Anda di halaman 1dari 14

Manusia, Nilai,

Moral dan
Hukum
 Cabang Filsafat

1. Metafisika
2. Teori Pengetahuan
Estetika
3. Aksiologi (teori nilai)

Etika
Nilai dalam kehidupan manusia
 Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik
dalam bidang etika maupun estetika, bahkan nilai
masuk ketika manusia memahami agama dan
keyakinan beragama.
 Manusia memaknai nilai dengan dua konteks,
yakni obyektif dan subyektif. Obyektif adalah
manusia memandang nilai itu ada meskipun tanpa
ada yang menilainya, atau nilai itu telah ada
sebelum adanya manusia sebagai penilai.
Subyektif adalah nilai sangat tergantung pada
subyek yang menilainya. Jadi nilai tidak akan ada
tanpa hadirnya penilai. Jadi itu melekat pada
subyek penilainya.
Pengertian Nilai
 Nilai adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar masyarakat, tentang- hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1985). Nilai
adalah hakikat sesuatu hal yang menyebabkan hal itu pantas
”dikejar” oleh manusia (Driyarkara, 1966). Nilai adalah sesuatu
yang dianggap berharga pada suatu obyek sehingga
memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat berupaya
untuk mendapatkannya. Kehidupan manusia yang amat kompleks
ini tidak akan terlepas dari iringan nilai yang menyertainya.
 Seekor kucing misalnya, sejak zaman Cleopatra sampai milenium
ketiga ini tidak pernah mempersoalkan baik-tidaknya para
majikan mereka. Kucing yang satu tidak menunjukkan iri pada
temannya yang selalu mendapatkan makanan-makanan enak,
bukan makanan sisa majikannya, bukan susu yang basi seperti
dirinya. Tetapi perhatikan obrolan dua orang pembantu rumah
tangga di sebuah perumahan, mereka akan membicarakan berapa
gaji per bulan, adakah tip tambahan dari majikan, berapa besar
THR yang diterima jika hari raya, seberapa berat beban pekerjaan
mereka di masing-masing tempat mereka bekerja, dan lain-lain.
Makna nilai bagi manusia
 Apabila nilai menjadi norma, maka nilai menjadi ukuran
untuk suatu tindakan seseorang apakah sesuatu itu baik,
buruk, benar atau salah, sehingga pantas dilakukan atau
tidak. Dalam kaitan ini nilai dapat dikatagorikan dengan nilai
jasmaniah (nilai ekonomis, nilai teknis, nilai kepraktisan) dan
nilai rohaniah (nilai kehormatan, harga diri, kesetiaan,
pengorbanan, dan lain-lain). Nilai dibutuhkan dalam hidup
manusia untuk memberi makna dalam hidup, sebagai arah
dan tujuan dalam hidup. Tanpa nilai, hidup manusia akan
hampa, sia-sia. Luasnya nilai yang dibutuhkan manusia,
seluas aktivitas manusia yang kompleks ini. Nilai-nilai
rohaniah memberi makna yang lebih mendalam bagi
kehidupan manusia daripada nilai-nilai jasmaniah, walaupun
nilai-nilai jasmaniah tidak bisa dikesampingkan.
Apakah manusia itu pemilik nilai
(subyektif) atau pengguna nilai
(obyektif)?

 Apakah ada nilai-nilai obyektif yang harus


diajarkan?
 Atau Apakah nilai harus dicari dari suatu
proses karena sebenarnya individu sendiri
sebagai makhluk yang bernilai, dan yang
paling penting bagaimana individu tersebut
menyadari dengan jelas nilai dirinya.
Pendekatan-pendekatan Nilai
 Menurut pandangan idealisme nilai ialah sesuatu yang
bersifat normatif, obyektif dan berlaku umum. Nilai menurut
mereka sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dengan alam
semesta ini. Wujud nilai bisa manusia tangkap lewat
”perilaku-perilaku” anggota alam semesta ini, seperti
matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, hewan-
hewan beraktivitas mencari makan tetapi bila sudah
kenyang mereka menghentikan makan, hutan yang lebat
berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam, dan lain-lain.
Lewat aktivitas alam ini sebenarnya manusia dapat menarik
hikmah untuk memformat sistem nilai dalam hidup mereka.
Tertib alami tersebut ditingkatkan menjadi tertib rasional,
tertib manusiawi, dan kemudian tertib sosial.
Lanjutan
 Materialisme tentang nilai lebih sederhana, dihubungkan
dengan nilai-nilai matematis yang eksak dan terukur. Nilai suatu
obyek ditentukan oleh ukuran-ukuran eksak yang dapat diukur
dengan cermat, misalnya mana yang lebih baik antara naik
kereta api atau pesawat terbang, maka penentuan dilakukan
dengan membandingkan manfaatnya dengan ukuran-ukuran
matematis yang cermat. Pikiran manusia pada pandangan ini
diasalkan sebagai gerak otak, aliran-aliran dalam dunia seni
dihubungkan dengan ukuran-ukuran nilai ekonomis. Pandangan
ini menginginkan segala sesuatu dapat dibuktikan dengan
empiris, jelas, dan konkrit. Tidak terkecuali dalam nilai
kehidupan sosial, pandangan materialisme menginginkan nilai
itu dapat diwujudkan dengan perbuatan, ukurannya ”ya”atau
”tidak”.
Lanjutan
 Pandangan pragmatisme mendasarkan nilai yang diakui
ditentukan oleh social interest, minat masyarakat. Sesuatu hal
dapat bernilai tinggi apabila minat masyarakat tinggi terhadap
sesuatu itu. Jadi sesuatu itu dianggap tidak bernilai apabila
masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno,
ketinggalan zaman, atau nggak gaul. Jadi yang menentukan
nilai adalah masyarakat dengan social interest-nya. Bagi
pragmatisme nilai tidak pernah abadi tetapi tentatif, tidak
universal tetapi bersifat terbatas, dan itu wajar karena
masyarakat selalu berkembang, dinamis. Aliran pragmatis
tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang,
semua itu diserahkan pada gerak dinamika masyarakat. Yang
membentuk social interest pada umumnya mereka sebagai
orang yang berpengaruh, mereka yang berkedudukan sebagai
pemimpin, para publik figur.
Lanjutan
 Dalam pandangan sophisme manusia menjadi ukuran
bagi segala sesuatu, manusialah yang menentukan benar
dan tidaknya sesuatu. ”Man is the measure of all things”
demikian yang dikatakan oleh Protagoras, seorang filsuf
dari kaum sofis. Ukuran nilai menjadi sangat subyektif
dalam pandangan kaum sofis, apa yang baik bagi
seseorang mungkin tidak baik bagi orang lain. Suatu
pendirian tidak lebih benar dibandingkan pendirian lain,
sekalipun pendirian yang lain itu adalah kebalikannya.
Kebenaran dan nilai bersifat relatif, tergantung pada
waktu, tempat, dan manusianya. Pandangan ini sangat
membingungkan karena tidak ada pedoman yang umum
dan pasti untuk bertindak, tetapi semua berdasar pada
selera perseorangan.
Pengaruh Media Komunikasi
Terhadap Perkembangan Nilai Moral
 Bila seseorang dihadapkan dengan berbagai kemungkinan
yang ditampilkan oleh media komunikasi, maka dia akan
kehilangan gagasan dan kebingungan.
 Media massa sangat mungkin memberikan kontribusi
besar bagi pembiasan terhadap proses pemahaman yang
sedang tumbuh pada kalangan anak-anak muda.
 Konsekuensinya akan muncul kebingungan pada kalangan
anak muda untuk menentukan mana yang baik dan buruk,
mana yang betul mana yang salah, dan mana yang adil
mana yang timpang.
Hukum

 Tujuan hakiki hukum adalah ketertiban.


“Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari
segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini
merupakan syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,
…, ketertiban sebagai tujuan utama hukum,
merupakan fakta obyektif yang berlaku bagi
segala masyarakat dalam segala bentuknya”
(Mochtar Kusumaatmadja)
Kaitan Hukum dan Moral
 Hukum tak akan mempunyai arti jika tidak
dijiwai oleh moralitas, hukum akan kosong
tanpa moralitas.
 Moral juga membutuhkan hukum. Moral tanpa
hukum hanya angan-angan saja kalau tidak
diundangkan atau dilembagakan dalam
masyarakat.
 Jadi hukum dapat meningkatkan dampak sosial
dari moralitas.
Beda hukum dan moral
 Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsensus
dan hukum alam, sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
 Dilihat dari otonominya, hukum bersifat heteronom yaitu
datang dari luar diri manusia, sedangkan moral bersifat otonom
datang dari diri sendiri.
 Dilihat dari pelaksanaannya, hukum secara lahiriah dapat
dipaksakan, sedangkan moral scara lahiriah terutama batiniah
tidak dapat dipaksakan.
 Dilihat dari sanksinya, sanksi hukum bersifat yuridis sanksi
lahiriah, sedangkan sanksi moral berbentuk sanksi kodrati,
batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
 Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia
dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur
kehidupan manusia sebagai manusia.
 Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung waktu dan
tempat, sedangkan moral secara obyektif tidak tergantung pada
tempat dan waktu.

Anda mungkin juga menyukai