Anda di halaman 1dari 15

TEORI HUKUM

ANALISIS DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DIREKSI DALAM RISIKO BISNIS
PERUSAHAAN MENURUT UU PERSEROAN TERBATAS

Diajukan Sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Hukum

Dosen Pengampu : Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.

Dikerjakan Oleh :
Nama : Reformanda Sihombing
NPM : 2306177502

Kelas Teori Hukum


Program Studi Hukum Ekonomi Khusus
Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
2023
I. LATAR BELAKANG
Keberadaan direksi dalam perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan
kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artifical person tidak
dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person. 1
Direksi dalam Perseroan Terbatas ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu
perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya
perseroan. Oleh karena itu keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting. Sekalipun
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dari direksi,
tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap seakan-akan
sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.2
Business Judgement Rule pada dasarnya merupakan salah satu dari beberapa
doktrin dalam hukum perusahaan yang diberikan kepada direksi perseroan terbatas. 3 Pada
awalnya, doktrin ini diatur dalam hukum perusahaan di Amerika Serikat, dimana mereka
menganut sistem common law dan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama.
Menurut Sutan Remi Sjahdeni, berdasarkan Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis
para anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan
atau pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas
akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota
direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal
tertentu.4 Menurut Nindyo Pramono, Business Judgement Rule dipergunakan untuk
melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau keputusan bisnis yang
dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 5
Dengan catatan, selama kebijakan atau keputusan bisnis tersebut dilaksanakan sejalan

1
I.G. Rai Wijaya, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta; Kesain Blanc, 2002), hlm. 1.
2
Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine,” Vanderbilt Law Review
57, No. 1 (2004), p. 81–130
3
Douglas M Brandson, “The Rule that isn’t A Rule-The Business Judgement Rule,” Valparaiso
University Law Review 36, No. 3 (2002), p. 631-654.
4
Sutan Remi Sjahdeni, "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris", Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 14,
Juli 2001.
5
Nindyo Pramono, Hukum Online, "Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan
Usaha Tidak Sehat", dikutip pada tanggal 18 Desember 2023,
https://www.hukumonline.com/berita/a/beauty-contest-sebagai-business-judgement-versus-persaingan-
usaha-tidak-sehat-lt4fcc591579b3e/

1
dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent), itikad
baik (good faith), dan penuh tanggung jawab (accountable).6
Perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnis tidak lepas dari dua kemungkinan
yakni, kemungkinan untuk meraup keuntungan dan kemungkinan mengalami kerugian. 7
Kedua hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor salah satunya karena kebijakan atau
keputusan direksi yang kurang beruntung. Segala bentuk tindakan direksi yang berakibat
kerugian terhadap perusahaan tidak selamanya atas kelalaian yang disengaja oleh direksi
sehingga dibebankan pertanggungjawaban. Indikator untuk menentukan seorang direksi
lalai atau tidak terdapat pada Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU Perseroan Terbatas). Direksi dalam menjalankan tugasnya mengurus
perseroan diwajibkan dengan itikad baik. Kewajiban tersebut ditegaskan dalam Pasal 97
ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas, bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan tujuan
perseroan. Ini berarti setiap anggota Direksi agar dapat menghindari perbuatan yang
menguntungkan kepentingan pribadi dengan merugikan kepentingan perseroan.
Sehubungan dengan hal ini Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas bahwa:
“Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian;
3. Untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
4. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
5. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

6
Ibid.
7
Joseph Hinsey IV, “Business Judgment and The American Law Institute’s Corporate Governance
Project: The Rule, The Doctrine and The Reality,” George Washington Law Review 52 No. 4-5 (1983), p.
609.

2
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan ini, terdapat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan Business Judgement Rule berdasarkan Undang-Undang
Perseroan Terbatas?
2. Bagaimana fenomena penerapan Business Judgment Rule di Indonesia?

III. METODE PENELITIAN


Dalam tulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif (doctrinal legal research)8 yaitu penelitian hukum yang bertumpu pada bahan
pustaka yaitu dengan pendekatan peraturan perundangan (statue approach)9 dengan
mengidentifikasi penerapan pelaksanaan Business Judgment Rule berdasarkan UU
Perseroan Terbatas di Indonesia.

IV. PEMBAHASAN
a. Pengaturan Business Judgment Rule Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas
Dasar hukum perseroan terbatas Indonesia adalah Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang UU Perseroan Terbatas. Dalam UU Perseroan Terbatas, diatur
secara menyeluruh dari syarat pendirian perseroan sampai hak dan kewajiban perseroan.
Dalam UU Perseroan Terbatas sendiri tidak tertulis pengaturan tentang Business
Judgement Rule. Tetapi, Business Judgment Rule dapat terlihat dalam konstruksi pasal
97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila
dapat membuktikan, (a) kerugian tersebut timbul bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk

8
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm.
13.
9
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,
2006), hlm. 46.

3
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian. Berdasarkan ketentuan pasal diatas, direksi
dapat bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil. Namun demikian, direksi
dapat menghindar dari tuntutan pertanggungjawaban apabila direksi dapat membuktikan
sebagaimana tertulis dalam pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas tersebut.
Business Judgment Rule diberlakukan karena direksi merupakan organ yang
memiliki kompetensi dan berwenang dalam pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan perseroan.10 Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, Direksi
adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Banyak ahli hukum mengatakan bahwa pasal 97 UU
Perseroan Terbatas adalah pasal yang dianggap sebagai manifestasi dari Business
Judgment Rule.11 Gunawan Widjaja berpendapat bahwa wujud dari doktrin dari
Business Judgment Rule dapat ditemukan pada beberapa pasal dalam UU Perseroan
Terbatas, yaitu pasal 69 ayat (4), pasal 97 ayat (5), dan pasal 104 ayat (4).
Adapun syarat-syarat seorang direksi tidak dimintai pertanggungjawaban
yang termuat di dalam Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:
1. Kerugian Perusahaan Bukan karena Kesalahan atau Kelalaian Direksi.
Pada syarat ini yang dititik beratkan terhadap direksi adalah ketelitiannya
dan kefokusannya terhadap putusan bisnisnya agar tidak terjatuh pada kesalahan dan
kelalaian. Kelalaian dan kesalahan direksi yang mengakibatkan perusahaan
mengalami kerugian secara otomatis harus bertanggung jawab secara pribadi apabila
dimintai pertanggungjawaban oleh perusahaan. Bentuk pertanggungjawaban yang
dimaksud yakni pertanggungjawaban perdata sebagaimana dimaksudkan pasal 104
ayat (2) UU Perseroan Terbatas dan pertanggungjawaban pidana (Pasal 398 KUHP
dan Pasal 399 KUHP).
Untuk mengetahui apakah kerugian perusahaan disebabkan karena
kesalahan dan kelalaian direksi tentunya dengan mengaudit semua langkah-langkah

10
Andrew D. Shaffer, “Corporate Fiduciary-Insolvent : The Fiduciary Relationship Your Corporate Law
Professor (Should Have) Warned You About,” American Bankrupty Law Review 8, (2000), p. 483.
11
Sartika Nanda Lestari, "Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia", NOTARIUS, Edisi 8 Nomor 2, September (2015), hlm. 308.

4
yang ditempuh seorang direksi terhadap sebuah putusan. Sebelum menetapkan sebuah
putusan terlebih dahulu direksi harus melakukan langkah-langkah yang dapat
mencegahnya dari kesalahan dan kelalaian.12
Hukum pidana meletakkan kesalahan sebagai salah satu unsur
pertanggungjawaban jika ditinjau dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Seorang
direksi dinyatakan bersalah apabila sengaja mengambil keputusan yang tidak
didasarkan pada upaya management terlebih dahulu. Juga direksi dapat dinyatakan
bersalah apabila mengetahui bahwa akibat buruk akan terjadi jika memaksakan suatu
keputusan diambil.13
Adapun kelalaian terjadi akibat adanya ketidak hati-hatian dalam
memikirkan risiko yang mungkin terjadi atau bahkan mengetahui kepastian suatu
risiko namun tidak mengambil tindakan apapun. 14 Seorang direksi dinyatakan lalai
apabila mengambil keputusan tanpa memperhitungkan kemungkinan risiko atau
bahkan mengetahui kepastian risiko yang akan menimpa perusahaan namun tetap
memaksakan kehendaknya terhadap putusan bisnis. Apabila kerugian yang diderita
perusahaan terbukti karena kesalahan dan kelalaian direksi maka harapan direksi
untuk menggunakan Business Judgment Rule sebagai payung hukum lemah.15

2. Direksi telah Melakukan Pengurusan Dengan Itikad Baik dan Kehati-Hatian


Untuk Kepentingan dan Sesuai Dengan Maksud dan Tujuan Perseroan
Setiap pengurusan yang dilakukan direksi harus diawali dengan itikad baik
penuh kehati-hatian dan untuk kepentingan serta sesuai dengan tujuan perseroan.
Sebelum itikad baik lebih khusus diatur oleh UU Perseroan Terbatas kepada direksi
dalam melakukan pengurusan perseroan, lebih dulu itikad baik telah diatur di dalam

12
Lori Mcmillan, The Business Judgment Rule as An Immunity Doctrine,” William And Mary Business
Law 4 No. 2 (2013), p. 521.
13
Dennis J. Block, et.al. The Business Judgment Rule - Fiduciary Duties of Corporate Directors and
Officers, (Prentice, Clifton New Jerysey, 1987). p. 1–5.
14
John Farrar, Corporate Governance Theories, Principles, And Practices, (Oxford: Oxford University
Press), 2001, p. 143.
15
Muhtar Hadi Wibowo, “Corporate Responsibility in Money Laundering Crime (Perspective Criminal
Law Policy in Crime of Corruption in Indonesia)”. JILS (Journal of Indonesian Legal Studies) 3, No. 2
(2018), p. 213.

5
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad
baik. Itikad baik kedudukannya sebagai asas dalam hukum perjanjian. 16 Hubungan
direksi dengan perusahaan merupakan hubungan kontrak.
Qirom S. Meliala membedakan arti itikad baik dalam pengertian secara
subjektif dan secara objektif. Secara subjektif itikad baik didasarkan pada kejujuran
seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terdapat pada
sikap batin seseorang pada waktu melakukan perbuatan hukum, sedangkan dalam
pengertian objektif bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada norma
kepatuhan dalam masyarakat.17 Jika melihat itikad baik direksi berdasarkan
pengertian Qirom S. Meliala maka personal direksi harus berkepribadian jujur dalam
melakukan pengurusan perseroan. Untuk mengukur kejujuran direksi tentunya akan
menimbulkan banyak tafsiran dari hakim dalam suatu persidangan. Sedangkan untuk
mengukur itikad baik direksi secara objektif dengan menjadikan undang-undang dan
anggaran dasar perseroan sebagai pedoman, apakah tindakan yang dilakukan direksi
tidak menyalahi ketentuan yang telah mengikatnya. 18 Analisa dan konsep itikad baik
yang banyak, menyebabkan semakin tidak jelasnya standar itikad baik. Namun
demikian menurut Robert Prayoko intisari dari itikad baik terletak pada tindakan
reasonable yang diambil oleh seseorang sehingga hakim meyakini bahwa tindakanya
berdasarkan itikad baik.
Itikad baik dalam konteks Business Judgment Rule bukanlah itikad baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyebutkan,
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik yang dimaksudkan
dalam Pasal a quo yaitu dalam konteks pelaksanaan perjanjian. Sedangkan dalam
konteks Business Judgment Rule penilaian itikad baik dimulai dari sebelum direktur
memutuskan mengadakan suatu kontrak dengan pihak ketiga. Itikad baik dalam
konteks Business Judgment Rule terjadi pada masa pra kontraktual (sebelum ada kata

16
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 5.
17
Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, (Makassar: Alauddin University
Press, 2013), hlm. 155.
18
Bambang Sugeng Rukmono and Soehartono, “Some Problems in the Implementation of the Business
Judgment Rule Principles to the Directors of State-Owned Enterprises in Indonesia,” Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, 3rd International Conference on Globalization of Law and
Local Wisdom (ICGLOW), 2019, p. 233.

6
sepakat) bukan pada saat post contractual (setelah kesepakatan terjadi). 19 Hal ini
sejalan dengan pendapat Arrest H.R. dari negeri Belanda yang memberikan
perananan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian.20

b. Fenomena Penerapan Business Judgment Rule di Indonesia


Dalam mengimplementasikan doktrin Business Judgment Rule harus
memenuhi beberapa syarat, sehingga dalam menerapkan doktrin Business Judgement
Rule tidak akan terjadi abuse of rights and power terhadapnya. Syarat-syarat yang
dimaksud adalah kebijakan tersebut (a) dilakukan dengan itikad baik (good faith) (b)
dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose) (c) putusan tersebut mempunyai
dasar-dasar yang rasional (rational basis) (d) dilakukan dengan kehati-hatian (due care)
(e) dilakukan dengan cara yang layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang
terbaik (best interest) bagi perseroan (fiduciary duty).21 Hikmahanto Juwana, Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Indonesia menjelaskan pada dasarnya, jika Direksi memenuhi
prinsip-prinsip pengambilan keputusan serta mampu membuktikan bahwa tindakan
diambil dalam rangka Business Judgement Rule, maka Direksi tak dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pribadi atas keputusan yang diambilnya. 22 Dalam
implementasi doktrin Business Judgement Rule di Indonesia, meskipun kebijakan yang
diambil oleh direksi masuk kedalam ranah Business Judgement Rule, namun penegak
hukum cenderung mengabaikan hal tersebut. Dua kasus utama yang menggambarkan
implementasi Business Judgement Rule adalah kasus Bank Mandiri dan PT. Merpati
Nusantara Airlines.23
Dalam kasus Bank Mandiri yang terjadi dalam kurun tahun 2010 hingga
2014 melibatkan Fachrudin Yasin (Group Head Corporate Relationship) dan Roy
Ahmad Ilham (Group Head Credit Approval). Kasus ini berawal ketika Jaksa Penuntut
19
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya Dalam Hukum Perusahaan Modern,
hlm. 77.
20
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, hlm. 5.
21
Muhammad Gary Akbar, "Business Judgement Rule Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Direksi
Perseroan Dalam Melakukan Transaksi Bisnis, Jurnal Justisi Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 1, (2016), hlm. 11.
22
Hamalatul Qur'ani, "LIndungi Direksi Dari Jerat Hukum: Business Judgement Rule Jawabannya!
dikutip pada tanggal 18 Desember 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/lindungi-direksi-dari-
jerat-hukum--i-business-judgment-rule-i-jawabannya-lt5c1363df76cc4/
23
Sartika Nanda Lestari, "Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia, hlm. 303.

7
umum mengajukan gugatan bahwa Fachrudin dan Roy telah mencurahkan kredit kepada
PT. Arthabama Textindo dan PT. Artha Tri Mustika Textindo dengan bukti kucuran
dana kurang lebih sebesar Rp. 51 Miliar yang mana dilakukan tidak sesuai prosedur dan
syarat syarat berdasarkan ketentuan perbankan. Pada pengadilan tingkat pertama, hakim
pengadilan negeri Jakarta Selatan memutus bebas para terdakwa dikarenakan penuntut
umum tidak dapat memenuhi unsur “perbuatan melawan hukum” dan “menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. 24 Namun setelah diputus bebas,
penuntut umum kemudian mengajukan kasasi 25 yang mana berujung Fachri dan Roy 5
tahun penjara. Terhadap putusan tersebut, Fachri dan Roy mengajukan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung yang kemudian permohonannya tidak diterima (niet
ontvankelijk verklaard).26
Pada 2013, para terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali dimana alasan
terhadap peninjauan kembali tersebut, Fachri dan Roy menyatakan bahwasanya terdapat
kekhilafan hakim dalam memutus dan novum (bukti baru). Berdasarkan Nota nomor
CGR/CRM.3.109/2002 tanggal 17 Juni 2002 dan Nota CGR/CRM.2.275/2002. Selain
itu, bukti baru lainnya yaitu Surat Edaran Bank Mandiri nomor
006/KRD/RMN.POR/2002 tanggal 24 Desember 2002 tentang Kebijakan
Pengambilalihan Aset Kredit dari BPPN dan nota pembayaran dari 2006 hingga 2014
yang membuktikan bahwa PT. Arthabama telah menyetor pembayaran ke rekening Bank
Mandiri Cabang Cicalengka. Sehingga kedua Fachri dan Roy telah berhasil
membuktikan bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran dan kebijakan yang mereka
ambil telah memenuhi syarat due care.
Dalam kasus kedua, yaitu kasus yang menyangkut Direktur Utama PT.
Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan. Pada Desember 2006, Hotasi
Nababan membayar security deposit sebesar $1 Juta US dollar sebagai jaminan
pembelian 2 pesawat boeing 737-400 dan boeing 737-500 kepada pihak lessor,
Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Perbuatan Hotasi Nababan sendiri telah
disetujui oleh jajaran direksi dan dalam pengambilan putusannya telah dilakukan dengan

24
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 403/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel.
25
Putusan Mahkamah Agung No. 802 K/PID.SUS/2010.
26
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 31 PK/PID.SUS/2012.

8
alasan dan didasarkan dengan perhitungan bisnis. Namun pada akhirnya, TALG gagal
menyerahkan kedua pesawat serta menolak mengembalikan deposit tersebut.
Hal tersebut dinilai oleh jaksa penuntut umum sebagai pelanggaran hukum
dan perbuatannya menimbulkan kerugian negara. Walaupun sesungguhnya Pengadilan
Distrik Columbia (Amerika Serikat) telah mengadili pelaku penggelapan dana dan
penipuan yang terjadi oleh Jon Cooper dan Alan Messner yang dilakukan terhadap uang
deposit PT. Merpati Nusantara Airlines kepada TALG. 27 Prof. Hikmahanto Juwana, guru
besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan, bahwa Hotasi Nababan tidak
menimbulkan ‘kerugian negara’, kepentingan dirinya maupun orang lain atau korporasi.
Walaupun pada pengadilan tingkat pertama, Hotasi Nababan dinyatakan tidak bersalah
dikarenakan tidak memiliki mens rea, namun pada akhirnya, Hotasi Nababan tetap
divonis dengan 4 tahun penjara dan denda 200 juta subsider 6 bulan kurungan.28
Putusan yang dijatuhkan kepada Hotasi Nababan tidak mengindahkan
doktrin Business Judgement Rule. Dimana keputusan dan kebijakan yang diambil oleh
Hotasi Nababan beserta jajaran direksi telah memperhatikan syarat syarat seperti good
faith, due care and fiduciary duty. Hal tersebut tergambarkan dengan bagaimana
keputusan yang diambil telah memiliki alasan yang benar (proper purpose) dan
perhitungan bisnis. Lain hal nya dengan kasus ECW Neloe, Direktur Bank Mandiri
dimana di bawah pimpinannya, Bank Mandiri menyetujui pemberian kredit kepada PT.
Cipta Graha Nusantara sejumlah 160 Milyar Rupiah yang mana pada kenyataannya data
terkait debitur PT. Cipta Graha Nusantara dan beberapa informasi terkait merupakan
data data palsu. Nota analisa kredit bridging loan, agunan hanya berupa tagihan dari PT.
Tahta Medan kepada PT. Manunggal Wiratama yang diketahui akhirnya ternyata PT.
Manunggal Wiratama tidak pernah ada. Dalam hal ini dapat kita bandingkan bahwa
kewajiban untuk mengambil keputusan dengan hati-hati, diabaikan oleh ECW Neloe dan
jajarannya. Informasi tersebut dapat diakses sebelum pelanggaran dan kerugian terjadi,
terutama dalam memberikan kredit. Sehingga ECW Neloe tidak dapat dilindungi oleh
doktrin Business Judgement Rule sebagaimana diatur dalam pasal 97 (5) UU Perseroan

27
Yogi Bayu Aji, "Hotasi Berharap PK Dikabulkan Hakim Untuk Kembalikan Uang Negara", dikutip
pada tanggal 19 Desember 2023, https://www.medcom.id/nasional/hukum/akWovxMk-hotasi-berharap-
pk-dikabulkan-hakim-untuk-kembalikan-uang-negara
28
Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014.

9
Terbatas “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”
dikarenakan kerugian yang dialami merupakan kesalahan dan kelalaian direksi. Berbeda
dengan kasus Hotasi Nababan, dimana kerugian terbukti bukan merupakan kesalahan
atau kelalaian dari jajaran direksi namun kerugian tersebut terjadi dikarenakan perlakuan
penggelapan uang serta penipuan yang dilakukan oleh oknum dari TALG.

V. KESIMPULAN
1. Dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya, untuk mengantisipasi diseret-seret
dalam masalah hukum atau sekalipun terseret namun bisa berhasil lolos dengan Business
Judgement Rule, Direksi/Komisaris sangat perlu melakukan kajian internal secara
mendalam terkait apakah ada risiko-risiko yang mungkin bisa timbul (dari risiko yang
paling tinggi sampai paling ringan) setiap saat ketika direksi ingin mengambil suatu
kebijakan. Misalnya berdasarkan hasil pengkajian internal, jika direksi tidak mengambil
keputusan itu perusahaan bisa terancam pailit, itu juga termasuk salah satu alasan
pembenar atas kebijakan Direksi. Keberhasilan prinsip Business Judgement Rule dalam
menyelamatkan Direksi dari pertanggungjawaban atas keputusannya yang
mengakibatkan kerugian terhadap perusahaan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil.
Hal demikian disebabkan karena banyak faktor. Baik faktor dari segi harmonisasi aturan
yang mengatur maupun dari segi penegak hukum sebagai pihak penentu terhadap
berlaku tidaknya suatu peraturan.
2. Berdasarkan beberapa kasus yang telah dipaparkan di atas dan pengaturan terkait
business judgement rule sendiri di Indonesia, penulis dapat menyimpulkan bahwa
implementasi dan sosialisasi terhadap Business Judgement Rule itu sendiri masih perlu
ditingkatkan. Hal tersebut tergambar dari kasus Fachri dan Roy dari Bank Mandiri dan
Hotasi Nababan dari PT. Merpati Nusantara Airlines. Pada dasarnya, kasus tersebut

10
tidak seharusnya mengalami eskalasi dan kriminalisasinya dapat dicegah dengan
memperhatikan aturan ketentuan Business Judgement Rule. Dalam kedua kasus tersebut
dapat terlihat bahwa sesungguhnya keputusan yang diambil mengindahkan prinsip good
faith, kerugian yang dialami bukanlah disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian mereka,
dan dalam mengambil keputusan tersebut telah dilakukan secara hati-hati.

11
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

BUKU INTERNASIONAL
Block, Dennis J. et.al. The Business Judgment Rule - Fiduciary Duties of Corporate Directors
and Officers. (Prentice, Clifton New Jerysey, 1987).
Farrar, John. Corporate Governance Theories, Principles, And Practices. (Oxford: Oxford
University Press). 2001.

JURNAL INTERNASIONAL
Bainbridge, Stephen M. “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine,” Vanderbilt Law
Review 57. No. 1 (2004).
Brandson, Douglas M. “The Rule that isn’t A Rule-The Business Judgement Rule,” Valparaiso
University Law Review 36. No. 3 (2002).
IV, Joseph Hinsey. “Business Judgment and The American Law Institute’s Corporate
Governance Project: The Rule, The Doctrine and The Reality,” George Washington
Law Review 52 No. 4-5 (1983).
Mcmillan, Lori. The Business Judgment Rule as An Immunity Doctrine,” William And Mary
Business Law 4. No. 2 (2013).
Rukmono, Bambang Sugeng dan Soehartono. “Some Problems in the Implementation of the
Business Judgment Rule Principles to the Directors of State-Owned Enterprises in
Indonesia,” Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 3rd
International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom (ICGLOW).
(2019).
Shaffer, Andrew D. “Corporate Fiduciary-Insolvent: The Fiduciary Relationship Your Corporate
Law Professor (Should Have) Warned You About,” American Bankrupty Law Review 8.
(2000).
Wibowo, Muhtar Hadi. “Corporate Responsibility in Money Laundering Crime (Perspective
Criminal Law Policy in Crime of Corruption in Indonesia)”. JILS (Journal of
Indonesian Legal Studies) 3. No. 2. (2018).

BUKU NASIONAL
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006).
Marilang. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian. (Makassar: Alauddin
University Press, 2013).
Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. (Depok: Rajawali Pers, 2018).
Prayoko, Robert. Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya Dalam Hukum Perusahaan
Modern.
Wijaya, I.G. Rai. Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta; Kesain Blanc, 2002)

JURNAL NASIONAL
Akbar, Muhammad Gary. "Business Judgement Rule Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Direksi
Perseroan Dalam Melakukan Transaksi Bisnis. Jurnal Justisi Ilmu Hukum, Vol. 1. No.
1. (2016)
Lestari, Sartika Nanda. "Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi
Badan Usaha Milik Negara di Indonesia". NOTARIUS. Edisi 8 Nomor 2. September
(2015).
Sjahdeni, Sutan Remi. "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris", Jurnal Hukum Bisnis.
Vol. 14. Juli (2001).

PUTUSAN PENGADILAN
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 403/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel.
Putusan Mahkamah Agung No. 802 K/PID.SUS/2010.
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 31 PK/PID.SUS/2012.
Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014.
ARTIKEL LAIN
Aji, Yogi Bayu. "Hotasi Berharap PK Dikabulkan Hakim Untuk Kembalikan Uang Negara",
Article 2023, https://www.medcom.id/nasional/hukum/akWovxMk-hotasi-berharap-pk-
dikabulkan-hakim-untuk-kembalikan-uang-negara.
Pramono, Nindyo. "Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan Usaha Tidak
Sehat", Article 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/beauty-contest-sebagai-
business-judgement-versus-persaingan-usaha-tidak-sehat-lt4fcc591579b3e/.
Qur'ani, Hamalatul. "Lindungi Direksi Dari Jerat Hukum: Business Judgement Rule
Jawabannya! Article, 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/lindungi-direksi-
dari-jerat-hukum--i-business-judgment-rule-i-jawabannya-lt5c1363df76cc4.

Anda mungkin juga menyukai