Anda di halaman 1dari 11

Manusia dengan akal atau fikirannya adalah makhluk yang terbaik.

Ia dapat
memperbedakan antara yang baik dan yang buruk, yang berguna dan merusak,
bahkan dapat memperbedakan antara yang baik, yang lebih baik dan yang paling
baik, antara yang jelek, lebih jelek dan yang paling jelek,seterusnya antara yang
berguna, yang lebih berguna dan yang paling berguna; antara yang merusak,
lebih merusak dan paling merusak, dengan perkataan lain, manusia adalah
makhluk yang berpengertian dan berkesadaran juga berperadaban. Namun di
tengah-tengah zaman yang sudah terbilang canggih dan modern ini, justeru
berpengertian, berkesadaran dan juga peradaban menjadi target, sasaran bagi
musuh-musuh islam, orang-orang munafik yang mengaku islam tapi tidak pernah
berpihak pada islam bahkan mereka menyerang islam dan umat islam dari
dalam, mereka mendoktrin agar kita umat islam dapat menganggap hal yang
tabu adalah biasa, kita tidak diperkenakan untuk bicara kebenaran, akal kita
seakan-akan dicekal, kita dipaksa untuk menganggap hal yang buruk adalah
baik, hal-hal yang tidak wajar menjadi wajar. Berita-berita hoax di ekspose untuk
memutarbalikkan fakta dengan tujuan kepentingan kelompok dan golongan,
bukan untuk kemaslahatan. Sehingga yang akan terjadi adalah kerusakan
akhlak, kebimbangan dalam berfikir, menggoyah keyakinan, yang pada akhirnya
menjerumuskan pada kesesatan.

Dalam Islam, akal mempunyai peranan penting yang akan menetukan


kehidupan hidup didunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana dalam
sebuah hadits (HR Al-Hakim Al-Tirmidzi).

‫اس ِفي ال ُّد ْن َيا ؟ قَا َل‬ ُ ‫ض ُل النه‬ َ ِ ‫ ِبأَي‬، ‫َّللا‬


َ ‫ش ْيءٍ َيتَفَا‬ ُ ‫ َيا َر‬: ُ‫ قُ ْلت‬: ‫ت‬
ِ ‫سو َل ه‬ ْ ‫شةَ َقا َل‬َ ‫َع ْن َعا ِئ‬
: ‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ ففي اآلخرة ؟ قال‬: ‫ قلت‬، ‫ بالعقل‬: ‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ
‫ َوه َْل‬: ‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ قَا َل‬، ‫ إِنه َما يُ ْجزَ ْونَ بِأ َ ْع َما ِل ِه ْم‬: ُ‫ قُ ْلت‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬، ‫بِ ْالعَ ْق ِل‬
ْ ‫طوا ِمنَ ْال َع ْق ِل َكان‬
‫َت‬ ُ ‫ فبقدر َما أ ُ ْع‬، ‫َّللاُ ت َ َعالَى ِمنَ ْال َع ْق ِل‬‫طا ُه ُم ه‬ َ ‫َع ِملُوا ِإ هَّل بِقَ ْد ِر َما أ َ ْع‬
َ ‫ َوبِقَ ْد ِر َما‬، ‫أ َ ْع َمالُ ُه ْم‬
َ‫ع ِملُوا يُ ْجزَ ْون‬
Dari ‘Aisyah RA, “Wahai Rasulullah dengan apa manusia diunggulkan
antara satu dengan yang lainnya ketika di dunia?” “Dengan akal,” jawab
Rasul Saw. Kemudian ‘Aisyah kembali bertanya: “Dan di akhirat?” “Dengan
akal,” jawab Rasul Saw kembali. “Bukankah mereka akan dibalas sesuai
dengan akal mereka?” Tanya ‘Aisyah ragu. Kemudian Rasul
meyakinkannya dan mengatakan: “Dan bukankah manusia beramal sesuai
dengan kemampuan akal mereka yang dikaruniai oleh Allah kepada
mereka? pada tingkat mana akal mereka di sana perbuatan mereka
berada, dan dari sanalah mereka dibalas.”
AKAL adalah modal termahal yang dimiliki manusia. Sebagaimana Allah SWT
berfirman

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan.”(QS. Al-Israa’ : 70).

Akal sendiri mengandung makna fahima wa tadabbara atau faham/memahami dan


menghayati/merenungkan dengan dalam. Maka pada pada surah ali imran ayat 190-
191Allah SWT meminta kita untuk merenungi, memikirkan dan mencermati tanda-
tanda kekuasaannya dengan merenungi segala ciptaannya, karena ia akan
menumbuhkan rasa keagungan terhadap Allah Azza wa Jalla dalam hati kita,
kecintaan yang mendalam kepada-Nya, mengokohkan keimanan kepada-Nya,
memantapkan keyakinan tentang keesaan-Nya. Sebaliknya, orang-orang yang
berpaling dari ayat-ayat-Nya, tidak mau merenungi dan mentadaburinya.

pernah suatu ketika‘Ubaid bin ‘Umair bertanya kepada aisyah ra

“Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang paling menakjubkan yang pernah
engkau lihat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Aisyah pun terdiam, kemudian ia berkata,

، َ‫س َّرك‬ َ ‫ َوأ ُ ِحبُّ َما‬، َ‫َّللا ِإنِي ََل ُ ِحبُّ قُ ْربَك‬ ِ َّ ‫ َو‬: ُ‫شةُ ذَ ِرينِي أَتَعَبَّ ُد اللَّ ْيلَةَ ِل َربِي» قُ ْلت‬ َ ِ‫ «يَا َعائ‬:َ‫ قَال‬،‫لَ َّما َكانَ لَ ْيلَةٌ ِمنَ اللَّيَا ِلي‬
،ُ‫ ث ُ َّم َبكَى فَلَ ْم َيزَ ْل َيب ِْكي َحتَّى َب َّل لِحْ َيتَه‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،ُ‫ فَلَ ْم َيزَ ْل َي ْب ِكي َحتَّى َب َّل ِحجْ َره‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ص ِلي‬ َ ُ‫ام ي‬ َ َ‫ ث ُ َّم ق‬،‫ط َّه َر‬ َ َ ‫ام فَت‬َ َ‫ فَق‬:‫ت‬ ْ َ‫قَال‬
‫ ِل َم تَ ْب ِكي‬،ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ يَا َر‬:َ‫ قَال‬،‫ فَلَ َّما َرآهُ يَ ْب ِكي‬،ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ فَ َجا َء بِ ََل ٌل يُؤْ ِذنُهُ بِال‬،‫ض‬ َ ْ
َ ‫ ث َّم بَكَى فَلَ ْم يَزَ ْل يَ ْب ِكي َحتَّى بَ َّل اَل ْر‬:‫ت‬ ُ ْ َ‫قَال‬
‫ َو ْي ٌل ِل َم ْن قَ َرأَهَا َولَ ْم َيتَفَ َّك ْر‬،ٌ‫ي اللَّ ْيلَةَ آيَة‬ َ
َّ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ْ
‫ت‬ َ ‫ل‬ َ‫َز‬ ‫ن‬ ْ
‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ل‬ ،‫ا‬ ‫ور‬
ً ُ
‫ك‬ ‫ش‬
َ ‫ًا‬‫د‬ ‫ب‬
ْ ‫ع‬
َ ُ‫ون‬ ُ
‫ك‬ َ ‫أ‬ ‫َل‬َ َ ‫ف‬َ ‫أ‬« :َ
‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ،‫؟‬ ‫ر‬
َ َّ
‫خ‬ َ ‫أ‬َ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬
َ َ َ ‫َّم‬
‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َ‫ك‬َ ‫ل‬ ُ َّ َ ‫َوقَ ْد َغ‬
‫َّللا‬ ‫ر‬ َ ‫ف‬
]190 :‫ض … }» اْليَة ُكل َها [آل عمران‬ َّ َ ْ َ
ِ ‫ت َواَل ْر‬ْ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫ق ال‬ ْ
ِ ‫فِي َها {إِ َّن فِي خَل‬. ]5: 47[

“Di suatu malam Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Aisyah…, biarkanlah aku
beribadah kepada Robku mala mini” Aku berkata, “Demi Allah, sungguh aku sangat
suka berdekatan denganmu, (akan tetapi) aku suka apa-apa yang membuatmu
senang” Maka Nabipun berdiri dan bersuci lalu beliau sholat. Maka beliau terus
menangis hingga tangisan beliau membasahi pangkuan beliau (*tatkala
duduk)…, kemudian beliau terus menangis hingga membasahi janggut
beliau.., kemudian beliau terus menangis hingga membasahi lantai. Lalu datang
Bilal mengumandangkan adzan sholat subuh. Tatkala Bilal melihat Nabi menangis
maka Bilalpun berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?, padahal
Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang?”.
Nabi berkata,

»‫ َو ْي ٌل ِل َم ْن قَ َرأَهَا َولَ ْم َيتَفَ َّك ْر فِي َها‬،ٌ‫ي اللَّ ْيلَةَ آ َية‬


َّ َ‫ت َعل‬
ْ َ‫ لَقَ ْد نَزَ ل‬،‫ورا‬ َ ‫أَفَ ََل أ َ ُكونُ َع ْبدًا‬
ً ‫ش ُك‬

“Tidakkah aku tidak menjadi hamba yang bersyukur?, sungguh telah turun kepadaku
malam ini sebuah ayat, celaka orang yang membacanya dan tidak
merenungkannya”
‫ب‬ ْ ‫ت َلو ِلي‬
ِ ‫اَلل َبا‬ ِ ‫َلف اللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬
ٍ ‫ار ْل َيا‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ِ‫اخت‬ ِ ‫اَلر‬
ْ ‫ت َو‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫ِإ َّن فِي خ َْل‬
َّ ‫ق ال‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal….” (QS Ali Imron : 190
dst) (HR Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 620, dishahihkan oleh Al-Albani dalam
As-Shahihah no 68 dan juga oleh Syu’aib Al-Arnauuth)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb
kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191).

tatkala kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menerima wahyu ini beliau
menangis…menangis… dan menangis…. hingga tangisan beliau membasahi
lantai…, beliau menangis hingga terbit fajar. Padahal beliau telah diampuni dosa-
dosa beliau baik yang telah lalu maupun yang akan datang…bahkan telah dijamin
masuk surga…

Lantas…bagaimana dengan kita …yang tidak tahu apakah dosa-dosa kita yang
bertumpuk-tumpuk diampuni atau tidak??

Melihat kekuasaan dan keagungan Allah SWT bukanlah perkara yang sulit. Di alam
raya ini tak terhitung banyaknya tanda - tanda yang menunjukan hal itu. Semuanya
dapat kita saksikan dengan mata dan kita indra dengan anggota-anggota tubuh yang
lain. bahkan pada diri kita sendiri pun luar biasa banyaknya tanda kekuasaan Allah
jika kita mau memikirkannya.

Suatu ketika ada seorang Arab badui ditanya: “Bagaimana engkau bisa mengenal
Tuhanmu?”
Dia pun menjawab: “Telapak kaki, menujukkan adanya orang yang berjalan.
Kotoran, menunjukkan adanya unta. Bukankah alam raya ini menunjukkan ada
penciptanya yang Maha Perkasa lagi Maha Agung?”

ِ ‫ض آيَاتٌ ِل أل ُموقِنِينَ َوفِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ أَفَ ََل تُب‬


َ‫ْص ُرون‬ ِ ‫َوفِي أاْل َ أر‬

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri; maka apakah kamu tidak memperhatikan?
[adz-Dzâriyât/51:20-21].

ْ ‫س ِط َح‬
‫ت‬ ِ ‫ت َو ِإلَى ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َكي‬
ُ ‫ْف‬ ْ ‫ص َب‬ َ ‫ت َو ِإلَى ْال ِج َبا ِل َكي‬
ِ ُ‫ْف ن‬ ْ ‫ْف ُرفِ َع‬
َ ‫اء َكي‬ َّ ‫ت َو ِإلَى ال‬
ِ ‫س َم‬ ْ َ‫ْف ُخ ِلق‬
َ ‫اْل ِب ِل َكي‬ ُ ‫أَفَ ََل َي ْن‬
ِ ْ ‫ظ ُرونَ ِإلَى‬
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan; dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?
Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? [al-Ghasyiyah/88:17-20].

Bumi, tempat tinggal kita ini, kita berjalan di atasnya, yang membawa dan
mengangkat kita; langit yang menaungi kita, binatang ternak yang kita naiki, kita
minum susunya, kita makan dagingnya, dan manfaat-manfaat lainnya, mengapa kita
tidak mau mencermati dan merenunginya? Mengapa kita tidak mau menggunakan
akal kita untuk memahami bahwa semua makhluk itu tidak diciptakan dengan sia-
sia, tidak diciptakan begitu saja lalu di biarkan? Semua itu diciptakan untuk maksud
yang sangat mulia.

Mencermati dan merenungi makhluk-makhluk Allah, memperhatikan tanda-tanda


kekuasaan-Nya dan menjadikan apa yang dilihat di sekitarnya, bahkan apa yang
ada di dalam dirinya itu memiliki nilai di depan matanya, yaitu untuk menunjukkan
betapa besar keagungan dan kekuasaan penciptannya, menunjukkan betapa indah
ciptaan-Nya, betapa banyak hikmah dari ciptaan-Nya. Allah Azza wa Jalla mengatur
semua itu. Allahu Akbar! Allahu Akbar.

Alquran menyebutkan beberapa tanda orang-orang berakal. Kata Ulul Albab (orang-
orang berakal) disebut sebanyak 16 kali didalamnya. Kata Albab adalah bentuk
jamak dari kata Lub. Secara bahasa, Lub adalah inti dari segala sesuatu. Seperti inti
dari buah juga disebut Lub. Hal ini menunjukkan bahwa inti dari manusia adalah
akalnya.

Allah berfirman :

ِ َّ ِ‫ض يَ ُم ُّرونَ َع َل ْي َها َو ُه ْم َع ْن َها ُم ْع ِرضُونَ َو َما يُؤْ ِمنُ أَ ْكثَ ُر ُه ْم ب‬


َ‫اَّلل إِ ََّّل َو ُه ْم ُم ْش ِر ُكون‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫َو َكأَيِ ْن ِم ْن آيَ ٍة فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬
َ‫َّللا أ َ ْو ت َأ ْ ِت َي ُه ُم السَّا َعةُ َب ْغتَةً َو ُه ْم ََّل َي ْشعُ ُرون‬
ِ َّ ‫ب‬ِ ‫أَفَأ َ ِمنُوا أ َ ْن ت َأ ْ ِت َي ُه ْم غَا ِش َيةٌ ِم ْن َعذَا‬

Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya. Dan sebahagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain). Apakah mereka merasa aman dari
kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau kedatangan kiamat kepada
mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya?[Yûsuf/12 : 105-107]

Begitu pula dengan orang-orang yang tidak memahami ayat-ayat Allah Subhanahu
wa Ta’ala , maka hati akan menjadi keras, mata menjadi buta, sehingga seakan
tidak ada bedanya dengan binatang ternak yang hidup di muka bumi lalu mati
menjadi tanah. sebagaimana

Disebutkan dalam firman Allah

ً ‫س ِب‬
‫يَل‬ َ َ‫َاْل َ ْن َع ِام ۖ َب ْل ُه ْم أ‬
َ ‫ض ُّل‬ ْ ‫سبُ أ َ َّن أ َ ْكث َ َر ُه ْم َي ْس َمعُونَ أ َ ْو َي ْع ِقلُونَ ۚ ِإ ْن ُه ْم ِإ ََّّل ك‬
َ ْ‫أَ ْم تَح‬

Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).[al-Furqân/25 : 44]

salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan
membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta.
Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi.
Langit yang melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga
memperhatikan pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-
ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT.

Langit adalah yang menaungi kita. Menakjubkan siang harinya dengan berbagai
awan germawan, dan mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang
gemintang.
Bumi adalah tempat kita berdiam, penuh dengan aneka keganjilan. Makin diselidiki
makin mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh
Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi
setiap saat nampak hidup. Semua bergerak menurut aturan.

Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala
yang bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya. Musim pun
silih berganti. Musim dingin, panas, gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan
panas. Semua ini menjadi tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah bagi orang
yang berpikir. Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang
menciptakan yaitu Allah SWT. Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan
meninjau menurut bakat pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu
alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang filosofis,
ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona oleh susunan tabir alam
yang luar biasa. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di
hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang
ada hanyalah Dia, Yang Maha Pencipta. Di akhir ayat 190, manusia yang mampu
melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya, Allah sebut
sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berpikir).

karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai
metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata. Dzikir, secara
bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga,
mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah dari
ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga
hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi, dzikir merupakan aktivitas
yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan dengan hati,
lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu
bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya
yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh,
kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan
lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai
suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir
dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan
yang sesuai dengan aturan Allah.

Dengan akal kita memikirkan, merenungkan dan memahami penciptaan Allah, maka
dengan dzikir kita

Begitu banyak tanda orang yang berakal . (QS.Az-Zumar 18).

(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat
MENGAPA ENGKAU MENANGIS YA
RASULULLAH?
Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk

mengulanginya. -George Santayana.

Dengan berlinang air mata, Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah

pernah berkisah tentang peristiwa paling berkesan yang ia

lalui bersama Rasulullah saw. Yakni disuatu malam Rasulullah

berkata kepada syayyidah Aisyah ra: “Wahai Aisyah, apakah

engkau rela sepanjang malam ini aku habiskan waktu untuk

beribadah kepada Tuhanku?”, Aisyah dengan tulus mengatakan,

bahwa ia juga merelakan dan menyukai setiap apa yang ingin

dilakukan Baginda Rasul.

Lalu peristiwa hebat itu terjadi, Rasul segera berdiri

dan mengambil wudhu’. Kemudian beliau shalat dan menangis

sejadi-jadinya sampai baju dan sajadahnya basah bermandikan

air mata. Tangisan itu berlangsung sampai subuh saat Bilal bin

Rabah datang untuk mengumandangkan azan. Setelah Azan Bilal

bertanya : “Ya Rasul. Mengapa Engkau menangis padahal Allah

telah mengampuni dosa-dosa Engkau yang telah berlalu dan yang

akan datang (jikalau ada)?” Rasul menjawab “Wahai Bilal,

apakah aku tidak senang kalau disebut Hamba yang Bersyukur?

Kemudian ia melanjutkan “Bagaimana saya tidak menangis Wahai

Bilal, tadi malam Allah menurunkan ayat al-Qur’an

kepadaku “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan

silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi

orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat


Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring

dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan

Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami

dari siksa neraka.” (Ali Imran 190-191).

Setelah membaca ayat ini Rasul pun berkata “Wahai Bilal !

celakalah umatku yang pernah membaca ayat ini namun tidak

pernah mau merenungi kandungan ayat ini”

Surat Ali Imran dan penggalan cerita di atas merupakan

peristiwa yang harus menjadi renungan bagi setiap kita.

Mengapa Rasul menangis dan pesan apa sesungguhnya yang ingin

disampaikan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 itu?

Ada dua hal yang disebutkan Allah swt dalam ayat di atas,

yaitu penciptaan langit dan bumi (Khalq al-Samawat wa al-Ardh)

dan pergantian siang dan malam (Ikhtilaf al-Lail wa al-Nahr).

Dua hal ini merupakan instrumen bagi manusia sebagai makhluk

yang dibekali akal untuk mengenal dan melihat tanda-tanda

kekuasaan Allah swt.

Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat wa al-Ardh artinya

belajar dalam arti yang sangat luas termasuk belajar di

lembaga pendidikan, sementaraIkhtilaf al-Lail wa al-

Nahr merupakan isyarat agar manusia mau mengambil i’tibar dari

perjalanan waktu dan catatan sejarah atas segala perbuatan apa

saja yang sudah dilakukan mesti akan mendapat balasan. Dua hal

ini, yaitu ilmu (pendidikan) dan pengalaman, hendaknya membuat

manusia semakin khusyu’ dalam zikirnya, semakin tahu akan


kelemahan sekaligus kewajibannya sebagai seorang hamba, sebab

jika tidak, maka sesungguhnya manusia telah lalai dalam

menggunkan potensi yang paling berharga yang dimilikinya,

yaitu akal (Lubb/Albab).

Proses belajar mengajar (Yatafakkaru Fi Khalq al-Samawat

wa al-Ardh) saat ini dilaksanakan secara terencana di lembaga

pendidikan, idealnya, hal ini akan melahirkan manusia yang

semakin tunduk, semakin tahu dengan keberadaannya sebagai

makhluk ciptaan Allah swt, semakin bermoral dan semakin

bermanfaat bagi orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi manusia

yang semakin angkuh dengan ilmu yang ia miliki dan semakin

zalim terhadap orang lemah yang ada di sekitarnya.

Pembinaan aspek moral di lembaga pendidikan akhir-akhir

ini menjadi pembicaraan dan sorotan seiring meunculnya

pemberitaan di media tentang kecurangan-kecurangan yang

terjadi dalam proses Ujian Nasional. Isu kecurangan tersebut

bahkan menarik lembaga seperti ICW (Indonesia Corruption

Watch) untuk membuka posko pengaduan kecurangan UN (Suara

Merdeka, 23/4) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban) juga merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam

keselamatan saksi yang melaporkan jika hal itu memang terjadi

(Republika, 23/4).

Sebegitu parahkah kecurangan yang terjadi, sehingga

lembaga seperti ICW dan LPSK merasa terpanggil untuk ikut

terlibat dalam proses ini? Ataukah pemerintah kurang cermat

dalam mengkalkulasi dan mempertimbangkan kemampuan sarana dan

prasarana penunjang pendidikan dalam menetapkan standar


kelulusan, sehingga beberapa pihak terpancing untuk

“menyelamatkan” peserta didik dalam ujian tersebut. Padahal

Lembaga Pendidikan merupakan lembaga suci dan sakral yang

diharapkan bisa melahirkan generasi bangsa yang bisa merubah

wajah Indonesia di masa yang akan. Kalau di lembaga ini sudah

terjadi kecurangan, peserta didiknya sudah mulai diperkenalkan

kepada praktek yang tidak baik, lalu kepada siapa lagi bangsa

ini bisa berharap.

Dalam Perang Dunia II, Jepang yang awalnya begitu gagah

menyerang Pearl Harbour luluh lantak oleh serangan bom atom

yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. 220.000 nyawa

melayang dalam peristiwa tersebut. Seluruh sendi kehidupan

Jepang hancur. Dalam kekakcauan tersebut Kaisar Hirohito

bertanya “Berapa orang guru yang masih hidup?”. Pertanyaan

Tenno Heika Hirohito ini sesungguhnya beranjak dari kesadaran

bahwa untuk membangun suatu bangsa, bahkan untuk bangkit dari

kehancuran, pembangunan mental dan karakter (Character

Building) melalui peran seorang pendidik dan lembaga

pendidikan merupakan modal yang paling vital. Hal ini juga

disadari oleh WR. Supratman saat menggubah lagu kebangsaan

Indonesia Raya, sangat tepat lirik “Bangunlah jiwanya” lebih

didahulukan dari lirik “Bangunlah Badannya”.


Hal inilah yang mulai hilang pada saat ini, sudah banyak yang
lupa bahwa pembangunan aspek mental melalui contoh yang baik,
jauh lebih penting dari pada mengasah kecerdasan intelektual.
Fokus dan perhatian yang terlalu besar terhadap topeng dan
asesoris membuat kita lupa dengan tujuan dan substansi. Inilah
mungkin yang melatarbelakangi tangisan Rasulullah saw. Saat
ilmu pengetahuan tidak lagi membuat manusia semakin dekat
dengan Sang Penciptanya, saat pendidikan tidak lagi bisa
melahirkan manusia yang dengan santun membangun peradaban bagi
masyarakatnya.

Anda mungkin juga menyukai