Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di
bawah direktur pelayanan), dengan staf khusus dan perlengkapan khusus yang ditujukan
untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit dan cedera yang
mengancam nyawa atau berpotensi mengancam nyawa dengan prognosis yang tidak tentu.
Ruang ICU merupakan ruang perawatan bagi pasien sakit kritis yang memerlukan intervensi
segera untuk pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan memerlukan
pengawasan yang konstan secara kontinyu juga dengan tindakan segera (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Ruang ICU merupakan ruang perawatan untuk pasien kritis terutama pasien yang
mengalami gagal nafas. Pasien yang mengalami gagal nafas dilakukan pemasangan
endotrakeal tube dan ventilator mekanik. Tindakan pemasangan endotrakeal tube dan
pemasangan ventilator mekanik menyebabkan cedera pada laring dan menyebabkan rasa nyeri
(Sheen, 2009).
International for study of pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai situasi yang tidak
menyenangkan yang bersumber dari area tertentu, yang tergantung atau tidak tergantung pada
kerusakan jaringan dan yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu dari orang yang
bersangkutan (Demir, 2012 dalam Hidayat et all, 2013). Banyak upaya dan standar untuk
mengatasi nyeri, tetapi nyeri tetap menjadi penyebab utama pada pasien yang di rawat di
ruang ICU (Rotondi, 2002).
Pada penatalaksanaan nyeri ada tindakan farmakologis dan non farmakologis. Salah satu
tindakan non farmakologis yang dapat diberikan untuk mengurangi nyeri pasien yaitu terapi
relaksasi, seperti : distraksi, guided imagery, dan relaksasi progresif. Namun dewasa ini telah
dilakukan berbagai penelitian dalam bidang kedokteran.
Seperti penelitian oleh Ahmad Al Qadhi tentang pengaruh Al-Qur’an bagi organ tubuh.
Ahmad Al Qadhi, melalui penelitiannya di klinik besar Florida Amerika Serikat, berhasil
membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, seorang muslim,

1
baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang
sangat besar. Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal
berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang
menjadi objek penelitian. Dari hasil uji cobanya berkesimpulan, bacaan Al-Qur’an
berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan
penyakit. Ketenangan jiwa ini menimbulkan relaksasi bagi tubuh. Relaksasi ini
mempengaruhi terbentuknya gelombang tetha pada otak dimana frekuensinya 5-8 Hz.
Gelombang ini mampu mempengaruhi produksi hormone endorfinyang menghambat aktifitas
trigger cell. Ketika aktifitas trigger cell di hambat, gerbang pada substansi Galatinosa
menutup dan impuls nyeri berkurang atau sedikit di transmisikan ke otak (Parwanto, (2008),
Anwar, (2010), Alkaheel, (2011) dalam Taufik et al (2013).
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian dan jurnal terkait penulis bermaksud melakukan
aplikasi Auditori Murrotal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) dengan harapan aplikasi keperawatan
yang dilakukan oleh penulis dapat memberikan penurunan nyeri pasien kritis di ruang
Intensive Care Unit Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat diambil sebagai rumusan masalahanya sebagai
berikut :
Bagaimana pengaruh Perangsangan Auditori Murottal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) terhadap
Nyeri pada Pasien yang terpasang Ventilator Mekanik pada pasien di ruang Intensive Care
Unit RS. Roemani Muhammadiyah Semarang
C. Tujuan
1. Tujuan Inruksional Umum
Mahasiswa mampu melakukan atau mengaplikasikan Auditori Murrotal (Ayat-Ayat Suci
Al-Qur’an) terhadap Nyeri pada Pasien yang terpasang Ventilator Mekanik pada pasien di
ruang Intensive Care Unit RS. Roemani Muhammadiyah Semarang
2. Tujuan Intruksional Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui konsep terapi murottal (Ayat-ayat suci Al Qur’an)
b. Mahasiswa mampu mengetahui konsep ventilator mekanik
c. Mahasiswa mampu mengetahui konsep nyeri
d. Mahasiswa mampu mengetahui konsep congestive hearth failure (CHF)

2
D. Metode Penulisan
Pada metode penulisan makalah ini penulis mengumpulkan referensi yang relevan dari
perpustakaan, dan mencari referensi yang relevan dari internet.

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika yang terdiri dari poin-poin yang penting, diantaranya
yaitu;
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Konsep Dasar
BAB III : Telaah Jurnal Terkait
BAB IV : Resume Asuhan Keperawatan
BAB V : Aplikasi Jurnal Evidence Based Nursing Practice
BAB VI : Hasil dan Pembahasan
BAB VII : Penutup

3
BAB II
KONSEP DASAR

A. TERAPI MUROTTAL AL QUR’AN


1. Pengertian
Hadi, Wahyuni dan Purwaningsih dalam Zahrofi (2013) menjelaskan terapi murotal Al
Quran adalah terapi bacaan Al Quran yang merupakan terapi religi dimana seseorang
dibacakan ayat-ayat Al Quran selama beberapa menit atau jam sehingga memberikan
dampak positif bagi tubuh seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
(Fitriyatun Iis, 2014) dan (Handayani dkk, 2014) mengenai terapi murotal Al Quran,
diperoleh rentang waktu pemberian terapi murotal Al Quran dilakukan selama 11-15 menit
2. Manfaat terapi murottal Al Qur’an
Manfaat terapi murotal Al Quran dibuktikan dalam berbagai penelitian. Manfaat
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Menurunkan kecemasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Zahrofi, dkk 2013) dan (Zanzabiela dan
Alphianti, 2014) menunjukkan bahwa pemberian pengaruh terapi murotal Al Quran
memiliki pengaruh terhadap tingkat kecemasan responden. Pada penelitian tersebut
responden yang diberikan terapi murotal Al Quran memiliki tingkat kecemasan yang
lebih rendah daripada pasien yang tidak diberikan terapi.
b. Menurunkan perilaku kekerasan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Widhowati SS, 2010) ini menunjukkan bahwa
penambahan terapi audio dengan murottal surah Ar Rahman pada kelompok perlakuan
lebih efektif dalam menurunkan perilaku kekerasan dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak mendapatkan terapi audio tersebut.
c. Mengurangi tingkat nyeri
Terapi murotal Al Quran terbukti dapat menurunkan tingkat nyeri. Hal ini berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2013) dan (Handayani dkk, 2014)
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi murotal Al Quran terhadap
tingkat nyeri. Pada kedua penelitian tersebut kelompok yang diberikan terapi murotal

4
Al Quran memiliki tingkat nyeri yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak
diberikan terapi murotal Al Quran.
d. Meningkatkan kualitas hidup
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dkk (2012) menunjukkan perbedaan
yang bermakna antara kualitas hidup responden sebelum dan sesudah diberikan
intervensi bacaan Al Quran secara murotal pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi. Pada kelompok intervensi, kualitas hidup responden meningkat setelah
diberikan terapi murotal Al Quran.
e. Efektif dalam perkembangan kognitif anak autis
Penelitian yang dilakkan oleh (Hady dkk, 2012) menyebutkan bahwa terapi music
murotal mempunyai pengaruh yang jauh lebih baik dariapada terapi musik klasik
terhadap perkembangan kognitif anak autis.

B. VENTILATOR
1. Pengertian
Ventilasi mekanik adalah proses penggunaan suatu peralatan untuk memfasilitasi transpor
oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk tujuan meningkatkan
pertukaran gas paru-paru (Urden, Stacy, Lough, 2010). Ventilator merupakan alat
pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen untuk periode waktu yang lama (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008)
2. Indikasi ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diindikasikan untuk alasan fisiologis dan klinis (Urden, Stacy, Lough,
2010). Ventilasi mekanik diindikasikan ketika modalitas manajemen noninvasif gagal
untuk memberikan bantuan oksigenasi dan/atau ventilasi yang adekuat. Keputusan untuk
memulai ventilasi mekanik berdasarkan pada kemampuan pasien memenuhi kebutuhan
oksigenasi dan/atau ventilasinya. Ketidakmampuan pasien untuk secara klinis
mempertahankan CO2 dan status asam-basa pada tingkat yang dapat diterima yang
menunjukkan terjadinya kegagalan pernafasan dan haltersebut merupakan indikasi yang
umum untuk intervensi ventilasi mekanik (Chulay & Burns, 2006).

5
3. Tujuan ventilasi mekanik
Tujuan ventilasi mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar yang tepat
untuk kebutuhan metabolik pasien dan untuk memperbaiki hipoksemia dan
memaksimalkan transpor oksigen (Hudak & Gallo, 2010). Bila fungsi paru untuk
melaksanakan pembebasan CO2 atau pengambilan O2 dari atmosfir tidak cukup, maka
dapat dipertimbangkan pemakaian ventilator (Rab, 2007). Tujuan fisiologis meliputi
membantu pertukaran gas kardio-pulmonal (ventilasi alveolar dan oksigenasi arteri),
meningkatkan volume paru-paru (inflasi paru akhir ekspirasi dan kapasitas residu
fungsional), dan mengurangi kerja pernafasan. Tujuan klinis meliputi mengatasi
hipoksemia dan asidosis respiratori akut, mengurangi distress pernafasan, mencegah atau
mengatasi atelektasis dan kelelahan otot pernafasan, memberikan sedasi dan blokade
neuromuskular, menurunkan konsumsi oksigen, mengurangi tekanan intrakranial, dan
menstabilkan dinding dada (Urden, Stacy, Lough, 2010).
4. Jenis-jenis ventilasi mekanik
a. Ventilator tekanan negatif
Ventilator tekanan negatif pada awalnya diketahui sebagai “paru-paru besi”. Tubuh
pasien diambil alih oleh silinder besi dan tekanan negatif didapat untuk memperbesar
rongga toraks. Saat ini, ventilasi tekanan negatif jangka-pendek intermiten (VTNI) telah
digunakan pada penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) untuk memperbaiki gagal
nafas hiperkapnik berat dengan memperbaiki fungsi diafragma (Hudak & Gallo, 2010).
Ventilator ini kebanyakan digunakan pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan
kondisi neuromuskular seperti poliomielitis, muscular dystrophy, amyotrophic lateral
sclerosis, dan miastenia gravis (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Ventilator tekanan negatif menggunakan tekanan negatif pada dada luar. Penurunan
tekanan intrathorak selama inspirasi menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru.
Secara fisiologis, tipe assisted ventilator ini sama dengan ventilasi spontan. Ventilator
tekanan negatif mudah digunakan dan tidak memerlukan intubasi jalan nafas (Smeltzer,
Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Ventilator ini dapat digerakkan dan dipasang seperti
rumah kura-kura, bentuk kubah diatas dada dengan menghubungkan kubah ke generator
tekanan negatif. Rongga toraks secara harfiah “menghisap” untuk mengawali inspirasi

6
yang disusun secara manual dengan “trigger”. Ventilator tekanan negative
menguntungkan karena ia bekerja seperti pernafasan normal. Namun, alat ini digunakan
terbatas karena keterbatasannya pada posisi dan gerakan seperti juga rumah kura-kura
(Hudak & Gallo, 2010).
b. Ventilator tekanan positif
1) Ventilator pressure-cycled
bekerja pada prinsip dasar bahwa bila tekanan praset dicapai, inspirasi diakhiri
(Hudak & Gallo, 2010; Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle,
Cheever, 2008). Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekshalasi terjadi
dengan pasif. Ini berarti bahwa bila komplain atau tahanan paru pasien terhadap
perubahan aliran, volume udara yang diberikan berubah (Hudak & Gallo, 2010).
Secara klinis saat paru pasien menjadi lebih kaku (kurang komplain) volume udara
yang diberikan ke pasien menurun-kadang secara drastis (Hudak & Gallo, 2010).
Volume udara atau oksigen bisa bervariasi karena dipengaruhi resistansi jalan nafas
dan perubahan komplain paru, sehingga volume tidal yang dihantarkan tidak
konsisten (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Perawat harus sering memonitor
tekanan inspirasi, kecepatan, dan volume tidal (VT) ekshalasi untuk meyakinkan
ventilasi menit yang adekuat dan untuk mendeteksi berbagai perubahan pada
komplain dan tahanan paru. Pada pasien yang status parunya tak stabil, penggunaan
ventilator tekanan tidak dianjurkan. Namun pada pasien komplain parunya sangat
stabil, ventilator tekanan adekuat dan dapat digunakan sebagai alat penyapihan pada
pasien terpilih (Hudak & Gallo, 2010).
2) Time-Cycled
Ventilator time-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila pada waktu praset
selesai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008). Waktu ekspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah nafas
per menit). Normal rasio I:E (inspirasi:ekspirasi) 1:2 (Hudak & Gallo, 2010).
Kebanyakan ventilator memiliki suatu kontrol kecepatan yang menentukan kecepatan
respirasi, tetapi siklus waktu yang murni jarang digunakan pada pasien dewasa.
Ventilator tersebut digunakan pada bayi baru lahir dan infant (Smeltzer, Bare,
Hinkle, Cheever, 2008).

7
3) Volume-Cycled.
Ventilator volume yang paling sering digunakan pada unit kritis saat ini (Hudak &
Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Prinsip dasar ventilator ini
adalah bila volume udara yang ditujukan diberikan pada pasien, inspirasi diakhiri. Ini
mendorong volume sebelum penetapan (VT) ke paru pasien pada kecepatan
pengesetan. Keuntungan ventilator volume adalah perubahan pada komplain paru
pasien, memberikan VT konsisten (Hudak & Gallo, 2010). Volume udara yang
dihantarkan oleh ventilator dari satu pernafasan ke pernafasan berikutnya relatif
konstan, sehingga pernafasan adekuat walaupun tekanan jalan nafas bervariasi
(Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008)
5. Mode-mode ventilasi mekanik
a. Control mode ventilation
Ventilasi mode control menjamin bahwa pasien menerima suatu antisipasi jumlah dan
volume pernafasan setiap menit (Chulay & Burns, 2006). Pada mode control,
ventilator mengontrol pasien. Pernafasan diberikan ke pasien pada frekuensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar atau paralise, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidaknyamanan (Hudak & Gallo, 2010). Biasanya pasien tersedasi
berat dan/atau mengalami paralisis dengan blocking agents neuromuskuler untuk
mencapai tujuan (Chulay & Burns, 2006). Indikasi untuk pemakaian ventilator meliputi
pasien dengan apnea, intoksikasi obat-obatan, trauma medula spinalis, disfungsi
susunan saraf pusat, frail chest, paralisa karena obatobatan, penyakit neuromuskular
(Rab, 2007).
b. Assist Mode
Pada mode assist, hanya picuan pernafasan oleh pasien diberikan pada VT yang telah
diatur. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak
mampu untuk memicu pernafasan, udara tak diberikan (Hudak & Gallo, 2010).
Kesulitannya buruknya faktor pendukung “lack of back-up” bila pasien menjadi apnea
model ini kemudian dirubah menjadi assit/control, A/C (Rab, 2007)

8
c. Model ACV (Assist Control Ventilation)
Assist control ventilation merupakan gabungan assist dan control mode yang dapat
mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila pasien gagal untuk inspirasi
maka ventilator akan secara otomatik mengambil alih (control mode) dan mempreset
kepada volume tidal (Rab, 2007). Ini menjamin bahwa pasien tidak pernah berhenti
bernafas selama terpasang ventilator. Pada mode assist control, semua pernafasan-
apakah dipicu oleh pasien atau diberikan pada frekuensi yang ditentukan-pada VT yang
sama (Hudak & Gallo, 2010).
Assist control ventilation sering digunakan saat awal pasien diintubasi (karena menit
ventilasi yang diperlukan bisa ditentukan oleh pasien), untuk dukungan ventilasi jangka
pendek misalnya setelah anastesi, dan sebagai dukungan ventilasi ketika dukungan
ventilasi tingkat tinggi diperlukan (Chulay & Burns, 2006). Secara klinis banyak
digunakan pada sindroma Guillain Barre, postcardiac, edema pulmonari, Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan ansietas (Rab, 2007).
d. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
IMV dirancang untuk menyediakan bantuan ventilator tapi hanya sebagian, merupakan
kombinasi periode assist control dengan periode ketika pasien bernafas spontan
(Marino, 2007). Mode IMV memungkinkan ventilasi mandatori intermiten. Seperti pada
mode kontrol frekuensi dan VT praset. Bila pasien mengharapkan untuk bernafas diatas
frekuensi ini, pasien dapat melakukannya. Namun tidak seperti pada mode assist
control, berapapun pernafasan dapat diambil melalui sirkuit ventilator (Hudak & Gallo,
2010).
e. Pressure-Controlled Ventilation (PCV)
PCV menggunakan suatu tekanan konstan untuk mengembangkan paru-paru. Mode
ventilator ini kurang disukai karena volume inflasi bisa bervariasi. Akan tetapi, ada
ketertarikan kepada PCV karena risiko injuri paru-paru yang disebabkan oleh
pemasangan ventilasi mekanik lebih rendah (Marino, 2006).
f. Pressure-Support Ventilation (PSV)
Pernafasan yang membantu tekanan yang memberikan kesempatan kepada pasien untuk
menentukan volume inflasi dan durasi siklus respirasi dinamakan PSV. PSV bisa

9
digunakan untuk menambah volume inflasi selama pernafasan spontan atau untuk
mengatasi resistensi pernafasan melalui sirkuit ventilator. Belakangan ini PSV
digunakan untuk membatasi kerja pernafasan selama penyapihan dari ventilasi mekanik
(Marino, 2007)
g. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
Kolaps pada jalan nafas bagian distal pada akhir ekspirasi sering terjadi pada pasien
dengan ventilasi mekanik dan menimbulkan ateletaksis ganguan pertukaran gas dan
menambah berat kegagalan pernafasan. Suatu tekanan posistif diberikan pada jalan
nafas di akhir ekspirasi untuk mengimbangi kecenderungan kolaps alveolarpada akhir
ekspirasi (Marino, 2007).
PEEP digunakan untuk mempertahankan alveolus tetap terbuka. PEEP meningkatkan
kapasitas residu fungsional dengan cara melakukan reinflasi alveolus yang kolaps,
mempertahankan alveolus pada posisi terbuka, dan memperbaiki komplain paru
(Morton & Fontaine, 2009).
h. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Pernafasan spontan dimana tekanan positif dipertahankan sepanjang siklus respirasi
dinamakan CPAP (Marino, 2007). CPAP merupakan mode pernafasan spontan
digunakan pada pasien untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional dan
memperbaiki oksigenasi dengan cara membuka alveolus yang kolaps pada akhir
ekspirasi. Mode ini juga digunakan untuk penyapihan ventilasi mekanik (Urden, Stacy,
Lough, 2010).
6. Pengaturan Pernafasan pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik
Jumlah dan tekanan udara yang diberian kepada klien diatur oleh ventilator (Smith-Temple
& Johnson, 2011):
a. Volume tidal (VT): jumlah udara dalam mililiter dalam satu kali nafas, yang diberikan
selama inspirasi. Pengaturan awal adalah 7-10 ml/kg; dapat ditingkatkan sampai15
ml/kg.
b. Frekuensi: jumlah nafas yang diberikan per menit. Pengaturan awal biasanya10 kali
dalam 1 menit tetapi akan bervariasi sesuai dengan kondisi klien.
c. Fraksi oksigen terinspirasi oksigen (fraction of inspired oxygen, FiO2): persentase
oksigen dalam udara yang diberikan. Udara kamar memiliki FiO2 21%. Pengaturan

10
awal berdasarkan pada kondisi klien dan biasanya dalam rentang 50% sampai 65%.
Dapat diberikan sampai 100%, tetapi FiO2 lebih dari 50% dihubungkan dengan
toksisitas oksigen.
d. PEEP: tekanan positif yang konstan dalam alveolus yang membantu alveoli tetap
terbuka dan mencegahnya menguncup dan atelektasis. Pengaturan PEEP awal biasanya
adalah 5 cmH2O. Tetapi dapat juga mencapai hingga 40 cmH2O untuk kondisi seperti
sindrom gawat nafas pada orang dewasa (ARDS). Setiap perubahan yang dilakukan
pada pengaturan ventilator harus dievaluasi setelah 20 sampai 30 menit melalui analisis
gas darah arteri, hasil pengukuran SaO2, atau hasil pembacaan karbon dioksida tidal-
akhir untuk melihat keefektivitasan ventilator.
7. Komplikasi Ventilasi mekanik
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik antara lain :
a. Komplikasi jalan nafas
Jalur mekanisme pertahanan normal, sering terhenti ketika terpasang ventilator,
penurunan mobilitas dan juga gangguan reflek batuk dapat menyebabkan infeksi pada
paru-paru (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Aspirasi dapat terjadi sebelum,
selama, atau setelah intubasi. Risiko aspirasi setelah intubasi dapat diminimalkan
dengan mengamankan selang, mempertahankan manset mengembang, dan melakukan
suksion oral dan selang kontinyu secara adekuat (Hudak & Gallo, 2010).
b. Masalah selang endotrakeal
Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat dapat terjadi. Kapanpun
pasien mengeluh nyeri sinus atau telinga atau terjadi demam dengan etiologi yang tak
diketahui, sinus dan telinga harus diperiksa untuk kemungkinan sumber infeksi (Hudak
& Gallo, 2010).
Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh intubasi lama. Stenosis trakeal dan
malasia dapat diminimalkan bila tekanan manset diminimalkan. Sirkulasi arteri
dihambat oleh tekanan manset 30 mmHg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman
kehidupan pascaekstubasi dapat terjadi (Hudak & Gallo, 2010).

11
c. Masalah mekanik
Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2 sampai 4 jam ventilator
diperiksa oleh staf keperawatan atau pernafasan. VT tidak adekuat disebabkan oleh
kebocoran dalam sirkuit atau manset, selang, atau ventilator terlepas,
atau obstruksi aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang, tahanan sekresi,
bronkospasme berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang endotrakeal (Hudak &
Gallo, 2010).
d. Barotrauma
Ventilasi mekanik melibatkan “pemompaan” udara ke dalam dada, menciptakan
tekanan posistif selama inspirasi. Bila PEEP ditambahkan, tekanan ditingkatkan dan
dilanjutkan melalui ekspirasi. Tekanan positif ini dapat menyebabkan robekan alveolus
atau emfisema. Udara kemudian masuk ke area pleural, menimbulkan tekanan
pneumothorak-situasi darurat. Pasien dapat mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan
keluhan nyeri pada daerah yang sakit (Hudak & Gallo, 2010).
e. Penurunan curah jantung
Penurunan curah ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien pertama kali dihubungkan ke
ventilator ditandai adanya kekurangan tonus simpatis dan menurunnya aliran balik vena.
Selain hipotensi, tanda dan gejala lain meliputi gelisah yang dapat dijelaskan,
penurunan tingkat kesadaran, penurunan halauan urin, nadi perifer lemah, pengisian
kapiler lambat, pucat, lemah dan nyeri dada (Hudak & Gallo, 2010).
f. Keseimbangan cairan positif
Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh regangan reseptor vagal pada
atrium kanan. Manfaat hipovolemia ini merangsang pengeluaran hormone antidiuretik
dari hipofisis posterior. Penurunan curah jantung menimbulkan penurunan haluaran urin
melengkapi masalah dengan merangsang respon aldosteron renin-angiotensin. Pasien
yang bernafas secara mekanis, hemodinamik tidak stabil, dan yang memellukan
resusitasi cairan dalam jumlah besar dapat mengalami edema luas, meliputi edema
sakral dan fasial (Hudak & Gallo, 2010).
g. Peningkatan IAP
Peningkatan PEEP bisa membatasi pengembangan rongga abdomen ke atas. Perubahan
tekanan pada kedua sisi diafragma bisa menimbulkan gangguan dalam hubungan antara

12
intraabdomen atas dan bawah, tekanan intrathorak dan intravaskuler intraabdomen
(Valenza et al., 2007 dalam Jakob, Knuesel, Tenhunen, Pradl, Takala, 2010). Hasil
penelitian Morejon & Barbeito (2012), didapatkan bahwa ventilasi mekanik
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi independen untuk terjadinya IAH.
Pasien-pasien dengan penyakit kritis, yang terpasang ventilasi mekanik, menunjukkan
nilai IAP yang tinggi ketika dirawat dan harus dimonitor terus-menerus khususnya jika
pasien mendapatkan PEEP walaupun mereka tidak memiliki faktor risiko lain yang jelas
untuk terjadinya IAH.
Setting optimal ventilasi mekanik dan pengaruhnya terhadap fungsi respirasi dan
hemodinamik pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
berhubungan dengan IAH masih sangat jarang dikaji. Manajement ventilator yang
optimal pada pasien dengan ARDS dan IAH meliputi: monitor IAP, tekanan esofagus,
dan hemodinamik; setting ventilasi dengan tidal volume yang protektif, dan PEEP diatur
berdasarkan komplain yang terbaik dari sistem respirasi atau paru-paru; sedasi dalam
dengan atau tanpa paralisis neuromuskular pada ARDS berat; melakukan open abdomen
secara selektif pada pasien dengan ACS berat (Pelosi & Vargas, 2012).

C. NYERI
1. Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan potensi maupaun kerusakan jaringan yang sebenarnya (International
Association for The Study of Pain [IASP], Smletzer & Bare, 2012).
Nyeri pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2012).
2. Jenis – jenis nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitan tiba – tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera spesifik.
Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Nyeri ini
umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan.

13
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan
sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis sering
didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, meski
enam bulan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membedakan anatara
nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri (Smeltzer & Bare, 2012)
a. Pengalaman
Individu yang mempunyai pengalaman multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan
lebih sedikit gelisah dan lebih toleran dibanding orang yang hanya mengalami sedikit
nyeri.
b. Ansietas
Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan presepsi
pasien terhadap nyeri.
c. Budaya
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagimana seseorang berespon
terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespon
terhadap nyeri).
d. Usia
Pengaruh usia pada presepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara luas.
e. Makna nyeri
Dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu yang akan
mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda.
f. Perhatian
Perhatian yang meningkat dikaitkan dengan nyeri yang meningkat,sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeriyang menurun.
g. Keletihan
Rasa lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan
koping.

14
h. Pengalaman
Klien yang tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat
mengganggu koping terhadap nyeri.
i. Gaya koping
Klien yang memiliki fokus kendali internal mempersepsikan diri merekasebagai
individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasilakhir suatu peristiwa,
seperti nyeri.
j. Dukungan sosial dan keluarga
Klien dari kelompok sosio budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang
orang, tempat mereka menumpahkan keluhan merekatentang nyeri, klien yang
mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan,atau perlindungan. Apabila tidak ada keluarga atau
teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.
4. Mekanisme terjadinya nyeri
Salah satu teori mengenai nyeri dari Melzack dan Wall (1965) adalah tentang
pengendalian nyeri (Gate Control Theory) yang menjelaskan bagaimana dua jenis serat
saraf yang berbeda (tebal dan tipis) bertemu di korda spinalis dapat dimodifikasi sebelum
ditransmisi ke otak. Sinaps dalam dorsal medulla spinalis beraktifitas seperti pintu untuk
mengijinkan impuls masuk ke otak. Serat yang tebal akan lebih kuat dan lebih cepat
menangani rasa sakit daripada yang tipis. Ketika kedua sinyal rasa sakit bertemu, sinyal
yang lebih kuat cenderung menekan yang lebih lemah (Lemone & Burke, 2000).
Ada empat tahapan proses terjadinya nyeri :
a. Transduksi
Merupakan proses dimana suatu stimulus nyeri (noxious stimuli) dirubah menjadi suatu
aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimulus ini dapat berupa stimulus
fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri). Terjadi perubahan
patofisiologis karena mediator-mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar
daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitivisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator
tersebut dan penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang
yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan.

15
b. Transmisi
Merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati
korda dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson
berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps
melewati neurotransmitter.
c. Persepsi
Adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga
mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa
tanggapan terhadap nyeri tersebut.
d. Modulasi
Adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada
sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini
dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
5. Pengkajian nyeri
a. Subyektif (Self Report)
1) NRS (Numeric Rating Scale)
Merupakan alat penunjuk laporan nyeri untuk mengidentifikasi tingkatnyeri yang
sedang terjadi dan menentukan tujuan untuk fungsi kenyamanan bagi klien dengan
kemampuan kognitif yang mampu berkomunikasi atau melaporkan informasi tentang
nyeri.

2) VAS (Visual Analog Scale)


Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan VisualAnalog
Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnyabiasanya 10 cm (atau
100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing–masingujungnya, seperti angka
0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeriterberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 -
<7 = nyeri sedang dan 7-10 =nyeri berat.

16
3) Faces Analog Scale
Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri pada anak usia dibawah 12
tahun, terdiri dari enam wajah kartun yang diurutkan dari seorang yang tersenyum
(tidak ada rasasakit), meningkat wajah yang kurang bahagia hingga ke wajah yang
sedih,wajah penuh airmata (rasa sakit yang paling buruk.

b. Obyektif
Pada pasien yang tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya, yang perlu
diperhatikan adalah perubahan perilaku pasien. CPOT (Critical Care Pain Observation
Tool) dan BPS (Behavioral Pain Scale) merupakan instrumen yang terbukti dapat
digunakan untuk menilai adanya perubahan perilaku tersebut.
1. Behavioral Pain Scale (BPS)
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang
menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. BPS terdiri dari
tiga penilaian yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan
mesin ventilator. Setiap sub skala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4
(respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri
maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang
tidak dapat diterima (unacceptable pain).

17
2. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)
CPOT dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi antara lain: mengalami
penurunan kesadaran dengan GCS >4, tidak mengalami brain injuri, memiliki fungsi
motorik yang baik. CPOT terdiri dari empat domain yaitu ekspresi wajah,
pergerakan, tonus otot dan toleransi terhadap ventilator atau vokalisasi (pada pasien
yang tidak menggunakan ventilator). Penilaian CPOT menggunakan skor 0-8.
Ekspresi wajah Biasa 0
Tegang 1
Meringis 2
Gerakan tubuh Tidak ada gerakan 0
Proteksi 1
Gelisah 1
Compliance dengan VM Mampu menyesuaikan 0
Batuk tapi tidak intoleransi 1
Tidak sesuai dengan VM 2
Vocalisasi (tanpa ETT) Tidak bersuara/suara biasa 0
Mendesak/merintih 1
Menangis 2

Tahanan otot Rileks 0


Tegang dan kaku 1
Sangat tegang 2

6. Manajemen nyeri
Tujuan dari penatalaksanaan nyeri adalah menurunkan nyeri sampaitingkat yang dapat
ditoleransi. Upaya farmakologis dan non-farmakologisdiseleksi berdasarkan pada
kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila
dilakukan sebelum nyerimenjadi parah dan jika diterapkan secara simultan.

18
a. Intervensi Farmakologis
1) Analgesik narkotik
Opiote merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada
klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri berat.
2) Analgesik local
Analgesik lokal bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsut
ke serabut saraf.
3) Analgesik yang dikontrol klien
Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang diisi narkotik menurut
resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena. Penggunakan
narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri pascabedah , nyeri
kanker, krisis sel.
4) Obat-obat Nonsteroid (NSAIDs)
Obat-obat yang termaksud dalam kelompok ini menghambat agresasi platelet,
kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan koagulasi atau klien dengan terapi
antikoagulan. Contohnya : Ibuprofen, Naprosen, Indometasin, Tolmetin, pirocixam,
serta keterolac (toradol). Selain itu terdapat pula golongan NSAIDs yang lain seperti
asam mefenamat, meclofenomate, serta phenlybutazone, dll.
b. Intervensi non farmakologis
Blacks dan Hawks (2009) penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat
dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan
dingin, TENS, akupunktur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi
(meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi musik,
bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis,
humor dan magnet)

D. CONGESTIVE HEART FAILURE


1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien
dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi)

19
guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau
mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah
untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa
dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam.
Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan,
kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive)
(Udjianti, 2010).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan Triyanti, 2007).
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas: (Mansjoer, 2007)
Derajat I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
sehari-hari tidak menimbulan kelelahan, palpitasi, ataupun sesak nafas

Derajat II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
namun aktifitas fisik sehari hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas

Derajat III Tidak terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi,
ataupun sesak nafas

Derajat IV Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

20
2. Etiologi
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF)
dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
a. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia kronis/
berat.
b. Faktor interna (dari dalam jantung)
1) Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect (ASD),
stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
2) Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
3) Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
4) Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut
3. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat dijelaskan
dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac output) adalah
fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang,
sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan
yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada
jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2)
Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel
dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3)
Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada
jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat

21
penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan
pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi
peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua
atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat
yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial
atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral.
Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi
denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya
meningkatkan preload. Meskipun adaptasi - adaptasi ini dirancang untuk
meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena
itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia
pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat
memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer. Adaptasi ini
dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika aktivasi ini
sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Salah satu efek
penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan penurunan
kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem
rennin-angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi
vaskuler perifer selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi
sodium dan cairan.Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin
vasopresin dalam sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi
cairan. (Aru 2009).
4. Manifestasi Klinik
a. Peningkatan volume intravaskular.
b. Kongesti jaringan akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah
jantung.

22
c. Edema pulmonal akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis yang menyebabkan
cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli; dimanifestasikan dengan batuk dan nafas
pendek.Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat peningkatan tekanan
vena sistemik.
d. Pusing, kekacauan mental (confusion), keletihan, intoleransi jantung terhadap latihan
dan suhu panas, ekstremitas dingin, dan oliguria akibat perfusi darah dari jantung ke
jaringan dan organ yang rendah.
e. Sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan, serta peningkatan volume intravaskuler
akibat tekanan perfusi ginjal yang menurun (pelepasan renin ginjal). (Niken Jayanthi,
2010)
5. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah:
a. Meningkatkan oksigenasi dengan terapi O2 dan menurunkan konsumsi oksigen dengan
pembatasan aktivitas.
b. Meningkatkan kontraksi (kontraktilitas) otot jantung dengan digitalisasi.
c. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator.
Penatalaksanaan Medis
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2
melalui istirahat/ pembatasan aktifitas
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia.
2) Digitalisasi
a) dosis digitalis
 Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 mg dalam 4 - 6 dosis selama 24 jam
dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari.
 Digoksin IV 0,75 - 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
 Cedilanid IV 1,2 - 1,6 mg dalam 24 jam.
b) Dosis penunjang untuk gagal jantung: digoksin 0,25 mg sehari. untuk pasien usia
lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
c) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat:

23
a) Digoksin: 1 - 1,5 mg IV perlahan-lahan.
b) Cedilamid 0,4 - 0,8 IV perlahan-lahan (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
Terapi Lain:

a. Koreksi penyebab-penyebab utama yang dapat diperbaiki antara lain: lesi katup jantung,
iskemia miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alkohol, pirau intrakrdial, dan
keadaan output tinggi.
b. Edukasi tentang hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
c. Posisi setengah duduk.
d. Oksigenasi (2-3 liter/menit).
e. Diet: pembatasan natrium (2 gr natrium atau 5 gr garam) ditujukan untuk mencegah,
mengatur, dan mengurangi edema, seperti pada hipertensi dan gagal jantung. Rendah
garam 2 gr disarankan pada gagal jantung ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat.
Jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
f. Aktivitas fisik: pada gagal jantung berat dengan pembatasan aktivitas, tetapi bila pasien
stabil dianjurkan peningkatan aktivitas secara teratur. Latihan jasmani dapat berupa
jalan kaki 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama
20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan
atau sedang.
g. Hentikan rokok dan alcohol
h. Revaskularisasi koroner
i. Transplantasi jantung
j. Kardoimioplasti
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung sel darah lengkap: anemia berat atau anemia gravis atau polisitemia vera
b. Hitung sel darah putih: Lekositosis atau keadaan infeksi lain
c. Analisa gas darah (AGD): menilai derajat gangguan keseimbangan asam basa baik
metabolik maupun respiratorik.
d. Fraksi lemak: peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, LDL yang merupakan resiko
CAD dan penurunan perfusi jaringan
e. Serum katekolamin: Pemeriksaan untuk mengesampingkan penyakit adrenal
f. Sedimentasi meningkat akibat adanya inflamasi akut.

24
g. Tes fungsi ginjal dan hati: menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi hepar
atau ginjal
h. Tiroid: menilai peningkatan aktivitas tiroid
i. Echocardiogram: menilai senosis/ inkompetensi, pembesaran ruang jantung, hipertropi
ventrikel
j. Cardiac scan: menilai underperfusion otot jantung, yang menunjang penurunan
kemampuan kontraksi.
k. Rontgen toraks: untuk menilai pembesaran jantung dan edema paru.
l. Kateterisasi jantung: Menilai fraksi ejeksi ventrikel.
m. EKG: menilai hipertropi atrium/ ventrikel, iskemia, infark, dan disritmia (Udjianti,
2010)

7. Konsep Asuhan Keperawatan Kritis


a. Pengkajian
Pengkajian Primary
1) Airway
a) Sumbatan atau penumpukan secret
b) Wheezing atau krekles
2) Breathing
a) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
c) Ronchi, krekles
d) Ekspansi dada tidak penuh
e) Penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation
a) Nadi lemah , tidak teratur
b) Takikardi
c) TD meningkat / menurun
d) Edema
e) Gelisah
f) Akral dingin

25
g) Kulit pucat, sianosis
h) Output urine menurun
4) Disability
GCS: 15 (Composentis)
a) Exposure
b) Nyeri pada lapang dada
c) Edema ekstremitas
Pengkajian Sekunder :
1) Riwayat kesehatan
a) Keluhan
 Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
 Palpitasi atau berdebar-debar.
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak nafas saat
beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.
 Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.
 Letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan
 Insomnia
 Kaki bengkak dan berat badan bertambah
 Jumlah urine menurun
 Serangan timbul mendadak/ sering kambuh.
 Riwayat penyakit: hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes
melitus, bedah jantung, dan disritmia.
 Riwayat diet: intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol.
 Riwayat pengobatan: toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung, steroid,
jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu
 Pola eliminasi orine: oliguria, nokturia.
 Merokok: perokok, cara/ jumlah batang per hari, jangka waktu
 Postur, kegelisahan, kecemasan
 Faktor predisposisi dan presipitasi: obesitas, asma, atau COPD yang
merupakan faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan mempercepat
perkembangan CHF.

26
b) Pemeriksaan fisik
 Kepala
 Mata : konjungtiva anemis, ikterik
 Mulut: tanda infeksi
 Telinga : kesimetrisaan, kotoran/serumen
 Wajah : ekspresi, pucat, bentuk
 Leher : pembesaran kelenjar tiroid dan limfe, Tampak pulsasi vena jugularis,
JVP > 3 cmH2O, hepatojugular refluks
 Dada : bunyi jantung, denyut jantung, pulsus alternans, Gallop’s, murmur.
Respirasi; dispnea, orthopnea, suara nafas tambahan (ronkhi, rales, wheezing)
 Ekstremitas : edema ekstremitas CRT <2 detik(Aru,2009)

27
b. Pathways
Disfungsi miokard Beban tekanan berlebih Beban sistolik berlebih Peningkatan keb Beban volume berlebih
metabolisme
kontraktilitas Beban sistole naik Preload
Hambatan pengosongan
ventrikel

COP

Beban jantung meningkat Gagal jantung kanan

CHF

Gangguan pompa ventrikel kiri Gangguan pompa ventrikel


kanan
Forward failure Backward failure Tekanan diastole

Suplai darah jaringan Suplai Oksigen otak Renal Flow LVED naik
Bendungan vena sistemik
Metabolisne anaerob RAA Tekanan vena pulmonalis
Sinkop Lien (Splenomegali) dan
Asidosis metabolik Aldosteron Hepar (Hepatomegali)
Tekanan kapiler paru
Penurunan perfusi
Penimbunan asam laktat Asidosis metabolik
jaringan Mendesak Diafragma
& ATP
ADH Edema paru Beban ventrikel kanan Sesak nafas
Fatigue
Retensi Na + H2O Ronkhi basah Hipertrofi ventrikel
kanan Ketidakefektifan pola
Intoleransi aktifitas
Iritasi mukosa paru nafas
Kelebihan volume cairan 28 Penyempitan lume
Penumpukan sekret ventrikel kanan
Gangguan pertukaran
c. Diagnosa Keperawatan

1) Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung,


peningkatan frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi
sekuncup
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan secret
3) Ketidakefektifan pola nafas erhubungan dengan penurunan volume
paru, hepatomegali, splenomegali, kemungkinan dibuktikan oleh :
perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan, gangguan
pengembangan dada, GDA tidak normal
4) Nyeri berhubungan dengan agen biologis
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar
suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik / nekrotik
jaringan miokard, kemungkinan dibuktikan oleh : gangguan frekuensi
jantung, tekanan darah dalam katifitas, terjadinya disritmia dan
kelemahan umum (Nanda 2012).

29
d. Intervensi Keperawatan

NO DX KEP TUJUAN INTERVENSI RASIONAL


1. Penurunan curah Setelah dilakukan - Monitor TD, nadi, suhu, dan RR - Mengetahui tanda tanda vital abnormal
jantung b/d respon tindakan - Catat adanya fluktuasi tekanan darah - Tekanan darah yang abnormal
fisiologis otot keperawatan menindikasi penyakit gagal jantung
jantung, peningkatan diharapkan tidakn - Monitor toleransi aktifitas saat - Sebagian besar pasien gagal jantung
frekuensi, dilatasi, terjadi penurunan pasien berbaring, duduk, atau berdiri mengalami intoleran beraktifitas
hipertrofi atau curah jantung, - Monitor TD, nadi, RR, sebelum, - Aktifitas dapat menjadikan tanda-tanda
peningkatan isi dilihat dari kriteria selama, dan setelah aktivitas vital naik menjadi abnormal
sekuncup hasil - Monitor kualitas dari nadi - Mengetahui kualitas dari nadi pasien
1. Tanda vital dalam - Monitor jumlah dan irama jantung - Mengetahui adanya keabnormalan pada
batas normal dan monitor bunyi jantung jantung
2. Tidak ada edema - Monitor frekuensi dan irama - Pasien gagal jantung biasanya mengalami
paru, perifer, dan pernapasan sessak nafas, nafas dangkal dan tidak
tidak ada asites - Monitor suhu, warna, dan teratur
3. Tidak ada kelembaban kulit - Mengetahui keabnormalan jantung
penurunan - Monitor balance cairan - Tanda fisik pasien jantung bengkak pada
kesadaran - Monitor adanya cushing triad ekstremitas
(tekanan nadi yang melebar, - Mengetahui tanda gejala gagal jantung
bradikardi, peningkatan sistolik) - Peningkatan tanda vital pasien jantung
- Identifikasi penyebab dari perubahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor
vital sign contohnya aktifitas

2. Ketidakefektifan Setelahh dilakukan - Monitor pernafasan - Mengetahui pernafasan pada pasien


bersihan jalan nafas tindakan - Auskultasi suara nafas tambahan - Mengetahui adanya suara nafas tambahan
berhubungan dengan keperawatan (wheazing, ronkhi, dll)

30
penumpukan sekret diharapkan jalan - Pasang mayo bila perlu - Membuka jalan nafas
nafas kembali - Lakukan fisioterapi dada jika perlu - Membantu mengeluarkan sekret
efektif, dilihat dari - Ajarkan teknik batuk efektif untuk - Batuk efektik dapat membantu
kriteria hasil : mengeluarkan sekret mengeluarkan sekret
1. Tidak ada sekret - Lakukan suction bila perlu (pasien - Membersihkan sumbatan jalan nafas
2. Suara nafas tidak sadar)
normal - Bersihkan mulut, hidung dan secret - Membersihkan sumbatan pada mulut dan
3. Pasien dapat trakea hidung
demonstrasikan - Berikan inhalasi uap nebulizer - Mengencerkan dahak dan memperlebar
batuk efektif dan jalan nafas
suara nafas yang
bersih 
4. Tidak ada
sianosis dan
dyspneu
5. Menunjukkan
jalan nafas yang
paten (klien tidak
merasa tercekik,
irama nafas,
frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal,
tidak ada suara
nafas abnormal)

3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan - Monitor kedalaman pernafasan, - Mengetahui pernafasan yang abnormal

31
pola nafas tindakan frekuensi dan ekspansi dada
berhubungan dengan keperawatan - Catat upaya pernafasan termasuk - Otot bantu nafas biasanya terdapaat pada
diharapkan pola penggunaan otot bantu nafas pasien
nafas efektif, - Auskultasi bunyi nafas dan catat bila - Mengetahui adanya bunyi nafas tambahan
ditandai dengan ada bunyi nafas tambahan pada pasien
kriteria hasil: - Tinggikan kepala /semifowler dan - Semi fowler dapat membantu pasien
1. Pasien bantu untuk mencapai posisi yang mudah bernafas
mengatakan senyaman mungkin
tidak sesak - Kolaborasi pemberian terapi oksigen - Terapi oksigen untuk membantu
nafas (kanul/masker) sesuai kebutuhan memenuhi kebutuhan oksigen pasien
2. Pasien tidak
batuk
3. Tidak terdapat
otot bantu
pernafasan
4. RR dalam
rentang normal
12-20x/menit

4. Nyeri akut Setelah dilakukan - Kaji nyeri secara komprehensif - Mengetahui secara pasti nyeri yang
berhubungan dengan tindakan dirasakan oleh pasien
fisiologis keperawatan - Kaji Tanda vital - Peningkatan tanda vital sering terjadi
diharapkan nyeri pada pasien yang mengalami nyeri
hilang ditandai
dengan: - Berikan relaksasi nafas dalam - Nafas dalam sebagai analgesik alami
1. Pasien tampak untuk mengurangu nyeri dengan
tenang pelepasan endorphrine

32
2. Pasien tidak - Berikan terapi murottal - Terapi murottal dapat membuat pasien
melaporkan nyeri rileks dan mengurangi nyeri
Skala nyeri 0 - Kolaborasi dalam pemberian obat - Analgesik obat penurun nyeri
seperti anlgetik.

5. Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan - Catat frekuensi jantung, irama dan - Pasien dapat mengalami kenaikann tanda
tindakan perubahan TD selama dan sesudah vital setelah beraktifitas
keperawatan pasien aktifitas
dapat beraktifitas, - Tingkatkan istirahat (di tempat tidur)- Meminimalkan pasien kelelahan
ditandai dengan: - Bantu pasien memenuhi - Meminimalkan pasien mengalami sesak
1. Pasien dapat kebutuhannya nafas yang berlebih setelah aktifitas
melakukan - Anjurkan keluarga membantu pasien - Agar keluarga dapat berperan aktif dala
aktifitas secara dalam pemenuhan kebutuhannya membantu aktiifitas maupun kebutuhan
bertahap yang diperlukan pasien
- Jelaskan pola peningkatan bertahap - Meningkatkan aktifitas secara bertahap
dari tingkat aktifitas, contoh bangun
dari kursi bila tidak ada nyeri atau
sesak.
(Wilkinson 2013)

33
BAB III
TELAAH JURNAL

A. JUDUL
Pengaruh Perangsangan Auditori Murrotal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) terhadap Nyeri pada
Pasien yang terpasang Ventilator Mekanik

B. PENELITI
Jurnal penelitian ini diteliti oleh Yunie Armiyati, Chanif, Sokeh mahasiswa fakultas ilmu
keperawatan dan kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.

C. TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang mulai 15
februari 2013 – 15 maret 2013.

D. METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah pendekatan quasi experiment dengan Pre–
Posttest one group Design.
2. Variabel Penelitian
a. Variabel Independen
Auditori Murrotal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an)
b. Variabel Dependen
Nyeri
3. Populasi dan Teknik Sampling
Populasi pada penelitian ini adalah pasien terpasang ventilator di ruang ICU Rumah Sakit
Islam Sultan Agung semarang. Dengan jumlah responden dalam penelitian ini adalah
sebanyak 15 responden.
a. Kriteria Inklusi
1) Pasien terpasang ventilator mekanik
2) Pasien beragama islam

34
b. Kriteria eksklusi
1) Pasien dalam pengaruh obat sedasi

E. HASIL DAN KESIMPULAN


Sesuai dengan Uji One sample T Test diperoleh hasil p value sebesar 0.000 (p value < α).
Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh perangsangan auditori murrotal (Ayat-ayat suci
alqur’an) terhadap nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik.

F. JUSTIFIKASI ATAU ALASAN PENERAPAN EBN


Penerapan EBN dilakukan bertujuan untuk mengurangi nyeri pada pasien terapasang
ventilator mekanik, dimana masalah utama adalah yang sering di rasakan pada pasien
terpasang ventilator adalah merasakan ketidaknyamanan akibat nyeri yang dirasakan.
Berikut adalah skema atau justifikasi penerapan EBN pada pasien kritis adalah sebagai
berikut :

Gangguan pernafasan/oksigenasi

Pemasangan endotracheal tube/pemasangan


ventilator mekanik

Nyeri

Auditori Murottal (Ayat-ayat suci alqur’an

Pembentukan Endorphrin dalam sistem kontrol desenden

Relaksasi otot

Nyeri35
Berkurang
G. LANDASAN TEORI TERKAIT PENERAPAN EBN
Perangsangan auditori murrotal mempunyai efek relaksasi yang meningkatkan
pembentukan endorphin dalam sistem kontrol desenden dan membuat relaksasi otot. Teori
Opiate endogenous menjelaskan bahwa reseptor opiate yang berada pada otak dan spinal cord
menentukan dimana sistem saraf pusat mengistirahatkan substansi morfin (endorphin dan
enkephalin) bila nyeri diterima. Opiate endogen ini dapat dirangsang pengeluaranya oleh
stimulasi setimulasi perangsangan auditori. Opiate reseptor ini berada pada ujung saraf
sensori perifer (Monsdragon, 2004).

H. MEKANISME APLIKASI JURNAL (SPO)


1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur
5. Meminta persetujuan dilakukan tindakan terapi murottal (inform concent)
6. Menilai skala nyeri menggunakan Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT),sebagai data
awal (pretest).
7. Mencuci tangan
8. Menghubungkan earphone dengan MP3/Tablet berisikan murottal (Ar-Rahman)
9. Pasien berbaring diatas tempat tidur
10. Letakkan earphone di telinga kiri dan kanan
11. Dengarkan murottal (Ar-Rahman)
12. Mencatat perubahan nyeri pasca memperdengarkan MP3 surah Ar-rahman (posttest II).
13. Merapikan klien
14. Mengevaluasi tindakan
15. Mengucapkan salam

36
BAB IV
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Hasil pengkajian jalan nafas terdapat peningkatan sputum dengan karakteristik sputum
warna putih dan kehijauan. Terpasang Endotracheal Tube (ETT) dan Oropharyngeal
Airway (OPA).
b. Breathing
Hasil pengkajian didapatkan pasien terpasang ventilator mekanik dengan seting mode P
SIM V, RR mesin : 12, Inspirasi Pressure : 15, Pressure Support : 10,
Trigger/sensitivitas : 3, PEEP : 6, Time Inspirasi : 1.2, FiO2 : 70% dan respon pasien
yaitu Tidal Volume (VTE) : 700, RR pasien : 12, P Peak : 23. Terdengar bunyi ronchi
pada kedua lapang paru, RR pasien 15x/menit.
c. Circulation
Hasil pengkajian didapatkan frekuensi nadi 83 x/menit, nadi reguler, tidak ada distensi
vena jugularis, tekanan darah 110/69 mmHg, MAP 79, Capilary Refill Time < 2 detik,
akral dingin.
d. Disability
Tingkat kesadaran sopor dengan nilai GCS 6 yaitu E : 2 M : 4 V : ETT
e. Expossure
Tidak terdapat jejas pada tubuh pasien, T: 37,2OC.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan
Pada tanggl 19-1-2019 pukul 20.00 Ny T masuk di IGD RS Roemani Muhammadiyah
Semarang dengan keluhan sesak nafas 1 hari yang lalu, nyeri ulu hati dan mual.
Keadaan umum : baik, Kesadaran : Compos mentis, tekanan darah : 133/83 mmHg, nadi
: 98x/menit, respirasi : 24x/menit, SPO2 : 98%. Pasien memiliki riwayat diabetes
mellitus, kemudian pasien di transfer/dipindahkan ke ruang Ayyub 2.

37
Pada tanggal 23-1-2019 pukul 02.30 Ny T masuk ruang ICU dengan keluhan penurunan
kesadaran. Pasien sebelumnya code blue dari ruang Ayyub 2 dengan post ROSC dan
syok kardiogenik.
Pada tanggl 24-1-2019 saat dilakukan pengkajian pasien tidak dapat berbicara, tidak
dapat menjawab pertanyaan, karena kesadaran pasien menurun dan terpasang ventilator
mekanik mode P sim V sehingga menyebabkan rasa nyeri pada laring. Saat dilakukan
pengkajian nyeri dengan menggunakan Critical care Pain Observation Tool (CPOT)
ekspresi wajah yaitu mengerutkan kening/alis (skor tegang : 1), gerakan tubuh yaitu
mencari perhatian melalui gerakan (skor proteksi : 1), tahanan otot yaitu tegang dan
kaku (tegang dan kaku), compliance dengan ventilator mekanik yaitu mampu
menyesuaikan (skor mampu menyesuaikan : 0). Total nyeri 3.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan menurut prioritas kegawat daruratan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

C. PATHWAYS KEPERAWATAN KASUS


Terlampir

D. INTERVENSI KEPERAWATAN (PADA DIAGNOSA YANG BERHUBUNGAN


DENGAN JURNAL)
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi
1 Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi suara
jalan nafas berhubungan keperawatan selama 2x24 jam napas
dengan hipersekresi diharapkan klien akan 2. Monitor status
memperlihatkan kemampuan pernapasan
dan mempertahankan 3. Lakukan suction
keefektifan jalan nafas, 4. Pertahankanjalan

38
dengan criteria hasil : nafas paten
 Bunyi nafas bersih 5. Kolaborasi
 Ronchi (-) pemberian
 TT (tracheal tube) bebas bronkodilator
dari sumbatan
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan 1. Posisikan pasien
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam untuk
perubahan membran pola nafas klien menunjukkan memaksimalkan
alveolar kapiler. ventilasi yang adekuat dengan ventilasi
kriteria : 2. Monitor respirasi dan
1. Kedalaman nafas normal status O2
2. Tidak ada retraksi dada atau 3. Monitor frekuensi,
penggunaan otot bantuan ritme, dan kedalaman
pernafasan pernafasan
4. Monitor pola nafas
takipneu, bradipneu,
hipoventilasi
5. Monitor AGD
3 Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda
berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 jam vital
kontraktilitas klien tidak mengalami 2. Tingkatkan istirahat
penurunan cardiac output pasien
dengan kriteria : 3. Kaji kulit terhadap
a. Tanda vital dalam rentang sianosis
normal (TD, Nadi, RR). 4. Kolabolarasi dalam
b. Tidak ada penurunan pemberian terapi
kesadaran vasokontriksi
5. Monitor AGD
1.
4 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nyeri
dengan agen cedera fisik keperawatan selama 2 x 24 jam dengan skala Critical

39
nyeri akut teratasi dengan care Pain
kriteria hasil : Observation Tool
a. pasien terlihat rileks (CPOT)
b. Tanda vital dalam 2. Berikan perangsang
rentang normal auditori Murottal
(Ayat-Ayat Suci Al-
Qur’an)
3. Ajarkan keluarga
tentang terapi non
farmakologi tentang
nyeri dengan
menggunakan
perangsang auditori
Murottal (Ayat-Ayat
Suci Al-Qur’an)

40
BAB V
APLIKASI EVIDANCE BASED NURSING PRACTICE

A. IDENTITAS KLIEN
NY T. 68 Tahun
B. DATA FOKUS
Ny T 68 tahun masuk ke ruang ICU dengan keluhan penurunan kesadaran. Pasien
sebelumnya code blue dari ruang Ayyub 2 dengan post ROSC dan syok kardogenik. Tekanan
darah : 160 mmHg, nadi : 47X/menit, RR : 11X/menit, S : 36,40c, Spo2 : 78%, GDS : 385
mg/dl. Ny T memiliki riwayat diabetes mellitus. Dari hasil pengkajian ABCDE didapatkan
hasil jalan nafas terdapat peningkatan sputum dengan karakteristik sputum warna putih dan
kehijauan. Terpasang Endotracheal Tube (ETT) dan Oropharyngeal Airway (OPA). Pasien
terpasang ventilator mekanik dengan seting mode P SIM V, RR mesin : 12, Inspirasi Pressure
: 15, Pressure Support : 10, Trigger/sensitivitas : 3, PEEP : 6, Time Inspirasi : 1.2, FiO2 : 70%
dan respon pasien yaitu Tidal Volume (VTE) : 700, RR pasien : 12, P Peak : 23. Terdengar
bunyi ronchi pada kedua lapang paru, RR pasien 15x/menit. Frekuensi nadi 83 x/menit, nadi
reguler, tidak ada distensi vena jugularis, tekanan darah 110/69 mmHg, MAP 79, Capilary
Refill Time < 2 detik, akral dingin. Tingkat kesadaran sopor dengan nilai GCS 6 yaitu E : 2 M
: 4 V : ETT. Tidak terdapat jejas pada tubuh pasien, T: 37,2OC. Pasien tidak dapat berbicara,
tidak dapat menjawab pertanyaan, karena kesadaran pasien menurun dan terpasang ventilator
mekanik mode P sim V sehingga menyebabkan rasa nyeri pada laring. Saat dilakukan
pengkajian nyeri dengan menggunakan Critical care Pain Observation Tool (CPOT) ekspresi
wajah yaitu mengerutkan kening/alis (skor tegang : 1), gerakan tubuh yaitu mencari perhatian
melalui gerakan (skor proteksi : 1), tahanan otot yaitu tegang dan kaku (tegang dan kaku : 1),
compliance dengan ventilator mekanik yaitu mampu menyesuaikan (skor mampu
menyesuaikan : 0). Total nyeri 3.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN JURNAL


EVIDANCE BASED NURSING PRACTICE YANG DI APLIKASIKAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

41
D. MEKANISME APLIKASI EVIDANCE BASED NURSING PRACTICE
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur
5. Meminta persetujuan dilakukan tindakan terapi murottal (inform concent)
6. Menilai skala nyeri menggunakan Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT),sebagai data
awal (pretest).
7. Mencuci tangan
8. Menghubungkan earphone dengan MP3/Tablet berisikan murottal (Ar-Rahman)
9. Pasien berbaring diatas tempat tidur
10. Letakkan earphone di telinga kiri dan kanan
11. Dengarkan murottal (Ar-Rahman)
12. Mencatat perubahan nyeri pasca memperdengarkan MP3 surah Ar-rahman (posttest II).
13. Merapikan klien
14. Mengevaluasi tindakan
15. Mengucapkan salam

42
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL YANG DICAPAI


Berikut adalah tabulasi hasil nilai hemodinamik sebelum dan setelah dilakukan aplikasi
terapi murottal :
1. Intervensi ke-1 (24 Januari 2019)

Pengukuran Pre-Test Post-Test


Skala Nyeri 3 2

2. Intervensi ke-2 (25 September 2012)

Pengukuran Pre-Test Post-Test


Skala Nyeri 3 2

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang telah dicapai menunjukkan terdapat pengaruh perangsangan auditori
murottal terhadap nyeri pasien yang terpasang ventilator mekanik.. Penerapan aplikasi
perangsangan auditori murottal terhadap Ny T 68 tahun sejalan dengan hasil jurnal yang
diaplikasikan oleh penulis bahwa terapi auditori murottal dapat mengatasi nyeri yang dialami
oleh pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU.
Saat diberikan perangsangan auditori Murottal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) mempunyai efek
relaksasi yang meningkatkan pembentukan endorphin dalam sistem kontrol desenden dan
membuat relaksasi otot. Teori Opiate endogenous menjelaskan bahwa reseptor opiate yang
berada pada otak dan spinal cord menentukan dimana sistem saraf pusat mengistirahatkan
substansi morfin (endorphin dan enkephalin) bila nyeri diterima.Opiate endogen ini dapat
dirangsang pengeluaranya oleh stimulasi setimulasi perangsangan auditori. Opiate reseptor
ini berada pada ujung saraf sensori perifer (Monsdragon, 2004).
Saat seseorang menerima stimulus berupa irama murottal Al-Qur’an yang konstan, teratur dan
tidak memiliki perubahan irama yang mendadak terjadi proses adaptasi kognator (persepsi,
informasi, emosi) dan regulator (kimiawi, saraf, endokrin) yang mempengaruhi cerebral

43
cortex dalam aspek kognitif maupun emosi sehingga menghasilkan persepsi positif dan
peningkatan relaksasi hingga 65% yang secara tidak langsung menjaga keseimbangan
homeostasis tubuh melalui HPA Axis (sistem neuroendokrin hipotalamus yang mengatur
reaksi stress) untuk menghasilkan Coticitropin Releasing Factor (CRF) yang berfungsi
merangsang kelenjar pituari untuk menurunkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin
Hormone) yang menstimulasi produksi endorphine, khususnya β-endorphine yang memiliki
efek natural analgesik dan kemudian menurunkan produksi kortisol dan hormon-hormon
stress lainnya sehingga nyeri menurun (Alkahel, 2011).

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DAN HAMBATAN SELAMA APLIKASI


EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE
Adapun kelebihan dalam aplikasi ini adalah dalam pelaksanaan perangsangan auditori
Murottal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) tidak memerlukan biaya hanya memerlukan kepekaan
terhadap pasien yang terpasang ventilator. Sedangkan kekurangan dan hambatan dalam
pelaksanaan aplikasi ini adalah menunggu pasien respon untuk di aplikasikan agar pasien
tidak terganggu.

44
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada Ny T 68 tahun terdapat masalah keperawatan
yang berdampak pada nyeri yang dirasakan pasien terpasang ventilator. Salah satu
penatalaksannan non farmakologis untuk menurunkan nyeri yang di rasakan klien adalah
dengan memberikan terapi murottal al qur’an. Terdapat pengaruh Pengaruh Perangsangan
Auditori Murrotal (Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an) terhadap Nyeri pada Pasien yang terpasang
Ventilator Mekanik.
B. SARAN
Diharapkan EBN ini dapat dikembangkan atau diaplikasikan sebagai salah salah satu
alternatif penatalaksanaan non farmakologis pada asuhan keperawatan pasien kritis dalam
upaya menjaga nyeri yang dirasakan terhadap pemasangan ventilator mekanik.

45
DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. 2007. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada Usia Lanjut dengan
Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari - Desember 2006. Semarang: UNDIP

Johnson, M.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

Alkahel, A. (2011). Al-Quran's the Healing. Jakarta: Tarbawi Pres

Chulay, M. and S. M. Burns (2006). Essensial Of Critical Care Nursing. United States of
America, The McGraw-Hill Companies.

Cortes, G.A., Dries, D.J., Marini, J.J. (2012). Annual Update in Intensive Care and Emergency
Medicine: Position and the Compromised Respiratory System. New York, Springer.

Departemen Kesehatan RI, (2006). Standar Pelayanan Keperawatan di ICU.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Brunner & Suddarth’s Textbook
of Medical Surgical Nursing. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.

Sole, M.L., Klein, D.G., Moseley, M.J. (2013). Introduction to Critical Care Nursing. Missouri,
Elsevier Saunder.

Urden, L. D., Stacy, K.M., Lough, M.E. et al. (2010). Critical Care Nursing. USA, Mosby
Elsevier.

46

Anda mungkin juga menyukai