Anda di halaman 1dari 3

Industri era 4.0 kini sedang marak dan hangat untuk diperbincangkan.

Pasalnya, perubahan
tersebut terbilang sangat pesat, perubahan ini ditandai dengan berkembangnya penggunaan
internet dan segala bentuk otomatisasi bisnis pada masyarakat. Dapat diprediksikan apabila
masyarakat tidak dapat mengimbangi perubahan tersebut maka kinerja manusia dalam bidang
industry lambat laun akan tergantikan oleh mesin dengan tenaga buatan tersebut. Berdasarkan
data yang ada, diperkirakan pada 2030 sebanyak 400 juta sampai 800 juta orang harus mencari
pekerjaan baru karena digantikan oleh mesin termasuk Indonesia yang mana Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang P.S. Brodjonegoro, memercayai riset McKinsey
& Co. Menurut dia, memasuki revolusi industri 4.0 Indonesia akan kehilangan 50 juta peluang
kerja. Masyarakat perlu mengimbanginya dengan perubahan, dimulai dari perubahan pola pikir
untuk mengenal dan memahami Internet of Things (IoT) hingga perubahan autentik yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.

Perubahan pola pikir merupakan hal yang menarik untuk dibahas oleh penulis melihat keadaan
di Indonesia masih banyak masyarakat yang terbata-bata hanya untuk sekedar merubah pola
pikir tersebut. Hal tersebut tak lain dan tak bukan karena budaya yang sudah dianut dan
dipercaya oleh masyarakat itu sendiri. Wajar, semua hal pasti butuh proses dan proses
pengenalan industry otomatis ini harus dilakukan secara bertahap. Pola pikir yang tidak dapat
mengikuti perubahan tersebut secara bertahap akan menimbulkan rasa shock dan merasa
perubahan tersebut tidak lazim atau tidak sesuai dengan budaya yang mereka anut sehingga
dapat menimbulkan pro dan kontra antar masyarakat.

Bukan hanya sekedar faktor budaya, faktor lain yang sangat berpengaruh pada gagapnya
perubahan pola pikir masyarakat tersebut adalah berupa kesenjangan sosial antar masyarakat.
Masyarakat yang memiliki alat atau bahan yang mendukung untuk melakukan perubahan akan
sangat terbantu sedangkan masyarakat dengan keterbatasan alat atau bahan tersebut akan jauh
tertinggal tidak dapat mengikuti perubahan tersebut dan akan berujung pada bertambahnya
pengangguran yang ada di Indonesia.

Perubahan pola pikir tersebut juga tidak hanya terbatas pada pola pikir penggunaan Internet of
Thing, tapi juga pola pikir untuk menghadapi dan benar-benar mengerti bagaimana Internet of
Things tersebut bekerja. Internet of Things apabila disalahgunakan dapat berakibat fatal, salah
satu contoh kejadian dari penyalahgnaan IoT ini adalah beredarnya hoax atau berita palsu yang
sering terjadi, hal tersebut dapat menjadi sebuah pembodohan untuk masyarakat dan yang
lebih parahnya lagi dapat memecahbelah suatu bangsa.
Yang terpenting adalah kunci dari perkembangan tersebut adalah sumber daya alam yang
memiliki kompetensi untuk berinovasi dan berwirausaha agar mampu untuk mendorong
masyarakat supaya mampu untuk bertahan dalam mengatasi tantangan perkembangan zaman.
Merubah pola pikir agar memiliki keinginan membekali diri dengan inovasi dan kompetensi
merupakan sebuah perkara yang begitu sulit dan membutuhkan sinergitas antara seluruh
lembaga yang ada, selain itu juga diperlukan persiapan berupa sekolah dan pelatihan untuk
generasi muda untuk menghadapi dan mengasah inovasi dan kompetensi diri.

Kita harus mempersiapkan perubahan pola pikir mengenai teknologi industri di era depan yang
tentunya akan selalu berkembang menjadi lebih canggih dari waktu ke waktu. Hadirnya revolusi
industri generasi keempat menghadirkan konsekuensi berupa tantangan bersama juga dengan
peluangnya, namun tentu seperti apa yang telah dijelaskan diatas bahwa proses untuk
meningkatkan kompetensi sebuah inovasi tidak tentu memberikan dampak positif secara
langsung; pasti akan ada shock terlebih dulu, khususnya jika Pemerintah Indonesia belum siap
regulasi dengan sebuah perubahan dan antisipasinya.

Menanggapi hal tersebut, penulis mengharapkan selain adanya upaya pengenalan IoT sejak dini,
akan adanya edukasi terkait revolusi industry ini kepada masyarakat berupa penyuluhan dan
sosialisasi di lingkungan daerah yang sekiranya dianggap sedikit tertinggal dengan daerah lain.
Mengingat, perubahan revolusi industry ini merupakan revolusi yang berdampak baik dalam hal
efisiensi suatu proses bisnis selama hal tersebut digunakan sewajarnya dan semestinya.

Perguruan tinggi di Indonesia diharuskan untuk mampu mengantisipasi terkait semakin


pesatnya perkembangan teknologi yang terjadi dalam era revolusi industri 4.0. Kurikulum serta
metode pendidikan pun harus disesuaikan dengan iklim bisnis dan industri yang semakin
kompetitif dan terbawa arus perkembangan teknologi dan informasi. Mempersiapkan dan
memetakan angkatan kerja dari lulusan pendidikan dalam menghadapi revolusi industri 4.0
merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi di Indonesia

Dunia kerja pada era revolusi industri 4.0 adalah sebuah integrasi pemanfaatan internet dengan
lini produksi di dunia industri yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan juga informasi.
Karakteristik dan ciri dari revolusi industri 4.0 ini meliputi digitalisasi, optimalisasi dan
kustomisasi suatu produksi, otomasi dan adapsi, human machine interaction, value added
services and businesses, automatic data exchange and communication, dan penggunaan
teknologi internet.
Perguruan tinggi diwajibkan untuk peka dengan tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat,
karena dengan kepekaan tersebutlah perguruan tinggi mampu memberikan rekomendasi dan
juga solusi dalam menjawab segala permasalahan yang ada. Industri 4.0 merupakan perjalanan
di bidang inovasi dan teknologi. Namun, khusus di Indonesia, yang juga dipacu adalah
empowering human talents. Jadi, kunci kuncinya ada tiga, sumber daya manusia, teknologi dan
inovasi.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menjelaskan,
berdasarkan evaluasi awal tentang kesiapan negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0
Indonesia diperkirakan sebagai negara dengan potensi tinggi. Meski masih di bawah Singapura,
di tingkat Asia Tenggara posisi Indonesia cukup diperhitungkan. Sedangkan terkait dengan global
competitiveness index pada World Economic Forum 2017-2018, Indonesia menempati posisi ke-
36, naik lima peringkat dari tahun sebelumnya posisi ke-41 dari 137 negara. Indonesia
merupakan negara dengan sumber daya alam yang begitu melimpah, apabila sumberdaya alam
itu diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia yang kompeten dan inovatif, Indonesia
dapat menjadi lebih unggul dibanding dengan negara Asia Tenggara lainnya.

Anda mungkin juga menyukai