Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................. Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
A. Definisi ......................................................................................................... 4
B. Klasifikasi .................................................................................................... 4
C. Etiologi ......................................................................................................... 6
D. Patofisiologi ................................................................................................. 6
E. Pathway ...................................................................................................... 11
F. Epidemiologi .............................................................................................. 12
G. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 13
H. Komplikasi ................................................................................................. 14
I. Pemeriksaan Diagnostik ............................................................................. 15
J. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 16
K. Penatalaksanaan ......................................................................................... 18
L. Konsep Pencegahan ................................................................................... 21
M. Asuhan Keperawatan ................................................................................. 22
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 35
A. Kesimpulan ................................................................................................ 35
B. Saran ........................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini perhatian penyakit tidak menular semakin meningkat karena
frekuensi kejadiannya pada masyarakat semakin meningkat. Dari sepuluh
penyebab utama kematian, dua di antaranya adalah penyakit tidak menular.
Keadaan ini terjadi di dunia, baik di negara maju maupun di negara dengan
ekonomi rendah dan menengah. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menggunakan istilah penyakit kronis (chronic diseases) untuk berbagai macam
penyakit tidak menular salah satunya penyakit diabetes mellitus (Bustan, 2007).
Diabetes mellitus merupakan sebuah penyakit, di mana kondisi kadar glukosa
darah melebihi ambang batas normal. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak
dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Insulin berfungsi
sebagai alat yang membantu glukosa berpindah ke dalam sel sehingga bisa
menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi (Mahdiana, 2010).
Penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit tidak menular yang mengalami
peningkatan terus-menerus setiap tahunnya. Penyakit diabetes mellitus tidak
menimbulkan gejala (asimptomatik) dan sering disebut sebagai pembunuh
manusia secara diam-diam atau “Silent Killer” yang menyebabkan kerusakan
vaskular sebelum penyakit ini terdeteksi. Diabetes mellitus dalam jangka
panjang dapat menimbulkan gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan
patologis makrovaskular dan mikrovaskular (Gibney dkk., 2008).
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes
melitus yang cukup besar untuk masa yang akan datang. Berdasarkan data WHO,
negara Indonesia merupakan urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita
diabetes mellitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah penderita diabetes mellitus
di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah tersebut baru 50% penderita
yang sadar mengidap diabetes mellitus dan sekitar 30% di antaranya melakukan
pengobatan rutin. Faktor lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti
makan berlebihan, berlemak, kurang aktivitas dan stress sebagai faktor pemicu
terjadinya penyakit diabetes mellitus yang sangat berpengaruh besar. Selain itu

1
diabetes mellitus juga bisa muncul karena adanya faktor keturunan
(Sidhartawan, 2008). Pada saat ini penyakit tidak menular seperti hipertensi dan
diabetes mellitus merupakan penyakit yang sering terjadi di masyarakat
sehingga perlu dilakukan tindakan intervensi dalam kegiatan Program PPTM
(Penanggulangan Penyakit Tidak Menular) yaitu dengan memperbanyak
skrining, penyuluhan (pendidikan) kesehatan, perencanaan makan (diet), rutin
melakukan olahraga serta persiapan logistiknya terutama obat diharapkan
penderita diabetes mellitus dalam kondisi stabil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan diabetes mellitus?
2. Bagaimana klasifikasi dari diabetes mellitus?
3. Apa saja etiologi dari diabetes mellitus?
4. Bagaimana patofisiologi dari diabetes mellitus?
5. Bagaimana pathway dari diabetes mellitus?
6. Bagaimana epidemiologi dari diabetes mellitus?
7. Bagaimana manifestasi klinis dari diabetes mellitus?
8. Apa saja komplikasi dari diabetes mellitus?
9. Bagaimana cara pemeriksaan diagnostik dari diabetes mellitus?
10. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang dari diabetes mellitus?
11. Bagaimana cara penatalaksanaan dari diabetes mellitus?
12. Bagaimana konsep pencegahan dari diabetes mellitus?
13. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan diabetes mellitus?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan definisi diabetes mellitus.
2. Untuk menjelaskan bagaimanakah klasifikasi diabetes mellitus.
3. Untuk menjelaskan etiologi diabetes mellitus.
4. Untuk menjelaskan bagaimanakah patofisiologi diabetes mellitus.
5. Untuk menjelaskan bagaimanakah pathway diabetes mellitus.
6. Untuk menjelaskan bagaimanakah epidemiologi diabetes mellitus.

2
7. Untuk menjelaskan bagaimanakah manifestasi klinis diabetes mellitus.
8. Untuk menjelaskan komplikasi diabetes mellitus.
9. Untuk menjelaskan bagaimanakah cara pemeriksaan diagnostik diabetes
mellitus.
10. Untuk menjelaskan bagaimanakah cara pemeriksaan penunjang diabetes
mellitus.
11. Untuk menjelaskan bagaimanakah cara penatalaksanaan diabetes mellitus.
12. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan diabetes mellitus.
13. Untuk menjelaskan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan
diabetes mellitus.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronik yang
ditandai dengan peningkatan glukosa di dalam darah, yang disebabkan karena
suplai dan kebutuhan insulin tidak seimbang. Insulin dibutuhkan untuk
memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel agar dapat digunakan untuk
metabolisme dan pertumbuhan sel (Tarwoto, 2012).
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
tingginya tingkat glukosa (gula) di dalam darah yang terjadi akibat defek sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya (Smeltzer & Bare, 2005).
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik, progresif yang dikarakteristikkan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein pada awal terjadinya hiperglikemia (Black & Hawk, 2009).
Menurut Suryono (2007) diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan
kadar glukosa di dalam darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif.

B. Klasifikasi
Menurut WHO (1985) dan American Diabetes Association (2003), bahwa
penyakit diabetes mellitus (DM) diklasifikasikan menjadi:
a. Diabetes melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (INDDM)
yaitu diabetes mellitus yang bergantung pada hormon insulin. Pasien sangat
ketergantungan dengan insulin yang dimasukkan melalui penyuntikan untuk
mengendalikan gula darah. Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena
kerusakan sel beta pankreas yang menghasilkan insulin.
b. Diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) yaitu diabetes mellitus yang tidak bergantung pada hormon
insulin. Diabetes mellitus tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas
terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan produksi insulin.

4
Diabetes melltius tipe 2 banyak terjadi pada usia dewasa lebih dari 45 tahun,
karena lambat berkembang dan terkadang tidak terdeteksi, tetapi jika kadar
glukosa (gula) di dalam darah tinggi, baru dapat dirasakan seperti
kelemahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, proses penyembuhan luka yang
lama, infeksi vagina, dan kelainan penglihatan.
 Faktor resiko diabetes mellitus tipe 2 yaitu sebagai berikut:
- Usia di atas 45 tahun, diabetes mellitus tipe 2 jarang terjadi pada usia
muda.
- Obesitas, berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal.
- Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe 2.
- Riwayat adanya gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa
puasa.
- Hipertensi lebih dari 140/90 mmHg atau Hiperlipidemia, kolesterol
atau trigliserida lebih dari 150mg/dl
- Riwayat gestasional diabetes mellitus atau melahirkan bayi di atas 4
kg.
- Polycystic ovarian syndrome yang diakibatkan resistensi dari insulin.
c. Diabetes karena malnutrisi terjadi akibat malnutrisi biasanya pada penduduk
yang miskin.
d. Diabetes sekunder yaitu diabetes mellitus yang berhubungan dengan
keadaan atau penyakit tertentu, misalnya penyakit pankreas, endokrinopati,
penyakit infeksi seperti kongenital rubella, serta syndrome genetic diabetes
seperti Syndrome Down.
e. Diabetes mellitus gestasional yaitu diabetes mellitus yang terjadi pada masa
kehamilan, dapat didiagnosa dengan menggunakan test toleran glukosa,
terjadi sekitar 24 minggu kehamilan.

5
C. Etiologi
Penyebab dari diabetes mellitus belum diketahui secara lengkap dan
kemungkinan faktor penyebab dan faktor resiko penyakit diabetes mellitus
seperti berikut ini:
- Riwayat keturunan dengan diabetes mellitus, misalnya pada diabetes
mellitus tipe 1 diturunkan sebagai sifat heterogen, multigenik. Kembar
identik mempunyai resiko 25-50%, sementara saudara kandung beresiko 6%
dan anak beresiko 5%.
- Lingkungan seperti virus (Rubella, Cytomegalovirus, dan Mumps) yang
dapat memicu terjadinya autoimun dan menghancurkan sel-sel beta
pankreas, obat-obatan dan zat kimia seperti pentamidine, alloksan dan
streptozotocin.
- Usia di atas 45 tahun.
- Obesitas, berat badan lebih atau sama dengan 20% berat badan ideal.
- Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan Afrika atau Asia.
- Hipertensi, tekanan darah lebih dari atau sama dengan 140/90 mmHg.
- HDL kolesterol lebih dari atau sama dengan 35mg/dl, atau trigliserida lebih
dari 250 mg/dl.
- Riwayat gestasional diabetes mellitus.
- Kebiasaan diet.
- Kurang olahraga.
- Wanita dengan hirsutisme atau penyakit policistikovari.

D. Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Pada diabetes mellitus tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali

6
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia)
akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan
glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada
penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton
yang merupakan produk sampingan dalam pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, napas bau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan
cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang
sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer & Bare, 2013).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.

7
Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes
mellitus tipe 2. Walaupun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Diabetes mellitus
tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30
tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes mellitus tipe 2
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan , iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang tak kunjung sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%), penyakit diabetes
mellitus tipe 2 yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya,
pada saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu
konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun
adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata,
neuropati perifer, kelainan vaskuker perifer) mungkin sudah terjadi sebelum
diagnosis ditegakkan. Penanganan primer diabetes mellitus tipe 2 adalah
dengan menurunkan berat badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan

8
obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan
efektivitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet dan
latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Jika penggunaan
obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar glukosa
hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagian
pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stress
fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan (Smeltzer &
Bare, 2013).
3. Diabetes Kehamilan
Diabetes yang terjadi selama kehamilan perlu mendapat perhatian
khusus. Wanita yang sudah diketahui menderita diabetes sebelum terjadinya
pembuahan harus mendapatkan penyuluhan atau konseling tentang
penatalaksanaan diabetes selama kehamilan. Pengendalian diabetes yang
buruk (hiperglikemia) pada saat pembuahan dapat disertai timbulnya
malformasi kongenital. Karena alasan inilah, wanita yang menderita diabetes
harus mengendalikan penyakitnya dengan baik sebelum konsepsi terjadi dan
sepanjang kehamilannya. Dianjurkan agar wanita yang menderita diabetes
sudah memulai program terapi yang intensif (pemeriksaan kadar glukosa
darah empat kali per hari) dengan maksud untuk mencapai kadar hemoglobin
A1C yang normal tiga bulan sebelum pembuahan. Pemantauan yang ketat dan
pemeriksaan oleh dokter spesialis untuk kehamilan beresiko tinggi sangat
dianjurkan.
Diabetes yang tidak terkontrol pada saat melahirkan akan disertai
dengan peningkatan insidens makrosomia janin (bayi yang sangat besar),
persalinan dan kelahiran yang sulit, bedah sesar serta setelah lahir langsung
meninggal (stillbirth). Di samping itu, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita hiperglikemia dapat mengalami hipoglikemia pada saat lahir.
Keadaan ini dapat terjadi karena pankreas bayi yang normal telah
mensekresikan insulin untuk mengimbangi keadaan hiperglikemia ibu. Bayi
ini membutuhkan pemantauan yang ketat dalam kamar bayi, dan kadar
glukosa darahnya harus sering diukur. Jika terjadi hipoglikemia, pemberian
air gula harus segera dilakukan (Smeltzer & Bare, 2013).

9
4. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes
sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat
sekresi hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani
skrining pada usia 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi kemungkinan
diabetes. Penatalaksanaan pendahuluan mencakup modifikasi diet dan
pemantauan kadar glukosa. Jika hiperglikemia tetap terjadi, preparat insulin
harus diresepkan. Obat hipoglikemia oral tidak boleh digunakan selama
kehamilan. Tujuan yang akan dicapai adalah kadar glukosa selama
kehamilan yang berkisar dari 70 hingga 100 mg/dl sebelum makan (kadar
gula nuchter) dan kurang dari 165 mg/dl pada 2 jam sesudah makan (kadar
gula 2 jam postprandial).
Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang
menderita diabetes gestasional akan kembali normal. Walaupun begitu,
banyak wanita yang mengalami diabetes gestasional ternyata di kemudian
hari menderia diabetes mellitus tipe 2. Oleh karena itu, semua wanita yang
menderita diabetes gestasional harus mendapatkan konseling guna
mempertahankan berat badan idealnya dan melakukan latihan secara teratur
sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penyakit diabetes mellitus tipe
2 (Smeltzer & Bare, 2013).

10
E. Pathway

11
F. Epidemiologi
Diabetes mellitus telah dikategorikan sebagai penyakit global oleh Organisasi Kesehatan
Dunia atau World Health Organization (WHO). Jumlah penderita diabetes mellitus ini
meningkat di setiap negara. Berdasarkan data dari WHO (2006), diperkirakan terdapat 171 juta
orang di dunia menderita diabetes mellitus pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat
menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030. Sekitar 4,8 juta orang di dunia telah meninggal
akibat diabetes mellitus. Setengah dari penderita diabetes mellitus ini tidak terdiagnosis.
Sepuluh besar negara dengan prevalensi diabetes mellitus tertinggi di dunia pada tahun
2000 adalah India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan
Bangladesh. Pada tahun 2030, di negara India, Cina, dan Amerika diprediksikan tetap
menduduki posisi tiga teratas negara dengan prevalensi diabetes mellitus tertinggi. Sementara
itu, di Indonesia diprediksikan akan tetap berada dalam sepuluh besar negara dengan prevalensi
diabetes mellitus tertinggi pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, et al, 2004).
Indonesia menduduki posisi keempat dunia setelah India, Cina, dan Amerika dalam
prevalensi diabetes mellitus. Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang menderita diabetes
mellitus yaitu sebesar 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2030 menjadi
21,3 juta jiwa. Data ini menunjukkan bahwa angka kejadian diabetes mellitus tidak hanya tinggi
di negara maju tetapi juga di negara berkembang, seperti Indonesia. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional,
prevalensi diabetes mellitus berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan adanya gejala
yaitu sebesar 1,1%. Sedangkan prevalensi berdasarkan hasil pengukuran kadar gula darah pada
penduduk yang berumur lebih dari lima belas tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7%
(Depkes, 2008).

12
G. Manifestasi Klinis
Tanda atau gejala-gejala khas pada diabetes mellitus antara lain sebagai berikut:
- Poliuria (banyak kencing)
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal bersama
urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorbsi di tubulus
ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air sehingga
frekuensi miksi menjadi meningkat.
- Polidipsi (banyak minum)
Banyaknya miksi menyebabkan tubuh dehidrasi, hal ini merangsang pusat haus yang
mengakibatkan peningkatan rasa haus.
- Poliphagi (banyak makan)
Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan
energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar.
- Penurunan berat badan
Hal ini disebabkan karena tubuh banyak kehilangan cairan glikogen dan cadangan
trigliserida serta massa otot.
- Kelelahan
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potasium menjadi penyebab
pasien mudah lelah.
- Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal di sekitar daerah kemaluan
Peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan pada kulit sehingga menjadi gatal,
karena jamur dan bakteri yang mudah menyerang kulit.
- Kelainan pada mata (penglihatan kabur)
Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah melambat, sirkulasi
darah ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta
kekeruhan pada lensa.

13
- Ketonuria
Ketika glukosa tidak digunakan sebagai energi, maka asam lemak digunakan untuk energi,
asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan
melalui ginjal.
- Terkadang tanpa gejala
Pada keadaan tertentu tubuh sudah bisa beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah
(Tarwoto, 2012).

H. Komplikasi
Pasien dengan diabetes mellitus beresiko terjadi komplikasi, baik yang bersifat akut
maupun kronik, diantaranya:
1. Komplikasi akut
a. Koma hiperglikemia, yang disebabkan kadar gula sangat tinggi biasanya terjadi pada
diabetes mellitus tipe 2.
b. Ketoasidosis, sebagai hasil metabolisme lemak dan protein terutama yang terjadi pada
diabetes mellitus tipe 1.
c. Koma hipoglikemia akibat terapi insulin yang berlebihan dan tidak terkontrol.
2. Komplikasi kronis
a. Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf perifer) pada organ-organ yang
mempunyai pembuluh darah kecil seperti pada:
- Retinopati diabetika (kerusakan pada saraf retina di mata) sehingga mengakibatkan
kebutaan.
- Neuropati diabetika (kerusakan saraf-saraf perifer) mengakibatkan baal/gangguan
sensoris pada organ tubuh.
- Neuropati diabetika (kelainan/kerusakan pada ginjal) dapat mengakibatkan gagal
ginjal.
b. Makroangiopati
- Kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard infark maupun
gangguan fungsi jantung karena arteriskelosis.
- Penyakit vaskuler perifer.
- Gangguan sistem pembuluh darah otak atau stroke.

14
c. Gangguan diabetika karena adanya neuropati dan terjadi luka yang tidak sembuh-
sembuh.
d. Disfungsi erektil diabetika.
Angka kematian dan kesakitan dari diabetes mellitus terjadi akibat komplikasi seperti
karena:
- Hiperglikemia atau hipoglikemia.
- Meningkatnya resiko infeksi.
- Komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati dan nefropati.
- Komplikasi neurofatik.
- Komplikasi makrovaskuler seperti penyakit jantung koroner, dan stroke.

I. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menentukan penyakit diabetes mellitus, selain dikaji tanda dan gejala yang dialami
pasien juga yang penting untuk dilakukan yaitu pemeriksaan (tes) diagnostik diantaranya
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS) yaitu menentukan jumlah
glukosa darah pada saat puasa.
2. Pemeriksaan gula darah postprandial yaitu menentukan gula darah setelah makan.
3. Pemeriksaan toleransi glukosa oral/oral glukosa tolerance test (TTGO) yaitu menentukan
toleransi terhadap respon pemberian glukosa.
4. Pemeriksaan glukosa urine yaitu pemeriksaan yang kurang akurat karena hasil pemeriksaan
ini hanya dipengaruhi oleh berbagai hal misalnya karena obat-obatan seperti aspirin,
vitamin C dan beberapa antibiotik, adanya kelainan ginjal dan pada lansia dimana ambang
ginjal meningkat. Adanya glukosaria menunjukkan ambang ginjal terhadap glukosa
terganggu.
5. Pemeriksaan ketone urine
Badan ketone merupakan produk sampingan proses pemecahan lemak dan senyawa ini
akan menumpuk pada darah dan urine. Jumlah keton yang besar pada urine akan merubah
pereaksi pada strip menjadi keunguan. Adanya ketonuria menunjukkan adanya
ketoasidosis.

15
6. Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida dapat meningkat karena
ketidakadekuatan kontrol glikemik.
7. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbA1c): Pemeriksaan lain untuk memantau rata-rata
glukosa darah yaitu glykosylated hemoglobin (HbA1c). Pemeriksaan ini mengukur
presentasi glukosa yang melekat pada hemoglobin. Pemeriksaan ini menunjukkan kadar
glukosa dalam rata-rata selama 120 hari sebelumnya, sesuai usia eritrosit. HbA1c
digunakan untuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi
resiko komplikasi. Hasil HbA1c tidak berubah karena pengaruh kebiasaan makan sehari
sebelum dilakukan tes. Pemeriksaan HbA1c dilakukan untuk diagnosis dan pada interval
tertentu untuk mengevaluasi penatalaksanaan diabetes mellitus. Direkomendasikan
dilakukan 2 kali dalam setahun bagi pasien diabetes mellitus. Kadar yang
direkomendasikan oleh ADA adalah <7 % (Tarwoto, 2012).

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring dapat dilakuakan dengan pemriksaan glukosa darah sewaktu,
kadar gula darah puasa dan kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa oral standar. Untuk
kelompok orang-orang dengan resiko diabetes mellitus tinggi seperti usia dewasa tua tekanan
darah tinggi, obesitas dan adanya riwayat keluarga dan menghasilkan hasill pemeriksaan
negatif perlu melakukan pemeriksaan penyaring setiap tahun. Bagi beberapa pasien yang
berusia tua tanpa faktor resiko pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 1.1 Interpretasi Kadar Glukosa Darah
Bukan DM Belum Pasti DM DM

Kadar gluksa darah sewaktu

Plasma vena <110 110-199 >200

Darah kapiler <90 90-199 >200

Kadar glukosa darah rutin

Plasma vena <110 110-125 >126

16
Darah kapiler <90 90-109 >110

a. Tes Toleransi Glukosa Oral/TTOG


Tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosa diabetes awal secara pasti, namun tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan dengan manifestasi klinis dan
hiperglikemia. Cara pemeriksaaan dari TTGO yaitu sebagai berikut:
- Tiga hari sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien makan seperti biasa.
- Kegiatan jasmani cukup.
- Pasien puasa selama 10-12 jam.
- Periksa kadar gula darah puasa.
- Berikan glukosa 75 gram dan dilarutkan ke dalam 250 ml air lalu minum dalam waktu
5 menit.
- Periksa glukosa darah saat ½, 1, hingga 2 jam setelah diberi glukosa.
- Saat pemeriksaan pasien harus istirahat dan tidak merokok.
Pada saat keadaan sehat, kadar glukosa darah individu dengan toleransi glukosa
normal adalah 70-110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat
namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum < 200
mg/dl setelah ½, 1, dan 1½ jam setelah pemberian glukosa, dan 140 mg/dl setelah 2 jam
setelah pemberian glukosa ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.
b. Tes benedict
Pada tes benedict, digunakan suatu reagen yang disebut dengan reagen benedict dan urin
berperan sebagai spesimen. Cara kerja dari tes benedict yaitu:
- Masukkan 1-2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi.
- Masukkan 1 reagen benedict ke dalam urin tersebut kemudian dikocok.
- Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit.
- Perhatikan jika ada perubahan warna.
Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kinerja ginjal karena pada keadaan diabetes
mellitus kadar glukosa darah sangat tinggi sehingga dapat merusak glomerolus ginjal
sehingga pada akhirnya ginjal dapat mengalami kebiciran dan akhirnya dapat terjadi gagal
ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan, tanpa adanya penanganan yang benar untuk mengurangi
kandungan glukosa dalam darah yang tinggi maka akan terjadi berbagai komplikasi
sistemik yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan berakhir dengan kematian.

17
c. Rothera test
Pada test ini, urin juga digunakan sebagai spesimen sebagai reagen yang dipakai, rothere
agens dan amonium hidroksida pekat. Fungsi dari dilakukannya test ini untuk mendeteksi
adanya aseton dan asam asetat dalam urin yang mengindikasikan adanya kemungkinan
dari ketoasidosis akibat dari diabetes mellitus kronik yang tidak ditangani. Cara kerja dari
tes ini adalah sebagai berikut:
- Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi.
- Masukkan 1 gram agens rothera dan kocok hingga larut.
- Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu masukkan 1-2 ml amonium hidroksida
secara perlahan ke dalam dinding tabung.
- Taruh tabung dalam keadaan tegak.
- Baca hasil setelah selang waktu 3 menit.
- Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan menandakan
adanya zat keton (Mansjoer dkk, 2000).

K. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima berdasarkan dengan
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia tahun 2006 yaitu untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien diabetes mellitus. Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus ada dua yaitu
sebagai berikut: (1) Jangka pendek yaitu hilangnya tanda dan keluhan diabetes mellitus, dengan
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian kadar glukosa darah, (2)
Jangka panjang yaitu tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan diabetes mellitus adalah turunnya
morbiditas dan mortalitas dari penyakit diabetes mellitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian kadar glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid,
melalui pengelolaan pasien secara holistik atau menyeluruh dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku (Fatimah, 2015).
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada pasien yang menderita diabetes mellitus hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penderita diabetes

18
mellitus perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanannya, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun kadar
glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%. Untuk
menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Body Mass Index
(BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan (obesitas). Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan
rumus berikut:
IMT = Berat Badan (Kg) : (Tinggi Badan (m))2
2. Exercise (Latihan Fisik/Olahraga)
Dianjurkan latihan (olahraga) secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive,
Endurance (CRIPE). Training (latihan) sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh
adalah olahraga ringan seperti, jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
3. Pendidikan Kesehatan (PenKes)
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan diabetes mellitus. Pendidikan
kesehatan dengan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat yang
beresiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien
diabetes mellitus. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan
kepada pasien yang sudah mengidap diabetes mellitus dengan penyulit menahun.
4. Obat (Oral Hipoglikemik dan Insulin)
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar glukosa di dalam darah, maka dipertimbangkan pemakaian obat
hipoglikemik. Obat-obat yang digunakan untuk penyakit diabetes mellitus yaitu sebagai
berikut:
 Antidiabetik Oral
Penatalaksanaan pasien diabetes mellitus dilakukan dengan menormalkan kadar glukosa
darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala,
optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien diabetes

19
mellitus tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral
terutama ditujukan untuk penanganan pasien diabetes mellitus tipe 2 ringan sampai
sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta
olahraga rutin. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan
olahraga dilakukan, kadar glukosa darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%.
Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat
antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan
terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau
kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit diabetes mellitus serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang
ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea,
biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.
 Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan
jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien
yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin
dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadang kala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang
memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon
yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak.
Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian
besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan
pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen,
menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (Fatimah, 2015).

L. Konsep Pencegahan
Beberapa cara dapat dilakukan dalam pencegahan diabetes mellitus yaitu sebagai berikut:
1. Pencegahan primer

20
Pencegahan yang dilakukan pada kelompok yang beresiko tinggi terkena diabetes mellitus.
Orang dengan riwayat keluarga memiliki diabetes mellitus tetapi orang tersebut belum
pernah terkena diabetes mellitus, dan tergolong usia dewasa di atas 45 tahun, kegemukan,
tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg). Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menghindari faktor-faktor tersebut.
2. Pencegahan sekunder
Upaya ini dilakukan untuk menghindari terjadinya komplikasi dengan tindakan dini dan
dilakukan sejak awal penyakit. Penyuluhan mengenai diabetes mellitus sangat berperan
penting untuk meningkatkan kesadaran berobat pada penderita diabetes mellitus agar tidak
terjadi komplikasi.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan ini dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dan telah terjadi
komplikasi, agar tidak menderita komplikasi yang lebih parah atau kecacatan. Contohnya,
aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien
diabetes mellitus yang sudah mempunyai komplikasi makroangiopati.

21

Anda mungkin juga menyukai