Anda di halaman 1dari 7

Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal dan Pola Eliminasi Fekal

Oleh Nabilah, 1606823698, FG 2 KD 5 kelas D

Eliminasi fekal atau yang biasa disebut buang air besar adalah pengeluaran
kotoran dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut dengan gerakan usus. Definisi
lain menyebutkan Eliminasi fekal adalah proses pengeluaran sisa metabolisme
berupa bahan yang tidak terabsorbsi melalui sistem pencernaan dalam bentuk feses
melalui anus (Black & Hawks, 2014). Frekuensi buang air besar bervariasi dan
bersifat sangat individual. Frekuensi dimulai dari beberapa kali per hari hingga dua
atu tiga kali per minggu. Proses buang air besar terjadi ketika gelombang peristaltik
memindahkan feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris di rektum
dirangsang dan individu menjadi sadar akan kebutuhan untuk buang air besar.

Eliminasi fekal atau pengeluaran kotoran dari dalam tubuh kita melalui anus
dan rektum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses eliminasi fekal atau defekasi diantaranya perkembangan, pola buang air
besar bervariasi pada berbagai tahap kehidupan. Lalu faktor diet, asupan cairan dan
output, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, obat-obatan dan prosedur medis,
penyakit, dan rasa sakit juga mempengaruhi proses defekasi.
1. Perkembangan
Bayi
Normalnya feses dikeluarkan 24 jam pertama setelah lahir, feses
pertamanya disebut meconium. Mekonium berwarna hitam seperti tar, tidak
berbau dan lengket. Feses transisional dikeluarkan sekitar satu minggu setelah
lahir. Bayi sering buang air besar dan biasanya setelah makan. Hal ini
dikarenakan usus pada bayi belum matur (matang) sehingga air tidak terserap
dengan baik dan jenis tinja yang keluar pun lunak dan cair. Bayi yang diberi
ASI memiliki feses berwarna kuning terang sampai kuning keemasan dan bayi
yang mengkonsumsi susu formula feses yang dikeluarkan berwarna kuning
gelap atau berwarna coklat.
Balita
Kontrol buang air besar biasanya dimulai pada usia 1,5 tahun sampai 2
tahun. Pada masa balita, anak-anak telah belajar berjalan, dan sistem saraf dan
otot cukup berkembang untuk memungkinkan kontrol usus. Keinginan untuk
mengontrol gerakan usus siang hari dan menggunakan toilet umumnya dimulai
ketika anak menjadi sadar bahwa (a) ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
popok kotor dan (b) sensasi yang menunjukkan perlunya buang air besar.
Kontrol siang hari biasanya dicapai pada usia 2,5 tahun setelah proses pelatihan
toilet.
Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan buang air besar yang
mirip dengan orang dewasa. Pola buang air besar bervariasi dalam frekuensi,
kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah biasa menunda buang
air besar karena kegiatan seperti bermain.
Lansia
Konstipasi menjadi masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia
(Gallagher, O’Mahony, & Quigley, 2008) dalam (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010). Hal ini disebabkan karena lansia sudah mengalami
pengurangan tingkat aktivitas, jumlah asupan cairan dan serat yang tidak
memadai, dan kelemahan otot.
2. Diet
Massa yang cukup (selulosa, serat) dalam diet diperlukan untuk menyediakan
volume feses. Asupan serat makanan yang tidak adekuat berkontribusi terhadap
risiko terjadinya obesitas, diabetes tipe 2, penyakit arteri koroner, dan kanker usus
besar (Challem, 2009) dalam (Berman & Synder, 2012). Diet rendah serat kurang
memiliki massa dan kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi. Serat diklasifikasikan menjadi serat tidak larut dan
serat larut.
Sumber serat yang tidak larut termasuk tepung gandum utuh, dedak gandum,
kacang-kacangan, dan banyak sayuran. Serat yang tidak larut membentuk gel ketika
terjadi kontak dengan air di saluran pencernaan. Hal ini dapat membantu
menurunkan kadar kolesterol darah dan glukosa (Mayo Clinic, 2009) dalam
(Berman & Synder, 2012). Sumber serat larut termasuk gandum, kacang polong,
kacang, apel, buah jeruk, wortel, barley, dan psyllium. Diet lemak, makanan seperti
nasi, telur, dan daging tanpa lemak bergerak lebih lambat di dalam saluran usus.
Pola makan yang tidak teratur juga dapat mengganggu keteraturan pola defekasi.
3. Cairan
Jika asupan cairan memadai atau cairan berlebihan, tubuh terus menyerap
kembali cairan dari chyme saat bergerak disepanjang kolon. Chyme dapat menjadi
lebih kering dibanding normal sehingga menghasilkan feses yang keras.
Pengurangan asupan cairan juga memperlambat perjalanan chyme di sepanjang
usus, makin meningkatkan penyerapan kembali cairan. Eliminasi fekal yang sehat
biasanya memerlukan asupan cairan 2L sampai 3L.
4. Aktivitas
Aktivitas merangsang peristaltik sehingga memfasilitasi gerakan chyme
(penghancuran makanan) di sepanjang usus besar. Otak perut dan otot panggul
sering tidak efektif dalam meningkatkan tekanan intra-abdomen selama proses
defekasi (buang air besar) atau dalam mengendalikan buang air besar. Otot-otot
otak dapat disebabkan oleh kurangnya olahraga, imobilitas, atau gangguan
neurologis. Klien terbatas ke tempat tidur sering mengalami sembelit.
5. Faktor Psikologis
Orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas
peristaltik dan juga merasa mual atau mengalami diare. Orang yang mengalami
depresi mengalami perlambatan motilitas usus yang menyebabkan konstipasi.
6. Kebiasaan Defekasi
Banyak orang buang air besar setelah sarapan, ketika refleks gastrocolic
menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. Jika seseorang
mengabaikan dorongan untuk buang air besar, air terus diserap kembali, membuat
kotoran keras dan sulit dikeluarkan. Ketika reflek buang air besar yang normal
terhambat atau diabaikan, refleks terkondisi ini cenderung semakin melemah.
Ketika terbiasa diabaikan, dorongan untuk buang air besar akhirnya hilang. Orang
dewasa dapat mengabaikan refleks ini karena tekanan waktu atau pekerjaan.
7. Prosedur Diagnostik
Sebelum melakukan pemeriksaan diagnostik seperti visualisasi kolon
(colonoscopy atau sigmoidoscopy), klien diminta untuk tidak mengkonsumsi
makanan atau cairan. Klien mungkin akan diterapkan pembilasan enema sebelum
pemeriksaan. Sehingga defekasi normal tidak akan terjadi hingga klien
mengkonsumsi makanan dan cairan kembali.
8. Anestesi dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti yaitu dengan
stimulasi saraf parasimpatis ke otot-otot kolon (usus besar). Pembedahan yang
melibatkan usus secara langsung juga dapat menyebabkan penghentian
pergerakan usus sementara yang disebut dengan kondisi ileus yang berlangsung 24
sampai 48 jam.
9. Kondisi Patologi
Cidera medulla spinalis (saraf tulang belakang) dan cedera kepala bisa
menurunkan stimulasi sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas juga dapat
membatasi klien untuk berespon terhadap desakan defekasi dan klien bisa
mengalami konstipasi bahkan inkontinesia fekal karena buruknya fungsi sfingter
anal.
10. Obat-obatan
Obat laksatif yang berperan dalam stimulasi usus dalam proses defekasi,
sehingga pola eliminasi sering dilakukan. Aspirin yang akan memberi warna merah
gelap sampai hitam pada feses. Antibiotik yang memberi warna kehijauan karena
proses penghancuran bakteri (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010); (Timby &
Smith, 2009). Obat penenang tertentu bisa menyebabkan konstipasi. Tablet zat
besi yang memiliki efek kontraksi bisa menyebabkan konstipasi. Garam zat besi
menyebabkan oksidasi zat besi sehingga feses berwarna hitam. Antasid dapat
menyebabkan keputihan atau bercak putih pada feses. Pepto-Bismol dapat
menyebabkan feses berwarna hitam.
11. Rasa Nyeri
Klien yang mengalami ketidaknyamanan ketika buang air besar (misalnya,
setelah operasi hemoroid) sering menekan dorongan untuk buang air besar untuk
menghindari rasa sakit. Klien seperti itu dapat mengalami konstipasi sebagai
hasilnya. Klien yang menggunakan analgesik narkotik untuk nyeri juga dapat
mengalami konstipasi sebagai efek samping dari obat.

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal, terdapat juga pola


eliminasi fekal yang dialami oleh tiap individu. Pola eliminasi fekal merupakan
perilaku atau aturan yang dimiliki masing-masing individu dalam proses defekasi
atau buang air besar. Pola defekasi seseorang dapat dilihat berdasarkan frekuensi
defekasi, warna, dan konsistensi dari tinjanya. Berikut adalah ciri feses atau tinja
yang normal:
Pola eliminasi fekal pada individu bervariasi tergantung pada faktor-faktor
yang mempengaruhinya sesuai dengan penjelasan di atas. Pola eliminasi fekal dapat
dilihat dengan memperhatikan (a) penyediaan privasi, (b) pengaturan waktu, (c)
nutrisi dan cairan, (d) latihan/olahraga, dan (e) penentuan posisi (Berman & Synder,
2012). Privasi. Privasi selama buang air besar sangat penting untuk banyak orang.
Oleh karena itu, individu yang akan defekasi pasti memperhatikan keadaan privasi
sekitarnya. Tugas perawat sendiri yaitu harus memberikan privasi sebanyak
mungkin untuk klien tersebut tetapi mungkin perlu untuk tetap bersama dan
membantu mereka yang terlalu lemah dibiarkan sendirian.
Pengaturan waktu. Seorang klien/individu harus didorong untuk buang air
besar ketika dorongan dirasakan. Untuk membentuk eliminasi usus secara teratur,
klien dan perawat dapat mendiskusikan kapan peristaltik massa biasanya terjadi dan
menyediakan waktu untuk buang air besar. Banyak orang memiliki rutinitas yang
telah ditetapkan dengan baik atau teratur dan hal ini mempengaruhi proses defekasi.
Kegiatan lain, seperti mandi dan ambulasi, tidak boleh mengganggu waktu buang
air besar. Nutrisi dan cairan. Diet yang dibutuhkan klien untuk eliminasi normal
teratur bervariasi, tergantung pada jenis kotoran yang dimiliki klien saat ini,
frekuensi buang air besar, dan jenis makanan yang ditemukan klien membantu
buang air besar normal.
Olahraga, Olahraga teratur membantu klien mengembangkan pola buang
air besar biasa. Seorang klien dengan otot perut dan panggul yang lemah (yang
menghambat buang air besar normal) mungkin dapat memperkuat mereka dengan
latihan isometrik berikut: 1) Dalam posisi terlentang, klien mengencangkan otot
perut seolah menariknya ke dalam, menahannya selama sekitar 10 detik dan
kemudian merelaksasinya. Ini harus diulang 5 hingga 10 kali, empat kali sehari,
tergantung pada kesehatan klien. 2) Sekali lagi dalam posisi terlentang, klien dapat
mengontraksi otot paha dan menahannya berkontraksi selama sekitar 10 detik,
mengulangi latihan 5 hingga 10 kali, empat kali sehari. Ini membantu klien untuk
mendapatkan kekuatan di paha, sehingga lebih mudah menggunakan pispot.
Posisi. Posisi jongkok merupakan posisi terbaik dalam memfasilitasi buang
air besar. Akan tetapi, saat di toilet yang dianggap tempat posisi terbaik bagi
kebanyakan orang tampaknya condong ke depan. Untuk klien yang kesulitan duduk
dan bangun dari toilet, kursi toilet yang ditinggikan dapat ditempelkan ke toilet
biasa. Klien kemudian tidak harus menurunkan diri mereka sejauh ke kursi dan
tidak perlu mengangkat jauh dari tempat duduk. Kursi toilet yang ditinggikan dapat
dibeli untuk digunakan di rumah.
Eliminasi fekal yang dialami oleh masing-masing individu sangat
bervariasi. Eliminasi fekal atau proses pengeluaran kotoran dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya perkembangan dari mulai bayi hingga lansia, diet,
cairan, aktivitas, faktor psikologis, kebiasaan defekasi, prosedur diagnostik,
anestesi dan pembedahan, kondisi patologi, obat-obatan, dan rasa nyeri. Defekasi
tiap individu juga memiliki pola yang ebragam dimulai dari berapa kali sehari
bahkan hingga dua atau tiga kali dalam seminggu. Pola eliminasi fekal atau pola
defekasi normal pada individu diperhatikan melalui privasi, pengaturan waktu,
nutrisi dan cairan, latihan atau olahraga, dan penentuan posisi.

Daftar Pustaka
Berman, A., & Synder, S. J. (2012). Kozier & Erb's fundamentals of nursing:
concepts, process, and practice (ninth ed.). USA: Pearson Education Inc.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Medical surgical nursing: clinical


management for positive outcomes (9th ed.). Singapore: Elsevier Inc.

Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing (eight ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier, Inc.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). China:
Lippincott Williams & Wilkins.

Timby, B. K., & Smith, N. E. (2009). Introductory medical-surgical nursing (10th


ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams &
Wilkins Inc.

Anda mungkin juga menyukai