Anda di halaman 1dari 18

CASE REPORT

GLAUKOMA SEKUNDER OS ET CAUSA


ANTERIOR LUKSASI LENSA

Disusun oleh:

Shesy sya’haya
Ratu faradhila jonis

Perceptor:
Dr. M. Yusran, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SMF BAGIAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. Rani Eliza
Umur : 44 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Way Kanan
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan menurun pada mata kiri ±5 hari yang lalu disertai adanya mata merah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien rujukan dari RS. Harapan Bunda Gunung Sugih, datang ke Poliklinik Mata
RSUD Abdul Moeloek pada tanggal 16 Desember 2019 dengan keluhan penglihatan mata
kiri menurun ±5 hari yang lalu disertai adanya mata merah dan sempat mengalami
perdarahan. Pasien merasakan adanya nyeri pada bagian mata kiri. Pasien mengatakan
mata bagian kiri terkena kayu pada saat melihat pekerja yang sedang memotong kayu.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat memakai kaca mata (-), hipertensi (-), DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Keluhan serupa pada keluarga tidak ada
 Riwayat penyakit mata lainnya tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present :
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan Darah : 110/80mmHg
- Nadi : 82x/menit
- Pernafasan : 22x/menit
- Suhu : 36,8○C

Status Generalis:
A. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,8oC

Status Generalis
Kepala
Muka : Simetris, normochepal, oedem (-)
Rambut : Hitam, pertumbuhan merata
Mata : Simetris
Telinga : Simetris, sekret (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Kesan : Dalam batas normal

Leher
Trakea : Deviasi trachea (-), letak normal
KGB : Tidak pembesaran pada KGB leher
Kesan : Dalam batas normal
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Systolic thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : SI/SII reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Pemeriksaan jantung dalam batas normal

Paru

Anterior Posterior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Normochest, Normochest, Normochest, Normochest,
pergerakan dada pergerakan dada pergerakan dada pergerakan dada
simetris simetris simetris simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil, Fremitus taktil,
dan ekspansi dada dan ekspansi dada ekspansi dada ekspansi dada
dextra = sinistra dextra = sinistra dextra = sinistra dextra = sinistra
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N),
ronki -/-, ronki -/- ronki -/-, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-

Kesan : Pemeriksaan paru dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Kesan : Pemeriksaan abdomen dalam batas normal

Ekstremitas
Superior : Lengkap, cacat (-), oedem (-/-)
Infrerior : Lengkap, cacat (-), oedem (-/-)
Kesan : Dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS

OS OD
6/60 VISUS 1/~
Normal GERAK BOLA MATA Normal
Tidak dilakukan skiaskopi SKIASKOPI Tidak dilakukan skiaskopi
Eksoftalmus (-), Eksoftalmus (-),
endoftalmus (-), deviasi (-), BULBUS OCULI endoftalmus (-), deviasi (-),
strabismus (-), nistagmus (-) strabismus (-), nistagmus (-)
Dalam batas normal SUPERSILIA Dalam batas normal
Parese (-), paralise (-) PARESE/PARALISE Parese (-), paralise (-)
Edem (-), hiperemis (-) PALPEBRA SUPERIOR Edem (+), hiperemis (+)
Edem (-), hiperemis (-) PALPEBRA INFERIOR Edem (+), hiperemis (+)
Injeksi (-), sekret (-) KONJUNGTIVA PALPEBRA Injeksi (+), sekret ()
Injeksi (-) KONJUNGTIVA FORNIKS Injeksi (+)
Injeksi (-), Sekret (-) KONJUNGTIVA BULBI Injeksi (+), sekret (+)
Injeksi (-) SKLERA Injeksi (+)
Jernih KORNEA Keruh, Edema (+)
Kedalaman cukup, hipopion Kedalaman cukup, hipopion
COA
(-), (-),
Coklat, kripta (+) IRIS Coklat, Kripta
Bulat, Regular, Refleks Bulat, Regular, Refleks
PUPIL
Cahaya (+) Cahaya (+)
Jernih LENSA Afakia (+)

IV. RESUME
Pasien wanita berusia 44 tahun datang ke IGD RSUD Abdul Moeloek pada tanggal 17
Desember 2019 dengan keluhan penglihatan mata kiri menurun ±5 hari yang lalu disertai
adanya mata merah dan sempat mengalami perdarahan. Pasien Nyeri dirasakan pada bagian
mata kiri. Pasien mengatakan mata bagian kiri terkena kayu pada saat melihat pekerja yang
sedang memotong kayu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU baik, tanda-tanda vital dalam
batas normal. OD tidak tampak kelainan dan OS visus: 1/~, terdapat Injeksi Conjungtiva (+),
Injeksi Siliar (+), Injeksi Sklera (+), corneanya keruh dan edema, lensa afakia.
V. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Slit lamp
- Tes Tonometri
- Tes Flouresensi

VI. DIAGNOSA KERJA


- Glaukoma Sekunder OS ec Luksasi Lensa

VII. PENATALAKSANAAN
- Manitol 1 kolf 250gr IV
- Alletrol 5ml 6x1
- Timolol 0,5% 2x1
- Ciprofloxasin 500mg 2x1
- Metilprednisolon 16gr 2x1
- Intracapsular Cataract Extraction (ICCE) OS

VIII. PROGNOSA
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang dan disertai
peningkatan tekanan intraokuar, dan dapat menyebabkan kebutaan secara permanen.
Glaukoma sekunder adalah peningkatan tekanan intraokular yang didasari oleh adanya
penyakit mata lain. Glaukoma sekunder juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti
inflamasi, trauma, perdarahan, tumor, obat-obatan, dan pengaruh fisik atau kimia.

B. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah katarak.
Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis Afrika dibandingkan etnis
kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1. Glaukoma berpigmen terutama pada
etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih sering dijumpai glaukoma sudut tertutup.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup), miopi
(glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun, keturunan (riwayat glaukoma dalam keluarga), dan
ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes
melitus, peredaran darah dan regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan),
fenomena autoimun, degenerasi primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema / infeksi.
Hal yang memperberat resiko glaucoma antara lain:
• Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
• Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
• Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
• Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
• Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
• Miopia, risiko 2 kali lebih sering
• Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.

D. Patogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena trauma/benturan,
atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah (katarak hipermatur), uveitis
dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang akhirnya
menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut humor
aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik posterior, melewati pupil
masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata melalui suatu saluran. Jika aliran cairan
ini terganggu (biasanya karena penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik
anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu
diketahui, saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di otak, bayangan
tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision).
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan
retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga
sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik
buta pada lapang pandang mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang).
Bila seluruh serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan
kebutaan total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang
pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut saraf mata
sehingga menyebabkan blind spot.
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang merupakan
tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.

Gambar 2.1. Kerusakan Saraf Optikus pada Glaukoma

E. Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini agak
lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya berlanjut dengan
kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik
utama pada glaukoma sudut terbuka adalah proses degeneratif di jalinan trabekular,
termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel
kanalis Schelmm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah
penurunan drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.

b. Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas :


 Akut
Glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi apabila terbentuk iris bombe yang
menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD) oleh iris perifer. Hal ini
menyumbat aliran cairan aquos dan tekanan intraokular meningkat dengan cepat.
Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan
anatomik BMD.
 Sub akut
Pada glaukoma sudut tertutup sub akut episode peningkatan TIO berlangsung
singkat dan rekuren. Episode penutupan sudut membaik secara spontan, tetapi terjadi
akumulasi kerusakan pada sudut BMD berupa pembentukan sinekia anterior perifer.
 Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan BMD tidak pernah
mengalami episode peningkatan akut TIO tetapi mengalami sinekia anterior perifer
yang semakin meluas disertai peningkatan bertahap dari TIO.

2. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital lainnya.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata yang lain
atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti:
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma fakolitik dan
fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom eksfoliasi).
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus yang disertai prolaps
iris)
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya pembentukan bilik mata
depan post-operasi katarak, blok pupil post operasi katarak).
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka waktu yang lama.

4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana
sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut.
Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.
Gambar 2.2. Klasifikasi Glaukoma

F. Patofisiologi Glaukoma Sekunder


Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh mekanisme sudut
terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma sekunder, sesuai dengan bentuk kelainan klinis yang
menjadi penyebabnya. Efek peningkatan tekanan intraokuler didalam mata dipengaruhi oleh
perjalanan waktu dan besar peningkatan intraokuler.
Kerusakan saraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil saraf optik diduga
disebabkan:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf pada
pupil saraf optik.
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik.
3. Ekskavasio papil saraf optik
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atropi sel ganglion
difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan
berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus menjadi atropik, disertai pembesaran
cekungan optikus, iris dan korpus siliaris juga.
G. Glaukoma sekunder akibat perubahan lensa
Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu fokolitik atau
fokotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke depan atau ke belakang. Trauma tumpul
lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa, antara lain:
 Glaukoma pada subluksasi ke depan
Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena terjadinya hambatan
pupil sehingga aliran aqueous dari bilik mata belakang ke bilik mata depansehingga
menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga dapat
mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan dan
perlengketan di sudut tersebut yang kedua-duanya dapat menyebabkan glaukoma.
 Glaukoma pada subluksasi ke belakang
Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang menahun pada badan siliar
akibat tarikan-tarikan zonula Zin atau geseran lensa pada badan siliar.Rangsangan ini
menyebabkan produksi aqueous yang berlebihan yang dapat menimbulkan glaukoma.
• Glaukoma pada luksasi ke depan
Pada luksais ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini menutup
jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.
• Glaukoma pada luksasi ke belakang:
Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini menutup
jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.

Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain dapat diberikan obat-obat anti glaucoma. Bila
tidak berhasil dapat dipertimbangkan untuk melakukan iridektomi perifer. Operasi pengeluaran
lensa merupakan cara untuk menghilangkan penyebab utamanya dan hal ini merupakan
pengobatan yag paling berhasil

H. Trauma Tumpul Okuli


Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau
benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan
kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Tanda dan Gejala meliputi adanya mata merah, rasa sakit, Perdarahan atau keluar cairan
dari mata atau sekitarnya, memar disekitar mata, penurunan visus dalam waktu mendadak, mual
dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO), penglihatan kabur, sakit kepala,
infeksi konjungtiva dan pada anak-anak sering terjadi somnolen.
Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan
sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata, terlepasnya selaput jala (retina)
atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.

I. Pembagian Trauma Tumpul Okuli


Trauma tumpul okuli dibagi menjadi beberapa lokasi sesuai posisi trauma nya seperti
palpebral, konjungtiva, kornea, lensa, uvea dan retina. Untuk pembagian trauma pada lensa
antara lain:
- Dislokasi Lensa
Dislokasi lensa terjadi karena putusnya zonula zinii yang akan mengakibatkan
kedudukan lensa terganggu. Bila zoluna ziniii putus maka lensa akan mengalami luksasi
ke depan (luksasi anterior) atau luksasi ke belakang (luksasi posterior).

Tabel 1. Beberapa penyebab terjadinya dislokasi lensa


- Subluksasi Lensa
Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinii sehingga lensa berpindah tempat,
subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula
zinii yang rapuh (Sindrom Marphan).
Akibat pegangan lensa pada zonula zinii tidak ada maka lensa yang elastis akan
menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris kedepan sehingga sudut bilik mata tertutup, bila sudut bilik mata
menjadi sempit maka mudah terjadi glaukoma sekunder.
Pada subluksasi biasanya dilakukan dengan koreksi terbaik sehingga tidak timbul
keluhan diplopia. Bila terdapat penyulit glaukoma maka dilakukan ekstraksi lensa pada
orang tua sedang pada orang muda dilakukan ekstraksi linear atau ekstraksi lensa
ekstrakapsuler.

- Luksasi lensa anterior


Bila seluruh zonula zinii disekitar ekuator putus maka lensa dapat masuk kedalam
bilik mata depan sehingga akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata yang
dapat mengakibatkan glaukoma kongestif akut. Pasien akan mengeluh penglihatan
menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan
blefarospasme.
Pada pemeriksaan fisik terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa didalam
bilik depan mata, iris terdorong kebelakang dengan pupil yang lebar, tekanan bola mata
yang tinggi.
Pada luksasi lensa anterior: harus dilakukan pengeluaran lensa yang terletak didalam
bilik mata depan. Tekanan bola mata sudah harus terkontrol baik sebelum lensa
dikeluarkan. Pembedahan lensa yang telah mengalami subluksasi atau luksasi seringkali
karena sering disertai penyulit pasca bedah, karena itu diperlukan persiapan yang baik.
Gambar 2.3. A. tampak bayangan lensa pada bilik mata depan pada pasein post trauma
tumpul yang disertai adanya hifema. B. pada pemeriksaan slit lamp terlihat bentukan
lensa pada bilik mata depan, terfiksasi antara pupil dan kornea

- Luksasi lensa posterior


Akibat putusnya zonula zinii diseluruh lingkaran ekuator sehingga lensa jatuh kedalam
badan kaca dan tenggelam dibawah polus posterior fundus okuli. Pasien mengeluh adanya
skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa yang mengganggu kampus. Mata akan
menunjukkan gejala mata tanpa lensa, pasien akan melihat normal dengan lensa +12,0
dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.

- Katarak Traumatik
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat
sesudah beberapa hari ataupun tahun.
Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior maupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk tercetak (imprinting) yang cincin Vossius.
Gambar 2.5. Vossius Ring.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan
menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil.
Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat
disertai dengan terdapatnya massa lensa di dalam bilik depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik massa lensa yang akan bercampur
magrofag dengan cepatnya, yang dapat menyebabkan uveitis. Lensa dengan kapsul anterior
saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang
disebut sebagi cincin Soemering atau bila epitel lensa berploriferasi aktif akan terlihat
mutiara Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okuler primer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka
segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang
tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat
mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasio retina,
uveitis atau salah letak lensa.
Gambar 2.4. Katarak traumatik (Flower-shaped cataract).

Gejala yang timbul pada pasien tergantung dari derajat keparahan dislokasi lensa. Apabila
dislokasi yang terjadi hanya ringan, mungkin tidak akan terlihat gejala, namun sebaliknya dislokasi
lensa yang parah dapat menimbulkan keluhan berupa gangguan akomodasi, diplopia dan gangguan
visus. Pada keadaan dengan komplikasi seperti glaucoma, dapat timbul keluhan akibat TIO yang
meningkat seperti nyeri kepala dan mual-muntah.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp, apabila lensa terdapat di bilik
depan maka akan terlihat bentukan lensa di bilik mata depan. Pada dislokasi posterior, mungkin
bisa dilihat apabila pupil diperbesar (midriasis), namun apabila masih sulit, maka pemeriksaan
dengan USG dapat membantu.
Penatalaksanaan dislokasi lensa biasanya tergantung pada gejala yang timbul. Apabila
tidak timbul gejala/asimptomatik maka hanya perlu dilakukan observasi pada pasien. Namun
apabila telah timbul gejala seperti gangguan penglihatan sampai komplikasi seperti glaukoma
akibat peningkatan TIO, maka ekstraksi lensa harus segera dilakukan.
Pada dislokasi anterior, ekstraksi lensa harus dilakukan sedapat mungkin untuk menghidari
terjadinya glaucoma akut akibat lensa yang terlepas ke arah anterior dapat menyebabkan glaucoma
sudut tertutup akut. Sedangkan lensa yang terlepas ke arah posterior (badan vitreus) yang biasanya
tidak menimbulkan masalah dapat dibiarkan, kecuali apabila setelah beberapa lama dapat terjadi
decomposisi dari lensa yang dapat menyebabkan peradangan pada vitreus, maka perlu dilakukan
pengambilan lensa.
Setelah pengambilan lensa pasien dapat tetap dibiarkan afakia dan diberikan alat bantu
visus seperti kacamata afakia dan lensa kontak. Dapat juga diberikan penanaman lensa intraokuler
seperti halnya pada pasien katarak.
BAB II
DAFTAR PUSTAKA

1. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at A Glance. Hongkong: SNP Best-set Typesetter Ltd;


2005. p36-9.
2. Vaughan, DG dkk.2000.Oftalmologi Umum edisi 14, Jakarta: Widya Medika.
3. PERDAMI. 2006. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,
PERDAMI.
4. Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5. Bord SP and Judith L. Trauma to the Globe and Orbit. Emergency Medicine Clinics of
North America. Elsevier Inc. 2008
6. Sreckovic S et al. Case Report : Traumatic Anterior dislocation of The Crystalline Lens
and It’s Surgical Management

Anda mungkin juga menyukai