Anda di halaman 1dari 7

PRO KONTRA PENERAPAN PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM PERSEROAN

TERBATAS

PRO

 doktrin “Piercing the Corporate Veil” atau “Menyingkap Tabir Perseroan”.


Piercing the Corporate Veil adalah suatu doktrin yang menyingkap dan
mengecualikan prinsip pertanggung jawaban terbatas organ perseroan dari
tanggung jawab atau kesalahan atau pelanggaran dalam melakukan
kegiatan perseroan sehingga tanggung jawab pribadi dikenakan kepada
organ perseroan tersebut sampai dengan harta pribadinya.  Dengan
diberlakukannya doktrin ini, maka tidak hanya perseroan yang bertanggung
jawab atas timbulnya kewajiban hukum, melainkan juga pemegang saham
dan organ perseroan lainnya ikut bertanggung jawab sampai dengan harta
pribadinya.

 Untuk itulah diperlukan kriteria-kriteria utama sebagai parameter dalam


pemberlakuan doktrin Piercing the Corporate Veil. Indonesia secara tegas
mengatur kriteria-kriteria yang menyebabkan organ perseroan bertanggung
jawab sampai dengan harta pribadinya sebagaimana tertuang dalam
Undang Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU
PT”). Sedangkan, negara-negara Common Law belum memiliki unifikasi
atau keseragaman kriteria yang menjadi pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara untuk menyingkap tabir perseroan.

Pengecualian terhadap prinsip pertanggung jawaban terbatas diatur dalam UU


PT. Terdapat beberapa ketentuan dalam UU PT yang mengatur bahwa seluruh
organ perseroan yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan
Komisaris dapat bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya terhadap
suatu kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh suatu perseroan terbatas. 
Pemberlakuan Piercing the Corporate Veil untuk Pemegang Saham diatur dalam
Pasal 3 ayat 2 UU PT. Dalam pasal ini Pemegang Saham perseroan bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan apabila:
a.    persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b.    pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan             untuk kepentingan pribadi;
c.    pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
d.    pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan                         kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
perseroan.

Selain itu, Pemegang Saham juga bertanggung jawab secara pribadi atas segala
perikatan dan kerugian perseroan apabila setelah lewatnya jangka waktu 6
(enam) bulan terhitung sejak perseroan telah memperoleh status badan hukum
dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, jumlah pemegang
saham tetap kurang dari 2 (dua) orang. 
Pemberlakukan doktrin Piercing the Corporate Veil untuk Direksi diatur dalam
Pasal 97 ayat 3 dan Pasal 104 ayat 2 UU PT. Pasal 97 ayat 3 UU PT mengatur
bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam
menjalankan tugas pengurusan perseroan. Dalam hal Direksi terdiri dari 2 (dua)
anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab secara pribadi akan berlaku secara
tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.  Namun demikian, anggota Direksi
tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat
membuktikan bahwa:

a.    kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


b.    telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan           perseroan;
c.    tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan         kerugian; dan
d.    telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.  
Selain ketentuan tersebut di atas, Direksi juga turut bertanggung jawab secara pribadi dalam hal terjadi
kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut.  Namun demikian, Direksi tidak bertanggungjawab
atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan bahwa:
a.    kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.    telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan           perseroan;
c.    tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan
yang dilakukan; dan
d.    telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. 
Piercing the Corporate Veil juga berlaku untuk Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat 3
UU PT yakni dalam hal setiap anggota Dewan Komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sehingga mengakibatkan kerugian perseroan. Namun
demikian, anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a.    telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan
sesuai dengan maksud           dan tujuan perseroan;
b.    tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan
Direksi yang                         mengakibatkan kerugian; dan
c.    telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Dalam hal terjadi kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan
pengawasan terhadap kepengurusan yang dilakukan oleh Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk
membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara
tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan angota Direksi  atas seluruh kewajiban yang belum
terlunas dengan ketentuan bahwa anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan bahwa:
a.    kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.    telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan
dan sesuai dengan             maksud dan tujuan perseroan;
c.    tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan
oleh Direksi yang                 mengakibatkan kepailitan; dan
d.    telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. 

 Australia mengakui adanya doktrin Piercing the Corporate Veil yang


diatur dalam peraturan perundang-undangan Australia maupun dalam
Common Law melalui sistem peradilan di Australia. Namun demikian jika
merujuk ke Common Law, ternyata belum ditemukan suatu keseragaman
kriteria dalam mengecualikan prinsip pertanggungjawaban terbatas
perseroan sehingga Hakim di Australia menggunakan pendekatan fakta-
fakta hukum untuk menguji apakah doktrin Piercing the Corporate Veil
dapat diterapkan.  Walaupun belum ada keseragaman, namun setidaknya
ada 4 kriteria yang sering dipakai oleh Hakim dalam memutus perkara yang
menyangkut pertanggungjawaban organ perseroan.

 Kriteria yang pertama adalah dengan memberlakukan teori agensi. Dalam


teori agensi, perseroan merupakan agen dari pemegang saham. Tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh perseroan tidak bisa dilepaskan dari
kebijakan-kebijakan pemegang saham sehingga jika terjadi kerugian atas
perseroan, maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah pemegang
saham sebagai principal.  Kesulitan yang sering kali muncul dalam
penerapan teori agensi adalah adanya putusan Salomon v Salomon.
Australia sebagai Common Law System menganut doktrin Stare Decisis
yang berarti pengadilan yang lebih rendah dalam satu hirarki harus
mengikuti Ratio Decidendi dalam putusan pengadilan yang paling tinggi.
Ratio Decidendi dalam kasus Salomon adalah perseroan adalah subyek
hukum mandiri yang terpisah dari pemegang saham sehingga dengan kata
lain perseroan bukanlah agen dari pemegang saham. Walaupun menganut
Stare Decisis, bukan berarti putusan House of Lord atas kasus Salomon
bebas dari kontroversi, faktanya pertimbangan normatif dari hakim dalam
kasus Salomon banyak mendapatkan kritikan karena seolah-olah tidak
memperdulikan fakta hukum/kebenaran material yang terungkap dalam
kasus Salomon tersebut.  Salah satu contoh putusan yang lebih
mengedepankan kebenaran material dibandingkan pendekatan normatif
dalam kasus Salomon adalah putusan kasus Smith, Stone & Knight v
Birmingham Corp.  Dalam kasus ini, Hakim tidak memberlakukan Ratio
Decidendi dalam putusan kasus Salomon dan sebaliknya memutuskan
bahwa anak perusahaan merupakan agen dari induk perusahaan sebagai
pemegang saham dengan alasan seluruh saham anak perusahaan dikuasai
oleh induk perusahaan, seluruh direksi anak perusahaan merupakan direksi
induk perusahaan, tidak ada pemisahan rekening keuangan antara induk
perusahaan dengan anak perusahaan. 

 Kriteria yang kedua dalam pemberlakukan Piercing the Corporate Veil


adalah apabila perseroan dijadikan instrumen untuk melakukan fraud.
Dalam kamus Inggris-Indonesia, fraud berarti penipuan yang dilakukan
untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam konteks kriteria yang kedua
ini, perseroan digunakan sebagai instrumen dalam menghindari kewajiban
hukum yang seharusnya dipenuhi. Contoh kasus yang menerapkan kriteria
kedua ini adalah Gilford Motors v Horne.  Dalam kasus Gilford Motors,
Horne merupakan seorang Managing Director di Gilford Motor dan telah
menandatangani perjanjian kerja yang mempersyaratkan bahwa Horne
dilarang untuk mengambil pelanggan dari Gilford Motor baik selama
bekerja di Gilford maupun setelah meninggalkan perusahaan. Setelah
meninggalkan Gilford Motors, Horne berencana membuka bisnis untuk
suplai spareparts mobil Gilford kepada para pelanggan Gilford Motors dan
untuk menghindari kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja
dengan Gilford Motors, maka Horne kemudian  mendirikan suatu
perusahaan baru yang bernama JM Horne & Co Ltd. English court of appeal
memutuskan bahwa Horne dan perusahaanya bertanggung jawab untuk
mengganti rugi kepada Gilford Motors dengan dasar pertimbangan bahwa
perusahaan JM Horne & Co Ltd didirikan sebagai instrumen fraud untuk
menghindari kewajiban Horne sebagaimana dimaksud dalam perjanjian
kerja dengan Gilford Motors. Merujuk pada pertimbangan Hakim dalam
kasus Gilford Motors, maka organ perseroan tidak bisa lagi berlindung dari
prinsip pertanggung jawaban terbatas pada perseroan manakala organ
tersebut menggunakan perseroan semata-mata untuk tujuan menipu pihak
lain untuk keuntungan pribadi.

 Kriteria yang ketiga yang dapat digunakan untuk mengecualikan prinsip


pertanggungjawaban terbatas adalah apabila perseroan digunakan hanya
sebagai topeng (sham/facade).  Kriteria yang ketiga ini hamper sama
dengan kriteria yang kedua yakni Fraud. Dalam kriteria yang ketiga ini,
perusahaan hanya digunakan sebagai kedok/topeng untuk melakukan
perbuatan tertentu yang bertentangan dengan hukum. Contoh kasus yang
menerapkan kriteria yang ketiga ini adalah Jones v Lipman.  Dalam kasus
ini, Lipman telah setuju untuk menjual rumahnya kepada Jones serta telah
menandatangani kontrak jual beli rumah kepada Jones. Lipman kemudian
secara tiba-tiba bermaksud untuk tidak melanjutkan proses penjualan
rumah tersebut dan tetap ingin menguasai rumah tersebut. Selanjutnya,
Lipman mendirikan suatu perusahaan baru dan menjual rumah tersebut ke
perusahaan yang baru dibentuk tersebut dengan harga setengah dari harga
jual rumah kepada Jones. Lipman juga telah menandatangani kontrak jual
beli rumah dengan perusahaan yang baru dibentuk tersebut. Lipman
kemudian menyampaikan pemberitahuan kepada Jones tentang penjualan
rumahnya kepada perusahaan lain dan menyatakan bersedia untuk
mengganti uang penjualan rumah kepada Jones. Namun, Jones tetap
menginginkan rumah tersebut. Lipman mendalilkan pada kasus Salomon
bahwa perseroan adalah subyek hukum mandiri yang memiliki kekayaan
tersendiri sehingga pemilik yang sah atas rumah tersebut adalah
perusahaan yang baru dibentuk Lipman. Sedangkan, Jones mendasarkan
dalilnya pada kasus Gilford Motors dan menyatakan bahwa perusahaan
baru tersbut hanya kedok Lipman untuk menghindari kewajiban penjualan
rumah sebagaimana dimaksud dalam kontrak jual beli. Hakim memutuskan
bahwa perusahaan Lipman tersebut merupakan suatu topeng atau kedok
belaka untuk menghindari kewajiban hukum sehingga menerima
permohonan dari Jones. Berdasarkan kriteria kedua dan ketiga dapat
disimpulkan bahwa doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan
manakala secara nyata dan dapat dibuktikan bahwa perseroan digunakan
sebagai alat untuk menghindari suatu kewajiban hukum.  

 Kriteria yang terakhir yang dapat digunakan untuk menyingkap tabir


perseroan adalah apabila melibatkan suatu perusahaan grup. Dalam suatu
grup perusahaan, seringkali induk perusahaan memiliki posisi dominan
yang sangat berpengaruh terhadap tindakan anak-anak perusahaanya.
Prinsip Piercing the Corporate Veil sangat berguna agar induk perusahaan
juga ikut bertanggung jawab menanggung tanggung jawab anak
perusahaan, manakala induk perusahaan hanya memanfaatkan anak
perusahaan untuk mencari keuntungan pribadi induk perusahaan. Namun
demikian, penerapan doktrin ini tidak semudah yang dibayangkan karena
hakim harus bisa membuktikan bahwa induk perusahaan memiliki
pengaruh yang sangat dominan dan sangat berpengaruh terhadap
tindakan-tindakan yang dijalankan oleh anak perusahaan dan bahwa
dominasi induk perusahaan terhadap anak perusahaan dibuktikan salah
satunya dengan struktur organisasi vital anak perusahaan telah dikuasai
oleh karyawan induk perusahaan.

 Hukum Inggris menetapkan kriteria utama dalam penerapan Piercing the


Corporate Veil yakni:
1. Jika pengadilan memutuskan untuk menginterpretasikan suatu statuta
atau peraturan.
2. Suatu perusahaan didirikan semata-mata hanya untuk menutupi fakta
yang sebenarnya terjadi
3. Penerapan prinsip agensi

Anda mungkin juga menyukai