Penulisan Hukum
(Skripsi)
Oleh:
YELINA RACHMA P
NIM. E.0005312
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disusun oleh :
YELINA RACHMA P
NIM : E. 0005312
ii
PENGESAHAN PENGUJI
YELINA RACHMA P
NIM : E. 0005312
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 28 Januari 2010
TIM PENGUJI
(1) Edy Herdyanto, S.H., M.H ……………….. ( )
Ketua
MENGETAHUI
Dekan,
iii
MOTTO
Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan
jalan baginya menuju Surga.
(HR. Bukhari Muslim)
Jangan takut dikatakan “gila” dalam hal yang positif oleh orang lain karena
kita baru akan sukses jika ada orang yang mengatakan kita “gila”
~Penulis~
Dengan selangkah lebih maju dari orang lain kita akan semakin dekat
dengan kesuksesan
~Penulis~
iv
PERSEMBAHAN
v
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
serta diiringi rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, penulisan hukum
(Skripsi) yang berjudul “TINJAUAN TENTANG PENGATURAN ASAS
PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (ASAS
OPPORTUNITAS) DALAM KUHAP DAN RELEVANSINYA DENGAN
ASAS PERSAMAAN KEDUDUKAN DI MUKA HUKUM (EQUALITY
BEFORE THE LAW)” dapat penulis selesaikan.
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Ibu Gayatri Dyah S., S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri
Surakarta yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan dorongan
kepada penulis.
vi
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang
telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, motivasi demi
kemajuan Penulis, dan juga cerita-cerita serta pengalaman yang dapat
memberikan semangat bagi Penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis
sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga
dapat penulis amalkan.
6. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan
memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta
menyelesaikan penulisan hukum ini.
7. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan,
pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas
bantuannya.
8. Buat papa dan mama terima kasih atas doa dan semangat yang kalian
berika kepadaku.semoga papa dan mama diberikan kesehatan, rezeki dan
umur panjang.
9. “Asisten Dosenku” Dheddy Iscahyanto yang telah membantu dan memberi
semangat kepada penulis. Pertahankan kesabaranmu ya mas.
10. Buat personel “HIT” ayu, terima kasih atas hutangan pulsanya semoga
kamu semakin kaya. Buat mila, aku akan selalu ingat awal pertemuan kita
dan jaket warna krem mu itu Sekarang ada dimana mi?.buat ratih, kapan
nikahnya tih?.buat febri, kamu adalah teladan buat wanita indonesia. buat
tanti, tan aku akan selalu ingat kamu adalah teman yang Sangat setia
kawan. Buat ika, tetap semangat bekerja.ingatlah waktu adalah uang.
11. Teman-teman Kost justicia 2, dita, nana, indras, eka, eri, eni, andan, mbak
vivi, mbak nia terima kasih kalian telah membuatku merasa tidak sendirian
di kosan.
vii
12. Teman-teman D3 bahasa cina UNS cik siska, nizam, damai, mbak cahya,
rossi, farida, adit, sucipto, adi, novinda, santi, Lydia, yosita, mei-mei,
ricky, noviana, silvyana, karena kalian aku kembali bersemangat..ciayou!
13. Teman-teman magetan, cik riris, anis, aji, andi sawike, isa, wulung terima
kasih atas semuanya.
14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
tersusunnya skripsi ini.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
ABSTRAK ................................................................................................... xii
ix
B. Kerangka Pemikiran.............................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 75
x
DAFTAR GAMBAR
xi
ABSTRAK
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah ditegaskan bahwa Negara
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa
Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–
Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia,
misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana
yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka
diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk menjamin hak–hak dan
kewajiban masyarakat itu sendiri.
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk
mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai
tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang
sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini
hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah
disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing
Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi daripada
nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik
adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para penegak hukum
dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat
xiii
adalah kebutuhan pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan
penuntutan. Harus menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan
umum karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Penuntut umum
tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokanya dengan suatu peraturan hukum
pidana,akan tetapi menciba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan
pada proporsi yang sebenarnya
xiv
proses peradilan pidana itu sendiri dalam menjamin dan melindungi hak-hak asasi
tersangka dan terdakwa.
xv
Indiesche Reglement (HIR) yang juga dikenal dengan Reglement Indonesia yang
diperbaharui (RIB).
Beberapa hal baru yang tercantum dalam KUHAP tersebut antara lain :
1. Hak-hak tersangka dan terdakwa (Pasal 50s/d 68 KUHAP)
2. Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69 s/d 74 KUHAP)
3. Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi
(Pasal 98 s/d 101 KUHAP)
4. Pengawasan pelaksanaan putusan hakim (Pasal 277 s/d 283 KUHAP).
5. Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni praperadilan (Pasal
77 s/d 83 KUHAP)
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Untuk mencari pelaku dari
suatu tindak pidana serta menjatuhkan pidana, menjaga agar mereka yang tidak
bersalah tidak dijatuhi pidana, meskipun orang tersebut telah dituduh melakukan
suatu tindak pidana.
Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan pidana yaitu adanya suatu
ketentuan dalam UU pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan
memberikan sanksi terhadapnya. Di Indonesia, hal tersebut diatur oleh asas
Legalitas yang terdapat di dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi : tidak ada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan UU pidana yang mendahuluinya.
Suatu kegiatan baik itu kegiatan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara
harus mempunyai cita-cita yang menjadi dasar agar tujuan kegiatan tersebut dapat
tercapai dengan baik. Cita-cita yang menjadi dasar ataupun sesuatu kebenaran
yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir/berpendapat lazim disebut asas.
Sehingga dengan demikian asas itu merupakan hal yang penting sebagaimana
dapat dilihat juga di dalam setiap tahapan pembangunan ditentukan adanya asas
pembangunan nasional. Demikian juga di dalam Hukum Acara Pidana juga
xvi
ditentukan asas-asas yang menjadi prinsip pokok yang harus diterapkan dan
dipegang teguh dalam melaksanakan/menyelesaikan suatu perkara di Badan
peradilan.
Sesuai makna yang terkandung dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP,
disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang menghentikan perkara dalam tahap
penuntutan. Dari makna tersebut, haruslah ditafsirkan secara alternatif, bukan
kumulatif. Dalam Pasal tersebut disebutkan ada pun hal-hal yang dapat
menghentikan perkara adalah tidak adanya cukup bukti, bukan merupakan tindak
pidana dan perkara tersebut batal demi hukum.
xvii
undangan di tanah air. Sebagaimana dimaklumi, asas legalitas dalam KUHP
Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar “kepastian hukum”. Namun dalam
realitanya asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan/penghalusan
atau pergeseran/perluasan dan menghadapi berbagai tantangan
B. PERUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
xviii
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis (Soerjono
Soekanto, 1986 : 42). Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
2. Tujuan Subyektif
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
xix
opportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan asas equality before
the law.
b. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pengaturan asas
penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas opportunitas) dalam
KUHAP dan relevansinya dengan asas equality before the law.
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
2. Sifat Penelitian
xx
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori
baru. (Soerjono Soekanto,1986 : 10).
3. Jenis Data
4. Sumber Data
xxi
a. Bahan Hukum Primer
xxii
bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang
ada hubungannya dengan masalah yang diteliti yang digolongkan sesuai
dengan katalogisasi.
Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. ( Soerjono Soekanto,
1986, 250).
xxiii
diperoleh data yang mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang
diteliti. Sehingga apabila dianggap kurang penulis dapat atau wajib
kembali melakukan pengumpulan data khusus bagi dukungan yang
diperlukan. Hal tersebut tergambar dalam bagan berikut ini :
Pengumpulan data
Penarikan Kesimpulan
xxiv
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari
: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Hukum.
xxv
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang
pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam
penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan
Tentang KUHAP. Kedua, Tinjauan Tentang Asas Penuntutan. Ketiga,
Tinjauan Tentang Asas Equality Before The Law. Pembahasan yang
kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.
BAB IV : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xxvi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
xxvii
4). Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada
penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan
membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5). Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan itu
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib.
6). Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7). Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib.(Andi Hamzah, 2008:6).
xxviii
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana yang ada pada sesuatu
perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka
telah melanggar larangan tersebut”.(Moeljatno dikutip Ramelan,
2006:2).
2). Simons
xxix
Adalah Mengatur bagaimana negara dengan alat-alat
perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan
menjatuhkan hukuman.
1). Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum, artinya peraturan-peraturan hukum itu pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut.
2). Asas hukum layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan
hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas
xxx
hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu
peraturan hukum, melainkan akan tetap saja dan akan melahirkan
peraturan-peraturan selanjutnya.(Satjipto Rahardjo dikutip
Ramelan, 2006:7).
xxxi
Undang KUHAP. Mengenai upaya agar peradilan cepat, hal ini
terjabar dalam berbagai Pasal. Antara lain :
a). Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27
ayat (4) dan Pasal 28 ayat (4). Dalam Pasal-Pasal tersebut
dimuat ketentuan bahwa apabila telah lewat waktu penahanan
seperti tercantum dalam ayat sebelumnya maka penyidik,
penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum. Hal ini menandakan
bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim harus bekerja
dengan cepat untuk menyelesaikan suatu perkara.
c). Dalam Pasal 102 ayat (1) menyatakan bahwa penyelidik yang
mengetahui, menerima laporan atau pengeduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang
diperlukan.
d). Pasal 106 menentukan hal yang sama sebagaimana Pasal 102
ayat (1) bagi penyidik.
xxxii
hasil penyidikanya kepada penuntut umum melalui penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
xxxiii
Asas ini merupakan prinsip yang penting dalam hukum
acara pidana. Prinsip ini merupakan konsekwensi dari pengakuan
terhadap asas legalitas. Prinsip ini mengandung kepercayaan
terhadap seseorang dalam negara hukum dan merupakan pencelaan
atau penolakan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dalam
suatu negara yang menganut paham bahwa setiap orang itu
dipandang salah sehingga terbukti bahwa ia tidak bersalah.
(Ramelan, 2006:9)
xxxiv
Di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia,
ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa :
“ setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut
karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaanya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
xxxv
sewenang-wenang. Prinsip akuisator inilah yang dulu dijadikan
landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak
memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau
terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan
kebenaranya. Sebab sejak semula aparat penegak hukum :
xxxvi
Menurut asas yang kedua, penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya
akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum,
seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. (Andi
Hamzah,1996:15).
Asas tersebut diatur dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4)
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak” ayat( 3)
xxxvii
5). Asas semua orang diperlakukan sama di muka hukum.(Equality
Before The Law)
6). Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap
xxxviii
pemberhentian hakim ditetapkan oleh kepala negara.
(L.Sumartini,1996:20)
xxxix
f). Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
xl
Ini bebeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili
oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan
artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. (Andi Hamzah,
2008:25)
Pasal 155 ayat (1) KUHAP :” pada permulaan sidang hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap,
tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan
terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
dan dilihatnya di sidang”
c. Tujuan KUHAP
xli
Tujuan Hukum Acara Pidana terdapat dalam pedoman
pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman
sebagai berikut :
“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
xlii
Bambang Poernomo, beranggapan bahwa pedoman
pelaksanaan KUHAP tersebut telah menyatukan antara tujuan dan
tugas atau fungsi hukum acara pidana. Seharusnya perlu ditegaskan
bahwa tujuan hukum acara pidana dari :
a. Asas Opportunitas
xliii
Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas
opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “ Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi
kepentingan umum”.(Ramelan, 2006:10).
b. Asas Legalitas
xliv
2). Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di
atas segala-galanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat
bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras
dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan
bangsa indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum,
menguji dan meletakkan setiap setiap tindakan penegakan hukum
takluk di bawah ketentuan konstitusi, Undang-Undang dan rasa
keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat.
Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat bangsa lain, tidak dapoat disebut rule of law, bahkan
mungkin berupa penindasan.
1). Sama sederajat di hadapan hukum, atau equal before the law.
2). Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum,
equal protection on the law.
3). Pendapat “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum, equal
justice under the law.
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara
Hukum (state law) yang mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme
of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan
xlv
dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial (social
stratum).
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan
negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum (kedaulatan hukum)
ternyata mengalami “penghalusan” kalau tidak mau dikatakan “exception”
(pengecualian) demi mempertahankan kewibawaan hukum itu sendiri.
xlvi
Isyarat senada ditemukan pula baik di dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (KRIS) 1949 maupun didalam UUDS 1950 melalui
ketentuan Pasal 7 dapat dibaca bahwa:
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination
to equal protecion af the law.....”.
“Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks”.
xlvii
“All person are equal before the law....”.(Mien rukmini, 2007:64-65).
B. Kerangka Pemikiran
KUHAP
ASAS PENUNTUTAN
xlviii
LEGALITAS OPPORTUNITAS KUHAP
xlix
Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 77
KUHAP yang berbunyi :” yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa
agung”.
Asas opportunitas dan asas equality before the law mempunyai relevansi
yang tidak dapat dipisahkan hal itu dikarenakan karena adanya pertentangan
antara kedua asas tersebut. Asas equality before the law menegaskan bahwa
setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum sedangkan asas
opportunitas malah menyatakan sebaliknya, yaitu penuntut umum tidak wajib
menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbanganya akan
merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang
melakukan delik tidak dituntut.
BAB III
HASL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian Opportunitas
l
Perkataan opportunitas berasal dari kata-kata latin ini sangat luas
artinya. Menurut kamus bahasa indonesia karangan W.J.S.
Poerwadarminto berarti ketika atau kesempatan yang baik. Sedangkan
H.Kotslesen mengartikan sebagai “Geschte Gelegheid”.
a. Pasal 1 butir a :
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
li
b. Pasal 1 butir b :
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
c. Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang mengadili.
Sebelum ketentuan itu, dalam praktik telah dianut asas itu. Dalam
hal ini lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas opportunitas lazim
dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negari ini, sekalipun sebagai
hukum tidak tertulis yang berlaku. (Lemaire dikutip Andi Hamzah,
2008:17)
lii
“.......Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum
dalam penerapan asas opportunitas di negara kita adalah
didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan
bukan untuk kepentingan masyarakat”.
liii
law adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.
liv
Di bawah ini dapat dibandingkan antara kepentingan negara dan
kepentingan mayarakat yang harus dilindungi dalam hubungannya dengan
pelaksanaan asas opportunitas yaitu:
a. Apabila tindak pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan tidak
terhadap kepentingan masyarakat, sedangkan kerugian dari akibat
tersebut dirasakan tidak mempengaruhi jalanya pemerintahannya,
maka dapat perkara itu dikesampingkan.
b. Apabila tindak tindak pidana tersebut tidak merugikan bagi
kepentingan penyelenggara negara namun berakibat terganggunya
kehidupan masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat,
maka perkara tersebut tidak dapat dikesampingkan. (Andi
Hamzah:2006,158-159).
lv
a. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy), yang
meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah
diperbaiki (trivial offence, old age, and damage settled).
b. Karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu, dan lain-lain.
c. Karena perkara digabung gengan perkara lain.
lvi
Inilah yang disebut di Belanda pengawasan negatif dari penuntut
umum (negatieve controle van het openbaar Ministerie). Dapat juga kita
sebut sebagai pengawasan pasif penuntut umum, penuntut umum tidak
dapat mendesak hakim untuk mengikuti tuntutannya, tetapi hakim juga
tidak dapat begitu saja menyampingkan tuntutan penuntut umum, karena
kalau tuntutan yang sangat beralasan disingkirkan hakim, atau putusannya
terlalu ringan atau terlalu berat, maka putusan itu akan dibanding.
lvii
yang baru ini benar-benar diterapkan sistem akusator (adversary system).
Akan tetapi, sistem akusator Norwegia berbeda dengan sistem akusator
Anglo Saxon. Sistem akusatornya lebih kurang sama dengan yang
tercantum dalam KUHAP Indonesia. Terdakwa berhadapan dengan Jaksa,
bukan objek pemeriksaan.
lviii
Belanda ini disebut transactie, dan dapat diterapkan juga pada delik serius.
Khusus di Denmark pembayaran denda merupakan alternatif untuk pidana
enam bulan penjara.
lix
the law di balik asas legalitas yang relatif. Semua ini sekaligus
mempertegas betapa korupsi telah merusak sistem ketatanegaraan Amerika
Serikat, baik eksekutif, yudikatif, bahkan legislatif.
lx
tetangganya. Pengaruh sistem hukum pada negara Malaysia, Singapura,
dan Australia lebih ditetapkan sebagai konsepsi Anglo Saxon. Sebaliknya,
pengaruh Belanda dengan sistem Eropa Kontinental memberikan dasar
konsepsi yang dominan. Konsepsi Anglo Saxon menpengaruhi KUHAP
manakala jaksa dikesampingkan dari kewenangan penyidikan, tetapi
beberapa negara dari United Kingdom of Great Britain justru mengarah
kepada sistem Eropa Kontinental karena memberikan suatu kewenangan
penuntutan kepada jaksa yang dinamakan Crown Prosecutor Service
(CPS). Sebelum 1986 (inggris) kewenangan melakukan penuntutan
dilakukan oleh kepolisian.
Menurut Prof. Dr. Jur andi Hamzah, Belanda yang menganut Asas
Opportunitas, dalam suatu laporan tahunan 1980 Ministerie van Justitie
(Kejaksaan) menyebutkan bahwa lebih dari 50% perkara di sana tidak
diteruskan oleh Kejaksaan ke Pengadilan. Dari jumlah itu, 90% di
antaranya karena alasan teknis (umumnya karena tidak cukup bukti).
Secara garis besar, ada 3 kategori penyampingan perkara di Belanda, yaitu
:
lxi
a. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy), yang
meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua), dan
kerusakan telah diperbaiki/kerugian sudah diganti.
b. Karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu, dan lain-lain).
c. Karena perkara digabung dengan perkara lain.
lxii
kehidupan sosial ekonomi Indonesia yang memang dikenal sebagai salah
satu negara yang memiliki signifikasi kuantitas koruptifnya. Berbagai
strata dan level sosial, birokrasi maupun kelembagaan negara dan swasta,
korupsi dan suap sudah menjadi bagian yang memiliki rutinitas kekuasaan,
sehingga perbuatan tercela itu dianggap sebagai suatu justifikasi dari
perbuatan yang illegal. Akibatnya, perbuatan suap dari kacamata
kekuasaan dianggap sesuatu yang sah sebagai legal bribery. Sebaliknya,
dari sisi pendekatan hukum dan masyarakat, suap tetap sebagai illegal.
Dari sisi bribery, norma ini memang tidak debatabelitas sifatnya. Dalam
konteks yang lebih luas, permasalahan yang dihadapi Mulyana harus
dicermati sebagai suatu persoalan sosiologis, yaitu apakah sebagai Victim
of Conspiracy.
lxiii
hadiah atau janji berkaitan dengan kekuasaan yang melekat jabatannya
atau yang tidak berkehendak atau berkehendak yang bertentangan dengan
kewajibannya. Melihat berbagai kelemahan inilah, sewaktu pertama kali
delik ini di masukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
makna suap diperluas. Introdusi norma regulasi pemberantasan korupsi
telah menempatkan “Actief Omkoping” (suap aktif) sebagai subjek tindak
pidana korupsi. Dengan demikian sejak berlakunya UU No.3 Tahun 1971,
juga perubahannya melalui UU No.31 Tahun 1999 dan UU No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku delik suap
aktif (yang memberi suap) dan delik pasif (yang menerima suap) adalah
sebagai subjek tindak pidana korupsi, dan penempatan status sebagai
subjek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut. Karena itu,
aturan tentang delik suap tidak memberikan eksplisitas norma
pengecualian terhadap saksi dan pelapor wajib dilindungi.
lxiv
Saksi dan pelapor yang sekaligus pelaku suap akan eksis sebagai “beyond
the law” di balik justifikasi alasan norma dan asas perlindungan hukum.
Dikhawatirkan institusi penegak hukum akan menjadi kolektor atau
protektor pelaku suap yang “batal” dealnya. Jadi, sampai kini norma
legislasi perundang-undangan tidak memberikan eksepsionalitas atas
perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perkara
tindak pidana korupsi, juga terhadap pelaku suap aktif dan pasif, meskipun
pembaharuan ke arah yang lebih eksesif dimungkinkan dalam merevisi
norma legislasi tersebut.
lxv
perkaranya sebagai subjek tindak pidana dengan alasan demi kepentingan
umum, hanya dapat dibenarkan berdasarkan asas opportunitas yang hanya
dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai Pasal 35 huruf (c) UU No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan agung. Sedangkan KPK sama sekali tidk memiliki
kewenangan demikian.
lxvi
Terlepas dari segala kesulitan polemik dalam implementasi asas
opportunitas, pemakaian asas opportunitas adalah dibenarkan. Asas
opportunitas diterapkan terhadap suatu perkara, juga perkara tindak pidana
korupsi, merupakan suatu “beleid”, suatu staatsbeleid yang dilaksanakan
oleh seorang Jaksa Agung sebagai “Overheidsbeleid”. Pengesampingan
perkara Chairansyah bukanlah bentuk implementasi asas opportunitas,
bukan pula bentuk perlindungan terhadap saksi/pelapor, mengingat yang
bersangkutan adalah pihak yang terlibat dalam dugaan tindak pidana
korupsi KPU. Ada beberapa bentuk perlindungan yang diintrodusir
melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan korupsi.
Pasal 37 ayat 3 :
lxvii
Jadi, perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan
penegak hukum dikategorikan dengan 2 macam, yaitu bagi seorang
terdakwa (juga terpidana) dengan pemberian pengurangan hukuman
(mitigating punishment), dan seorang terdakwa dengan pemberian
kekebalan dari penuntutan (immunity from prosecution). Namun, ini tetap
harus sesuai dengan asas-asas hukum nasional masing-masing negara
peserta.
lxviii
yang mengembalikan dana itu kepada KPK, diberikan suatu perlindungan
hukum. Tetapi, ada juga yang tetap dijadikan subjek tindak pidana korupsi,
meski sesuai asas hukum pidana, pengembalian dana tidaklah meniadakan
strafbaar dari materiile daad yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
lxix
memiliki keterkaitan dengan Saksi Mahkota dengan penerapan ajaran
‘Deelneming” (penyertaan) pada Pasal 55 KUHP.
lxx
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, tanpa bisa
membedakannya dengan persoalan “beleid” yang tunduk pada Hukum
Administrasi Negara.
lxxi
penyimpangan ini pada akhirnya sesuai dan dengan diarahkan pada
“doelgerichte” ditetapkannya kewenangan tersebut. Dalam konteks asas
opportunitas, implementasi asas ini oleh Jaksa Agung merupakan beleid
dari suatu discretionary power yang memiliki kewenangan mengikat
(berdasarkan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004). Juga apabila
dipergunakan dalam kondisi yang urgensif dan mendesak serta darurat
sifatnya, implementasi asas opportunitas memiliki kewenangan aktif untuk
memutus secara mandiri terhadap norma-norma tersamar (vage normen)
sepanjang asas ini dipergunakan untuk kepentingan yang lebih luas
(negara dan bangsa) dari asas-asas umum pemerintahan yang baik,
sehingga maksud penggunaan asas ini sesuai dengan tujuan akhirnya
(doelgericte). Kebijakan Presiden Megawati saat memberikan Released &
Discharged terhadap pelaku tindak pidana yang telah mengembalikan
sejumlah uang yang dianggap sebagai kerugian negara, merupakan suatu
Staatsbeleid yang pelaksanaannya dilakukan oleh aparatur bawahannya
sebagai Overheidsbeleid.
lxxii
tersebut. Mencari suatu justifikasi untuk implementasi asas opportunitas
terhadap “Cooperating Offenders” tidaklah tepat berdasarkan petimbangan
demi kepentingan umum yang bermakna multi-tafsir tersebut. Karenanya,
suatu arah introdusir konsepsi “Protection of Cooperating Persons”
dengan memberikan suatu keterkaitan Crown Witness serta peran terkecil
dalam asas “Deelneming” (Implicity) adalah lebih ditolerir arahnya.
Karenanya, konsep ini tetap memerlukan dukungan kebernaran norma dan
asas due process of law enforcement dengan tetap memperhatikan prinsip
Rule of Law.
lxxiii
bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk
kepentingan pribadi.
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah
satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi
doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa
kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel
voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi
pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik
pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum
adat disamping hukum kolonial.
lxxiv
Revolusi Perancis (1789) adalah titik tolak terpenting dalam studi hukum
modern karena disanalah Negara Modern, Hukum Modern, Rule of Law,
Konstitusionalisme dan Demokrasi beranjak. Satjipto Rahardjo menyebut
kemunculan sekalian aksi modernisme dengan kelahiran hukum modern itu
sebagai The Big Bang yang menggantikan cara-cara lama dalam berhukum. Di
sanalah letak signifikansi Revolusi Perancis.
Namun sejak semula, sudah ada kritik yang ditujukan kepada pola
Revolusi Perancis itu, salah satunya adalah yang melihat Revolusi Perancis
sebagai Revolusinya kaum borjuis. Tocqueville menggambarkan masyarakat
Perancis pada tahun 1770-an dan tahun 1780-an sebagai masyarakat yang
ekonominya sedang berkembang pesat. Semua lapisan rakyatnya telah sama-sama
mengecap faedah dari pertumbuhan itu. Hal ini mengindikasikan bawah Revolusi
Perancis bukanlah persoalan perjuangan ekonomi rakyat, melainkan perjuangan
politik untuk mengganti tirani. Tirani yang sudah dikenal secara simbolik dengan
ucapan Raja Louis XIV (1638 –1715), L’état c’ést moi (Negara adalah Saya).
Revolusi Perancis sebenarnya menyimpan motivasi dari kalangan borjuis untuk
mendapatkan kesamaan hak dengan raja secara sosial, politik dan ekonomi.
lxxv
Pandangan yang pada sisi lain tentang bangunan negara disampaikan oleh
Karl Marx, seorang Jerman yang pengaruhnya cukup luas pada abad 20. Lenin
adalah Pemimpin Revolusi Bolsevik di Rusia yang mengamalkan ajaran Marx.
Revolusi Rusia adalah cara lain melihat negara dan sekaligus merupakan kritik
atas Revolusi Perancis yang tidak menyentuh perbaikan kelas ekonomi.
Namun, praktik negara komunis Uni Soviet pada masa Stalin meruntuhkan
esensi dari emansipasi sosial dan ekonomi dari cita-cita Marx. Ini terjadi karena
kediktatoran mendistorsi sekalian bangunan ekonomi dan sosial menjadi utuh
sebagai urusan negara melalui pemerintahan diktator. Totalitas negara mereduksi
aspek ekonomi, sosial dan politik individu warganegara serta komunitas yang
beragam.
lxxvi
menulis buku berjudul: If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich. Negara-
negara maju yang mengampanyekan dan mengaku sebagai egalitarian, malah
masih sangat kaya dan menghegemoni sumberdaya. Cohen masih kuat
dipengaruhi oleh ajaran Marx.
Dalam praktiknya, asas praduga tidak bersalah itu menjadi asas yang
paling umum untuk melindungi keburukan penguasa dan pemodal dihadapan
hukum. Setiap penguasa atau pengusaha yang tersangkut masalah hukum akan
menggunakan asas praduga tidak bersalah untuk menyembunyikan dosanya.
Sedangkan bagi masyarakat awam dan marjinal, asas tersebut tidak diutamakan.
Setiap hari kita masih melihat bagaimana acara-acara informasi kriminal di
televisi yang mempertontonkan penembakan atau pemukulan orang yang disangka
melakukan kejahatan. Hal yang tidak pernah kita lihat pada tersangka penjahat
kelas kakap.
Dalam era informasi, asas persamaan dihadapan hukum juga mesti terkait
dengan asas publisitas di dalam hukum. Setiap orang dianggap tahu dengan
hukum, meskipun dia tidak pernah diajak merumuskan hukum yang dibuat.
Dalam hal ini, asas persamaan dihadapan hukum mesti terkait dengan asas
partisipasi pembentukan hukum dan persamaan atas informasi suatu perundang-
undangan yang dibuat legislatif. Sehingga, persamaan dihadapan hukum juga
harus didahului dengan persamaan memperoleh informasi terhadap suatu
lxxvii
peraturan yang diundangkan. Asas publisitas ini menuntut pemerintah melakukan
sosialisasi peraturan yang sudah dibuatnya.
Yang lebih esensial lagi adalah, asas persamaan dihadapan hukum tidak
dipandangan sebagai suatu barang (berbentuk konstruksi fiktif) yang final. Asas
ini harus dilihat sebagai suatu cara dalam berhukum. Sehingga dalam pembuatan,
pelaksanaan dan penegakan hukum juga mesti melihat kembali struktur sosial dan
ekonomi yang meliputi masyarakat. Pemahaman terhadap ketidaksamaan harus
mendahului asas persamaan. Salah satu cara untuk mengetahui ketidaksamaan
realitas sosial itu misalkan bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui
data-data yang terpercaya (data kemiskinan, potensi sumberdaya alam,
ketimpangan kepemilikan, diskriminasi, dan seterusnya). Data kuantitatif hanya
pintu masuk saja untuk melihat persoalan sosial dan ekonomi. Cara lain adalah
melihat analisa kualitatif dari aspek sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo mengajak
bersimpati, empati dan menggunakan perasaan dalam melihat persoalan sosial.
Sehingga penegakan dan pelaksanaan hukum menjadi pengimbang dari
ketimpangan yang sedang berlangsung.
Di negara kita Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu asas legalitas
dan asas oportunitas dimana asas legalitas itu mempunyai pengertian bahwa
penuntut umum diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang
melakukan tindak pidana.dimana asas legalitas ini merupakan perwujudan dari
asas equality before the law. Sedangkan asas oportunitas mempunyai pengertian
yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum
lxxviii
pidana dengan jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang
pembuktiannya untuk kepentingan umum.Dikarenakan bahwa asas legalitas
merupakan perwujudan dari asas equality before the law maka sebenarnya kedua
asas tersebut bertolak belakang dengan asas oportunitas yang berarti sekalipun
seorang tersangka sudah jelas cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan,
dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman, Namun hasil pemeriksaan
tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum. Proses
perkara itu “di deponer” oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi
kepentingan umum” kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan
umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang pengadilan. Dengan
demikian, perkaranya dikesampingkan saja.(di deponer). Cara penyampingan
yang seperti inilah yang disebut asas oportunitas.
lxxix
Tahun 2004 yang memberi wewenang pada kejaksaan agung untuk
menyampingkan perkara berdasar alasan “kepentingan umum” memang keadaan
seperti inilah yang sebenarnya. Kejaksaan agung atas dasar hukum yang diberikan
Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan Republik indonesia No. 16 Tahun
2004 masih berwenang melakukan deponering. Bahkan bukan hanya atas dasar
Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia No. 16 tahun
2004 saja, tetapi dipertegas lagi oleh Buku Pedoman pelaksanaan KUHAP: “
bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas opportunitas”.
lxxx
mengikuti jalan perkembangan yang persis sama, sekalipun perkembangan itu
didasarkan pada asas perjuangan atau cita-cita yang sama….”.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
lxxxi
Agung merupakan satu-satunya pejabat yang diberi wewenang untuk
melaksanakan Asas Opportunitas.
a. Setiap orang dianggap tahu dengan hukum, meskipun dia tidak pernah
diajak merumuskan hukum yang dibuat. Dalam hal ini, asas persamaan
dihadapan hukum mesti terkait dengan asas partisipasi pembentukan
hukum dan persamaan atas informasi suatu perundang-undangan yang
dibuat legislatif. Sehingga, persamaan dihadapan hukum juga harus
didahului dengan persamaan memperoleh informasi terhadap suatu
peraturan yang diundangkan.
c. Di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu asas legalitas dan asas
oportunitas dimana asas legalitas itu mempunyai pengertian bahwa
penuntut umum diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melakukan tindak pidana.dimana asas legalitas ini
merupakan perwujudan dari asas equality before the law. Sedangkan
lxxxii
asas oportunitas mempunyai pengertian yaitu asas yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan
terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan
jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya
untuk kepentingan umum.
B. Saran
lxxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia
....................... 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha
Jaya.
Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hari Sasongko dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisi. Bandung:
CV. Mandar Maju.
lxxxiv
L. Sumartini. 1996. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional
Tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman.
Mien Rukmini. 2007. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah
dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum pada Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ramelan. 2006. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber
Ilmu Jaya.
Perundang-undangan
Moeljatno.1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
lxxxv
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Website
www.google.com
www.notarissby.blogspot.com
(http://ilmuhkm 76.wordpress.com/2008/05/29/equality-before-the law/).
lxxxvi