Disusun oleh:
Shesy sya’haya
Ratu faradhila jonis
Perceptor:
Dr. M. Yusran, Sp.M
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Rani Eliza
Umur : 44 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Way Kanan
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan menurun pada mata kiri ±5 hari yang lalu disertai adanya mata merah
Status Generalis:
A. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,8oC
Status Generalis
Kepala
Muka : Simetris, normochepal, oedem (-)
Rambut : Hitam, pertumbuhan merata
Mata : Simetris
Telinga : Simetris, sekret (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Kesan : Dalam batas normal
Leher
Trakea : Deviasi trachea (-), letak normal
KGB : Tidak pembesaran pada KGB leher
Kesan : Dalam batas normal
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Systolic thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : SI/SII reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Pemeriksaan jantung dalam batas normal
Paru
Anterior Posterior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Normochest, Normochest, Normochest, Normochest,
pergerakan dada pergerakan dada pergerakan dada pergerakan dada
simetris simetris simetris simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil, Fremitus taktil,
dan ekspansi dada dan ekspansi dada ekspansi dada ekspansi dada
dextra = sinistra dextra = sinistra dextra = sinistra dextra = sinistra
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N),
ronki -/-, ronki -/- ronki -/-, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Kesan : Pemeriksaan abdomen dalam batas normal
Ekstremitas
Superior : Lengkap, cacat (-), oedem (-/-)
Infrerior : Lengkap, cacat (-), oedem (-/-)
Kesan : Dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS
OS OD
6/60 VISUS 1/~
Normal GERAK BOLA MATA Normal
Tidak dilakukan skiaskopi SKIASKOPI Tidak dilakukan skiaskopi
Eksoftalmus (-), Eksoftalmus (-),
endoftalmus (-), deviasi (-), BULBUS OCULI endoftalmus (-), deviasi (-),
strabismus (-), nistagmus (-) strabismus (-), nistagmus (-)
Dalam batas normal SUPERSILIA Dalam batas normal
Parese (-), paralise (-) PARESE/PARALISE Parese (-), paralise (-)
Edem (-), hiperemis (-) PALPEBRA SUPERIOR Edem (+), hiperemis (+)
Edem (-), hiperemis (-) PALPEBRA INFERIOR Edem (+), hiperemis (+)
Injeksi (-), sekret (-) KONJUNGTIVA PALPEBRA Injeksi (+), sekret ()
Injeksi (-) KONJUNGTIVA FORNIKS Injeksi (+)
Injeksi (-), Sekret (-) KONJUNGTIVA BULBI Injeksi (+), sekret (+)
Injeksi (-) SKLERA Injeksi (+)
Jernih KORNEA Keruh, Edema (+)
Kedalaman cukup, hipopion Kedalaman cukup, hipopion
COA
(-), (-),
Coklat, kripta (+) IRIS Coklat, Kripta
Bulat, Regular, Refleks Bulat, Regular, Refleks
PUPIL
Cahaya (+) Cahaya (+)
Jernih LENSA Afakia (+)
IV. RESUME
Pasien wanita berusia 44 tahun datang ke IGD RSUD Abdul Moeloek pada tanggal 17
Desember 2019 dengan keluhan penglihatan mata kiri menurun ±5 hari yang lalu disertai
adanya mata merah dan sempat mengalami perdarahan. Pasien Nyeri dirasakan pada bagian
mata kiri. Pasien mengatakan mata bagian kiri terkena kayu pada saat melihat pekerja yang
sedang memotong kayu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU baik, tanda-tanda vital dalam
batas normal. OD tidak tampak kelainan dan OS visus: 1/~, terdapat Injeksi Conjungtiva (+),
Injeksi Siliar (+), Injeksi Sklera (+), corneanya keruh dan edema, lensa afakia.
V. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Slit lamp
- Tes Tonometri
- Tes Flouresensi
VII. PENATALAKSANAAN
- Manitol 1 kolf 250gr IV
- Alletrol 5ml 6x1
- Timolol 0,5% 2x1
- Ciprofloxasin 500mg 2x1
- Metilprednisolon 16gr 2x1
- Intracapsular Cataract Extraction (ICCE) OS
VIII. PROGNOSA
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang dan disertai
peningkatan tekanan intraokuar, dan dapat menyebabkan kebutaan secara permanen.
Glaukoma sekunder adalah peningkatan tekanan intraokular yang didasari oleh adanya
penyakit mata lain. Glaukoma sekunder juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti
inflamasi, trauma, perdarahan, tumor, obat-obatan, dan pengaruh fisik atau kimia.
B. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah katarak.
Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis Afrika dibandingkan etnis
kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1. Glaukoma berpigmen terutama pada
etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih sering dijumpai glaukoma sudut tertutup.
C. Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup), miopi
(glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun, keturunan (riwayat glaukoma dalam keluarga), dan
ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes
melitus, peredaran darah dan regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan),
fenomena autoimun, degenerasi primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema / infeksi.
Hal yang memperberat resiko glaucoma antara lain:
• Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
• Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
• Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
• Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
• Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
• Miopia, risiko 2 kali lebih sering
• Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.
D. Patogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena trauma/benturan,
atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah (katarak hipermatur), uveitis
dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang akhirnya
menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut humor
aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik posterior, melewati pupil
masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata melalui suatu saluran. Jika aliran cairan
ini terganggu (biasanya karena penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik
anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu
diketahui, saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di otak, bayangan
tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision).
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan
retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga
sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik
buta pada lapang pandang mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang).
Bila seluruh serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan
kebutaan total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang
pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut saraf mata
sehingga menyebabkan blind spot.
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang merupakan
tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.
E. Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini agak
lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya berlanjut dengan
kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik
utama pada glaukoma sudut terbuka adalah proses degeneratif di jalinan trabekular,
termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel
kanalis Schelmm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah
penurunan drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
2. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital lainnya.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata yang lain
atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti:
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma fakolitik dan
fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom eksfoliasi).
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus yang disertai prolaps
iris)
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya pembentukan bilik mata
depan post-operasi katarak, blok pupil post operasi katarak).
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka waktu yang lama.
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana
sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut.
Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.
Gambar 2.2. Klasifikasi Glaukoma
Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain dapat diberikan obat-obat anti glaucoma. Bila
tidak berhasil dapat dipertimbangkan untuk melakukan iridektomi perifer. Operasi pengeluaran
lensa merupakan cara untuk menghilangkan penyebab utamanya dan hal ini merupakan
pengobatan yag paling berhasil
- Katarak Traumatik
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat
sesudah beberapa hari ataupun tahun.
Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior maupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk tercetak (imprinting) yang cincin Vossius.
Gambar 2.5. Vossius Ring.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan
menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil.
Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat
disertai dengan terdapatnya massa lensa di dalam bilik depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik massa lensa yang akan bercampur
magrofag dengan cepatnya, yang dapat menyebabkan uveitis. Lensa dengan kapsul anterior
saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang
disebut sebagi cincin Soemering atau bila epitel lensa berploriferasi aktif akan terlihat
mutiara Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okuler primer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka
segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang
tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat
mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasio retina,
uveitis atau salah letak lensa.
Gambar 2.4. Katarak traumatik (Flower-shaped cataract).
Gejala yang timbul pada pasien tergantung dari derajat keparahan dislokasi lensa. Apabila
dislokasi yang terjadi hanya ringan, mungkin tidak akan terlihat gejala, namun sebaliknya dislokasi
lensa yang parah dapat menimbulkan keluhan berupa gangguan akomodasi, diplopia dan gangguan
visus. Pada keadaan dengan komplikasi seperti glaucoma, dapat timbul keluhan akibat TIO yang
meningkat seperti nyeri kepala dan mual-muntah.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan slit lamp, apabila lensa terdapat di bilik
depan maka akan terlihat bentukan lensa di bilik mata depan. Pada dislokasi posterior, mungkin
bisa dilihat apabila pupil diperbesar (midriasis), namun apabila masih sulit, maka pemeriksaan
dengan USG dapat membantu.
Penatalaksanaan dislokasi lensa biasanya tergantung pada gejala yang timbul. Apabila
tidak timbul gejala/asimptomatik maka hanya perlu dilakukan observasi pada pasien. Namun
apabila telah timbul gejala seperti gangguan penglihatan sampai komplikasi seperti glaukoma
akibat peningkatan TIO, maka ekstraksi lensa harus segera dilakukan.
Pada dislokasi anterior, ekstraksi lensa harus dilakukan sedapat mungkin untuk menghidari
terjadinya glaucoma akut akibat lensa yang terlepas ke arah anterior dapat menyebabkan glaucoma
sudut tertutup akut. Sedangkan lensa yang terlepas ke arah posterior (badan vitreus) yang biasanya
tidak menimbulkan masalah dapat dibiarkan, kecuali apabila setelah beberapa lama dapat terjadi
decomposisi dari lensa yang dapat menyebabkan peradangan pada vitreus, maka perlu dilakukan
pengambilan lensa.
Setelah pengambilan lensa pasien dapat tetap dibiarkan afakia dan diberikan alat bantu
visus seperti kacamata afakia dan lensa kontak. Dapat juga diberikan penanaman lensa intraokuler
seperti halnya pada pasien katarak.
BAB II
DAFTAR PUSTAKA