terdapat 3.319 penderita
di tahun 2013, 4.508 di tahun 2014, 4.155 di tahun 2015, 4.155 di tahun 2015, dan 6.513
di tahun 2016. Kota yang menyumbang angka penderita HIV tertinggi di Jawa Timur
adalah Surabaya kemudian yang menepati posisi ke dua adalah Malang dan yang
menepati posisi ketiga yaitu Jombang. Berdasarkan data dinas kesehatan (Dinkes)
Kabupaten Malang (2017) sejak tahun 1991 hingga 2015 telah tercatat ada 1.578
penduduk yang mengalami HIV/AIDS.
Masalah HIV/AIDS yang terjadi di dunia tidak hanya menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia namun juga menyerang sistem biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS sebagian besar akan menunjukkan perubahan
situasional terutama dalam menyikapi pemahaman tentang dirinya, waktu, Tuhan,
lingkungan, dan tentang masa depannya. Pada umumnya ketika seorang individu
dinyatakan menderita HIV/AIDS sebagian besar akan mengalami depresi dan stres
(World Health Organization, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Maria dan Carol, dkk (2015) di Washington DC dalam
jurnal “Disclosure of HIV Status and Psychological Well-Being Among Latino Gay and
Bisexual Men” menjelaskan tentang masalah psikologis dapat diatasi dengan cara
mengungkapkan status HIV. Pengungkapan status HIV pada orang lain dapat
mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita, baik secara
langsung maupun melalui dukungan sosial. Pengungkapan status penyakit merupakan
suatu proses yang kompleks dengan konsekuensi bervariasi, seperti terjadinya
penerimaan atau penolakan, perasaan lega atau penyesalan. Pengungkapan status HIV
juga dikaitkan dengan dukungan sosial, semakin besar dukungan sosial yang didapat
oleh penderita HIV maka tingkat masalah yang berhubungan dengan psikologis seperti
stres dan depresi dapat diatasi (Maria dan Carol, 2015).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pemuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan melatih
kemampuan kelompok mengenai Asuhan Keparawatan HIV.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tentang defenisi HIV
b. Untuk mengetahui tentang etiologi HIV
c. Untuk mengetahui tentang perjalanan penyakit HIV
d. Untuk mengetahui tentang cara penularan HIV
e. Untuk mengetahui tentang klasifikasi HIV
f. Untuk mengetahui tentang WOC HIV
g. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis HIV
h. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang HIV
i. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan HIV
j. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan HIV
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV ?
2. Apa saja etiologi dari HIV ?
3. Bagaimana perjalanan penyakit HIV ?
4. Bagaimana cara penularan dari HIV ?
5. Bagaimana WOC HIV ?
6. Apa saja manifestasi klinis HIV ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang HIV ?
8. Apa saja penatalaksanaan HIV ?
9. Apa saja klasifikasi HIV ?
10. Apa saja asuhan keperawatan HIV ?
BAB II

TINJAUAN KONSEP

Bab ini menguraikan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome).

A. Konsep Dasar HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired


Immunodeficiency Syndrome)
1. Definisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah salah satu virus golongan RNA
(RiboNucleic Acid) yang terdiri dari satu benang tunggal. Virus HIV masuk
kedalam tubuh melalui aliran darah kemudian virus ini akan menginfeksi sel T
lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), kemudian sel yang telah
terinfeksi oleh virus HIV akan membentuk replika DNA mengunakan Enzim
transkriptase-balik (reverse-transcriptase). Enzim transkriptase-balik (reverse-
transcriptase) memungkinkan virus HIV mengubah informasi genetiknya beruba
RNA menjadi DNA (Deoxy Nucleid Acid). Virus ini dapat menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, jika tidak mendapatkan penangananan yang tepat,
maka virus HIV ini akan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) (Widoyono, 2011).
Selain itu AIDS juga didefinisikan sebagai kejadian penyakit yang disifatkan
oleh: (a) Suatu penyakit yang menunjukkan adanya gangguan immunoseluler,
misalnya sarkoma kaposi atau satu atau lebih penyakit opportunistik yang
didiagnosis dengan cara yang dapat dipercaya, (b) Tidak adanya sebab-sebab
immunodefisiensi seluler lainnya (kecuali infeksi HIV) (Gunawan, 1992).
2. Epidemologi HIV/AIDS
Epidemi HIV/AIDS saat ini telah melanda seluruh negara di dunia. Hingga
bulan Desember 2008, tercatat 33,4 juta ODHA (orang dengan HIV/AIDS)
tersebar di seluruh dunia, 48% diantaranya adalah wanita, dengan termasuk 2,7
juta kasus orang yang baru tertular HIV (UNAIDS, 2009). Di Indonesia, sampai
September 2009, data dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM-PL) Depkes RI melaporkan bahwa
tercatat jumlah kasus HIV/AIDS telah mencapai 18.442 kasus yang tersebar di 33
propinsi dengan presentase wanita 25,8%, dan dengan golongan usia terbanyak
yaitu usia 20-29 tahun (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010).

Epidemologi HIV/AIDS terus mengalami peningkatan yang sangat cepat,


sehingga HIV/AIDS menjadi masalah global dan salah satu masalah kesehatan
yang perlu mendapatkan perhatian serius di dunia kesehatan karena
penularannya yang tidak hanya melalui hubungan seksual, namun juga melalui
kontak cairan tubuh seperti, darah, air mani, dan jarum suntik. Orang yang
terinfeksi HIV akan mudah terserang berbagai penyakit (infeksi oportunitik) yang
dapat berakibat kematian. Pada saat ini HIV/AIDS telah melanda semua negara di
dunia terutama di negara berkembang. Pada tahun 2014 di dapat data sebanyak
35 juta penderita HIV dan di akhir tahun 2014 sebanyak 1,2 juta orang meninggal
karena AIDS. Berdasarkan United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
Global Statics (2015) menunjukkan penderita HIV telah mencapai 36,9 juta.
Beberapa negara berkembang yang mempunyai laju infeksi HIV tertinggi didunia
yaitu Cina, India, dan Indonesia (UNAIDS, 2015).
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki kontribusi
angka penderita HIV paling banyak di Indonesia. Dari tahun 2013 sampai dengan
2016 jumlah penderita HIV di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan yang
signifikan, tahun 2013 terdapat 3.391 penderita, tahun 2014 terdapat 4.508
penderita, tahun 2015 terdapat 4.155 penderita, dan pada tahun 2016 terdapat
6.513 penderita HIV (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2016).
Di Jawa Timur khususnya di Jombang penderita HIV/AIDS berada di
peringkat ke tiga setelah Surabaya dan Malang, mayoritas penderita HIV/AIDS di
Jombang yaitu tergolong usia produktif. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
(Dinkes) Kabupaten Jombang, pada Maret 2018 telah tercatat 1.299 penduduk
yang telah terjangkit HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS di Jombang hanya 600
penderita saja yang tergabung dalam JCC+ dan dari jumlah tersebut ditemukan
bahwa terdapat 24 penderita HIV/AIDS berusia anak-anak, dari 24 tersebut
penderita HIV/AIDS usia anak-anak ada 3 yang telah meninggal dunia (Dinkes
Kabupaten Jombang, 2017).
3. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab penyakit AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni
sejenis virus RNA yang tergolong retrovirus. Virus ini memiliki materi genetik
berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal yang identik dan suatu enzim
yang disebut reverse transcriptase. Virion HIV terdiri dari tiga bagian utama yaitu
envelope yang merupakan lapisan terluar, capsid yang meliputi isi virion dan core
yang merupakan isi virion. Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk
dari sel penjamu dan mengandung protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam
glikoprotein virus yang disebut gp41. Pada bagian luar protein ini terikat gp120.
Molekul gp120 ini akan berkaitan dengan reseptor CD4 pada saat menginfeksi
limfosit T4 atau sel lainnya yang mempunyai reseptor tersebut. Pada
elektroforesis, kompleks antara molekul gp41 dan gp120 akan membentuk pita
yang disebut gp160. Capsid berbentuk iko sahedral dan merupakan lapisan
protein yang dikenal sebagai p17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA
rantai tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase, endonuclease dan
protease, serta protein-protein struktural terutama p24 (Hoffmann, Rockstroh, &
Kamps, 2006).
Anatomi Virus HIV
Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4
mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga
kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda
gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV
dapat diperoleh dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan
cairan otak penderita AIDS (Price & Wilson, 2006).
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan sistem
kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500 sel per ml darah. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol) (Nursalam & Kurniawati, 2009).
Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk melawan
berbagai macam sumber infeksi. Di sekitar kita banyak sekali sumber infeksi yang
beredar, baik yang berada di udara, makanan ataupun minuman. Namun kita tidak
setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan baik untuk
melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen di sekitar
kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit
pada tubuh manusia (Nursalam & Kurniawati, 2009).
Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah selsel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi di
kelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
menginfeksi sel melalui pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian
virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut
dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel
lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan
sel yang terinfeksi (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006).
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang
membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen.
Sehingga keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4
helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin,
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius
(Price & Wilson, 2006).
4. Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2
minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan, di saat fase supresi imun
simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat di malam hari,
penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limpanodenopati,
penurunan kognitif, dan lesi oral (Price & Wilson, 2006).
Dan, di saat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi
AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat
gejala infeksi opportunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii
(PCC), pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain
termasuk meningitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, dan atipikal
(Price & Wilson, 2006).
Secara umum, gejala AIDS dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gejala Mayor
(umum terjadi) dan gejala Minor (tidak umum terjadi). WHO menetapkan
diagnosis AIDS dapat ditegakkan bila ditemui 2 gejala mayor dan 1 gejala minor
(Merati, 1999). Lebih lengkapnya gajala penyakit AIDS dapat dilihat dari tabel di
bawah ini:

Gejala-gejala klinis HIV dan AIDS (Widoyono, 2011):

a. Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun.


b. Window period selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi
HIV tetapi belum terdeteksi oleh pemerikasaan laboratorium.
c. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak
diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS.
d. Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti:
1. Diare kronis
2. Kandidiasis mulut yang luas
3. Pneumocystis carinii
4. Pneumonia interstisialis limfositik
5. Ensefalopati kronik.

Menurut WHO (2007) Seorang individu dapat dicurigai menderita HIV/AIDS jika
mempunyai tanda dan gelaja klinis sebagai berikut:
1. Keadaan Umum
a. Berat badan mengalami penurunan > 10 % dari berat badan dasar
b. Demam lebih dari satu bulan dimana temperatur oral >37,5 ⁰C
c. Diare berkepanjangan lebih dari satu bulan
d. Limfadenopati meluas
2. Epidermis (Kulit)
Kulit kering yang meluas dan Post Exposure Prophylaxis (PPP) adalah
dugaan kuat jika seorang individu mengalami infeksi HIV beberapa kelainan
lain seperti genital warts, folikulitis, dan psoriasis sering terjadi pada ODHA
tetapi tidak selalu terkait dengan HIV.
3. Infeksi
a. Infeksi jamur : Dermatitis seboroik, kandidiasis oral, kandidiasis vagina
berulang.
b. Infeksi viral : Herpes zoster, herpes genital berulang, kondiloma,
kottagiosum, moluskum.
c. Gangguan pernafasan : Sesak nafas, batuk lebih dari satu bulan,
tuberkulosis, pneumonia berulang, sinusitis kronik berulang.
d. Gejala neurologis : Nyeri kepala berkepanjangan dan tidak jelas
penyebabnya, menurunnya fungsi kognitif, kejang demam.
5. Perjalanan penyakit HIV/AIDS
Dalam tubuh penderita HIV/AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel
penderita, sehingga satu kali penderita terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, mula-mula sedikit saja yang
menjadi penderita AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal (Sudoyo,
dkk, 2007).
Sel tubuh manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah CD4 yaitu
limfosit dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
kuman penyakit. Bila jumlah dan fungsi CD4 berkurang, maka sistem kekebalan
orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah dimasuki dan diserang
oleh berbagai kuman penyakit. Segera sesudah terinfeksi HIV, jumlah limfosit CD4
akan berkurang sedikit demi sedikit (Djoerban, 2001).
Dengan menurunnya jumlah CD4, maka sistem imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya
fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-
tahun. Selama waktu ini, jumlah CD4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml
darah sebelum infeksi sampai mencapai sekitar 200-300 per ml darah. Sewaktu
sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur
opportunistik) muncul, jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit
baru akan menyebabkan virus berproliferasi (Zein, 2006).
Hitungan CD4 dalam waktu beberapa tahun akan semakin menurun dengan
laju penurunan yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam
keadaan AIDS. Dengan berlanjutnya infeksi pada fase akhir penyakit akan
ditemukan hitung sel CD4<200/mm3 yang biasanya terjadi infeksi opportunistik
yang parah, kanker seperti sarkoma kaposi, limfoma, dan karsinoma serviks, dan
dimensia AIDS (Zein, 2006).
Ada beberapa tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala
AIDS (Sudoyo, dkk, 2007):
1) Tahap 1: Periode Jendela
 HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi terhadap HIV
dalam darah (4-8 minggu setelah infeksi primer).
 Pada fase akut sering timbul gejala seperti flu (demam, sakit kepala, nyeri
otot, mual, keringat di malam hari) yang terjadi pada 2-4 minggu setelah
infeksi primer kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari
 Tes HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini
2) Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun
 HIV berkembang biak dalam tubuh
 Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa
sehat, serta dapat menularkan virus ke orang lain
 Tes HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah
terbentuk antibodi terhadap HIV
 Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan
tubuhnya (rata-rata 8 tahun; di negara berkembang lebih pendek)
3) Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
 Sistem kekebalan tubuh semakin turun
 Mulai muncul gejala kostitusi, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa lebih
dari satu tempat pada area tubuh, diare terus menerus, demam, dan
gejala-gejala minor
 Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan
tubuhnya

4) Tahap 4: AIDS
 Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
 Keadaan ini disertai berbagai penyakit, antara lain: penyakit konstitusional,
infeksi opportunistik, penyakit saraf, dan keganasan.
6. Cara Penularan Virus HIV/AIDS
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata,
dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata dan
keringat. Pria yang sudah disunat memiliki resiko HIV yang lebih kecil
dibandingkan dengan pria yang tidak disunat (Widoyono, 2011).
Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui (Widoyono, 2011):
a. Ibu hamil
b. Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI).
c. Angka transmisi mencapai 20-50%.
d. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.
e. Laporan lain menyatakan resiko penularan melalui ASI adalah 11-29%.
f. Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada dua
kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan
kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah
14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan
persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya
selama 6-15 bulan.

g. Jarum Suntik
1. Prevalensi 5-10%.
2. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat. Diantara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak
pidana) dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi
HIV, di Bogor 25%, dan di Bali 53%.
h. Transfusi Darah
1. Resiko penularan sebesar 90%.
2. Prevalensi 3-5%.
i. Hubungan Seksual
1. Prevalensi 70-80%.
2. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim.
3. Model penularan ini adalah yang tersering di dunia. Akhir-akhir ini dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan
kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan
digantikan oleh penularan melalui jalur penasun (Pengguna Narkoba
Suntik).
7. Klasifikasi HIV AIDS
Klasifikasi infeksi virus HIV didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring
memburuknya dan menurunnya sistem imun manusia. Pada tahun 1990, World
Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS
dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-
1.Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini
adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
a. Stadium I : Infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai
AIDS

b. Stadium II : Termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang


saluran pernapasan atas yang berulang

c. Stadium III : Termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama
lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

d. Stadium IV : Termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea,


bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah
indikator AIDS.

8. Pemeriksaan HIV
Ada beberapa jenis pemeriksaan serum anti HIV yang digunakan untuk
mendeteksi tubuh terinfeksi virus HIV (Gita dan awal, et.,al. 2016) sebagai berikut:
a. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tes ELISA adalah salah satu tes yang digunakan untuk mendeteksi
adanya virus HIV yang bersarang ditubuh. Tes ELISA dilakukan dengan
menggunakan sampel darah vena, air liur, dan urine. Hasil positif pada ELISA
belum bisa dijadikan patokan bahwa individu terinveksi HIV. Pemeriksaan
mengunakan ELISA mempunyai sensitifitas 93-98 % dan spesifitasnya 98-99
%., bisa disimpulkan bahwa pemeriksaan menggunakan ELISA dapat
menunjukkan hasil positif palsu, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang lebih
spesifik lagi yaitu menggunakan uji Western Blot (Price SA, Wilson LM, 2006).
b. Uji Western Blot (WB)
Tes Western Blot sama dengan Tes ELISA sama-sama mendeteksi
virus HIV dalam tubuh. Tes Western Blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA
karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga untuk
terjadinya hasil positif palsu sangat kecil. Walaupun lebih bagus dari ELISA
pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih. Tes Western Blot
digunakan untuk mendeteksi antibody HIV-1, alat ini mengandung virus HIV
yang sudah dilemahkan dengan psoralen dan sinar ultra violet. Protein virus
HIV-1 kemudian dikelompokkan sesuai berat molekulnya dengan
menggunakan elektroforesis pada larutan dodecysulfat, kemudian larutan
dicampur dengan serum yang akan diperiksa dan di simpan pada incubator,
setelah itu dilakukan penilaian terhadap skor reaksi berdasarkan intensitasnya.
Jika hasil menuntukkan tidak reaktif maka hasilnya adalah negative HIV (Price
SA, Wilson LM, 2006).
c. Tes Antibody HIV
Pemeriksaan CD4 merupakan tes baku untuk menilai prognosis dari HIV
menuju ke AIDS, yang mana diketahui jumlah CD4 pada orang sehat 800-1400
dalam setiap mililiter kubik darah dan pada orang yang telah terinveksi HIV
jumlah CD4 < 800 dalam setiap mililiter kubik darah. Dan digunakan untuk
pengambilan keputusan terapeutik mengenai pemberian terapi antiretroviral
(ARV)
9. Pencegahan HIV/AIDS
Dalam buku saku penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan IMS ada
beberapa cara pencegahan terhadap HIV/AIDS dan IMS antara lain sebagai
berikut:
1. Abstine
Jauhi seks. Menghindari dan tidak melakukan hubungan seks adalah cara
paling aman agar terhindar dari HIV/AIDS dan IMS. Bila terpaksa harus
melakukan hubungan seks, pilih kegiatan seksual yang aman seperti
masturbasi, meremas-remas, berciuman, dan berfantasi untuk memperoleh
kepuasan.
2. Setia pada satu pasangan
Jika tidak bisa menghindari hubungan sek, berlaku setia pada satu pasanagn
adalah cara yang baik. Masing-masing setia pada pasangan dan tidak
melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan.
3. Kondom
jika tidak bisa menghindari cara kedua, cobalah dengan mengunakan kondom.
Gunakan kondom setiap akan berhubungan seks dengan siapapun.
4. Hindari penggunaan narkoba suntik
Penggunaan jarum, alat suntik, tindik, dan alat tato secara bergantian, karena
penularan dari jarum akan memudahkan proses tertularnya HIV/AIDS.

5. Edukasi
Beri tahu keluarga, pasangan, rekan-rekan, masyarakat sekitar. Semakin
banyak orang lain mengetahui apa itu HIV/AIDS dan IMS maka, semakin
mudah untuk melakukan pencegahan penularan HIV/AIDS dan IMS.
10. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan
edukasi.
a) Pengobatan
Obat-obatan yang dapat digunakan pada penderita HIV antara lain:
1) Obat Retrovirus
1. Zidovudine (AZT)
Berfungsi sebagai terapi pertama anti retrovirus. Pemakaian obat ini dapat
menguntungkan diantaranya yaitu Dapat memperpanjang masa hidup (1-2
tahun), mengurangi frekuensi dan berat infeksi oportunistik, menunda
progresivitas penyakit, memperbaiki kualitas hidup pasien, mengurangi
resiko penularan perinatal, mengurangi kadar Ag p24 dalam serum dan
cairan spinal. Efek samping zidovudine adalah: sakit kepala, nausea,
anemia, neutropenia, malaise, fatique, agitasi, insomnia, muntah dan rasa
tidak enak diperut. Setelah pemakaian jangka panjang dapat timbul miopati.
Dosis yang se006Barang dipakai 200mg po tid, dan dosis diturunkan
menjadi 100mg po tid bila ada tanda-tanda toksik.
2. Didanosine ( ddl ), Videx
Merupakan terapi kedua untuk yang terapi intoleransi terhadap AZT, atau bisa
sebagai kombinasi dengan AZT bila ternyata ada kemungkinan respon
terhadap AZT menurun. Untuk menunda infeksi oportunistik respon
terhadap AZT menurun. Untuk menunda infeksi oportunistik pada ARC dan
asimtomatik hasilnya lebih baik daripada AZT. Efek samping: neuropati
perifer, pankreatitis (7%), nausea, diare.Dosis: 200mg po bid ( untuk BB
>60kg), 125mg po bid (untuk BB < 60kg) Mulanya hanya dipakai untuk
kombinasi denganAZT. Secara invitro merupakan obat yang paling kuat, tapi
efek samping terjadinya neuropati ( 17-31%) dan pankreatitis. Dosis :
0,75mg po tid.
2) Obat-obat untuk infeksi oportunistik
1. Pemberian profiklaktik untuk PCP dimulai bila cCD4, 250 mm/mm3.
Dengan kotrimokzasol dua kali/minggu. Dosis 2 tablet, atau dengan
aerosol pentamidine 300mg, dan dapsone atau fansidar.
2. Prokfilaksis untuk TBC dimulai bila PDD>=5mm, dan pasien anergik.
Dipakai INH 300mg po qd dengan vit.b6, atau rifampisin 600mg po qd bila
intolerans INH.
3. Profilaksis untuk MAI (mycobacterium avium intracelulare), bila CD4 ,
200/mm3, dengan frukanazol po q minggu, bila pernah menderita oral
kandidiasis, sebelumnya.
4. Belum direkomendasikan untuk profilaksis kandidiasis, karena cepat timbul
resistensi obat disamping biaya juga mahal.
3) Obat untuk kanker sekunder
Pada dasarnya sama dengan penanganan pada pasien non HIV. Untuk
Sakorma Kaposi, KS soliter:radiasi, dan untuk KS multipel:kemoterapi. Untuk
limfoma maligna: sesuai dengan penanganan limfoma paa pasien non HIV.
4) Pengobatan simtomatik supportif
Obat-obatan simtomatis dan terapi suportif sring harus diberikan pada
seseorang yang telah menderita ADIS, antara lain yang sering yaitu: analgetik,
tranquiller minor, vitamin, dan transfusi darah.
b) Rehabilitasi
Rehabilitas ditujukan pada pengidap atau pasien AIDS dan keluarga atau orang
terdekat, dengan melakukan konseling yang bertujuan untuk:
1. Memberikan dukungan mental-psikologis
2. Membantu merekab untuk bisa mengubah perilaku yang tidak berisiko tinggi
menjadi perilaku yang tidak berisiko atau kurang berisiko.
3. Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa
mempertahankan kondisi tubuh yang baik.
4. Membantu mereka untuk menemukan solusi permasalahan yang berkaitan
dengan penyakitnya, antara lain bagaimana mengutarakan masalah-masalah
pribadi dan sensitif kepada keluarga dan orang terdekat.
c) Edukasi
Edukasi pada masalah HIV/AIDS bertujuan untuk mendidik pasien dan
keluarganya tentang bagaimana menghadapi hidup bersama AIDS, kemungkinan
diskriminasi masyaratak sekitar, bagaimana tanggung jawab keluarga, teman
dekat atau masyarakat lain. Pendidikan juga diberikan tentang hidup sehat,
mengatur diet, menghindari kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan, antara
lain: rokok, minuman keras. Narkotik, dsb.

BAB III
PEMBAHASAN

Terdapat beberapa solusi dalam menangani kasus HIV yang semakin mendunia ini , yaitu
dengan terapi medis, maupun non medis. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :

A. Terapi Medis
1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2) Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian
dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan
keberhasilan terapi AIDS.
B. Terapi Non Medis
Melakukan konseling yang bertujuan untuk :
1) Memberikan dukungan mental-psikologis

2) Membantu merekab untuk bisa mengubah perilaku yang tidak berisiko tinggi
menjadi perilaku yang tidak berisiko atau kurang berisiko.

3) Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa


mempertahankan kondisi tubuh yang baik.

4) Membantu mereka untuk menemukan solusi permasalahan yang berkaitan


dengan penyakitnya, antara lain bagaimana mengutarakan masalah-
masalah pribadi dan sensitif kepada keluarga dan orang terdekat.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Acquired Immune Defiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang dapat disebabkan oleh Human Immuno Deficiency Virus (HIV). Virus dapat
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan vagina, cairan sperma,
cairan air susu ibu. Virus tersebut merusak system kekebalan tubuh manusia dengan
mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit
penyakit infeksi. Terdapat beberapa solusi dalam menangani kasus HIV yang semakin
mendunia ini , yaitu dengan terapi medis, maupun non medis, dan penderita HIV harus
mengkonsumsi ARV untuk mempertahankan kualitas hidupnya

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
wawasan pembaca. Selanjutnya kami pembuat makalah mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).


Jakarta : Rineka Cipta.
Centers For Disease Control and Prevention (2011) Centers for Disease Control and
Prevention (CDC). Vectors of Lymphatic Filariasis.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2011). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2014). Communicable Diseases & Environmental
Health (Statistik Kasus HIV-AIDS). Jakarta : Ditjen PP & PL Kemenkes RI.
Ditjen PP PL Kemenkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Jakarta : Kemenkes
RI ; 2016
Hapsari, Elyana. Et al. (2016) Hubungan tingkat depresi dengan kualitas hidup
pasien HIV/AIDS di RSUP. DR. Kariadi Semarang.
Handayani, Fitri., & Dewi, Fatwa sari T. (2017). Faktor yang mempengaruhi hidup
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Kupang. Journal of Community Medicine and
Public Health. 1049-1056.
Nursalam (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta ;
salemba Medika.
World Health Organization (WHO) (2007). WHO Case Definitions of HIV for
Surveillance and Revised Clinical Staging and Immunological Classification of HIV-
Related Disease in Adults and Children. Swiss: WHO.
Yuli, et al. (2018). The Effect of Depression, Stigma, and Peer Support Group, on the
Quality of Life of People Living with HIV/AIDS in Solo Plus Peer Support Group,
Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai