Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ST- ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)

A. DEFINISI STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA,
2013).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen
ST pada EKG.

B. FAKTOR RISIKO
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian
besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat
diubah.
1. Faktor yang tidak dapat dirubah:
a. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada
usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40
dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat
(Kumar, et al., 2007).
b. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis
meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.
c. Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah:
a. Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2007). Efek rokok adalah
menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat
menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin
banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya
lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat
meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan
hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi
proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.
b. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180
mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi
240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar
kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap
penyakit ini.
c. Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar
50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif,
dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al.,
2007). Mekanisme hipertensi berakibat IHD:
 Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung
dari berat dan lamanya hipertensi.
 Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal
ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard
infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding
orang normal.
d. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua
kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.
Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita
diabetes mellitus.
e. Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f. Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

C. ETIOLOGI
Penyebab infark miokard secara umum, antara lain:
1. Thrombus dan/atau embolus yang menyebabkan aterosklerosis dan aklusis
di arteri coroner
2. Vasospasme (vasokonstriksi atau penyempitan mendadak) pada arteri
coroner
3. Penurunan suplai oksigen (tekanan darah rendah, kehilangan darah yang
akut atau anmeia).
4. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
5. Penyempitan aterorosklerotik
6. Plak aterosklerotik
7. Lambatnya aliran darah di daerah plak atau oleh viserasi plak
8. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
9. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
10. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot

D. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak
koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis
dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang
poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor,
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen,
dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin
menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan utama klasik
Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20
menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada
STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi
pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa
dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke
daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen,
punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan
kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007).
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.
Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam
waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal. Dari auskultasi
prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan
paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat
Pectoris istirahat/ aktivitas ringan Inversi gelombang T
Stabil (ICS III-IV). Hilang Tidak ada gelombang Q
dengan nitrat
NSTEMI Lebih berat dan lama (> Depresi segmen ST Meningkat
20 menit). Tidak hilang Inversi Gelombang T minimal 2 kali
dengan nitrat, perlu dalam nilai batas atas
opium normal
STEMI Lebih berat dan lama (> Elevasi segmen ST Meningkat
20 menit). Tidak hilang inversi gelombang T minimal 2 kali
dengan nitrat, perlu nilai batas atas
opium normal

2. Respiratory
a. Nafas yang memendek, dispnea, takipnea
b. Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary
c. Dapat pula disertai edema paru
3. Gastrointestinal
Mual dan muntah
4. Urinary
Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik
5. Integumen
Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena stimulus
dari kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan adanya shock
kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya kontaktilitas.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI
dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging,
dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi
segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil
berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi
dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan
3 Anterolateral
aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan
4 Lateral
inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan
5 Inferolateral
V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-
7 Inferoseptal
V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di
8 True posterior
V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
9 RV Infraction Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

2. Serum Cardiac Biomarker


Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan
protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat
molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat
dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk
membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut
beredar bersama sirkulasi.
a. Cardiac Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan
jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI),
troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform
TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada
perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform
TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan
immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin. Troponin
bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin
menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip
dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi
selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif,
kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien
dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan
tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS.
b. Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan
digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level
cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas
normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang
lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka.
Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul
pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati. CK-MB
pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24
jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun
sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse
cardiac event dan tidak mempunyai nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x
100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive
peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten
dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot
jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-
MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB
untuk MI. Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien
hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh
sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan
otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis),
sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh
didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif
dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada
batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK
dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan.
d. Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI.
Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan
jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang
cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya
infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah
24-36 jam. Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya
adalah kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-
40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan
penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai
prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi
diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin
menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan
pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI
dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun.
e. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-
MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh
miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform
CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB
dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-
MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1
lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan
dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya >1,7. Pelepasan
isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada
2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker
awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya
adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66%
untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini
adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.
f. C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara
langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai
pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat
menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi primer maupun
sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung
pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai
indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP
memprediksi kematian jantung dan AMI.
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart
Association (AHA):
 Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L
untuk perempuan.
 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali Nilai Rujukan


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL
Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark

3. Cardiac Imaging
a. Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak terdapat
ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal akanada atau
tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography
dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien
harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk
fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi
penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan
inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark
pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga
dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua
komplikasi STEMI.
b. High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution
cardiac MRI.
c. Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut
thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri
normal.
 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.
4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah
onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali
mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat
secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak
selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2
minggu.

G. PENATALAKSANAAN
Menurut American Heart Ascossiation, 2013
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA (Smeltzer, 2001)
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi
dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit
bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
 JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30
menit sejak EMS tiba.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital
door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai
indikasi fibrinolitik.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-
balloon time harus dalam waktu 90 menit.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.
Tatalaksana STEMI
1. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI.

Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT
intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi
atau edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan
hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung.
4. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin
adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan
arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5
mgIV.
5. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
6. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta
IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasadiberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval
PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
7. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat
dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui
penggunaan obat trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal
coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous
cardiac intervention). PCI (Percutaneous Cardiac Intervention) primer:
metode reperfusi yang direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang
tepat waktu oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan
STEMI dan gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan
untuk membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi
pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya dilakukan dengan
menggunakan balon/ stent/ ring.

Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI


Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain:
a. Waktu onset gejala
 Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor
penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis
dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu.
Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama
dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
secara dramatis menurunkan angka kematian.
 Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark
menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien
yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada
pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI
dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
 The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of
the European Society of Cardiology dan ACC/AHA
merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-
balloon time dalam waktu 90 menit.
b. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam
menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas
dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan
kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
c. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin
tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.
d. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah
PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI,
penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.
Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau
strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju
infark miokard non fatal berkurang.

H. KOMPLIKASI
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru
dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai
kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel
dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi
koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan
hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil
oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku
dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya
terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam
atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde
dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan
aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena
pulmonalis.
8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan
massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung,
sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan
mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik
dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar
yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus
mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan
menimbulkan reaksi peradangan.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS ST- ELEVATION


INFARK MIOCARD (STEMI)
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
a. Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret
2) Wheezing atau krekles
b. Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
3) Ronchi, krekles
4) Ekspansi dada tidak penuh
5) Penggunaan otot bantu nafas
c. Circulation
1) Nadi lemah , tidak teratur
2) Takikard
3) TD meningkat / menurun
4) Edema
5) Gelisah
6) Akral dingin
7) Kulit pucat, sianosis
8) Output urine menurun
Pengkajian Sekunder
a. Aktifitas
1) Gejala :
 Kelemahan
 Kelelahan
 Tidak dapat tidur
 Pola hidup menetap
 Jadwal olah raga tidak teratur
2) Tanda :
 Takikardi
 Dispnea pada istirahat atau aaktifitas.
b. Sirkulasi
1) Gejala :
 riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah,
 diabetes mellitus.
2) Tanda :
 Tekanan darah
 Dapat normal / naik / turun
 Perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri.
 Nadi
Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
 Bunyi jantung
Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel.
 Murmur
Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung
 Friksi ; dicurigai Perikarditis
Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
 Edema
Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum,
 krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
 Warna
Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir

c. Integritas ego
1) Gejala :
menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan
ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir
tentang keuangan , kerja , keluarga.
2) Tanda :
menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.
d. Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
e. Makanan atau cairan
1) Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar
2) Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan
f. Higiene
Gejala atau tanda : lesulitan melakukan tugas perawatan
g. Neurosensori
1) Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau
istrahat )
2) Tanda : perubahan mental, kelemahan
h. Nyeri atau ketidaknyamanan
1) Gejala :
Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan
dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin
(meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
Lokasi :
Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar ke
tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium,
siku, rahang, abdomen, punggung, leher.
Kualitas :
“Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan.
Intensitas :
Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling
buruk yang pernah dialami.
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes
mellitus , hipertensi, lansia
i. Pernafasan:
1) Gejala :
 dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat
 dispnea nocturnal
 batuk dengan atau tanpa produksi sputum
 riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
2) Tanda :
 peningkatan frekuensi pernafasan
 nafas sesak / kuat
 pucat, sianosis
 bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
j. Interaksi sosial
1) Gejala :
 Stress
 Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal : penyakit,
perawatan di RS
2) Tanda :
 Kesulitan istirahat dengan tenang
 Respon terlalu emosi ( marah terus-menerus, takut )
 Menarik diri

2. Pathways Keperawatan

Aterosklerosis, thrombosis, kontraksi arteri koronaria

Penurunan aliran darah kejantung

Kekurangan oksigen dan nutrisi

Gangguan
pertukaran Timbunan asam Iskemik pada jaringan miokard
Intoleransi
gas laktat
aktifitas
meningkat
Metabolism
Kelemaha
Suplay
anaerob
danSuplay
kebutuhan
oksigen
Kecemasan
Nyeri
oksigen
Nekrosi
ke Miokard
kejantung
menurun
tidak seimbang
Resiko
Seluler hipoksia penurunan
curah
3. jantung
4.
Integritas membrane sel berubah
5.

Kontraktilitas turun

COP turun Kegagalann pompa


jantung

Gangguan perfusi
jaringan Gagal jantung

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN Resiko kelebihan volume


cairan ekstravaskuler
a. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan dengan gangguan aliran
darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran
alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas/ alveolar edema
paru/efusi, sekresi berlebihan/perdarahan aktif )
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-
faktor listrik, penurunan karakteristik miokard.
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan
otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri
koronaria
d. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan
arteri
e. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrosis
jaringan miokard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan
darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia, kelemahan umum tekanan
hidrostatik, penurunan protein plasma.
g. Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1 Gangguan Pertukaran gas Tujuan : Intervensi :
berhubungan dengan Oksigenasi dengan AGD  Catat frekuensi & kedalaman pernafasan,
gangguan aliran darah ke Dalam rentang normal (PaO2 < 80 penggunaan otot bantu pernafasan
alveoli atau kegagalan mmHg, Pa CO2 > 45 mmHg dan  Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak
utama paru, perubahan Saturasi < 80mmHg ) setelah adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan
membran alveolar- kapiler dilakukan tindakan keperawatan missal krakles, ronki dll.
( atelektasis , kolaps jalan selama di RS.  Lakukan tindakan untuk memperbaiki /
nafas/ alveolar edema Kriteria hasil : mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk,
paru/efusi, sekresi · Tidak sesak nafas penghisapan lendir dll.
berlebihan / perdarahan · Tidak gelisah  Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan /
aktif ) ditandai dengan : · GDA dalam batas Normal toleransi pasien
· Dispnea berat ( Pa O2 < 80 mmHg, Pa  Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/
· Gelisah CO2 > 45 mmHg dan Saturasi kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah.
· Sianosis < 80 mmHg )
· Perubahan GDA
· Hipoksemia
2 Resiko penurunan curah Tujuan : Curah jantung membaik / Intervensi :
jantung berhubungan stabil setelah dilakukan tindakan  Pertahankan tirah baring selama fase akut
dengan perubahan factor- keperawatan selama di RS.  Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan
faktor listrik, penurunan Kriteria Hasil : COP, TD
karakteristik miokard. · Tidak ada edema  Monitor haluaran urin
· Tidak ada disritmia  Kaji dan pantau TTV tiap jam
· Haluaran urin normal  Kaji dan pantau EKG tiap hari
· TTV dalam batas normal  Berikan oksigen sesuai kebutuhan
 Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai
indikasi
 Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai
advis
 Berikan makanan sesuai diitnya
 Hindari valsava manuver, mengejan (gunakan laxan)
3 Gangguan perfusi jaringan Tujuan : Intervensi :
berhubungan dengan , Gangguan perfusi jaringan berkurang · Monitor Frekuensi dan
iskemik, kerusakan otot / tidak meluas selama dilakukan irama jantung
jantung, penyempitan / tindakan perawatan di RS. · Observasi perubahan status
penyumbatan pembuluh Kriteria Hasil: mental
darah arteri koronaria - Daerah perifer hangat  Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
ditandai dengan : - Tidak sianosis  Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
- Daerah perifer dingin - Gambaran EKG tak menunjukan  Kolaborasi : berikan cairan IV sesuai indikasi
- EKG elevasi segmen perluasan infark  Pantau pemeriksaan diagnostik / dan laboratorium
ST & Q patologis pada - RR 16-24 x/ menit misal EKG, elektrolit , AGD (Pa O2, Pa CO2 dan
lead tertentu - Tidak terdapat clubbing finger saturasi O2 ). Dan pemberian oksigen
- RR lebih dari 24 x/ - Kapiler refill 3-5 detik
menit - Nadi 60-100x / menit
- Kapiler refill lebih dari - TD 120/80 mmHg
3 detik
- Nyeri dada
- Gambaran foto torak
terdpat pembesaran
jantung & kongestif
paru ( tidak selalu )
- HR lebih dari 100
x/menit, TD > 120/80
- AGD dengan : pa O2 <
80 mmHg, pa CO2 >
45 mmHg dan Saturasi
< 80 mmHg
- Nadi lebih dari 100 x/
menit
- Terjadi peningkatan
enzim jantung yaitu
CK, AST, LDL/HDL
4 Nyeri berhubungan dengan Tujuan : Intervensi :
iskemia jaringan sekunder Nyeri berkurang setelah dilakukan  Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan
terhadap sumbatan arteri tindakan perawatan selama di RS rasa nyeri dada.
ditandai dengan : Kriteria Hasil:  Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama
- nyeri dada dengan / - Nyeri dada berkurang misalnya ada serangan dan istirahat.
tanpa penyebaran dari skala 3 ke 2, atau dari 2 ke 1  Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, misalnya
- wajah meringis - ekpresi wajah rileks / tenang, tak nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi, atau
- gelisah tegang bimbingan imajinasi.
- delirium - tidak gelisah  Pertahankan oksigenasi dengan bikanul contohnya
- perubahan nadi, - nadi 60-100 x / menit, (2-4 L/ menit )
tekanan darah. - TD 120/ 80 mmHg  Monitor tanda-tanda vital ( nadi & tekanan darah )
tiap dua jam.
 Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian
analgetik.
5 Resiko kelebihan volume Tujuan : Intervensi :
cairan ekstravaskuler Keseimbangan volume cairan dapat  Ukur masukan / haluaran, catat penurunan ,
berhubungan dengan dipertahankan selama dilakukan pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan
penurunan perfusi ginjal, tindakan keperawatan di RS cairan
peningkatan natrium / Kriteria Hasil :  Observasi adanya oedema dependen
retensi air , peningkatan - Tekanan darah dalam batas normal  Timbang BB tiap hari
tekanan hidrostatik, - Tak ada distensi vena perifer/ vena  Pertahankan masukan total cairan 2000 ml/24 jam
penurunan protein plasma. dan edema dependen dalam toleransi kardiovaskuler
- Paru bersih  Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan
- Berat badan ideal ( BB ideal TB diuretik.
-100 - 10 %)
6 Intoleransi aktifitas Tujuan : Intervensi :
berhubungan dengan Terjadi peningkatan toleransi pada  Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD
ketidakseimbangan antara klien setelah dilaksanakan tindakan selama dan sesudah aktifitas
suplai oksigen miokard keperawatan selama di RS  Tingkatkan istirahat ( di tempat tidur )
dan kebutuhan, adanya Kriteria Hasil :  Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas
iskemik/ nekrosis jaringan - Klien berpartisipasi dalam sensori yang tidak berat.
miokard ditandai dengan aktifitas sesuai kemampuan klien  Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat
gangguan frekuensi - Frekuensi jantung 60-100 x/ aktifitas, contoh bengun dari kursi bila tidak ada
jantung, tekanan darah menit nyeri, ambulasi dan istirahat selam 1 jam setelah
dalam aktifitas, terjadinya - TD 120-80 mmHg mkan.
disritmia, kelemahan  Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak
umum toleran terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan
pada dokter.
7 Cemas berhubungan Tujuan : Intervensi :
dengan ancaman actual Cemas hilang / berkurang setelah  Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal
terhadap integritas biologis dilakukan tindakan keperawatan terhadap ansietas
selama di RS  Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
Kriteria Hasil :  Ajarkan tehnik relaksasi
· Klien tampak rileks  Minimalkan rangsang yang membuat stress
· Klien dapat beristirahat  Diskusikan dan orientasikan klien dengan
· TTV dalam batas normal lingkungan dan peralatan
 Berikan sentuhan pada klien dan ajak kllien
berbincangbincang dengan suasana tenang
 Berikan support mental
 Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial


Infarction : A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2013.
Djohan, Anwar Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department.
Available at. http://emedicine.medscape.com/article/811905-overview .
DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.
http://www.surgeryencyclopedia.com/A-Ce/Cardiac-Marker-Tests.html

Anda mungkin juga menyukai