PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mengitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang di sebabkan oleh
berbagai organism pathogen. Meningitis adalah gangguan yang sangat serius yang terus
meliki insidensi mortalitas dan morbiditas signifikan. Meningitis bakteri atau purulenta
adalah bentuk yang paling penting di Amerika serikat dalam hal insiden, gejala sisa, dan
akhirnya kehilangan kehidupan produktif . Meningitis aseptic , yang biasanya di sebabkan
peh virus, lebih sering terjadi : namun , gejala sisa yang bermakna jarang di temukan dan
penyakit bersifat sembuh spontan. Meningitis granulomatosa, yang di sebabkan oleh M .
tuberculosis atau jamur , adalah penyebab utama cedera neuorologik dan kematian di bagian
dunia yang lain.
B. Epidemiologi
Asepek penting yang harus di perhatikan mencakup usia , etnik musim , factor pejamu ,
dan pola resistensi antibiotic regional di antara pathogen yang mungkin. Bulan pertama
setelah kelahiran merupakan priode dengan angka serangan meningitis tertinggi , dengan
kemungkinan pathogen antra S. agalactiae (streptokokus grup B) , E.coli organisme entrik
gram – negative lain , dan L . Monocytogenes , setela periode neotus, pathogen yang paling
penting adalah H.influenzae tipe B (sampai usia 6 tahun ), N. meningitides, dan
S.pneumoniae`. Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-
Amerika, penduduk asli Amerika , dan masyarakat di daerah pedesaan . Walaupun factor
social ekonomi di laporkan turut berperan dalam tingginya insiden penyakit ini , tidak ada
kesepakatan di antara peneliti bahw hal tersebut merupakan satu-satunya factor. Penyakit ini
telah di ketahui memiliki pola musiman, dengan meningitis akibat N. meningitidis dan S.
Penuemoniae yang memuncak pada bulan-bulan musim dingin,H. influenzae memperhatikan
penyebaran bifasik yang memuncak pada pemulaan musim dingin dan musim semi , dan L.
monocytogenes yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas . Penjelasan atas
pola musiman ini terletak pada cara penularan organism ; meningokokus, pneumokokus , dan
Haemophilus menyebar melalui jalur pernapasan , trutama pada bulan-bulan meningkatnya
insidensi penyakit pernapasan biasa, dan Listeria di dapat akibat kontiminasi melalui
makanan atau akibat berkontak dengan hewan ternak. Faktor pejamu yang merupakan
predisposisi infeksi termasuk keadaan defisiensi imun didapat atau congenital ,
hemoglobinopati sabit , asplenia, dan penyakit hati atau ginjal kronis. Umumnya individu ini
memperlihatkan peningkatan kerentanan terhadap organisme berkapsul seperti S,
pneumoniae . Di banyak populasi pemberian imunisasi efektif dini terhadap H. influenzaetipe
B telah menurunkan insidensi meningitis akibat organisme ini hingga sebesar 90%. Akhirnya
, factor epidemiologi juga mempengaruhi pathogen ini. Sebelum tahun 1974 , semua srain H.
influenza sensitive terhadapap ampisilin. Pada waktu tersebut , akibat munculnya strain
penghasil B-laktamase , terapi untuk meningitis yang terjadi sekunder akibat organisme ini di
perluas hingga meliputi ampisilin dan kloramfenikol sampai uji kepekaan selesai. Beberapa
belahan dunia searang mlaporkan bahwa insidensi organisme yang resisten terhadap
ampisilin kloramfenikol sudah melebihi 50% sehingga regimen pengobatan ini sudah tidak
bisa di gunakan di daerah daerah tersebut. Sama hal nya keunculan pneumokokus resisten
penisilin di beberapa daerah bisa mengganggu pilihan terapi empiric tersebut . Dokter harus
mewaspadai kemunculan pola resistensi obat di mayarakat dan di rumah sakit yang merawat
pasien yang kondisi sakitnya sebagai komplikasi sekunder.
C. Etiologi
D. Patogenesis
Pada meningitis bakteri di temukan berbagai gangguan patofisiologi dan ini mungkin
terjadi sebagai akibat respons pejamu terhadap organisme penginfeksi. Abnormalitas tersebut
mungkin memaikan peran dalam berkembangnya gejala sisa neurologi pascameningitis , dan
pemahaman atas hal ini merupakan hal yang penting guna perawatan yang efektif bagi pasien
meningitis. Setelah satu decade menjalani studi intensif dengan model hewan, satu gamabran
luas mengenai dasar selular dan molecular perubahan patofisiologi ini telah di peroleh.
Begitu bakteri menuju akses ruang subaraknoid , komponen-komponen dinding sel bakteri
(lipopolisakarida , lipooligasakarida , asam teikoat) merangsang pembuatan sitoksin
proinflamatorik (TNF, IL , 1B, IL-6, PAF, dan lain lain ). Ini semua pada gilirannya akan
meninggalkan peletakan Leukosit ke endotel pembuluh darah otak, meningkatkan
permeabilitas sawar darah-otak serta megrasi Leukosit ke dalam ruang subaraknoid. Spesies
oksigen derivate-sel darah putih serta endotel dan mungkin nitrogen monoksida (NO)
kemudian berpartisipasi dalam mengubah reaktivitas serebrovaskular. Hal ini bersama
dengan peningkatan tekanan intrakranium , mengakibatkan iskemia serebrum dan perubahan
metabolism otak. Edema serebrum mempresentasikan suatu kombinasi edema nasogenik,
silotoksi , dan intertisial. Jika berat , edema ini mengakibatkan peningkatan besar pada
tekanan intrakranium. Abnormalitas metabolisme otak meliputi hipoglikorakia dan asidosis
laktat CSS. Kadar glukosa CSS yang rendah terjadi akibat terganggunya pengamgkutan
glukosa melintasi sawar rendah-otak dan mungkin akibat peningkatan penggunaan glukosa
otak. Asidosis laktat CSS mengidentifikasi pengguna glukosa secara anaerob di dalam
system saraf pusat. Perfusi otak telah terbukti menurun pada sekitar 30% anak penderita
meningitis yang telah menjalani penelitihan aliran darah otak. Di samping gangguan
vasoreaktivitas serebrum, factor lain yang dapat mengakitbatkan pengurangan perfusi
mencakup vaskulitis serebrum dan infark arteri atau vena. Peningkatan tekanan intrakranium
hampir selalu di temukan pada meningitis dan tidak turut mnyebabkan herniasi serebrum.
Pathogenesis oeningkatan tekanan intrakranium bersifat multifactor dan mencakup
keterlibatan edema otak , peningkatan volume CSS, dan abnormalitas aliran darah serebrum.
Sawar darah-otak , yang terdiri dari atas pleksus koroideus , mikrovaskulatur serebrum , dan
membrane araknoid, memperlihatkan peningkatan permeabilitas dalam meningitis .
mikroskopi electron telah memperhatikan bahwa taut-taut ketat pada venula serebrum
masuknya mekromolekul dan elemen sel dari kapiler serebrum ke dalam ruang interstisial.
Meski pun pasien meningitis memiliki keluaran neuorologi tang baik dengan upaya seportif
standard an antibiotic, pasien dengan gangguan system saraf pusat yang lebih berat
membutuhkan perawatan lebih instensif. Dalam situasi seperti ini , kita harus mampu
mengenali gangguan patofisiologi potensial dan menerapkan upaya trapi adjuvan (misalnya,
untuk menguangi tekana intrakranium) bersam dengan perawatan suportif dan trapi
antimikroba.
F. Patologi
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Hitung darah lengkap dengan perbedaanya: Memperlihatkan adanya peningkatan sel
darah putih dan neutrofil
2. Kultur darah : Mengindikasikan adanya organisme
3. Lumbal fungsi dengan kultur CSS: Peningkatan hitung sel , mengindikasikan adanya
organisme, pada pemeriksaan CSS untuk mengetahui adanya peningkatan glukosa,
protein dalam cairan serebro spinal..
4. MRI atau CT-Scan dengan / tanpa kontras : Untuk mengetahui adanya kelainan/ adanya
kecacatan.
H. KOMPLIKASI
1) Hidrosefalus obstruktif 5) Efusi subdural
2) MeningococcL Septicemia 6) Kejang
(mengingocemia) 7) Edema dan herniasi serebral
3) Sindrome water-friderichen (septik 8) Cerebral palsy
syok, DIC,perdarahan adrenal 9) Gangguan mental
bilateral) 10) Gangguan belajar
4) SIADH (Syndrome Inappropriate
Antidiuretic hormone)
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan
dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi
dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi:
Pemberian antibiotic yang mampu melewati barier darah otak ke ruang subarachnoid dalam
konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri. Baisanya
menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi
antibiotic agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan.
Pengobatan simtomatis:
Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6 mg/kgBB,
atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3
x sehari.
Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan volume
cairan intravena.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat/tanggal lahir, NO. MR
penanggungjawab, dll.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering adalah panas badan tinggi, koma, kejang dan
penurunan kesadaran.
3. Riwayat Kesehatan
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah pasien
mengalami infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, tindakan bedah saraf,
riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya.
Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada pasien terutama apabila ada keluhan
batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat anti TB yang sangat berguna
untuk mengidentifikasi meningitis tuberculosia.
Pengkajian pemakaian obat obat yang sering digunakan pasien, seperti pemakaian
obat kortikostiroid, pemakaian jenis jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotic).
D. Pengkajian Fisik
Aktivitas / istirahat
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise ), keterbatasan yang ditimbulkan kondisinya.
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter, kelemahan secara
umum, keterbatasan dalam rentang gerak.
Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiologi, seperti endokarditis, beberapa penyakit jantung
conginetal ( abses otak ).
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat (berhubungan
dengan peningkatan TIK dan pengaruh dari pusat vasomotor ); takikardi, distritmia ( pada
fase akut ) seperti distrimia sinus (pada meningitis ).
Eliminasi
Tanda : Adanya inkotinensia dan retensi.
Makanan dan Cairan
Gejala : Kehilangan napsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut).
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membrane mukosa kering.
Hygiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri ( pada periode akut).
Tanda-tanda vital (TTV) :
Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh tubuh dari
normal 38-41° C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat.
Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang
sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi berhubungan
dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Jika disertai peningkatan frekuensi napas sering
kali berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistem pernapasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah (TD) biasanya normal
atau meningkat dan berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi toraks
hanya dilakukan jika terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
pleura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan
penyebaran primer dari paru.
B2 (Mood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien meningitis
pada tahap lanjOt seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi
fulminasi terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan
tanda-tanda septikemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang
menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok dan tanda-tanda koagulasi
intravaskular diseminata (CID). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam
setelah serangan infeksi.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkar
kewaspadaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persaralan. Beberapa sistem digunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai munrah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.
Pementihan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lunit dan
pergetangan kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh roam. Pada pen ya kit
yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah dan ekstremitas. Klien
sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelernahan fisik secara mum sehingga
mengganggu ADL.
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.
3. Potensial terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental
dan penurunan tingkat kesadaran
4. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan penekanan respons
inflamasi
5. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi, toksin
dalam sirkulasi
6. Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neouromuskuler, penurunan
kekuatan/ ketahanan.
7. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi; transmisi interpersonal dan keikutsertaan
merasakan. Ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1 Gangguan perfusi Pasien bed rest total Perubahan pada tekanan
jaringan sehubungan dengan posisi tidur intakranial akan dapat
dengan peningkatan terlentang tanpa bantal. meyebabkan resiko untuk
tekanan intrakranial. terjadinya herniasi otak.
Monitor tanda-tanda
status neurologis Dapat mengurangi kerusakan
dengan GCS. otak lebih lanjut.
meningkatkan panas
sebagai propilaksis
3 Potensial terjadinya Monitor kejang pada Gambaran tribalitas sistem saraf
injuri sehubungan tangan, kaki, mulut dan pusat memerlukan evaluasi yang
dengan adanya kejang, otot-otot muka lainnya. sesuai dengan intervensi yang
perubahan status mental tepat untuk mencegah terjadinya
dan penurunan tingkat komplikasi.
kesadaran
Melindungi pasien bila kejang
terjadi
Persiapkan lingkungan
yang aman seperti Mengurangi resiko jatuh /
batasan ranjang, papan terluka jika vertigo, sincope,
pengaman, dan alat dan ataksia terjadi
suction selalu berada
Untuk mencegah atau
dekat pasien
mengurangi kejang.
Pertahankan bedrest
Catatan : Phenobarbital dapat
total selama fase akut
menyebabkan respiratorius
Berikan terapi sesuai depresi dan sedasi.
advis dokter seperti;
diazepam,
phenobarbital, dll.
KASUS
Seorang anak A, usia 5 tahun datang ke RS dengan keluhan demam dan kejang selama dirumah.
Setelah dilakukan pemeriksaan suhu anak 38,5˚C, N : 60x/i , badan teraba hangat, kaku kuduk,
tanda kernig dan brudzinki (+) dan tidak sadar. Hasil pemeriksaan lumbal punksi, terdapat
infeksi pada meningen otak.
Data penunjang
KEMUNGKINAN
NO DATA MASALAH
PENYEBAB
DS :
Pasien tidak sadarkan diri
DO :
Pasen tampak tidak sadar
Peningkatan tekanan
1 Pemeriksaan lumbal punksi : + Radang selaput otak
intrakranial
Infeksi meningen
N : 60x/i
S : 38,5 ˚C
Pasien tampak kejang
DS :
Ibu pasien mengatakan badan
pasien panas
DO :
2 Proses Infeksi Hipertermi
S : 38,5˚C
Badan teraba hangat
Anak tampak kejang
Leukosit 14000 mg/Dl
DS :
DO :
Kejang dan tidak
3 Pasien tampak kejang Resiko cidera
sadar
Pasien tidak sadar
S : 38.5°C
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Putri dwi
adha
Putri dwi
adha
PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN/ IMPLEMENTASI
NO
TGL/JAM TINDAKAN KEPERAWATAN PARAF
DX
Memonitor tanda-tanda peningkatan TIK selama
perjalanan penyakit
H: N 62x/i, nafas ireguler,
Memonitor TTV tiap 15 menit catat dan laporkan bila
ada tanda perubahan TIK
H: R :35x/i
Menganjurkan pasien tirah baring hindari fleksi tungkai
Meninggikan sedikit kepala klien dengan hati-hati, Putri dwi
MASALAH
TGL CATATAN PERKEMBANGAN PARAF
KEPERAWATAN
S:
Pasien menunjukkan peningkatan
kesadaran
O:
N 62x/i, nafas ireguler, R :35x/i
Perubahan perfusi Putri dwi
jaringan otak adha
A:
Masalah Perubahan perfusi jaringan
otak teratasi sebagian
P:
Lanjutkan intervensi
S:
Ibu klien mengatakan panas tubuh
klien sudah turun
O:
S: 37,8 C
AP : Paracetamol drip 20mg/kgBB Putri dwi
Hipertermi
dalam 6 jam , AB : Cefriaxone 100 adha
mg/kgBB selama 30-60 menit/12 jam
A:
Masalahhipertermi teratasi sebagian
P:
Intervensi di lanjutkan
S:
O:
Terpasang bed rell
Resiko cidera Inj Diazepam via IV
Putri dwi
A:
adha
Masalah resiko cidera teratasi
P:
Intervensi dihentikan