Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS BESAR

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) MALIGNA AURICULA


SINISTRA DENGAN PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Dokter Pendidik Klinis:


dr. Wawan Siswadi, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Sukiswanti Andryana Sari SN (1913020024)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM PROFESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
BAGIAN THT-KL RSUD DOKTOR SOESELO SLAWI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus Seorang Perempuan usia 40 Tahun menderita Otitis


Media Supuratif Kronis (OMSK) Maligna Auricula Sinistra dengan Parese Nervus
Fasialis Perifer :
Penguji Kasus : dr. Wawan Siswadi, Sp.THT-KL
Dibacakan Oleh : Sukiswanti Andryana Sari SN
Dibacakan : 30 Oktober 2019
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Slawi, 30 Oktober 2019


Mengetahui
Penguji kasus

dr. Wawan Siswadi, Sp. THT-KL

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................9
A. Anatomi Telinga ...........................................................................................9
B. Fisiologi vestibuler......................................................................................14
C. Fisiologi Pendengaran .................................................................................17
D. Anatomi Nervus Fasialis .............................................................................18
E. Fungsi Nervus Fasialis ................................................................................20
F. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) .....................................................22
1. Definisi ....................................................................................................22
2. Epidemiologi ...........................................................................................22
4. Patogenesis ..............................................................................................24
5. Klasifikasi ...............................................................................................28
6. Manifestasi Klinis ...................................................................................30
7. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................34
8. Tatalaksana .............................................................................................36
9. Komplikasi ..............................................................................................39
10. Prognosis ...............................................................................................40
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................43

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut
“congek atau teleran” adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya
lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan riwayat
keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 6-8 minggu, baik
terus menerus atau hilang timbul. Sekret dapat encer, kental, bening atau
berupa nanah.1
Angka kejadian OMSK di negara-negara berkembang lebih banyak
dibandingkan negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh faktor
sosioekonomi, higiene buruk dan kepadatan penduduk.2 OMSK biasanya
terjadi pada sosial ekonomi rendah, area pedesaan dengan kebersihan dan
faktor nutrisi yang kurang.3 Faktor risiko OMSK lainnya yaitu infeksi
saluran pernafasan atas yang sering, status imun yang buruk dan perokok
pasif. 2 Prevalensi morbiditas pada kasus telinga dan gangguan pendengaran
di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebesar 18,5%, sedangkan prevalensi
OMSK di Indonesia antara 3-5,2% atau kurang lebih 6,6 juta penduduk
Indonesia menderita OMSK.4
OMSK mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian seperti kehilangan pendengaran, meningitis, abses serebri,
mastoiditis, parese nervus fasial, kolesteatoma, jaringan granulasi dan
empiema subdural.5

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi telinga.
2. Untuk mengetahui dan memahami kasus Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK) dengan parese nervus fasialis.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Danaraja RT 03/RW 02 Margasari Tegal
No RM : 609988

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dan keluar cairan pada telinga kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang


Ny. S 40 tahun, seorang Ibu rumah tangga datang bersama
keluarganya ke poliklinik THT RS Dokter Soeselo Slawi hari Senin, 30
September 2019 dengan keluhan nyeri pada telinga kiri yang dirasakan
sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan tersebut awalnya dirasakan secara
mendadak ketika bangun tidur. Pasien juga mengeluh telinga kiri keluar
cairan terus menerus sejak ± 5 bulan yang lalu. Cairan yang keluar dari
telinga berwarna bening kekuningan serta berbau dan tidak bercampur
darah. Keluhan lainnya yaitu pendengaran berkurang serta telinga kiri
berdenging, demam (+), nyeri kepala (+), batuk (+), pilek pada pasien
disangkal, serta wajah kanannya terasa tebal, mulut mencong ke kanan,
namun bicara masih jelas. Keluhan kelemahan pada anggota gerak pada
pasien disangkal.
Keluhan telinga berair pernah dialami pasien beberapa tahun yang
lalu. Pasien sering mengalami batuk pilek. Pasien juga mengatakan tidak

2
pernah mengkomsumsi obat-obatan. Pasien biasanya membersihkan cairan
yang keluar dengan cotton bud.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasin pernah mengeluhkan telinga berair beberapa tahun yang lalu.
- Pasien tidak mempunyai riwayat diabetes mellitus.
- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, asma
disangkal.
- Riwayat alergi makanan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Di keluarga pasien, tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama.
- Riwayat keluarga hipertensi disangkal, diabetes mellitus disangkal,
penyakit jantung disangkal, penyakit paru disangkal, penyakit ginjal
disangkal, asma disangkal , alergi obat disangkal, atau alergi makanan
disangkal.

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat suka mengorek-ngorek telinga (+).
- Riwayat merokok disangkal.
- Riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal.
- Riwayat mengkonsumsi obat-obatan terlarang disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


- Pembiayaan rumah sakit menggunakan biaya umum.

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat ke dokter untuk mengobati
penyakitnya.

3
C. PEMERIKSAAN UMUM
1. Kesadaran : Composmentis
2. Keadaan umum : Baik, tampak sakit sedang
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 130/80 mmHg
b. Nadi : 85x/menit
c. RR : 20x/menit
d. Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Paru-paru : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. PEMERIKSAAN THT
1. Telinga
Dextra Sinistra
Daun Telinga Normotia Normotia
Canalis auricularis Lapang, hiperemis (-), edema Sekret purulent (+),
(-) berbau (+)

Membran timpani Intak, perforasi (-), hiperemis Tidak intak, Perforasi (+)
(-), edema (-), reflek cahaya attic tepi rata, hiperemis (-
(+) ), edema (-), reflek cahaya
(-)
Tragus pain (-) (-)
Discharge (-) (+)
Serumen
(-) (-)

4
2. Hidung
Dextra Sinistra
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemis Bentuk (normal),
(-), nyeri tekan (-), hiperemi (-), nyeri tekan
deformitas (-) (-), deformitas (-)

Cavum nasi Normal, mukosa pucat (-), Normal, mukosa pucat (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)

Discharge (-) (-)


Concha inferior Hipertrofi (-), mukosa Hipertrofi (-), mukosa
hiperemis (-) hiperemis (-)

Meatus Nasi Media Mukosa hiperemis, sekret (- Mukosa hiperemis, sekret


), massa berwarna putih (-), massa berwarna putih
mengkilat (-). mengkilat (-).
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-) Deviasi (-), perdarahan (-)
Nyeri pada daerah
 Sinus frontalis (-) (-)
 Sinus
maksillaris (-) (-)
 Sinus
sphenoidalis (-) (-)
 Sinus
ethmoidalis
(-) (-)

3. Mulut
a. Bibir : Fissura (+)
b. Ginggiva : hiperemis (-), warna merah muda
c. Gigi : dalam batas normal
d. Lidah : dalam batas normal
e. KGB : dalam batas normal

5
4. Tenggorokan
Dextra Sinistra
Tonsil T1 T1
Faring Normal, Hiperemis (-)
Laring Tidak dievaluasi
Nasofaring Tidak dievaluasi
Lain-lain (-)

Pemeriksaan fisik lain :


1. Tes fungsional pendengaran (Garpu tala) : Tidak dilakukan
pemeriksaan.
2. Tes Keseimbangan (Romberg, Stepping test) : Pasien dapat menjaga
keseimbangan.
3. Pada pemeriksaan nervus fasialis didapatkan wajah asimetris, tidak
dapat mengangkat alis kiri dan kerutan pada dahi tidak simetris.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang disarankan :
1. Rontgen mastoid posisi schuller

F. RESUME
Telah dilaporkan kasus seorang perempuan Ny. S usia 40 tahun
datang bersama keluarganya ke poliklinik THT RS Dokter Soeselo Slawi
hari Senin, 30 September 2019 dengan keluhan nyeri pada telinga kiri yang
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan tersebut awalnya dirasakan
secara mendadak ketika bangun tidur. Pasien juga mengeluh telinga kiri
keluar cairan terus menerus sejak ± 5 bulan yang lalu. Cairan yang keluar
dari telinga berwarna bening kekuningan serta berbau dan tidak bercampur
darah. Keluhan lainnya yaitu pendengaran berkurang serta telinga kiri
berdenging, demam (+), nyeri kepala (+), batuk (+), pilek pada pasien
disangkal, serta wajah kanannya terasa tebal, mulut mencong ke kanan,

6
namun bicara masih jelas. Keluhan kelemahan pada anggota gerak pada
pasien disangkal.
Keluhan telinga berair pernah dialami pasien beberapa tahun yang
lalu. Pasien sering mengalami batuk pilek. Pasien juga mengatakan tidak
pernah mengkomsumsi obat-obatan. Pasien biasanya membersihkan cairan
yang keluar dengan cotton bud. Pada pemeriksaan fisik telinga kiri
didapatkan secret purulent, serta membrane timpani telinga kiri tidak intak,
terdapat perforasi attic tepi rata dan pada pemeriksaan neurologi didapatkan
wajah asimetris, tidak dapat mengangkat alis kiri dan kerutan pada dahi
tidak simetris. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan diagnosis berupa otitis media supuratif kronik maligna auricula
sinistra dengan parese nervus fasialis perifer.
Pada pasien menunjukkan manifestasi klinis berupa telinga
mengeluarkan cairan sejak lima bulan yang lalu serta ditemukannya
perforasi membran timpani pada telinga kiri, maka pasien dapat didiagnosis
menderita otitis media supuratif kronik.

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis Media Supuratif Kronik Benigna
2. Otitis Media Akut
3. Mastoiditis

H. DIAGNOSIS
Otitis media supuratif kronik maligna auricula sinistra dengan
parese nervus fasialis perifer.

I. TATALAKSANA
1. Ear Toilet
2. Antibiotik topikal golongan ofloxacin/ akilen, 2x6 tetes per hari selama
7 hari pada auricular sinistra.
3. Antibiotik oral ciprofloxacin 2x500 mg per hari selama 7 hari.

7
4. Kortikosteroid Methylprednisolon tab 2x4 mg per hari.
5. Asam mefenamat tab 3x500 mg per hari.
6. Rujuk ke RSUP Dr. Kariadi

J. PLAN
1. Menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-ngorek telinga dengan
benda tajam atau cotton bud
2. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air
3. Menjelaskan bahwa penyakit ini merupakan penyakit infeksi sehingga
dengan penangan yang tepat dapat disembuhkan, tetapi dikarenakan
penyakit yang diderita oleh pasien ini sudah mengakibatkan kurangnya
pendengaran serta mengarah kekomplikasi parese nervus fasialis maka
dilakukan rujuk.
4. Istirahat

K. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Malam
3. Ad sanationam : Malam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga
Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (daun telinga) dan
canalis auditorius eksternus (liang telinga). Telinga tengah terdiri dari
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, incus,dan
stapes. Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis.6

1. Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga
(meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral.
Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh
kulit. Kearah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong
menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga
dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan
berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan
berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus
dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi

9
bunyi sebesar 3500 Hz. Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan
yang banyak mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua
pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen. 7
2. Telinga tengah
Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang
terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian
lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani, sedangkan
pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam.
Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara
langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus
epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah terhubung dengan
area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal
yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian
anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran
timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini
dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling
terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan
telinga tengah. Tulang-tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri
dari malleus (terhubung dengan membran timpani), incus (terhubung
dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung
dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian
lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut
berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari
membran timpani ke telinga dalam.8
3. Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut
labirin. Telinga dalam terdiri dari kokhlea yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang dibentuk oleh utrikulus, sakulus, dan
kanalis semisirkularis.

10
Anatomi telinga dalam

Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan


keseimbangan, terletak pada pars petrosus os temporal. Labirin terdiri
dari :
a. Labirin bagian tulang, terdiri dari : kanalis semisirkularis,
vestibulum, dan kokhlea
b. Labirin bagian membran, yang terletak di dalam labirin bagian
tulang, terdiri dari : kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus,
dan duktus endolimfatikus serta kokhlea.
Antara labirin bagian tulang dan membran terdapat suatu
ruangan yang berisi cairan perilimfe yang berasal dari cairan
serebrospinalis dan filtrasi dari darah. Di dalam labirin bagian membran
terdapat cairan endolimfe yang diproduksi oleh stria vaskularis dan
diresirbsi pada sakkus endolimfatikus. Ujung atau puncak kokhlea
disebut helikoterma yang menghubungkan perilimfa skala timpani dan
skala vestibuli. Pada irisan melintang di kokhlea tampak skala vestibuli
di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
diantaranya.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe sedangkan
skala media berisi endolimfe. Dasar skala vestibuli disebut membran

11
reissner sedangkan dasar skala media disebut membran basilaris yang
terletak organ korti di dalamnya. Pada skala media terdapat bagian yang
berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran
basilaris melekat sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis korti.
Membran basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada
apeksnya (nada rendah).

Potongan melintang koklea

Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah


organ korti yang mengandung organel-organel penting untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ korti terdiri dari satu baris
sel rambut dalam (3.000) dan tiga baris sel rambut luar (12.000). Ujung
saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut.
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh utrikulus,
sakulus, dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung
makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut
adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia dan pada
lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan akan
menimbulkan rangsangan pada reseptor. Sakulus berhubungan dengan
utrikulus melalui suatu duktus sempit yang merupakan saluran menuju

12
sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak
lurus dengan makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara
pada utrikulus. Masing-masing kanalis memiliki satu ujung yang
melebar yang membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista
dan diselubungi oleh lapisan gelatinosa yang disebut kupula. Gerakan
dari endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula
yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan
merangsang sel reseptor.

Vaskularisasi telinga dalam


Telinga dalam memperoleh pendarahan dari arteri auditori
interna (arteri labirintin) yang berasal dari arteri serebelli anterior atau
langsung dari arteri basilaris yang merupakan suatu end arteri dan tidak
mempunyai pembuluh darah anastomosis. Setelah memasuki meatus
akustikus internus, arteri ini bercabang tiga, yaitu :
a. Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi makula utrikuli,
sebagian makula sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis
superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus dan sakulus
b. Arteri vestibulokokhlearis yang memperdarahi makula sakuli,
kanalis semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan
sakulus serta putaran berasal dari kokhlea.
c. Arteri kokhlearis yang memasuki mediolus dan menjadi pembuluh-
pembuluh arteri spiral yang memperdarahi organ korti, skala
vestibuli, skala timpani sebelum berakhir pada stria vaskularis.
Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama. Vena
auditori interna berasal dari putaran tengah dan apikal kokhlea. Vena
aquaduktus kokhlearis berasal dari putaran basiler kokhlea, sakulus, dan
utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akquaduktus
vestibularis berasal dari kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena
ini mengikuti duktus dan masuk ke sinus sigmoid.

13
Inervasi telinga
Inervasi telinga terdiri dari nervus akustikus bersama nervus fasialis
masuk ke dalam porus dari meatus akustikus internus dan bercabang dua
sebagai nervus vestibularis dan nervus kokhlearis. Pada dasar meatus
akustikus internus terletak ganglion vestibularis dan pada mediolus terletak
ganglion spiralis.

B. Fisiologi vestibuler
Ada dua jenis keseimbangan atau keseimbangan. Equilibrium statis
mengacu pada pemeliharaan posisi tubuh (terutama kepala) relatif terhadap
gaya gravitasi. Gerakan tubuh yang merangsang reseptor untuk
keseimbangan statis termasuk memiringkan kepala dan akselerasi atau
perlambatan linier, seperti ketika tubuh sedang dipindahkan dalam lift atau
di dalam mobil yang melaju atau melambat. Dynamic equilibrium adalah
pemeliharaan posisi tubuh (terutama kepala) sebagai respons terhadap
gerakan tiba-tiba seperti rotasi rotasi atau perlambatan.
Secara kolektif, organ reseptor untuk keseimbangan disebut alat
vestibular ini termasuk sacculus utriculus, dan ductus semicircularis.
Dinding kedua utricle dan saccule berisi daerah kecil yang menebal yang
disebut makula . Dua makula yang tegak lurus terhadap satu dan yang lain,
adalah reseptor untuk keseimbangan statis. Mereka memberikan informasi
sensorik tentang posisi kepala di ruang dan sangat penting untuk menjaga
postur dan keseimbangan yang tepat. Makula juga mendeteksi akselerasi
dan perlambatan linier — misalnya, sensasi yang Anda rasakan saat berada
di lift atau mobil yang melaju atau melambat. Makula terdiri dari dua jenis
sel: sel rambut, yang merupakan reseptor sensorik, dan sel pendukung. Sel-
sel rambut memiliki stereocilia 40-80 di permukaannya (yang sebenarnya
adalah mikrovili) setinggi, ditambah satu kinocilium, sebuah cilium
konvensional yang ditambatkan dengan kuat ke tubuh dasarnya dan meluas
melampaui stereocilium terpanjang. Seperti pada koklea, stereocilia
dihubungkan oleh tautan tip. Secara kolektif, stereocilia dan kinocilium

14
disebut bundel rambut. Terselip di antara sel-sel rambut adalah sel-sel
pendukung kolumnar yang mungkin mengeluarkan lapisan glikoprotein
tebal, agar-agar, yang disebut membran otolitik , yang bersandar pada sel-
sel rambut. Lapisan kristal kalsium karbonat padat, yang disebut otoliths,
membentang di seluruh permukaan membran otolitik. Karena membran
otolitik berada di atas makula, jika Anda memiringkan kepala ke depan,
membran otolitik (bersama dengan otolit juga) ditarik oleh gravitasi. Ini
meluncur "menurun" di atas sel-sel rambut ke arah kemiringan, menekuk
bundel rambut. Namun, jika Anda duduk tegak di mobil yang tiba-tiba
tersentak ke depan, membran otolitik tertinggal di belakang gerakan kepala,
menarik bundel rambut, dan membuat mereka menekuk ke arah lain.
Membengkoknya bundel rambut dalam satu arah meregangkan ujung
tautan, yang menarik saluran transduksi terbuka, menghasilkan potensi
reseptor depolarisasi; membungkuk ke arah yang berlawanan menutup
saluran transduksi dan menghasilkan hiperpolarisasi. Ketika sel-sel rambut
mengalami depolarisasi dan repolarisasi, sel-sel rambut melepaskan
neurotransmitter pada kecepatan yang lebih cepat atau lebih lambat. Sel-sel
rambut bersinapsis dengan neuron sensorik orde pertama di cabang
vestibular dari saraf vestibulocochlear.

15
Tiga saluran setengah lingkaran berfungsi dalam keseimbangan
dinamis. Saluran terletak pada sudut kanan satu sama lain dalam tiga bidang.
Pemosisian ini memungkinkan deteksi akselerasi atau deselerasi rotasi.
Dalam ampula, bagian melebar dari setiap saluran, adalah ketinggian kecil
yang disebut krista. Setiap krista mengandung sekelompok sel rambut dan
sel pendukung. Setiap krista ditutupi massa yang bernama cupula (Tortora,
2012).

16
Membengkoknya bundel rambut dari sel-sel rambut dalam saluran
setengah lingkaran, utricle, atau saccule menyebabkan pelepasan
neurotransmitter (mungkin glutamat), yang menghasilkan impuls saraf di
neuron sensorik yang menginervasi sel-sel rambut. Badan sel neuron
sensorik terletak di ganglia vestibular. Impuls saraf melewati akson neuron
ini, yang membentuk cabang vestibular dari saraf vestibulocochlear (VIII).
Sebagian besar akson ini bersinaps dengan neuron sensorik dalam
nukleus vestibular, pusat integrasi utama untuk keseimbangan, di medula
oblongata dan pons. Inti vestibular juga menerima input dari mata dan
proprioceptors, terutama proprioceptors di leher dan otot tungkai yang
menunjukkan posisi kepala dan ekstremitas. Akson yang tersisa memasuki
serebelum melalui pedunculus serebelar inferior. Inti vestibular
mengintegrasikan informasi dari reseptor vestibular, visual, dan somatik
dan kemudian mengirim perintah ke inti saraf kranial. 8

C. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea, Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap

17
pemindahan energi fisik berupa stimulus bunyi ke organ pendengaran, tahap
konversi atau tranduksi yaitu pengubahan energi fisik stimulasi tersebut ke
organ penerima dan tahap penghantaran impuls saraf ke kortek
pendengaran.9

D. Anatomi Nervus Fasialis


Sel tubuh untuk nervus facialis dikelompokkan dalam area-area
anatomis yang disebut nukleus atau ganglia. Badan sel saraf aferen untuk
ditemukan dalam ganglion geniculate untuk sensasi rasa. Badan sel saraf
eferen untuk otot ditemukan dalam inti motorik wajah sedangkan badan sel
saraf untuk eferen parasimpatik yang ditemukan dalam inti salivatory
superior.8
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari
nervus VI, dan keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di
permukaan lateral pons di antara nervus VII dan nervus VIII. Ketiga nervus
ini bersama-sama memasuki meatus akustikus internus. Di dalam meatus
ini, saraf fasialis dan intermediet berpisah dari saraf VIII dan terus ke lateral
dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat ganglion genikulatum.
Pada ujung akhir kanalis , saraf fasialis meninggalkan kranium melalui
foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar di atas
wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula
parotis.9,10
Sewaktu meninggalkan pons, nervus fasialis beserta nervus
intermedius dan nervus VIII masuk ke dalam tulang temporal melalui porus
akustikus internus. Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, nervus VII
dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen
mastoid.13
Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan
ganglion genikulatum . panjang segmen ini 2-4 milimeter. Segmen timpani
(segmen vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum dan
berjalan ke arah posterior telinga tengah , kemudian naik ke arah tingkap

18
lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar
dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12
milimeter.13

saraf facialis, korda timpani, dan fleksus timpanikus

Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan


superior kavum timpani . perubahan posisi dari segman timpani menjadi
segmen mastoid, disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini
merupakan bagian paling posterior dari nervus VII, sehingga mudah terkena
trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal
menuju segmen stilomaoid . panjang segmen ini 15-20 milimeter.13
Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang
mengarahkan yang mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot
wajah. Juga ada hubungan dengan gangglion basalis. Jika bagian ini atau
bagian lain dari sistem piramidal menderita penyakit penyakit, mungkin
terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau
amimi).13

19
Percabangan fungsi nervus fasialis

E. Fungsi Nervus Fasialis


1. Eferen
Fungsi utamanya adalah motor kontrol dari sebagian besar otot-
otot ekspresi wajah. Hal ini juga innervates perut posterior otot digastric,
otot stylohyoid, dan otot stapedius dari telinga tengah. Semua otot ini
adalah otot lurik asal branchiomeric berkembang dari lengkung faring
kedua.10
Wajah juga memasok serat parasimpatis ke kelenjar
submandibular dan kelenjar sublingual melalui Korda timpani.
Persarafan parasimpatik berfungsi untuk meningkatkan aliran air liur
dari kelenjar ini. Ini juga memasok persarafan parasimpatis pada
mukosa hidung dan kelenjar lakrimal melalui ganglion pterygopalatine.
Nervus facialis juga berfungsi sebagai tungkai eferen dari refleks
kornea.10
2. Aferen
Selain itu, ia menerima sensasi rasa dari anterior dua pertiga dari
lidah melalui Korda timpani, sensasi rasa dikirim ke bagian gustatory
dari inti soliter. Sensasi umum dari anterior dua pertiga lidah dipasok

20
oleh serat aferen dari divisi ketiga dari saraf kranial kelima (V-3). Ini
(VII) sensorik (V-3) dan rasa serat perjalanan bersama sebagai nervus
lingualis sebentar sebelum Korda timpani meninggalkan saraf lingual
untuk memasuki rongga timpani (telinga tengah) melalui fisura
petrotympanic. Dengan demikian bergabung dengan sisa nervus facialis
melalui canaliculus untuk chorda timpani. Saraf wajah kemudian
bertemu ganglion geniculate (ganglion sensoris dari serat rasa chorda
timpani dan jalur rasa lainnya). Dari ganglion geniculate serat rasa terus
sebagai saraf perantara yang pergi ke kuadran anterior atas fundus dari
meatus akustik internal bersama dengan akar motor saraf wajah. saraf
intermediate mencapai fosa kranial posterior melalui meatus akustik
internal sebelum bersinaps di nukleus soliter. Badan sel dari timpani
Chorda berada di ganglion geniculate, dan serat ini parasimpatis sinaps
di ganglion submandibula, melekat pada nervus lingualis.
Nervus facialis juga memasok sejumlah kecil persarafan aferen
ke orofaring bawah tonsil palatina. Ada juga sejumlah kecil sensasi kulit
yang dibawa oleh nervus intermedius dari kulit di dalam dan sekitar
daun telinga (daun telinga).

Percabangan fungsi nervus fasialis

21
F. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
1. Definisi
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah peradangan
kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat
keluarnya secret dari telinga lebih dari 2 bulan, baik terus menerus
maupun hilang timbul.1 Sedangkan kelumpuhan nervus fasialis (N VII)
merupakan kelumpuhan otot-otot wajah dimana pasien tidak atau
kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah pasien tidak
simetris.13
Parese nervus fasialis dapat terjadi oleh infeksi telinga tengah
yang disebabkan karena penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh
erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh
infeksi ke dalam kanalis fasialis tersebut.13

2. Epidemiologi
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum,
insiden OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Otitis
media supuratif kronis dianggap sebagai salah satu penyebab tuli yang
terpenting, terutama di negara-negara berkembang, dengan prevalensi
antara 1 -46%. Di Indonesia antara 2,10 - 5,20%, di Korea 3,33%, di
Madras India 2,25%.Prevalensi tertinggi didapat pada penduduk
Aborigin di Australia dan Bangsa Indiandi Amerika Utara.
Komplikasi akut dan kronik otitis media jarang terjadi tetapi
serius dan bersifat letal. Komplikasi kranial terjadi pada bagian tulang
temporal cranium dan komplikasi intrakranial terjadi ketika infeksi telah
menyebar ke tulang temporal. Komplikasi ini terjadi pada semua umur,
tapi 75%nya terjadi pada dua decade pertama kehidupan mereka.
Dengan alasan yang belum jelas laki-laki terkena dua kali lebih sering
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada pada
masyarakat miskin dan hidup pada daerah yang terlalu padat, memiliki

22
personal higieniti yang rendah, kesehatan yang buruk, terjadinya
resistensi terhadap infeksi dan kurangnya pengetahuan atau terbatasnya
akses kesehatan. Tidak mengherankan dua atau tiga komplikasi dapat
muncul secara bersamaan. Istilah komplikasi kronik jika infeksi cranial
dan intra cranial telah menetap lebih dari 8 minggu.14

3. Etiologi
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari OMA yang
prosesnya sudah berjalan lebih dari 2 bulan, beberapa faktor penyebab
yaitu :15
a. Terapi yang terlambat tetapi tidak adekuat
b. Virulensi kuman tinggi
c. Daya tahan tubuh rendah
d. Kebersihan buruk
e. Genetik
f. Otitis media sebelumnya
g. ISPA
h. Gangguan fungsi tuba eustachius
Sebagian kecil perforasi membrane timpani terjadi akibat trauma
telinga tengah, kuman penyebab biasanya gram positif aerob,
sedangkan pada infeksi yang telah berlangsung lama sering juga
terdapat kuman gram negative dan anaerob.
a. Bakteri aerob
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli,
- Staphylococcus aureus,
- Streptococcus pyogenes
- Proteus sp
- Klebsiella sp
b. Bakteri anaerob
- Bacteroides

23
- Peptostreptococcus
- Proprionibacterium.
Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif
tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Kelainan humoral (seperti
hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi HIV,
sindrom kemalasan leukosit) dapat bermanifestasi sebagai sekresi
telinga kronis.

4. Patogenesis
Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri
menyebar dari nasofaring melalui tuba eustachius ke telinga
tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga
tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator
peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun
infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti
keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan
menambah permiabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran
sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya
peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan
mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya
akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.1

24
Patogenesis OMSK

Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa


berubah bentuk dari satu lapisan , epitel skuamosa sederhana,
pseudostratified respiratory epithelium dengan banyak lapisan sel di
antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet
dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta
pembuluh darah. Penyembuhan Otitis Media ditandai dengan
hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk
lapisan epitel sederhana.

25
Pada OMSK tipe malignan tipe ini ditemukan adanya
kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai
pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang
mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis
kolesteatoma, antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori
metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah
dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964)
yang mengatakan : kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada
tempat yang salah. Epitel kulit liang telinga merupakan suatu daerah cul-
de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam
waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari
serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk
kolesteatoma.
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di
dalam basis cranii. Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang
temporal, telinga tengah, atau tulang mastoid hanya dapat memperluas
diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya. Akibatnya,
komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma
adalah termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam
tulang temporal. Kadangkadang, kolesteatomas juga dapat keluar dari
batas-batas tulang temporal dan basis cranii. Komplikasi ekstrarempotal
dapat terjadi di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya. Kolesteatoma
kadang-kadang menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan
menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek
tekanan yang menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa
terjadi di seluruh kerangka apabila mendapat tekanan (desakan) secara
konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim pada
kolesteatoma dapat meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang

26
nantinya akan meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Kerja enzim
osteolitik ini tampaknya meningkat apabila kolesteatoma terinfeksi.
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar
ke struktur sekitarnya. Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum
timpani yang juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi
infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar ke dua, yaitu dinding
tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka
struktur lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan
menyebabkan terjadinya abses periosteal, suatu komplikasi yang tidak
berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal
maka akan menyebabkan paresis n.fasialis atau labirinitis.
Paresis nervus fasialis dapat terjadi pada otitis media akut dan
kronik. Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan paralisis
nervus fasialis yaitu :1. Hasil toksin bakteri di daerah tersebut 2. Dari
tekanan langsung terhadap saraf oleh kolesteatoma atau jaringan
granulasi. Pada otitis media akut, penyebaran infeksi langsung ke
kanalis fasialis khususnya pada anak terjadi ketika kanalis nervus
fasialis pada telinga tengah mengalami congenital dehiscent atau saraf
terkena akibat kontak langsung dengan materi purulen sehingga dapat
menimbulkan inflamasi dan edema pada saraf dan menyebabkan
paresis.1
Pada otitis media kronik bisa mengikis kanal nervus fasialis atau
sarafnya dapat dilibatkan dengan osteitis, kolesteatom dan jaringan
granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis fasialis. Manifestasi
klinik yang tampak yaitu paralisis nervus fasialis bagian bawah,
ipsilateral terhadap telinga yang sakit.
Pada otitis media akut operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang
lainny, serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan
drainase. Jika terjadi congenital dehiscent maka perlu dilakukan

27
miringotomi dengan aspirasi pus dari telinga tengah diikuti dengan
pemberian antibiotik yang kebanyakn menyebabkan resolusi parese
yang sinakat. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan
setelah diukur dengan elektrodiagnostik, barulah dipikirkan untuk
melakukan dekompresi. Pada otitis media kronik diindikasikan operasi
eksplorasi mastoid. Tindakan dekompresi kanalis n. fasialis harus segera
dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik.

5. Klasifikasi
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :1
1. Tipe Tubotimpani (Benigna)
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral
atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan
keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran
nafasatas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada
pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu
campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan
mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret
mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel,
metaplasia dari mukosatelinga tengah pada tipe respirasi dan
mukosiliar yang jelek. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi
atas :
a. Fase aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli.
Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas
melalui tuba eutachius, atau setelah berenang dimana kuman
masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid
sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar
jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang
ditemukan polip yang besar pada liang telinga luar. Perluasan

28
infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas
dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan
konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi
pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari
kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yangberpulsasi
diatas kuadran posterosuperior.
b. Fase tidak aktif / fase tenang
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang
kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang
dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai
seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga.
2. Tipe Atikoantral (Maligna)
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya.
Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya
dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya
keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah
suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih,
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis.
Benigna Maligna
Secret Mukoid, tidak berbau Purulent, berbau busuk

Perforasi Sentral Atik atau marginal


Granulasi Jarang Biasa terjadi
Polip Berwarna pucat Berwarna kemerahan
Kolesteatoma Tidak ada Ada
Komplikasi Jarang terjadi Sering terjadi
Audiogram Tuli konduktif ringan Tuli konduktif atau
hingga sedang campuran

29
6. Manifestasi Klinis15
a. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti
air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus
dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan
mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya secret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah
sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi
dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret
telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor
memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat
terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang
atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi
dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah
kemungkinan tuberkulosis.
b. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula
bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan
sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke
fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif
kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran
masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya

30
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif
berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga
ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara
hati-hati.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan
dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela
bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya
labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi
tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi
koklea.
c. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri
dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman
pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin
oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal
abses atau trombosis sinus lateralis.
d. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah
terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom.
Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat
terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.

31
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan
vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian
dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam
sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi
meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan
riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan
negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan
melalui rongga telinga tengah.

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :


a. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
b. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum
timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Pada pares nervus facialis otot-otot bagian atas wajah mendapat


persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat perbedaan antara gejala
kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral,
sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh
; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII
jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua
otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang
mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama N.
fasialis.
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah
mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang
mengurus wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks
motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor
neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks

32
motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian
bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat
mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan
bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut
(menyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila
disuruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa
secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang
volunter maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper
motor neuron) nervus VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal
ini dapat dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang (space occupying
lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus,
mesensefalon dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal demikian
pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.
Gejala lesi dikanalis fasialis (melibatkan korda timpani) ditandai
seperti pada mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan
terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang.
Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus, ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara
pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis
di kanalis fasialis. Pada lesi yang melibatkan muskulus stapedius gejala
disertai dengan hiperakusis.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi
nervus fasialis. Tujuan pemeriksaan fungsi nervus fasialis adalah untuk
menentukan letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya.

33
7. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mengetahui parese nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf.
Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain
Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi
maksimal.16
a. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons
reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon
normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau
yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu
EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan
memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan
suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan
EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran
EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran
saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG
bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka
kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka,
sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons
di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf
fasialis.

34
c. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya
didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli
sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi
membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran
suara ditelinga tengah. Derajat ketulian ditentukan dengan
membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada
frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen
dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang
pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
d. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga
kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat
otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya
mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan
pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau
yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom.

35
8. Tatalaksana
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas
infeksi, yang dapat dibagi atas: konservatif dan operasi.1
a. Otitis media supuratif kronik benigna
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan
dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke
telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila
menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,
timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan
pendengaran.

Otitis media supuratif kronik benigna aktif


Prinsip pengobatan OMSK adalah :
1) Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang
tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena
sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga/
ear toilet) yaitu:
 Toilet telinga secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah
dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara
ini sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga dilakukan
oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat
dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
 Toilet telinga secara basah (syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris
dan nanah, kemudian dibersihkan dengan kapas lidi steril dan
diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif
untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat

36
mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke
mastoid. Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang
dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal
ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam
boric dengan iodine.
 Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan
mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat
ini. Setelah itu dilakukan pengangkatan mukosa yang
berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat
dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang kooperatif cara ini
dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan
anestesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai
sasarannya bila dilakukan dengan “displacement methode”
seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2) Pemberian antibiotika
a. Antibiotik topikal
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan
sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu adalah tidak
efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid. Irigasi dianjurkan dengan garam faal agar
lingkungan bersifat asam yang merupakan media yang buruk
untuk tumbuhnya kuman.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar
masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan
antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya
tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang
paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan
uji resistensi.

37
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media
kronik adalah :
 Polimiksin B atau polimiksin E: Obat ini bersifat
bakterisid terhadap kuman gram negatif.
 Neomisin: Obat bakterisid pada kuman gram positif
dan negatif. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
 Kloramfenikol :Obat ini bersifat bakterisid terhadap
basil gram positif dan negatif kecuali Pseudomonas
aeruginosa.
b. Antibiotik sistemik
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga
sebaiknya berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian
antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan
pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan
yang ada pada penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya
terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2
golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung
kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman
terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon.
Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi
tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak
menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya
golongan beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan
kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) atau golongan
sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidin, dan
seftriakson) yang juga efektif untuk Pseudomonas, tetapi
harus diberikan secara parenteral.

38
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol
yang bersifat bakterisid. Pada OMSK aktif dapat diberikan
dengan dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200
mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

b. Otitis Media Supuratif Kronik Maligna


Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan karena
pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah
merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila
terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat
dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna
atau maligna, antara lain yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa
timpanoplasti, terapi medikamentosa hanya bersifat sementara
sebelum pembedakan. Oprasi direncanakan secepatnya untuk
memperbesar kemungkinan keberhasilan dan memperkecil risiko
komplikasi.

9. Komplikasi
Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi dua yaitu
komplikasi intratemporal dan ekstratemporal. Komplikasi intratemporal
meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis nervus facialis dan
fistula labirin. Secara anatomis komplikasi ekstratemporal dibagi
menjadi komplikasi intrakranial dan ekstrakranial. Komplikasi
intracranial dapat berupa abses dari system saraf pusat, meningitis,
thrombophlebitis dan otic hydrocephalus. Meningitis dan cerebral abses
merupakan komplikasi intracranial tersering yang dialami oleh pasien
yang menderita OMSK. Sedangkan komplikasi ekstrakranial pada
pasien dapat berupa abses retroauricular, abses subperiosteal, abses
zygomatic dan abses Bezold .

39
10. Prognosis
Prognosis pada pasien ditentukan dari onset paralisis nervus
fasialis sampai dilakukannya operasi. Durasi yang lama dapat
menyebabkan kerusakan yang lebih parah dari nervus fasialis dan hasil
pembedahan yang buruk. Perforasi membran timpani dapat menutup
secara spontan, akan tetapi gangguan pendengaran ringan sampai
sedang masih dapat menetap. Frekuensi komplikasi dapat berkurang
jika diterapi dengan efektif dan tepat, akan tetapi masih erosif dan efek
penyebaran dari kolesteatoma yang menyebabkan prognosis yang
parah.17

40
BAB IV
PENUTUP

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah perforasi membran timpani


dengan drainase dari telinga tengah dengan waktu lebih dari 6-8 minggu. Supurasi
kronis dapat terjadi dengan atau tanpa kolesteatoma. OMSK terbagi menjadi dua
yaitu OMSK tipe tubotimpani atau benigna atau tipe aman dan OMSK tipe
atticoantral atau maligna atau tipe bahaya. Pasien didiagnosis OMSK tipe maligna
dikarenakan pada pasien didapatkan sekret purulen dan berbau busuk yang keluar
pada telinga kanan dan terdapat perforasi attic dan terdapat kolesteatoma.
Kolesteatoma adalah lesi masa kistik non-kanker yang terbentuk dari pertumbuhan
abnormal dari epitel gepeng berkreatin, debris kreatin dengan atau tanpa reaksi
inflamasi pada tulang temporal. Pertumbuhan abnormal ini progresif, invasif dan
menyebabkan destruksi dari struktur tulang di telinga tengah dan telinga dalam.
Kolesteatoma dibagi menjadi dua berdasarkan patogenesis penyakitnya yaitu
kolesteatoma kongenital dan kolesteatoma didapat. Kolesteatoma didapat terjadi
sekunder dari migrasi epitel ke telinga tengah melewati membran timpani yang
perforasi oleh karena infeksi, trauma, iatrogenesis.
Pasien didapatkan riwayat batuk pilek berulang. Infeksi kronik atau
berulang dari saluran napas atas (ISPA) menyebabkan terjadinya edema serta
obstruksi tuba auditoria. ISPA yang disebabkan oleh virus menyebabkan replikasi
dari infeksi bakteri dan meningkatkan inflamasi di nasofaring dan tuba auditoria.
Hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya kronisitas otitis media. Kondisi
lain yang dapat menjadi faktor risiko OMSK yaitu deviasi septum nasi,
tuberkulosis, tonsilitis kronik dan pembesaran adenoid.
Pasien mengeluh pendengaran berkurang. Untuk menentukan jenis tuli dan
derajat ketulian pada pasien dibutuhkan pemeriksaan garputala dan audiometri.
Kehilangan pendengaran merupakan komplikasi yang paling sering pada OMSK.
Tuli konduktif pada OMSK disebabkan oleh karena obstruksi dari transmisi
gelombang suara dari telinga tengah ke telinga dalam oleh karena adanya cairan
(pus) dan perforasi membran timpani menghilangkan konduksi suara ke telinga

41
dalam.15,16 Infeksi kronik dari telinga tengah menyebabkan edema dari lapisan
telingah tengah, perforasi membran timpani dan rusaknya ossikula auditiva yang
menyebabkan tuli konduktif 20-60 dB. OMSK juga dapat menyebabkan tuli
sensorineural akibat rusaknya telinga dalam (koklea) terutama pada jalur saraf yang
membawa sinyal dari telinga dalam ke otak.
Pada pasien didapatkan mulut mencong ke kanan serta pasien tidak dapat
mengangkat alis mata kanan sehingga pada pasien dapat didiagnosis parese nervus
fasialis perifer. Parese nervus fasialis merupakan salah satu komplikasi dari OMSK.
Parese nervus fasialis yang berhubungan dengan OMSK onsetnya bisa tiba-tiba
atau bertahap. Onset yang tibatiba biasanya disebabkan oleh eksaserbasi dari infeksi
akut pada OMSK, sedangkan onset yang bertahap terjadi karena kompresi dari
kolesteatoma atau jaringan granulasi. Etiologi pasti dari parese nervus fasialis pada
infeksi telinga kronis tidak sepenuhnya diketahui, akan tetapi keterlibatan inflamasi
langsung dari nervus fasialis melalui kompresi tuba akibat edema berpengaruh
dalam patofisiologi parese nervus fasialis. Teori lainnya mempercayai bahwa
kolesteatoma dapat menyebabkan parese nervus fasialis melalui bahan neurotoksik
yang dihasilkannya atau menyebabkan kerusakan tulang melalui berbagai aktivitas
enzim. Tatalaksana konservatif dan operatif diperlukan pada OMSK tipe maligna
dengan komplikasi.
Diagnosis dini dan penatalaksanaan segera merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan OMSK dengan komplikasi. Kombinasi pemberian antibiotik dan
tindakan bedah adalah modalitas utama dalam penatalaksanaan OMSK dengan
komplikasi. Penanganan yang cepat dan tepat terhadap kasus OMSK dengan
komplikasi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Efiaty AS,
Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR, Editor. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala leher edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. hlm. 57-69.
2. Basak B, Gayen GC, Das M, Dhar G, Ray R dan Das AK. 2014. Demographic
profile of CSOM in rural tertiary care hospital. IOSR Journal of Pharmacy.;
4(6):43-6.
3. Mahidiqbal, Adnan, Ihsanullah, Sharafat, Rehman MU dan Hussain G. 2013.
Frequency of Complication in Chronic Suppurative Otitis Media. Journal of
Saidu Medical College. 3(2):328-30.
4. Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2005. Pedoman upaya
kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran untuk puskesmas.
Jakarta: Depkes RI.
5. Das LCA, Jumani K dan Kashyap GCR. 2005. Subdural empyema: A rare
complication of chronic otitis media. Med J Arm Forces India. 61(3): 281-3.
6. Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh
Sugarto L. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
7. Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis Cetakan
kedua puluh Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,. p. 141-142.
8. Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology 13th
Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc
9. Ballenger JJ. 1997. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih
bahasa: Staf pengajar FKUIRSCM. 13rd ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 105-9.
10. Aboet, A. ; 2007. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher pada Fakultas Kedokteran USU. Medan.
11. SM. Lumbotobing. 2006. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

43
12. Peter, Duus. 1996. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : Balai Pustaka.
13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. 2007. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-
UI.
14. World Health Organization (WHO). 2017. Deaffness and hearing loos
[internet]. Switzerland: WHO. [diperbarui tanggal Februari 2017; diakses
tanggal 12 Mei 2017]. Tersedia dari: http://www.who.int/mediacentre/factshe
ets/fs300/en/
15. Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan
Terhadap Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan. Medan: FK-USU.
16. Maisel R, Levine S, 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC.
17. Kim J, Jung GH, Park SY dan Lee WS. 2012. Facial nerve paralysis due to
chronic otitis media: prognosis in restoration of facial function after surgical
intervention. Yonsei Med J. 53(3):642-8

44

Anda mungkin juga menyukai