Anda di halaman 1dari 5

Mengapa literasi asuransi jiwa (meninggal/kesehatan, bukan asuransi umum) di

Indonesia masih sangat kecil apa yang membedakannya dengan negara maju (cth:
Singapura/Jepang/Amerika)?
Bisa dari sudut pandang masyarakat/kepemilikan asuransi, dll.
Oleh: Tifany Sukmaning Pribadi

Terdapat banyak hal yang bisa membuat kehidupan seseorang berubah secara drastis
dalam sekejap. Memiliki asuransi khususnya asuransi jiwa menjadi salah satu langkah cerdas
untuk meminimalisir risiko dalam kehidupan. Asuransi jiwa dapat mendorong kesetaraan hidup
dan kesenjangan sosial di masyarakat. Di Indonesia, sudah menjadi suatu hak tiap warganya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau (UU 36/2009).
Konsekuensinya, setiap warga Indonesia diwajibkan untuk mengikuti program asuransi
kesehatan sosial.

Akan tetapi, menurut laporan OJK, dalam 10 tahun terakhir minat masyarakat Indonesia
terhadap pelayanan asuransi jiwa masihlah sangat rendah. Hingga saat ini hanya 18 juta dari
270 juta masyarakat Indonesia yang memiliki pertanggungan dan proteksi asuransi jiwa.
Terdapat hubungan antara rendahya pengetahuan masyarakat dengan minat atau kepemilikan
asuransi di Indonesia. Hal ini menjadi sesuatu yang disayangkan apalagi mengingat terdapat
pertumbuhan populasi yang pesat di Indonesia. Negara ini hampir menyamai Brazil dalam hal
pertumbuhan penetrasi asuransi yaitu sekitar 2% per tahun. Angka ini berarti Indonesia
sangatlah tertinggal dalam hal kepemilikan asuransi jiwa tetapi di satu sisi memiliki potensi yang
amat besar akibat pertumbuhan populasinya.

Fenomena ini kemudian diperparah dengan bonus demografi, dimana populasi usia
produktif mencapai 2/3 populasi penduduk Indonesia dan hanya 6-7% milenial yang memiliki
asuransi serta sebagiannya tidak memiliki pemahaman yang baik tentang asuransi dan
kesadaran akan berasuransi (Divianta, 2019). Hal ini cukup mengejutkan apalagi mengingat
generasi Millenial adalah generasi dengan image “tech-savy” dan penerima pendidikan terbaik
dibandingkan generasi sebelumnya. Maka bukankah generasi ini yang seharusnya memiliki
kesadaran lebih besar mengenai pentingnya asuransi jiwa?

Untuk menjawab fenomena ini, maka kita harus melihat kembali tradisi bagaimana
generasi Millenial dibesarkan. Menurut Benny Fajarai (Co-founder Lifepal), generasi
sebelumnya (orangtua Millenial) tidak memberikan bimbingan yang cukup mengenai
pengelolaan keuangan serta pentingnya asuransi kepada anak mereka. Dan sekarang generasi
ini memiliki jumlah uang lebih banyak dibandingkan generasi orangtua mereka. Akan tetapi,
tingkat kesejahteraan yang naik ternyata tidak diikuti dengan kepemilikan asuransi. Kurangnya
edukasi pengelolaan keuangan sejak masa kecil telah menyebabkan tingkat kesadaran akan
literasi keuangan dan asuransi di Indonesia menjadi rendah. Saat ini banyak keluarga muda
khususnya wanita dan anak-anak dalam kondisi rentan tanpa kepemilikan asuransi jiwa.
Seorang anak dibawah usia 21 tahun atau ke bawah masih berada lindungan asuransi orang
tua mereka secara gratis di Indonesia. Sementara jika dibandingkan dengan Australia,
mayoritas anak mendapatkan perlindungan asuransi orang tua hingga usia 25 tahun.

Kebijakan asuransi di Indonesia menyebabkan sesorang di bawah usia 21 tahun


terutama jika berpendapatan rendah menjadi rentan. Tingginya angka kehamilan remaja juga
telah menyebabkan banyak remaja putus sekolah dan tidak memiliki sumber penghasilan yang
cukup. Rendahnya penghasilan ini kemudian menyebabkan ketertarikan akan asuransi jiwa
menjadi sedikit karena mereka sudah tidak berminat lagi dengan investasi jangka panjang di
bidang pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan yang memadai maka golongan ini berisiko
tinggi terhadap berbagai macam penyakit dan kondisi yang mengancam nyawa(Susan Sawyer,
2019).

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa seringkali kaum millenial yang tidak memiliki
asuransi kesehatan jarang berinteraksi dengan lingkungan pelayanan kesehatan, sehingga
tidak memiliki gambaran spesifik fasilitas kesehatan. Padahal jenis dan kualitas sumber
informasi yang diakses memiliki kontribusi terhadap pengambilan keputusan. Seseorang lebih
cenderung memilih mendapatkan informasi asuransi dari petugas kesehatan seperti dokter.
Mengingat bahwa generasi millenial terdiri dari golongan muda yang sehat dan bugar maka
membuat generasi ini jarang menemui dokter dan semakin mengabaikan pentingnya asuransi
jiwa.

Sehingga di generasi millenial Indonesia sendiri terdapat kesalahan persepsi mengenai


asuransi jiwa, asuransi jiwa dianggap hanyalah sebatas pengalihan risiko kematian saja bagi
golongan tua. Dan asuransi jiwa yang harus dibayar dianggap hanya bisa dinikmati setelah
setelah pihak tertanggung meninggal dunia. Fenomena ini sungguh disayangkan apalagi
mengingat bahwa semakin muda seseorang maka akan semakin murah asuransi yang harus ia
bayarkan dan sebaliknya, semakin tua sesorang maka akan semakin mahal asuransinya. Hal
ini dikarenakan bertambahnya usia menyebabkan potensi risiko terluka atau jatuh sakit menjadi
semakin besar.
Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika, seseorang tanpa kepemilikan
asuransi jiwa dikategorikan sebagai individu ceroboh mengingat semua rumah sakit yang ada
tidak akan melayani seseorang tanpa asuransi. Hal yang sama juga berlaku di negara lain
seperti Singapura dan Jepang, mereka akan menolak memberikan pelayanan tanpa
kepemilikan asuransi jiwa. Sehingga mau atau tidak mau, seseorang dari negara tersebut harus
mempelajari dan menggunakan pelayanan asuransi jiwa yang berlaku. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa literasi keuangan dan asuransi jiwa di negara-negara tersebut lebih tinggi
dibandingkan Indonesia, mereka telah berada di suatu titik dimana asuransi jiwa adalah hal
wajib yang harus dimiliki dan bukan suatu pilihan yang bisa ditolak.

Literasi asuransi jiwa di Indonesia (2%) yang masih rendah apalagi jika dibandingkan
dengan negara Asia Tenggara lain seperti Singapura dan bahkan Thailand (5%), kemudian
mengundang berbagai pertanyaan. Apa perbedaan Indonesia dan negara tetangganya?
menurut Benny Fajarai (Co-founder Lifepal) hal ini berhubungan dengan budaya pemasaran di
Indonesia. Strategi mulut-ke-mulut adalah strategi paling efektif di Indonesia. Startegi inilah
yang seringkali menjadi penggerak utama penjualan produk asuransi di Indonesia.

Karena dirancang dengan pengerahan tenaga suatu agen, maka pemberian komisi
menjadi penggerak utama yang mendorong agen ini. Komisi terbesar bisa didapatkan melalui
penjualan produk Unit Link yang menawarkan program investasi + asuransi. Karena terus
ditawarkan dan dipromosikan maka terdapat korelasi antara produk asuransi dan investasi di
Indonesia. Hal ini membuat masyarakat menganggap investasi dan asuransi adalah satu paket
yang tak terpisahkan.

Permasalahan terletak ketika seseorang tidak tertarik untuk berinvestasi maka ia juga
akan menghindari topik mengenai asuransi. Dan apabila terdapat kekecewaan terhadap salah
satu produk baik itu investasi atau asuransi maka masyarakat juga cenderung menghindari
topik ini. Pengalaman buruk dengan agen asuransi juga bermain peran dalam hal
penghindaraan topik asuransi maupun investasi. Pada akhirnya, akibat budaya “menghindar”
ini, maka terciptalah gap literasi atau pengetahuan yang besar mengenai produk asuransi.

Pemerintah Indonesia sendiri telah membentuk berbagai program dengan PT Askes


(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) untuk mendorong kepemilikan asuransi jiwa. Salah satu
program ini adalah “Jampersal” yang diperuntukkan sebagai asuransi sosial bagi ibu hamil.
Akan tetapi golongan ibu hamil maupun post-partum, ternyata termasuk masih memiliki literasi
asuransi jiwa rendah. Hal ini terlihat jelas di salah satu klinik kesehatan di Surabaya. Masih
banyak ibu rumah tangga yang ada tidak mengetahui sedikitpun mengenai program asuransi
Jampersal. Bahkan banyak pengguna Jampersal sendiri yang tidak mengetahui tujuan,
persyaratan, dan pelayanan Jampersal. Dan jika memang ada yang tahu, mereka masih lebih
memilih pergi ke rumah sakit dibandingkan ke klinik kesehatan yang menawarkan asuransi
Jampersal (Sari and Pudjiraharjo, 2013). Mayoritas wanita ini masih lebih mengandalkan
suaminya dalam hal memilih menggunakan layanan asuransi jiwa atau tidak. Sehingga tidak
heran jika golongan wanita Millenial di Indonesia termasuk golongan mayoritas tanpa asuransi
jiwa.

Dalam The Four As Goods theory (1987) di Hausmann-muela, Ribera dan Nyamongo
(2003) diungkapkan bahwa ketertarikan dan kepemilikan asuransi jiwa bisa dikategorikan
menjadi ketersediaan,keaksesibilitas, keterjangkauan, dan akseptabilitas dari layanan
kesehatan. Edukasi mengenai pelayanan kesehatan sangatlah dibutuhkan di Indonesia.
Sihombing (2014) menyatakan bahwa terdapat korelasi erat antara edukasi program asuransi
dan partisipasi program asuransi jiwa. Semakin tinggi pengetahuan masyarakat maka
kesadaran dan keiikutsertaan penggunaan asuransi jiwa akan semakin tinggi pula.

Salah satu cara edukasi ini bisa dilakukan melalui metode digital apalagi generasi
Millenial adalah generasi tech-savy yang menghabiskan mayoritas waktunya secara online
apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda. Media sosial telah menjadi alat strategi yang efektif
untuk mengedukasi masyarakat mengenai program asuransi kesehatan dengan mudah, murah,
dan terjangkau. Mengingat bahwa tingkat pertumbuhan masyarakat Indonesia diiringi dengan
kenaikan golongan kelas menengah, maka akan sungguh sangat disayangkan apabila generasi
ini bersikap acuh terhadap asuransi jiwa di kehidupan mereka.

Sumber:
The White Board Journal. 2020. “On Financial Literacy, Insurance, and Investments for the
Youth with Lifepal”. Tersedia di: https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/on-
financial-literacy-insurance-and-investments-for-the-youth-with-lifepal/

Tika, Indiraswari, dkk. 2020. “Health insurance literacy: discussion and reaction of Facebook
users’ towards the National Health Insurance in Indonesia”. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7376471/#ref6
Renuka, Tipirneni, dkk. 2018. “ Association Between Health Insurance Literacy and Avoidance
of Health Care Services Owing to Cost”. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6324372/

Choirun Nisa' dan Intan Nina Sari. 2019. “ SOCIAL HEALTH INSURANCE LITERACY:
LESSON LEARNED FROM SOCIAL INSURANCE FOR MATERNITY CARE BY NATIONAL
HEALTH INSURANCE PROGRAMME”. Tersedia di: https://www.e-
journal.unair.ac.id/JAKI/article/view/9868

Anda mungkin juga menyukai