Anda di halaman 1dari 7

Pemeriksaan Penunjang Klien dengan Gangguan Retensi Fekal

Oleh Nabilah, 1606823696, Focus Group 3 Keperawatan Dewasa V Kelas D

Perubahan pola, bentuk, dan warna pada eliminasi feses merupakan tanda-
tanda gejala disfungsional pada saluran pencernaan. Retensi fekal merupakan salah
satu penyakit gangguan fungsional saluran pencernaan. Retensi fekal adalah
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk melakukan pengosongan feses pada
rektum. Demikian, feses terhambat di dalam rektum dan sulit dikeluarkan. Efek
awal dari retensi fekal adalah terjadi iritasi kolon yang kemudian sering
berkembang menjadi kejang terutama saat setelah makan.

Keadaan ini kemudian menimbulkan nyeri perut kolik yaitu nyeri pada perut
bagian tengah, dimana nyeri ini sangat hebat hingga dapat menyebabkan syok.
Setelah efek retensi fekal ini terjadi beberapa tahun, kolon mengalami kehilangan
tonus otot sehingga tidak mampu mendeteksi rangsangan normal. Penurunan tonus
otot atau dinamakan atony biasanya terjadi karena faktor penuaan. Penurunan tonus
otot ini juga dapat menimbulkan sembelit dikarenakan tinja atau feses sulit
dikeluarkan dan ditahan dalam waktu yang cukup lama di dalam rektum.

Retensi fekal diawali dengan terjadinya penurunan tonus otot dimana hal ini
menandakan bahwa terjadi gangguan fungsional dalam sistem pencernaan. Apabila
sudah terdeteksi tanda dan gejala disfungsional sistem pencernaan, maka perlu
dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dilakukan ialah pemeriksaaan
fisik, dimana pemeriksaan fisik ini melalui anamnesis yaitu dengan mannayakan
beberapa hal terkait pola eliminasi fkal pada sistem pencernaan. Setelah itu dilanjut
dengan melihat secara visual (inspeksi), lalu meraba (palpasi), kemudian mengetuk
dengan jari (perkusi), dan terakhir mendengarkan menggunakan stetoskop
(auskultasi).

Selain pemeriksaan fisik melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi,


pemeriksaan fisik juga dapat dilihat pada sistem neurologi, yaitu berkaitan dengan
pengkajian refleks. Pengkajian refleks otot trisep ditujukan untuk menilai C-7, C-8
pada medulla spinalis. Prosedur tindakan ini dilakukan dengan memfleksikan siku
klien, dan sangga lengan klien dengan telapak tangan non dominan, palpasi tendon
trisep sekitar 2-5 cm di atas siku, ketukan palu perkusi langsung pada tendon,
kemudian inspeksi adanya ekstensi ringan normal pada siku. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang
terdiri dari pemeriksaan diagnostik dan juga pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan penunjang ini diharapkan menghasilkan data dan hasil yang lebih
akurat. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada disfungsi eliminasi fekal
diantaranya X-ray spinal, ileostomy, colostomy, CT scan, Colonoscopy,
Sigmoidoscopy, dan MRI (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010); (Berman &
Synder, 2009).

 X-ray spinal

Pemeriksaan diagnostik diawali dengan pemeriksaan x-ray pada area spinal


cord atau bagian tulang belakang, dimana bagian ini merupakan daerah pertama
yang terkena pengaruh dari disfungsi eliminasi fekal. Sejumlah rangkaian
pemeriksaan x-ray dimulai di bagian leher tulang belakang, panggul, dan dada.
Area leher dan tulang belakang yang sarankan untuk dilakukan pemeriksaan ialah
anterior posterior, lalu lateral, dan kemudian odontoid. Area-area ini biasanya
mengindikasikan klien dengan ciri telah menaglami cidera kepala dan cidera wajah.

Sementara untuk pemeriksaan pada bagian dada kemudian lanjut ke bagian


lumbaris tulang belakang, dilakukan pada klien yang mengalami penurunan fungsi
organ secara signifikan lalu menunjukkan rasa nyeri atau sakit. Keadaan pasien
yang seperti ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan
juga mengalami patah tulang di bagian tulang belakang atau vertebra lainnya.
Radiografi pada pemeriksaan x-ray harus mencakup dan menggambarkan seluruh
bagian vertebra atau tulang belakang.

 CT Scan

CT scan dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan untuk menggambarkan


kelainan tulang atau fraktur. Pemeriksaan CT scan ini harus dijadikan sebagai
pendekatan lini pertama pada klien yang berisiko tinggi gangguan eliminasi fekal.
Di samping itu, pemeriksaan lainnya seperti sinar X biasa bukan X-ray spinal, harus
disiapkan dan dilakukan sebagai evaluasi awal klien dengan risiko rendah lesi
traumatik. Beberapa penelitian menganjurkan bahwa CT scan sagittal reformatting
dan CT scan coronal reformatting lebih responsif mendeteksi fraktur tulang
belakang daripada pemeriksaan sinar X biasa. Terdapat jenis pemeriksaan CT scan
yang dilakukan pada bagian perut yaitu CAT scan (Computerized Abdominal
Tomography scanner). CAT scan ini merupakan prosedur X-ray yang
menggunakan komputer untuk menghasilkan gambaran terperinci dari penampang
abdomen. CAT scan ini tujuannya untuk membedakan apendisitis dari penyebab
lain nyeri perut, seperti ulkus perforasi, kolesistitis, dan infeksi organ reproduksi,
atau untuk melokalisasi abses yang dapat dialiri.

Selain itu, terdapat pula pemeriksaan abdominal X-ray / rontgen abdomen.


Akan tetapi, rontgen abdomen ini tidak sensitif dan tidak spesifik dalam
mendiagnosis apendisitis. Maksud apendisitis disini adalah peradangan dan
pembengkakan akibat infeksi usus buntu. Rontgen abdomen memperlihatkan
adanya sedikit kotoran pada feses di apendiks dan ileus lokal. Pemeriksaan lainnya
yang masih berhubungan dengan scan yaitu pemeriksaan ultrasonografi.
Pemeriksaan ultrasografi merupakan teknik untuk penggambaran struktur internal
tubuh dengan cara mengukur dan merekam pantulan gelombang suara frekuensi
tinggi yang berdenyut atau terus menerus. Ultrasonografi merupakan metode untuk
scan / memindai perut secara cepat dan pemriksaan ini dilakukan sebagai tes
skrining ketika keadaan dimana tidak menggambarkan usus buntu normal.

 Barium swallow atau barium enema

Pemeriksaan barium swallow atau enema merupakan pemeriksaan radiografi


saluran pencernaan atas yang meliputi rektum, kolon, dan bagian bawah usus kecil.
Barium diberikan secara oral atau rektal untuk melapisi saluran pencernaan
gastrointestinal (GI) sehingga area abnormal akan muncul pada x-ray. Hasil yang
didapat dari menelan barium yaitu dapat menunjukkan penyempitan luminal di
ileum terminal, kaku dinding usus, iritasi mukosa, atau ulserasi. Fistula sering
ditemukan dan biasanya ditemukan di terminal ileum, tetapi dapat ditemukan dalam
bagian di seluruh saluran GI.
 Ileostomy
Pemeriksaan ileostomy dilakukan ketika seluruh kolon, rektum, dan anus harus
dikeluarkan dan dalam hal ini pemriksaan ileostomy yang bersifat permanen.
Adapun pemeriksaan ileostomy yang bersifat sementara, yaitu dapat dilakukan
dengan mengistirahatkan usus secara total, seperti pada keadaan kolitis kronis dan
beberapa kasus trauma seperti trauma usus. Ileostomy juga sering dilakukan untuk
komplikasi inflamasi usus, seperti struktur usus yang menyebabkan obstruksi,
abses, atau hemoragi masif. Selain itu, ileostomy mungkin juga dilakukan karena
pembengkakan (polip), kanker, atau komplikasi dari kanker.

 Colostomy
Colostomy dapat dilakukan di beberapa lokasi, diantaranya ascending,
transverse, descending, atau sigmoid kolon. Ascending colostomy diposisikan di
sisi kanan atas dari perut. Transversal colostomy diposisikan di tengah hingga
kanan perut atas. Transversal colostomy dilakukan untuk diverticulitis, obstruksi
usus, trauma, atau kanker kolon descendens (sigmoid). Transversal colostomy
biasanya bersifat sementara, tetapi bisa permanen ketika bagian bawah usus besar
harus dikeluarkan atau beristirahat secara permanen. Descending colostomy atau
sigmoid diposisikan di sisi kiri bawah perut. Descending colostomy biasanya
dilakukan ketika terjadi stoma permanen dengan pembukaan di ujung bawah usus
besar. Descending colostomy dilakukan pada klien dengan indikasi kanker rektum
atau kolon sigmoid, juga untuk diverticulus, obstruksi usus, trauma, dan paralisis
(Clark, 2004) dalam (Doengoes, Moorhouse, & Murr, 2010).

 Colonoscopy

Pemeriksaan dengan melihat secara langsung atau visulisasi langsung dari usus
besar yang meliputi anus, rektum, sigmoid, hingga menuju ke usus dengan cara
colonoscopy menggunakan serat optik yang fleksibel. Inspeksi visual langsung dari
usus besar (anus, rektum, sigmoid, melampaui dan naik usus) mungkin dengan cara
kolonoskop serat optik yang fleksibel. Pemeriksaan colonospocy memiliki keahlian
yang sama dengan esophagogastroduodenoscopy (EGD) tetapi yang membedakan
adalah diameter colonoscopy lebih besar dan kinerjanya pun lama. Lingkup ini
memiliki kemampuan yang sama dengan yang digunakan untuk EGD tapi
berdiameter lebih besar dan lebih lama. Masih dan rekaman video dapat digunakan
untuk mendokumentasikan prosedur dan temuan.

 Sigmoidoscopy
Sigmoidoscopy menggunakan serat optik yang fleksibel memberikan
kemungkinan bahwa usus besar diperiksa hingga ukuran 40 cm sampai 50 cm atau
sekitar 16 sampai 20 inci dari anus. Demikian, yang dapat dilihat dengan
sigmoidoscopy kaku lebih dari 25 cm atau sekitar 10 inci. Pemeriksaan
sigmoidoscopy ini bertujuan untuk mengidentifikasi jaringan yang robek dan
mengalami peradangan ulserasi dalam, adhesi, dan perubahan pada dinding
luminal.

 MRI
Apabila hasil CT scan negatif dan pemeriksaan radiografi serviks lateral, maka
dilakukanlah pemeriksaan MRI untuk mengecualikan ketidakstabilan yang terjadi
pada klien. Klien dengan tanda dan gejala fraktur atau injury, neurologis fokal, dan
klien yang akan melakukan operasi, dimana harus ada pemeriksaan MRI scan
terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi. MRI dilakukan dengan tujuan untuk
mengevaluasi lesi jaringan lunak, seperti abses atau tumor, edema, perdarahan
sumsum tulang belakang, dan/ atau hematoma ekstradural tulang belakang
(Doengoes, Moorhouse, & Murr, 2010). Pemeriksaan MRI dapat mengidentifikasi
adanya batu ginjal, batu empedu, atau penyakit lain pada hati dan sistem empedu.

Selain pemeriksaan diagnostik, jika dibutuhkan untuk hasil yang lebih


akurat, lakukan juga pemeriksaan tes darah. Pemeriksaan tes darah yang dilakukan
diantaranya:

 Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC): Jenis tes skrining
yang biasanya dilakukan termasuk Hemoglobin; Hematokrit; Hitung RBC
(Red Blood Cells), morfologi, indeks, dan indeks lebar distribusi; jumlah
dan ukuran trombosit; serta jumlah dan diferensial WBC (White Blood
Cells). Keadaan anemia (Hb rendah dan hipokromik, kadang-kadang
makrositik RBCs) dapat terjadi karena kehilangan darah dari mukosa dan
defisiensi besi dan biasanya leukosit meningkat.
 Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP): tes ini
untuk mengukur jumlah peradangan dalam tubuh. tes ini akan meningkat
pada klien dengan peradangan aktif.
 Prealbumin / albumin / protein total: Pengukuran tingkat protein dalam
plasma untuk menentukan status gizi. Hasil akan menurun dikarenakan
hilangnya protein usus.
 Kapasitas pengikatan zat besi serum, asam folat: Membantu menentukan
status gizi dan mendiagnosis penyebab anemia. Hasil menurun karena
infeksi kronis atau sekunder akibat kehilangan darah.
 Pemeriksaan pembekuan darah: Pengukuran waktu koagulasi untuk
menentukan kelainan perdarahan. Perubahan bisa terjadi karena penyerapan
vitamin B12 yang buruk.
 Elektrolit: Pembebanan mineral dalam larutan, melakukan arus listrik untuk
mengangkut nutrisi dan limbah melintasi membran sel, mengatur
keseimbangan cairan, dan membantu mempertahankan tingkat pH.
 Kalium, kalsium, dan magnesium dapat menurun karena malabsorpsi.
Sodium dapat meningkat jika ada gangguan fungsi ginjal.

Pemeriksaan perlu dilakukan segera apabila sudah diidentifikasi tanda dan


gejala yang berkaitan dengan gangguan eliminasi fekal. Banyak sekali gangguan
eliminasi fekal yang biasa terjadi pada setiap individu, salah satunya adalah retensi
fekal. Pemeriksaan penunjang setelah dialkukan pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan tes darah. Pada dasarnya, pemeriksaan
lanjutan yang dilakukan pada semua gangguan eliminasi fekal adalah sama.
Pemeriksaan diagnostik yang biasa dan utama dilakukan adalah X-ray spinal,
colonoscopy, CT scan, colostomy, ileostomy, dan sigmoidoscopy. Selain
pemeriksaan diagnostik, bila masih dibutuhkan untuk hasil yang akurat, dilakukan
juga pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dialkuakn untuk mengecek apakah
jumlah darah, ertitrosit, RBC, WBC, dan lainnya memiliki jumlah yang tepat dalam
tubuh klien.
Daftar Pustaka
Berman, A., & Synder, S. J. (2009). Kozier & Erb's fundamentals of nursing:
Concepts, process, and practice (eight ed.). New Jearsey: Pearson
Education Inc.

Berman, A., & Synder, S. J. (2012). Kozier & Erb's fundamentals of nursing:
concepts, process, and practice (ninth ed.). USA: Pearson Education Inc.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
guidelines for individualizing client care across the life span (eight ed.).
United States: F. A. Davis Company.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). China:
Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai