Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

Anggota kelompok:
1. Karimatus Hamidah (03.05.19.0089)
2. Maulida Wahdatunnisa (03.05.19.0092)
3. M. Abdul Aziz S. (03.05.19.0093)
4. M. Arya Nofrialda (03.05.19.0094)
5. Ningrum Prihatini (03.05.19.0096)
6. Putri Anindita P. (03.05.19.0098)
7. Rahmadani Nur H. (03.05.19.0099)
Kelas: Agribisnis Hortikultura 2

PENERAPAN NILAI NILAI PANCASILA DALAM BIDANG PERTANIAN


Setiap fase konseptualisasi Pancasila melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan.
Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Sejak disahkan
secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah)
negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan
sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai
tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas,
dan haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan
moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan
pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Ketahanan pangan identik dengan suatu keadaan dimana pangan tersedia bagi setiap
individu setiap saat dimana saja, baik secara fisik maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang
menjadi indikator ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas
ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap individu untuk
mendapatkan pangan.Definisi mengenai ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan
dalam tiap konteks waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sebagai sebuah kebijakan ini
pertama kali dikenal pada saat World Food Summit tahun 1974. Setelah itu, ada banyak sekali
perkembangan definisi konseptual maupun teoritis dari ketahanan pangan dan hal-hal yang
terkait dengan ketahanan pangan. Diantaranya, Maxwell, mencoba menelusuri perubahan-
perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak World Food Summit tahun 1974 hingga
pertengahan dekade 1990-an. Menurutnya, perubahan yang terjadi yang menjelaskan mengenai
konsep ketahanan pangan, dapat terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga, dan
bahkan individu. Perkembangannya terlihat dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar
(food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari
indikator-indikator objektif ke persepsi yang lebih subjektif.Era 1970-an dengan resep Revolusi
Hijau, kebijakan pangan dan pertanian difokuskan pada peningkatan produksi beras.Awalnya,
kebijakan Revolusi Hijau ini cukup menggembirakan. Produksi beras melonjak, dalam kurun
waktu 10 tahun: dari hanya 15.276.000 ton pada tahun 1974 menjadi 25.933.000 ton pada 1984.
Dengan peningkatan produktivitas dari rerata 2.64 ton/hektar menjadi rerata 3.91 ton/hektar dan
tingkat pertumbuhan produksi 8%. Namun telah berdampak pada tingginya ketergantungan
konsumsi pangan pada beras secara nasional. Persoalan lain yang ditimbulkan adalah
meningkatnya jumlah masyarakat pedesaan yang memilih menjadi menjadi TKI/BMI dan semua
ini tidak terlepas dari persoalan dampak revolusi hijau, dimana pada tahun 1980-an sudah tidak
mungkin lagi terserap oleh dinamika sosial internal pedesaan lagi.[8] Efek tersebut
memperlihatkan dari kurang efektifnya kebijakan tentang pangan.Kemudian, Indonesia
seringkali mengalami krisis pangan, antara tahun 2007 hingga 2008. Krisis pangan itu
melahirkan pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should
be the main agenda in economic development.” Dalam rangka pembangunan ekonomi itu
pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan
ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami
peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini
sudah mencapai 259,9 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki
posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras menjadi komoditas politik
dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat menjadikan beras sebagai makanan
pokok, sehingga menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga
ketahanan pangan nasional.
Di negara-negara dunia, terutama di belahan Asia, beras telah menjadi komoditas pangan
yang sangat strategis, dan bukan saja menjadi isu ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras
selalu menjadi masalah penting, bagi petani, ekonom, politikus dan para elite, sehingga
kebijakan perberasan akan menjadi fokus perhatian semua pihak. Pada sisi lain, kebijakan
ekspor-impor pangan saat ini menjadi sorotan bagi kalangan pemerhati pertanian yang melihat
bahwa pembangunan ketahanan pangan tidak akan tercapai bila masih mengandalkan metodologi
penghitungan yang ada. Pemerintah perlu segera menyempurnakan metodologi penghitungan
produksi dan ketersediaan pangan. Bustanul Arifin, guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian
Universitas Lampung, menyampaikan bahwa metodologi penghitungan produksi dan
ketersediaan pangan wajib disempurnakan, tanpa harus mencari-cari kesalahan kebijakan
terdahulu. Jika demikian, nampak bahwa ketersediaan data selama ini mengalami ketimpangan.
Ironisnya masing-masing lembaga yang terkait dengan kebijakan pangan Indonesia belum
memiliki data yang komprehensif. Angka-angkanya mengherankan, seperti misalnya beras
mengalami surplus setelah dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia; namun di lain sisi
impor beras tetap menjadi pilihan bagi ketersediaan pangan. Indonesia masih mengacu data
Badan Pusat Statistik soal ketersediaan pangan. BPS merilis estimasi produksi padi sebesar 68
ton gabah kering giling atau setara 39 juta ton beras. Jika asumsi konsumsi 139,15 kilogram per
kapita per tahun, total konsumsi 237,6 juta penduduk seharusnya 33 juta ton.Jika memang
perhitungan data produksi pangan tersebut benar, semestinya Indonesia memiliki surplus beras
sebanyak 6 juta ton, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras. Metode penghitungan
semacam itu, ironisnya, juga terjadi pada hampir seluruh komoditas seperti jagung, kedelai, dan
gula. Produksi jagung 18,3 juta ton pipilan kering. Jika industri pakan ternak menyerap 6 juta
ton, dan konsumsi masyarakat 12 juta ton, estimasi produksi seharusnya surplus. Namun
faktanya lagi-lagi industri pakan harus mengimpor jagung 1 juta ton. Alhasil, nilai impor pangan
Indonesia selama Januari-Juni 2011 telah mencapai hampir 4 miliar dollar AS atau setara dengan
Rp 36,2 triliun. Sepanjang 2011, beras impor yang masuk ke Indonesia sebanyak 2,75 juta ton.
Pangan tidak dipersepsikan sebagai komoditas untuk mengganjal perut dari rasa lapar, juga
bukan hanya sekedar kebutuhan utama bahan makanan masyarakat. Seiring perjalanan waktu,
pangan telah dijadikan sebagai kekuatan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Dari sinilah
kemudian banyak kalangan yang berpendapat bahwa pangan sesungguhnya identik dengan
senjata (weapon). “Food is the weapon” adalah ungkapan yang sering digunakan orang untuk
mempertegas posisi, peran dan kedudukan pangan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat, terutama bagi sebuah bangsa yang kehidupan masyarakatnya sangat
menggantungkan diri pada komoditas pangan.Walaupun secara historis kebijakan pangan
bertujuan menguatkan ekonomi petani (lihat misalnya program pengadaan pangan dunia yang
disponsori oleh FAO), program tersebut lebih menguntungkan spekulator, sementara petani kecil
tetap dalam posisi terpinggirkan. Buku Lapar: Negeri Salah Urus (Khudori, 2005) secara
gamblang menegaskan bahwa kedaulatan pangan di sebuah negara agraris sekaliber Indonesia,
semestinya mampu dirajut sedemikian rupa sehingga dapat melepaskan diri dari intervensi dan
gerakan komersialisasi pangan secara global yang dalam beberapa tahun ke belakang ini terasa
benar gerakannya.Ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar (availability of food
in the market). Ketahanan pangan yang mengabdi kepada pasar itulah yang didesain dalam
berbagai “kebijakan” WTO. Dalam konsep ketahanan pangan yang tidak mempersoalkan siapa
yang memproduksi pangan, atau dari mana produksi pangan tersedia, tetapi yang penting
bagaimana sejumlah pangan tersedia dalam jumlah yang cukup (availability food) dalam
kehidupan masyarakat. Namun demikian, Konsepsi Ketahanan Pangan bukan berarti bahwa
negara tidak berpihak dalam mekanisme pasar. Justru di sinilah peranan negara dalam
melindungi rakyatnya dari dampak jangka panjang akibat ketergantungan pangan dari negara-
negara lain, fakta bahwa sebagian besar rakyat Indonesia berada dalam sektor pertanian, akan
menjadi tidak berdaya dalam menghadapi persaingan pasar yang tidak berimbang.Pemerintah
harus mampu meyakinkan masyarakat terutama para petani, bahwa masa depan pertanian sangat
vital, yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Adanya pemahaman yang
mendalam akan hakikat kedaulatan pangan, sebagai jawaban nyata atas tekanan yang sedang
dihadapi saat ini. Visi ketahanan pangan harus mampu mewujudkan kedaulatan pangan.
Ketahanan Pangan Nasional harus bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor pangan dari
negara-negara lain.Idealisme Pancasila dalam paradigma nasional mendasari berbagai
perumusan aturan perundang-undangan yang nilai instrinsik atau nilai dasarnya terpancar dari
pasal-pasal UUD 1945 dan nilai-nilai instrumentalnya terpancar dari berbagai aturan perundang-
undangan sebagai jabaran UUD 1945 yang telah disesuaikan dengan perkembangan lingkungan.
Tak terkecuali ketika membahas tentang kebijakan atau aturan perundang-undangan tentang
Ketahanan Pangan. Tentunya aturan tersebut tak pernah lepas dari nilai-nilai Pancasila.Dengan
demikian, nilai-nilai kemanusiaan (termuat dalam Pancasila) melekat dalam ketahanan pangan.
Secara eksternal, memang harus ada ketersediaan pangan (dunia), namun secara internal juga
harus kuat (kedaulatan pangan nasional). Begitu pula, nilai-nilai bangsa yang berdaulat dan
berkeadilan, yang kesemuanya merupakan cerminan dari landasan nilai-nilai yang terkandung
dalam ideologi Pancasila, harus mampu mengisi dan diimplementasikan dalam setiap visi
pembangunan, seperti kebijakan ketahanan pangan. Agar arah pembangunan ketahanan pangan
bukan semata konsep ideal ekonomi-politik, melainkan arah tersebut harus mengandung nilai-
nilai yang berpihak pada kepentingan nasional, melindungi rakyat untuk dapat hidup makmur
dan sejahtera. Oleh karena itu, ketahanan pangan harus mampu menciptakan kedaulatan pangan
yang berarti masyarakat hidup dalam suasana ketersediaan pangan yang tidak tergantung pada
negara lain (impor).Sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi atas produksi,
distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan dan menjamin hak atas pangan bagi seluruh
penduduk bumi, maka kedaulatan pangan benar-benar dapat dijadikan tolok ukur guna menguji
sampai sejauh mana kebijakan ketahanan pangan nasional dapat diwujudkan dalam kehidupan
keseharian masyarakat.
Pancasila adalah pedoman hidup bangsa Indonesia. Sebagai pandangan hidup, tentu saja
pancasila selalu merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berikut kami
paparkan hasil diskusi kami mengenai Implikasi atau penerapan nilai-nilai pancasila pada bidang
pertanian.
•Sila pertama : ketuhanan yang maha esa
Sila ketuhanan yang maha esa mengandung nilai-nilai religius bangsa Indonesia. Sebagai
warga negara Indonesia, seseorang harus beragama. agama menempati posisi penting di
Indonesia, hal ini disebabkan agama merupakan sumber moral masyarakat. Agama mengajari
para penganutnya untuk senantiasa berbuat baik, senantiasa ikhlas dalam melakukan
pekerjaannya, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang merugikan baik diri sendiri maupun
ornag lain.Lalu, apa pentingnya agama di bidang pertanian? Mungkin sekilas nampaknya tak ada
hubungan agama dengan pertanian, aalagi jika kita melihat para petani di negara-negara sekuler
tidak sedikit yang ateis. Namun tanpa disadari sebenarnya agama berperan penting dalam
pertanian. Agama mengajarkan agar kita tidak merusak alam, nilai tersebut bisa diamalkan
misalnya dengan meminimalisir penggunaan pestisida kimia yang merusak ekologi,
menggunakan metode predator alami dalam pengendalian hama, dan memulai pertanian organik
dengan memanfaatkan pupuk alami (pupuk kandang atau pupuk kompos).
•Sila kedua : kemanusiaan yag adil dan beradab
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan moral bangsa Indonesia yang adil
dan beradab. Pengamalan sila ini pada bidang pertanian misalnya dengan pertanian yang adil,
artinya harga komoditas pertanian harus sepadan dengan modal dan jerih payah para petani,
selain itu pemerintah seharusnya mempedulikan harga komoditas pertanian, jangan sampai harga
dimainkan para tengkulak dan spekulan.Nilai keadaban dalam bidnag pertanian misalnya dengan
memberikan perhatian khusus bagi para petani melalui kredit pupuk ataupun pemberian benih
unggul gratis. Selain itu, perlu digalakkan cinta produk pertanian Indonesia agar tak terlalu
banyak impor dari luar negeri seperti china dan amerika latin.
•Sila ketiga: persatuan Indonesia
Sila ini memiliki nilai kerukunan dan pentingnya sinergi antar tiap elemen bangsa
Indonesia. Persatuan dibutuhkan untuk menghadapi segala tantangan dan masalah yang dihadapi
bangsa Indonesia. Dalam bidang pertanian, penerapan dari nilai persatuan tercermin dari mulai
proses tanam padi sampai panen. Dalam proses tersebut ada penanam benih, ada yang mengikat
benih, ada yang mengukur jarak tanam, ada pekerja yang merawat dan memupuk padi, ada yang
memanen, dll
•Sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Sila ini mengandung makna bahwa setiap warga negara harus mampu musyawarah dan
bermufakat untuk menentukan langkah-langkah dalam peyelesaian masalah. Misalnya masalah
impor kedelai yang baru-baru ini muncul harus bisa dicari jalan keluarnya selain impor. Masalah
kedelai merupakan masalah krusial, sebab tak hanya menyangkut nasib para etani kedelai,
namun juga para pengrajin tahu-tempe dan masyarakat yang mayoritas mengonsumsi produk-
produk dari kedelai.•Sila kelima : keadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Diharapkan dengan mengamalkan sila-sila diatas,bangsa Indonesia mampu mewujudka
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Misalnya, bagaimana harga beras bisa realistis terjangkau
namun tidak mengorbankan nasib petani.

Anda mungkin juga menyukai