Eliminasi fekal atau yang biasa disebut buang air besar adalah pengeluaran
kotoran dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut dengan gerakan usus. Definisi
lain menyebutkan Eliminasi fekal adalah proses pengeluaran sisa metabolisme
berupa bahan yang tidak terabsorbsi melalui sistem pencernaan dalam bentuk feses
melalui anus (Black & Hawks, 2014). Frekuensi buang air besar bervariasi dan
bersifat sangat individual. Frekuensi dimulai dari beberapa kali per hari hingga dua
atu tiga kali per minggu. Proses buang air besar terjadi ketika gelombang peristaltik
memindahkan feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris di rektum
dirangsang dan individu menjadi sadar akan kebutuhan untuk buang air besar.
Eliminasi fekal atau pengeluaran kotoran dari dalam tubuh kita melalui anus
dan rektum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses eliminasi fekal atau defekasi diantaranya perkembangan, pola buang air
besar bervariasi pada berbagai tahap kehidupan. Lalu faktor diet, asupan cairan dan
output, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, obat-obatan dan prosedur medis,
penyakit, dan rasa sakit juga mempengaruhi proses defekasi.
1. Perkembangan
Bayi
Normalnya feses dikeluarkan 24 jam pertama setelah lahir, feses
pertamanya disebut meconium. Mekonium berwarna hitam seperti tar, tidak
berbau dan lengket. Feses transisional dikeluarkan sekitar satu minggu setelah
lahir. Bayi sering buang air besar dan biasanya setelah makan. Hal ini
dikarenakan usus pada bayi belum matur (matang) sehingga air tidak terserap
dengan baik dan jenis tinja yang keluar pun lunak dan cair. Bayi yang diberi
ASI memiliki feses berwarna kuning terang sampai kuning keemasan dan bayi
yang mengkonsumsi susu formula feses yang dikeluarkan berwarna kuning
gelap atau berwarna coklat.
Balita
Kontrol buang air besar biasanya dimulai pada usia 1,5 tahun sampai 2
tahun. Pada masa balita, anak-anak telah belajar berjalan, dan sistem saraf dan
otot cukup berkembang untuk memungkinkan kontrol usus. Keinginan untuk
mengontrol gerakan usus siang hari dan menggunakan toilet umumnya dimulai
ketika anak menjadi sadar bahwa (a) ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
popok kotor dan (b) sensasi yang menunjukkan perlunya buang air besar.
Kontrol siang hari biasanya dicapai pada usia 2,5 tahun setelah proses pelatihan
toilet.
Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan buang air besar yang
mirip dengan orang dewasa. Pola buang air besar bervariasi dalam frekuensi,
kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah biasa menunda buang
air besar karena kegiatan seperti bermain.
Lansia
Konstipasi menjadi masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia
(Gallagher, O’Mahony, & Quigley, 2008) dalam (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010). Hal ini disebabkan karena lansia sudah mengalami
pengurangan tingkat aktivitas, jumlah asupan cairan dan serat yang tidak
memadai, dan kelemahan otot.
2. Diet
Massa yang cukup (selulosa, serat) dalam diet diperlukan untuk menyediakan
volume feses. Asupan serat makanan yang tidak adekuat berkontribusi terhadap
risiko terjadinya obesitas, diabetes tipe 2, penyakit arteri koroner, dan kanker usus
besar (Challem, 2009) dalam (Berman & Synder, 2012). Diet rendah serat kurang
memiliki massa dan kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi. Serat diklasifikasikan menjadi serat tidak larut dan
serat larut.
Sumber serat yang tidak larut termasuk tepung gandum utuh, dedak gandum,
kacang-kacangan, dan banyak sayuran. Serat yang tidak larut membentuk gel ketika
terjadi kontak dengan air di saluran pencernaan. Hal ini dapat membantu
menurunkan kadar kolesterol darah dan glukosa (Mayo Clinic, 2009) dalam
(Berman & Synder, 2012). Sumber serat larut termasuk gandum, kacang polong,
kacang, apel, buah jeruk, wortel, barley, dan psyllium. Diet lemak, makanan seperti
nasi, telur, dan daging tanpa lemak bergerak lebih lambat di dalam saluran usus.
Pola makan yang tidak teratur juga dapat mengganggu keteraturan pola defekasi.
3. Cairan
Jika asupan cairan memadai atau cairan berlebihan, tubuh terus menyerap
kembali cairan dari chyme saat bergerak disepanjang kolon. Chyme dapat menjadi
lebih kering dibanding normal sehingga menghasilkan feses yang keras.
Pengurangan asupan cairan juga memperlambat perjalanan chyme di sepanjang
usus, makin meningkatkan penyerapan kembali cairan. Eliminasi fekal yang sehat
biasanya memerlukan asupan cairan 2L sampai 3L.
4. Aktivitas
Aktivitas merangsang peristaltik sehingga memfasilitasi gerakan chyme
(penghancuran makanan) di sepanjang usus besar. Otak perut dan otot panggul
sering tidak efektif dalam meningkatkan tekanan intra-abdomen selama proses
defekasi (buang air besar) atau dalam mengendalikan buang air besar. Otot-otot
otak dapat disebabkan oleh kurangnya olahraga, imobilitas, atau gangguan
neurologis. Klien terbatas ke tempat tidur sering mengalami sembelit.
5. Faktor Psikologis
Orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas
peristaltik dan juga merasa mual atau mengalami diare. Orang yang mengalami
depresi mengalami perlambatan motilitas usus yang menyebabkan konstipasi.
6. Kebiasaan Defekasi
Banyak orang buang air besar setelah sarapan, ketika refleks gastrocolic
menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. Jika seseorang
mengabaikan dorongan untuk buang air besar, air terus diserap kembali, membuat
kotoran keras dan sulit dikeluarkan. Ketika reflek buang air besar yang normal
terhambat atau diabaikan, refleks terkondisi ini cenderung semakin melemah.
Ketika terbiasa diabaikan, dorongan untuk buang air besar akhirnya hilang. Orang
dewasa dapat mengabaikan refleks ini karena tekanan waktu atau pekerjaan.
7. Prosedur Diagnostik
Sebelum melakukan pemeriksaan diagnostik seperti visualisasi kolon
(colonoscopy atau sigmoidoscopy), klien diminta untuk tidak mengkonsumsi
makanan atau cairan. Klien mungkin akan diterapkan pembilasan enema sebelum
pemeriksaan. Sehingga defekasi normal tidak akan terjadi hingga klien
mengkonsumsi makanan dan cairan kembali.
8. Anestesi dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti yaitu dengan
stimulasi saraf parasimpatis ke otot-otot kolon (usus besar). Pembedahan yang
melibatkan usus secara langsung juga dapat menyebabkan penghentian
pergerakan usus sementara yang disebut dengan kondisi ileus yang berlangsung 24
sampai 48 jam.
9. Kondisi Patologi
Cidera medulla spinalis (saraf tulang belakang) dan cedera kepala bisa
menurunkan stimulasi sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas juga dapat
membatasi klien untuk berespon terhadap desakan defekasi dan klien bisa
mengalami konstipasi bahkan inkontinesia fekal karena buruknya fungsi sfingter
anal.
10. Obat-obatan
Obat laksatif yang berperan dalam stimulasi usus dalam proses defekasi,
sehingga pola eliminasi sering dilakukan. Aspirin yang akan memberi warna merah
gelap sampai hitam pada feses. Antibiotik yang memberi warna kehijauan karena
proses penghancuran bakteri (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010); (Timby &
Smith, 2009). Obat penenang tertentu bisa menyebabkan konstipasi. Tablet zat
besi yang memiliki efek kontraksi bisa menyebabkan konstipasi. Garam zat besi
menyebabkan oksidasi zat besi sehingga feses berwarna hitam. Antasid dapat
menyebabkan keputihan atau bercak putih pada feses. Pepto-Bismol dapat
menyebabkan feses berwarna hitam.
11. Rasa Nyeri
Klien yang mengalami ketidaknyamanan ketika buang air besar (misalnya,
setelah operasi hemoroid) sering menekan dorongan untuk buang air besar untuk
menghindari rasa sakit. Klien seperti itu dapat mengalami konstipasi sebagai
hasilnya. Klien yang menggunakan analgesik narkotik untuk nyeri juga dapat
mengalami konstipasi sebagai efek samping dari obat.
Daftar Pustaka
Berman, A., & Synder, S. J. (2012). Kozier & Erb's fundamentals of nursing:
concepts, process, and practice (ninth ed.). USA: Pearson Education Inc.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing (eight ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier, Inc.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). China:
Lippincott Williams & Wilkins.