Anda di halaman 1dari 8

Hasil

3.1 Karakter Populasi Penelitian

Penelitian ini melibatkan 394 orang yang baru didiagnosis kusta dan 391 orang dari
populasi yang secara klinis tak terlihat. Sebanyak 135 individu tidak diwawancarai karena
mereka tidak berada/tinggal di alamat mereka (n = 41), telah pindah (n=34), atau sudah
dipindah ke fasilitas kesehatan yang lain setelah didiagnosis (n = 18). 18 lain bepergian /
pergi / bekerja, 2 yang dipenjara, dan 6 dikeluarkan karena cacat mental. Sedangkan yang
lainnya sedang dirawat di rumah sakit (� = 3), atau tempat tinggal tidak terjangkau / luar
kota (� = 4). Hanya 8 orang menolak untuk berpartisipasi.

Dari 394 orang dengan kusta, 215 (54,6%) yang laki-laki dan 179 (45,4%) adalah
perempuan, berusia antara 15 86 tahun (rata-rata = 42,9 tahun; standar deviasi = 18,8). Di
populasi yang secara klinis tak terlihat (� = 391), 216 (55,2%) adalah laki-laki dan 175
(44,8%) adalah perempuan, berusia 15 sampai 89 tahun (Mean = 42,6; standar deviasi =
18,8). Lebih dari sepertiga dari individu dengan kusta bekerja (� = 140; 35,5%), dan 254
(64,5%) yang menganggur, sementara 159 (40,7%) dalam populasi klinis tak terlihat bekerja
dan 232 (59,3%) pengangguran. Hampir setengah (� = 218, 44,7%) dari mereka kusta yang
buta huruf, dibandingkan dengan 137 (35,0%) dari populasi klinis yang tak terlihat.

Individu yang terkena kusta sebanyak 228 (63,8%) diklasifikasikan sebagai kusta
multibasiler. Mayoritas tidak memiliki cacat saat di diagnosis (Grade 0) (� = 146, 58,2%),
yang diikuti oleh kelas I (� = 82, 32,7%) and Grade II (� = 23, 9,2%). Bentuk klinis dari
kusta adalah terutama tipe borderline (� = 166, 46,9%), diikuti oleh tuberkuloid (� = 82,
23,2%), lepromatous (� = 47, 13,3%), tak tentu (� = 44, 12,4%), dan kusta saraf (� = 15,
4,2%).

Dari mereka yang menderita kusta, 258 (65,5%) adalah pendatang sejak lahir, 105
(26,6%) adalah pendatang di lima tahun terakhir, dan 43 (10,9%) adalah pendatang
melingkar. Pada kelompok klinis tak terlihat, 266 (68,0%) pendatang sejak lahir, 81 (20,7%)
pendatang di lima tahun terakhir, dan 32 (8,2%) pendatang melingkar.
Pada penelitian ini Variabel dari analisis bivariat terkait dengan migrasi dengan nilai
(� <0,05) termasuk ke dalam model multivariat.

3.2 Faktor Terkait dengan Migrasi setelah Lahir

Diantara pendatang sejak lahir dengan penyakit kusta, demografi, perilaku, dan faktor
klinis ditemukan terkait/berhubungan dengan migrasi/perpindahan (Tabel 1) dibandingkan
dengan penduduk nonmigrant/bukan pendatang yang menderita kusta. Variabel perilaku
termasuk stres dalam kehidupan dan konsumsi alkohol di kalangan orang-orang dengan
kusta. Stres sebagai akibat dari terpisahnya keluarga dan teman-teman dikaitkan dengan
terjadinya migrasi/perpindahan. Tidak menjadi pegawai formal atau pegawai tetap baik itu
bulanan, harian, atau wiraswasta secara bermakna berhubungan dengan migrasi di kalangan
penderita kusta borderline. Stres sebagai akibat dari terpisahnya keluarga dan teman-teman,
tidak pernah bekerja ternyata berhubungan dengan migrasi pada kelompok kusta yang secara
klinis tak terlihat (clinically unapparent) (tabel 2) dibandingkan dengan kelompok warga
dengan kusta yang secara klinis tak terlihat yang bukan pendatang.

3.3 Faktor Terkait dengan Migrasi di Lima Tahun Lalu.

Mirip dengan pendatang sejak lahir (birth migrant), perilaku dan gaya hidup stressor
variabel juga dikaitkan dengan migrasi/perpindahan di antara mereka penderita kusta (Tabel
3) dibandingkan dengan penduduk penderita kusta yang bukan pendatang. Perpisahan
dengan keluarga dan teman-teman secara signifikan berkaitan dengan terjadinya
migrasi/perpindahan. Sedangkan diantara populasi klinis tak terlihat (unapparent population)
tabel 4, terpisahnya dari keluarga dan teman-teman tetap secara bermakna terkait dengan
migrasi bila dibandingkan dengan populasi klinis tak terlihat yang bukan pendatang.
3.4 Faktor yang berhubungan dengan Circular Migrasi Lima Tahun sebelum
Diagnosis.

Stresor dan perilaku yang berhubungan dengan migrasi melingkar di antara mereka
penderita kusta (Tabel 5) dibandingkan dengan penduduk nonmigrant dengan kusta. Stres
akibat terpisah dari keluarga dan teman-teman sama-sama berhubungan antara migran
melingkar yang menderita kusta dibandingkan dengan penduduk non migran yang menderita
kusta, sama juga seperti migran klinis tak terlihat (Tabel 6) dibandingkan warga nonmigrant
klinis tak terlihat. Uniknya ditemukan bahwa para migran dengan kusta, kebiasaan konsumsi
alkohol serta kesulitan dalam mencapai pusat kesehatan dikaitkan dengan migrasi melingkar.
4. Diskusi

Dalam penelitian ini kami menilai faktor yang terkait dengan migrasi di antara mereka
penderita kusta di timur laut Brasil. Kami menemukan beberapa perbedaan factors- perilaku
dan psikososial, stres hidup, konsumsi alkohol, dan akses-kesehatan unik terkait dengan
migrasi/perpindahan individu penderita kusta. Konsumsi alkohol dan akses kesehatan tidak
terkait dengan migrasi pada populasi yang secara klinis tak terlihat (clinically unapparent),
sedangkan stres kehidupan berhubungan dengan gaya hidup para pendatang terlepas dari
penyakit.

Kami memeriksa status sosial ekonomi, demografi kunci, dan lingkungan rumah
tangga, seperti fitur ini telah dikaitkan dengan risiko NTD (neglected tropical disease) dan
migrasi. Namun, sebagian besar faktor-faktor sosial tidak ditemukan terkait dengan migrasi di
maranhao pada penelitian ini. Rumah tangga dan paparan keluarga terhadap kust, resiko
paparan primer terhadap kusta tidak ditemukansecara signifikan jika dibandingkan antara
pendatang dengan penderita kusta yang bukan pendatang, namun pada penelitian mendatang
perlu mempertimbangkan peran keluarga dan kontak kusta yang lain selama migrasi.
Pemisahan dari keluarga dan teman-teman, dianggap sebagai stressor utama dalam
kehidupan, ditemukan secara signifikan terkait dengan migrasi. Stres dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis dan memicu perubahan pada sistem biologis tubuh manusia dan juga
telah ditemukan terkait dengan gangguan respon imun. Untuk pendatang, stres dapat
membuat lebih rentan terhadap penyakit menular seperti kusta.

Sementara stres dari pemisahan dari keluarga dan teman-teman menonjol


pengaruhnya pada pendatang yang menderita kusta. Kemungkinan pengaruh stressor ini lebih
dominan pada kelompok penderita yang secara klinis tidak terlihat. Stres sosial juga dapat
menyebabkan risiko lain seperti penyalahgunaan alkohol, dan dalam penelitian ini kami
menemukan bahwa saat konsumsi alkohol membedakan pendatang dengan kusta dari klinis
tak terlihat. Perpindahan terkait konsumsi alkohol telah didokumentasikan dan juga telah
ditemukan berhubungan dengan penyakit mikobakteri dan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi, yang mungkin relevan dalam hal kerentanan terhadap infeksi kusta. In maranhao,
kebiasaan konsumsi alkohol ditemukan sebagai faktor signifikan yang berpengaruh pada
diagnosis baru penyakit kusta pada pendatang sejak lahir, pendatang lima tahun terakhir dan
circular migrasi. Selain itu fungsi liver pada pasien kusta tipe lepromatosus terganggu dan
konsumsi alkohol dipertimbangkan sebagai resiko penyebab relap, kerentanan penyakit.

Di Maranh~ao, pendatang lima tahun terakhir dan pendatang melingkar yang


menderita kusta secara signifikan lebih sulit mencapai pusat kesehatan dari warga nonmigrant
yang menderita kusta, sementara tidak ada perbedaan yang signifikan antara migran dan
penduduk nonmigrant di populasi klinis tak terlihat (clinically unapparent). Jarak dan
penyakit adalah alasan utama dalam kesulitan mengakses klinik kesehatan di antara mereka
dengan penyakit kusta dalam penelitian ini, dan penelitian lainnya juga telah ditemukan
migrasi yang merupakan penghalang untuk pemanfaatan fasilitas kesehatan.

Tiga faktor utama stress gaya hidup, konsumsi alkohol dan akses kesehatan
merupakan hal penting dalam hal resiko yang berhubungan dengan migrasi dan kontrol
penyakit. Penyalahgunaan alkohol dan tekanan psikologis yang signifikan tidak hanya
mempengaruhi respon sistem kekebalan tubuh tetapi juga dapat berkontribusi untuk
keterlambatan dalam mengakses layanan kesehatan, keterlambatan diagnosis, dan
pengobatan.

5. Kekurangan

Kami percaya bahwa penelitian ini menyoroti dan mewakili dari isu-isu nasional
mengenai kusta dan migrasi di Brazil sebagai populasi sampel yang berasal dari kota
endemik dan berisiko tinggi untuk terjadinya transmisi, dan maranhao adalah kota di brazil
dengan tingkat migrasi masuk dan keluar yang tinggi/banyak. Namun penelitian ini dilakukan
secara cross sectional yaitu pada satu waktu dan terbatas pada empat kota di area
hiperendemis dan terdapat subjek yang terbatas. Contohnya adalah, terdapat penderita yang
keluar dari wilayah studi ini tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini dan hanya
menggunakan data pendatang yang saat itu berada di area penelitian dibandingkan dengan
warga yang bukan pendatang.
Data sosial ekonomi hanya terfokus pada waktu penelitian dilakukan dan dengan
demikian tidak termasuk jangka waktu ketika migrasi terjadi. Data mungkin tidak
mencerminkan saat infeksi kusta yang sebenarnya terkena lima tahun rata-rata latency period.

Karena kesulitan dalam menetapkan urutan kejadian, interpretasi hubungan kausal


harus diambil dengan hati-hati. Peristiwa mungkin disebabkan oleh migrasi dan / atau
menyebabkan migrasi itu sendiri. Faktor penting yang secara tidak langsung mempengaruhi
penularan kusta perlu juga dipertimbangkan dalam penelitian di masa depan berkaitan
tentang migrasi dan kusta di kotamadya endemis

6. Kesimpulan

Ini merupakan studi cross-sectional pertama yang difokuskan pada pendatang yang
terkena kusta. Faktor psikososial dan akses layanan kesehatan adalah faktor signifikan yang
berhubungan dengan migrasi pada populasi rentan. Penelitian ini juga membahas baik
konsumsi alkohol dan stres karena berhubungan dengan menurunnya fungsi kekebalan tubuh
dan kesejahteraan psikologis sesuai dikutip dalam literatur untuk mendukung temuan kami
Namun, keterbatas Penelitian ini masih ada pada peran konsumsi alkohol dan kerentanan
NTDs. Penelitian kualitatif dan kuantitatif memanjang mengenai Konsumsi alkohol ringan,
sedang, dan berat ditetapkan berhubungan dengan kausal stres dan risiko untuk infeksi kusta.

Akses kesehatan muncul sebagai perhatian utama bagi para pendatang dengan kusta,
sektor kesehatan perlu dipertimbangkan untuk di atur ulang untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang bermigrasi. Penyediaan layanan kesehatan mobile dapat mengatasi
permasalahan kesulitan akses. Dengan memperbaiki akses kesehatan maka dapat
meningkatkan dan menyegerakan diagnosis lebih awal dan mengurangi kejadian kecacatan
dan meningkatkan tujuan dari terapi.

Anda mungkin juga menyukai