Anda di halaman 1dari 27

HUKUM DAGANG

PENERAPAN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI WUJUD


PERLINDUNGAN BAGI DIREKSI DALAM PENGURUSAN
PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

Disusun oleh:
KELOMPOK 9

Nadhira Shafiya 110110180321


Trihasiana Tama 110110180322
Aswin Fadhlam S 110110180348
Dimas Alfaathir F 110110180378
Rezky Vrizaputra 110110180380
Annisa Rahmadinia A. 110110180381
Amru Daffa 110110180382
Emeralda Putri Anjani 110110180399
Mieke Namira Fuadi 110110180400

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada zaman modern ini, sudah banyak pebisnis yang mau menginvestasikan
saham kepada Perseroan Terbatas, hal ini dikarenakan kekayaan Perseroan Terbatas
terpisah dari kekayaan pribadi pemegang saham sehingga Perseroan Terbatas memiliki
kekayaan sendiri. Pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas, yaitu dia hanya
bertanggungjawab sesuai dengan saham yang ia miliki, kecuali ia melanggar ketentuan
yang sudah diatur didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas
sebagai perusahaan harus memiliki organ untuk menggerakan perusahaannya. Organ
Perseroan Terbatas tersebut terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan
Dewan Komisaris. Organ-organ tersebut satu sama lain memiliki kedudukan sederajat
namun mempunyai tugas yang berbeda. Organ-organ tersebut dilengkapi orang-orang
yang memiliki kehendak, yang akan menjalankan Perseroan Terbatas berdasarkan maksud
dan tujuan pendirian Perseroan Terbatas. Salah satu Organ Perseroan yang akan dibahas
adalah Direksi. Menurut pasal 1 angka 5 UU Perseroan Terbatas disebutkan bahwa
Direksi adalah organ Perseroan Terbatas yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas kepengurusan Perseroan Terbatas, sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. 1 Direksi
bisa terdiri dari 1 orang Direktur atau lebih yang jumlahnya diatur olehg anggaran dasar
Perseroan Terbatas dengan mengikuti batasan yang sudah diatur di UU Perseroan
Terbatas.

Hubungan antara Direksi dengan PT terjadi karena adanya kepercayaan yang


diberikan oleh PT kepada Direksi. Karenanya dalam menjalankan tugas yang
diembannya, Direksi memiliki kewajiban fiduciary (fiduciary duty). Seseorang dikatakan
memiliki fiduciary duty jika bisnis yang ditransaksikannya atau uang yang ditangani
bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk
kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang
besar kepadanya. Dengan demikian seorang anggota Direksi wajib mempunyai itikad baik
yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, Direksi

1
Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106 tahun 2007, TLN No.
4756, Pasal 1 angka 5.

2
juga tunduk pada ketentuan UUPT dan anggaran dasar PT dalam melaksanakan tugasnya,
misalnya kewajiban memperoleh persetujuan dari RUPS untuk transaksi-transaksi
tertentu. Dalam konteks hukum perusahaan Indonesia, pengaturan mengenai fiduciary
duty dapat disimpulkan dari beberapa pasal di dalam UUPT. Di dalam Pasal 97 ayat (1)
dan (2) UUPT dengan tegas dinyatakan bahwa Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan PT dan pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Selanjutnya didalam penjelasan Pasal 97 ayat (2) UUPT dengan tegas dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan PT dengan
seksama dan tekun. Dengan demikian, di dalam Pasal 1 ayat (5) , Pasal 97 ayat (1) dan
(2) ,dan Penjelasan Pasal 97 ayat (2) UUPT tersebut, UUPT menyiratkan pemberian
amanah fiduciary duty berada di pundak Direksi.2 Direksi diberikan beban dan tanggung
jawab untuk mengurus fungsi manajemen serta mewakili fungsi representasi PT dengan
itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan maksud, tujuan dan kepentingan
didirikannya PT. Namun di sisi lain, Direksi harus dapat mengambil keputusan dalam
waktu cepat dan secara tepat. Mengingat bahwa suasana dan kondisi bisnis cenderung
dapat berubah dengan cepat. Sehingga, Direksi harus dapat mengambil keputusan dengan
cepat berdasarkan pertimbangan yang menurutnya cermat pula.3 Sehubungan dengan hal
tersebut, terdapat doktrin business judgment rule yang berasal dari Amerika Serikat yang
didasarkan pada common law sebagai bentuk perlindungan bagi Direksi. Menurut Black’s
Law Dictionary, business judgment rule adalah: “a rule that immunizes management from
liability in corporate transaction undertaken within both power of the corporation and
authority of management where there is reasonable basis to indicate that a transaction was
made with due care and in good faith.”4.

2
Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106 tahun 2007, TLN No.
4756
3
Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, Cet. I, (Jakarta: Tatanusa, 2008), hal. 53
4
Dimas Zuliakimsah, “Prinsip Bussiness Judgment Rule dan Penerapanya Dalam Undang-Undang No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, http://dimarzuliaskimsah.blogspot.com/2011/03/prinsip-business-
judgement-rule-dan.html, diakses pada tanggal 18 November 2019

3
1.2 Identifikasi Masalah :
1. Apa saja pengaturan business Judgement rule berdasarkan UUPT
2. Bagaimana Penerapan Business Judgement Di Indonesia untuk perlindungan
kepada Direksi dan Contoh Kasus Masalah perlindungan Direksi dengan
Penerapan Business Judgment Rules?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Perseroan Terbatas


Definisi mengenai perseroan terbatas tidak dapat dijumpai dalam pasal- pasal di
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Namun demikian, menurut Sutantya dan
Sumantoro (1991 : 40) dari pasal-pasal : 36, 40, 42, dan 45 KUHD dapat diambil
kesimpulan bahwa suatu perseroan terbatas mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero


(pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai
jaminan bagi semua perikatan perseroan.
2. Adanya pesero atau pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada
jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua di dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), merupakan kekuasaan tertinggi dalam
organisasi perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi
dan komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan dalam
menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam
anggaran dasar, dan lain-lain.
3. Adanya pengurus (direksi) dan pengawas (komisaris) yang merupakan satu
kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya
terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar atau keputusan
RUPS.5

Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV), adalah
suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari saham yang
pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri
dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat
dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.6

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas


mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai :

5
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggungjawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, hal. 24.
6
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999.hal. 5

5
“Badan hukum yang didirikan berdasarkan peranjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang c-
etapkan dalam Undang-lndang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Sedangkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang


Perseroan Terbatas mengatakan bahwa :

“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.

Adapun didalam penjelasannya adalah sebagai berikut :7

(1) Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum memiliki 2 (dua) macam subyek
hukum, yaitu subyek hukum pribadi (natuurlijk persoon) dan subyek hukum
berupa badan hukum (rechts persoon).

(2) "Badan hukum adalah suatu satuan tugas-tugas eksekutif


perusahaanmerupakan kewenangan Direksi;

(3) Pengawasan harus dilaksanakan kepada keputusan yang sudah diambil (ex post
facto) atau terhadap putusan-putusan yang -akan diambil (preventive basis);

(4) Pengawasan bukan hanya sekadar menerima informasi dari Direksi RUPS,
melainkan juga dapat mengambil tindakan-tindakan yang bersifat korektif;

(5) Pengawasan tidak hanya sekadar menyetujui atau tidak menyetujui terhadap
tindakan-tindakan yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris sebagai yang
diperinci dalam anggaran dasar, tetapi pengawasan mencakup semua aspek bisnis
dan aspek korporat dari perusahaan.

Perseroan terbatas merupakan badan hukum (legal entity), yaitu badan hukum
“mandiri” (persona standi in judicio) yang memiliki sifat dan ciri kualitas yang berbeda
dari bentuk usaha lain, di antaranya adalah:8

7
Munir fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 108-109.

6
a. Sebagai asosiasi modal;
b. Kekayaan dan utang Perseroan Terbatas adalah terpisah dari kekayaan dan
utang pemegang saham;
c. Bertanggungjawab hanya pada apa yang disetorkan, atau tanggung jawab
terbatas (limited liability);
d. Tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan terbatas melebihi nilai saham
yang telah diambilnya;
e. Tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
Perseroan;
f. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus atau Direksi;
g. Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
h. Kekuasaan tertinggi berada pada RUPS.

Berdasarkan doktrin hukum Perseroan Terbatas Direksi dalam menjalankan tugasnya


mempunyai kewajiban melaksanakan pengurusan dengan penuh tanggung jawab antara
lain:
1. Fiduciary Duty
Setiap anggota direksi “wajib dipercaya” dalam melaksanakan tanggung jawab
pengurusan perseroan. Berarti setiap anggota direksi selamanya dapat dipercaya
(must always bonafide) serta selamanya harus jujur (must always honested).
Mengenai makna itikad baik dan wajib dipercaya serta selamanya wajib jujur
dalam memikul tanggung jawab atas pelaksanaan pengurusan perseroan, ada
ungkapan yang berbunyi a director is permitted to be very stupid so long as he is
honest (dibenarkan seorang direktur yang sangat bodoh asal dia jujur). Hal ini
bukan berarti disetujui mengangkat seorang direksi yang bodoh. Yang diinginkan
oleh ungkapan itu adalah mengangkat anggota direksi yang cakap sekaligus jujur,
daripada pintar tetapi tidak jujur dan tidak dapat dipercaya.9

8
Chatamarrasjid, Menyikapi Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta
Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya, 2000, hal. 142-143
9
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37040/4/Chapter%20II.pdf29 Mei 2014 20.30 diakses
pada 18 November 2019

7
2. Duty of Care
Direktur dalam menjalankan perusahaan berdasarkan kewenangan yang ada harus
selalu waspada dan bertindak dengan perhitungan yang cermat. Dalam kebijakan
yang dibuatnya direktur harus selalu bertindak dengan hati-hati dan
mempertimbangkan keadaan, kondisi, dan biaya pengelolaan yang besar. Dalam
mengurus perseroan, anggota direksi tidak boleh “sembrono” (caressly) dan “lalai”
(negligence). Apabila dia sembrono dan lalai melaksanakan pengurusan, menurut
hukum dia telah melanggar kewajiban berhati-hati (duty care) atau bertentangan
dengan “prudential duty”. Patokan kehati-hatian (duty of the due care) yang
diterapkan secara umum dalam praktik, adalah standar kehati-hatian yang lazim
dilakukan orang biasa dalam posisi dan kondisi yang sama. Apabila patokan
kehati-hatian ini diabaikan oleh anggota direksi dalam menjalankan pengurusan
perseroan, dia dianggap bersalah melanggar kewajilban mesti melakukan
pengurusan dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada maaf bagi seseorang yang
menduduki jabatan anggota direksi dengan gaji dan tunjangan yang cukup besar,
tetapi tidak hati-hati melaksanakan pengurusan perseroan.10
3. Duties of Loyalty
Sikap setia yang harus ditunjukkan oleh direksi dalam perusahaan adalah sikap
yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional. Dalam arti ini,
direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta anggaran
dasar perseroan terbatas. Maksud dari kesetiaan adalah direksi harus selalu
berpihak pada kepentingan perusahaan yang dipimpinnya. Direksi yang diberikan
kepercayaan oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang
saham dan stakeholders, bertindak untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta
bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan di atas kepentingan
pribadi.Terkait dengan duty of loyalty, direksi juga dilarang untuk melakukan hal-
hal seperti bersaing dengan perusahaan tersebut, merebut kesempatan yang ada
dalam perusahaan, merealisasikan keuntungan pribadi yang berasal dari informasi
material yang ada, menggunakan aset perusahaan demi kepentingan pribadinya,
dan ikut serta dalam pembuatan perjanjian yang memunculkan adanya benturan
kepentingan.

10
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 379

8
4. Duties of Skill
Kemampuan atau keahlian mengurus perseroan merupakan persyaratan yang harus
dimiliki oleh direksi dan komisaris. Sebagai pucuk pimpinan suatu perseroan,
kualifikasi profesional ini menjadi persyaratan yang tidak dapat ditawar. Selain itu
direksi juga harus memiliki kewajiban yang disebut duty to be dilligent and skill
yaitu wajib tekun dan ulet. Pada umumnya aspek tekun dan ulet, selalu dikaitkan
dengan keahlian (skill). Dengan demikian, anggota direksi dalam melaksanakan
pengurusan perseroan, wajib mempertunjukan kecakapan (duty to display skill).
Patokannya, kecakapan atau keahlian yang wajib sesuai dengan jabatan direksi
yang dipangkunya (reasonable skill for the post). Kecakapan dan keahlian yang
wajib ditunjukkannya, harus berdasar ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya (according to his knowledge and experience).

5.Duties to Act Lawfully


Direksi yang diberi kepercayaan oleh pemegang saham berkewajiban untuk
memimpin perseroan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Apabila
direksi mengetahui perbuatan yang akan dilakukannya bertentangan dengan
hukum atau peraturan yang berlaku, maka pengurus perseroan tersebut sudah
seharusnya tidak melakukannya. Direksi dalam menjalankan tugas perseroan harus
sesuai dengan ketentuan dari UUPT dan anggaran dasar perseroan, tugas tersebut
harus dilaksanakan dengan penuh kehati- hatian, itikad baik, konsekuen, dan
konsisten.

2.2 Dasar Hukum dan Pendirian Perseroan Terbatas


Dasar Hukum dari Perseroan Terbatas adalah Undang – Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam proses pengajuan pendirian PT dibagi menjadi dua cara yakni pengajuan
sendiri dan dikuasakan pada orang lain yang dalam hal ini adalah notaris. Secara umum
apabila pengajuan pendiri PT yang pertama adalah dipenuhinya syarat minimal pendiri PT
yakni 2 (dua) orang yang untuk kemudian diajukan pada notaris agar dibuatkan akta
pendirian yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi ketentuan yang
mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi persero
yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau perseroan yang mengelola bursa efek,

9
lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga
lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.

Akta pendirian yang diajukan selain memuat anggaran dasar juga berisi antara lain11:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan
kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat
lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan
hukum dari pendiri Perseroan;
b. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal,
kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama
kalidiangkat;
c. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah
saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor. Dalam
masalah saham, masing-masing dari pendiri PT wajib mengambil bagian saham
pada saat Perseroan didirikan. Akan tetapi hal ini tidak berlaku apabila PT
mengalami proses peleburan.

Setelah semua proses pengajuan akta pendirian diatas terpenuhi, Persero masih
belum berstatus badan hukum. Persero baru akan memperoleh status badan hukum pada
tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
Akan tetapi untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan tersebut harus diajukan diajukan terlebih dahulu melalui jasa teknologi
informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri yang
sebelumnya harus didahului dengan pengajuan nama Perseroan. Ada dua proses
pengajuan untuk pengesahan badan hukum dari Menteri Hukum dan HAM yakni 12:
1) Pengajuan sendiri tanpa melalui notaris.
Pengajuan untuk memperoleh Keputusan menteri tersebut jika dilakukan tanpa diwakilkan
oleh notaris, maka proses adalah format isian permohonan kepada Menteri Hukum dan
Ham tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang :
a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. Jangka waktu berdirinya Perseroan;

11

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20586/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
( Diakses 14 November 2019)
12
Ibid, usu.repository, hal 5

10
c. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
d. Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. Alamat lengkap Perseroan.

2) Untuk mengajukan permohonan pengesahan badan hukum dari Menteri


Hukum dan Ham melalui notaris, diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor : M-01-HT.01-10 Tahun 2007 yang dijabarkan prosesnya adalah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan pengesahan badan hukum perseroan dilakukan oleh
Notaris sebagai kuasa pendiri
2. Permohonan sebagaima dimaksud dalam poin pertama diajukan oleh notaris
melalui sisminbakum dengan cara mengisi FIAN model I (Format Isian Akta
Notaris untuk permohonan pengesahan status badan hukum perseroan) setelah
pemakaian nama disetujui menteri atau pejabat yang ditunjuk dan dilengkapi
keterangan mengenai dokumen pendukung. Dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud meliputi :
a. Salinan akta pendirian perseroan dan salinan akta perubahan pendirian
perseroan, jika ada.
b. Salinan akta peleburan dalam hal pendirian perseroan dilakukan dalam
rangka peleburan;
c. Bukti pembayaran biaya untuk :
1) Persetujuan pemakaian nama
2) Pengesahan badan hukum perseroan
3) Pengumuman dalam tambahan berita negara Republik Indonesia.
d. bukti setor modal perseroan berupa :
1) Slip setoran atau keterangan bank atas nama perseroan atau
rekening bersama atas nama para pendiri atau pernyataan telah
menyetor modal perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota
direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan
komisaris perseroan, jika setoran dalam bentuk uang.
2) Keterangan penilaian dari ahli yang tidak terafiliasi atau bukti
pembelian barang jika setoran modal dalam bentuk lain selain uang
yang disertai pengumuman dalam surat kabar jika setoran dalam
bentuk benda tidak bergerak,

11
3) Peraturan pemerintah dan atau Surat Keputusan Menteri
Keuangan bagi perseroan; atau
4) Neraca dari perseroan atau neracar daro badan usaha bukan
badan hukum yang dimasukkan sebagai setoran modal.
Surat keterangan alamat lengkap Perseroan dari Pengelola Gedung
atau Surat pernyataan tentang alamat lengkap perseroan yang
ditandatangani oleh semua anggota direksi bersama-sama semua
pendiri serta semua anggota dewan komisaris perseroan.

3. Jika FIAN dan keterangan mengenai dokumen pendukung telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri atau pejabat yang ditunjuk
langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang bersangkutan.
4. Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menyatakan tidak berkeberatan atau
menolak permohonan yang dajukan. Pernyataan tidak berkeberatan atau penolakan
sebagaimana dimaksud dilakukan langsung melalui Sisminbakum. Sisminbakum
adalah Sistem Administrasi Badan Hukum yang merupakan sebuah jenis
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dalam proses pengesahan badan
hukum perseroan dan proses pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar,
penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dan perubahan data
perseroan serta pemberian informasi lainnya secara elektronik, yang
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
5. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pernyataan tidak berkeberatan, notaris yang bersangkutan wajib menyampaikan
secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung dan dibuktikan
dengan tanda terima. Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan
dokumen pendukung tidak dipenuhi, menteri atau pejebat yang ditunjuk langsung
memberitahukan hal tersebut kepada notaris melalui sisminbakum dan pernyataan
tidak berkeberatan sebagaimana menjadi gugur.
6. Jika notaris dapat membuktikan telah menyampaikan secara fisik permohonan
yang dilampiri dokumen pendukung dalam batas waktu maka pernyataan tidak
berkeberatan tidak menjadi gugur. Notaris dapat menyampaikan secara fisik surat
kedua yang dilampiri dengan dokumen pendukung paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tangga pemberitahuan.

12
7. Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon dapat mengajukan
kembali permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri dengan
memperhatikan ketentuan batas waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal akta pendirian ditandatangani.

2.3 Organ Perseroan


Organ Perseroan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum Pemegang
Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPSS)
menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas adalah:
“Organ Perseroan yang mmepunyai wewenang yang tidak diberikan kepala
DIreksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini dan/atau anggaran dasar.”
RUPS merupakan organ perusahaan dengan kekuasaan tertinggi, tetapi bukan
kekuasaan mutlak karena Undang-Undang Perseroan Terbatas manganut prinsip
distribution of power yang artinya kewenangan di dalam Perseroan Terbatas dialokasikan
kepada KOmisaris, Direksi, dan RUPS. Apabila suatu kewenangan telah dialokasikan
kepala direktur atau komisaris maka RUPS tidak berwenang lagi terhadap hal yang
bersangkutan.13
Direksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas adalah:
“Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Berdasarkan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas, Direksi tidak berwenang mewakili perseroan di dalam maupun di luar
pengadilan, apabila terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi
yang bersangkutan, atau anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan
kepentingan dengan perseroan.

13
Munir Fuady, Hukum Bisnis: dalam Teori dan Praktek: Buku Ketiga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002, hlm. 25.

13
Menurut ketentuan Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang perseroan Terbatas, Direksi, diangkat oleh RUPS. Jangka waktu jabatan seorang
anggota direksi perseroan berpedoman pada Anggaran Dasar masing-maisn perseroan.
Dewan Komisaris menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi. Tugas Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun
usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.14

2.4 Anggaran Dasar


Anggaran Dasar Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan PAsal 15
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Isi anggaran dasar
sekurang-kurangnya harus memuat:15
a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. Jangka Waktu berdirinya Perseroan;
d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap
klarifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap
saham;
f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan
Dewan Komisaris;
i. Tata acara penggunaan laba dan pembagian dividen.

14
Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahuun 2007 tentang Perseroan Terbatas
15
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahuun 2007 tentang Perseroan Terbatas

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan Business Judgement Rule berdasarkan UUPT


Sepertinya yang telah dijelaskan diatas, Business Judgement Rule merupakan
suatu doktrin atau prinsip yang lahir karena adanya kasus-kasus yang sering menempatkan
posisi direktur seolah-olah merupakan pihak yang selalu dipersalahkan dalam perseroan.
Dalam pengambilan keputusan yang beresiko tinggi, sering kali timbul rasa takut atas
jeratan hukum dari seorang direktur dalam hal pengambilan keputusannya. Rasa takut
tersebut bisa saja mempengaruhi keputusan bisnis yang diambil oleh direksi, oleh sebab
itu, doktrin Business Judgement Rule lahir untuk melindungi direksi agar rasa takut
tersebut tidak mempengaruhi direksi dalam mengambil keputusan.16
Business Judgement Rule merupakan bentuk perlindungan bagi direksi yang
memiliki itikad baik dalam melindungi dirinya dari gugatan korporasi maupun pemegang
saham akibat kerugian yang timbul atas keputusannya. Di Indonesia sendiri, terdapat 3
standar yang digunakan sebagai dasar pembenar suatu keputusan bisnis, yaitu:
1. Keputusan bisnis diambil dengan itikad baik;
2. Direktur bertanggungjawab secara pribadi atas kesalahan yang dilakukan;
3. Direktur dilarang memiliki conflict of interests atau kepentingan pribadi dalam
pengambilan keputusannya.17
Ketiga standar tersebut menjadi suatu dasar atau aturan yang melekat pada prinsip
Business Judgement Rule dalam hal pengambilan suatu keputusan bisnis. Terpenuhinya
ketiga standar tersebut memiliki arti bahwa direksi telah mendapat perlindungan dari
prinsip ini, sehingga hal tersebut dapat mendorong kepercayaan diri direksi dalam
mengambil keputusan bisnis direksi tersebut.
Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas, doktrin Business
Judgement Rule diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Doktrin Business Judgement Rule termuat dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi:

16
Business Judgment Rule, http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule , (diakses pada tanggal 18
November 2019).
17
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya Dalam Hukum Perusahaan
Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 75

15
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan
dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.18
Selain itu, Business Judgement Rule juga termuat dalam Pasal 97 ayat (5) yang
berbunyi:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.19

Business Judgement Rule yang dinyatakan dalam Undang-Undang Perseroan


Terbatas (UUPT) tersebut menjadi suatu dasar pembatasan direksi dalam menjalankan
kewajiban serta tanggung jawabnya, serta dari pasal-pasal dalam UUPT tersebut dapat
diketahui apakah suatu direksi dapat dilindungi oleh doktrin Business Judgement Rule
atau tidak. Tetapi, dalam penerapannya, masih ditemui persoalan-persoalan serta kendala
yang terjadi terkait prinsip ini. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan dan pemahaman
yang lebih terhadap implementasinya agar tujuan dari doktrin Business Judgement Rule
ini dapat tercapai.

18
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 92 ayat (1) dan (2)
19
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 97 ayat (5)

16
3.2 Penerapan Business Judgement Di Indonesia untuk perlindungan kepada Direksi
dan Contoh Kasus Masalah perlindungan Direksi dengan Penerapan Business
Judgment Rules

Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, umumnya berorientasi pada


keuntungan untuk menjaga keberlangsungan dan perkembangan perusahaan. Dengan
demikian agar direksi sebagai organ Perseroan yang mengurus Perseroan dapat mencapai
prestasi terbesar untuk kepentingan perseroan, maka direksi harus diberi kewenangan-
kewenangan tertentu untuk melakukan pengelolaan organisasi dan untuk mencapai hasil
optimal dalam pengurus perseroan. Melalui kewenangan yang telah diberikan tersebut,
direksi juga perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus perseroan.

BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah perusahaan yang didirikan dan
dikelola oleh Negara untuk menjalankan kegiatan operasional di sektor industri dan bisnis
strategis. Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan
yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Tujuan bersifat ekonomi, BUMN
dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai oleh
pihak-pihak tertentu, yaitu bidang-bidang yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Salah satu jenis BUMN adalah Perusahaan Perseroan (Persero) yang berbentuk perseroan
terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan namun BUMN merupakan badan hukum yang tidak
sepenuhnya milik Negara, karena ada penyertaan saham privat yang pengaturan dan
aturan hukum yang mengaturnya tunduk pada ketentuan UU Perseroan Terbatas No. 40
Tahun 2007 dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun


2007 tentang Perseroan Terbatas, perseroan terbatas merupakan badan hukum yang
merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya
merujuk pada Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga
merupakan badan hukum. Badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan
yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya

17
manusia.20 Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam
lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga
menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri, maka kekayaan badan
hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan
hukum tersebut.

Keberadaan direksi dalam perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata
lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artifical person tidak
dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.21
Direksi dalam Perseroan Terbatas merupakan nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu
perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya
perseroan. Oleh karena itu keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting. Sekalipun
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dari direksi,
tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap seakan-akan
sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.

Latar belakang dari diberlakukannya business judgment rule disebabkan oleh


pertimbangan direksi merupakan pihak yang paling berwenang serta professional dalam
memutuskan hal-hal yang terkait dengan perseroan. Hal ini terkait dengan Pasal 1 ayat 5
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa Direksi adalah Organ
Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.

Secara keseluruhan, Business Judgement Rule melindungi para direktur yang


membuat keputusan yang akhirnya terbukti mengancam perusahaan mereka, sepanjang
conditions precedent dipenuhi. Jika tidak, standar hukum yang ketat untuk melakukan
penelitian akan diterapkan, karena Business Judgement Rule bukan merupakan alat yang
membuat direktur dapat mengenyampingkan, membenarkan atau membuat gugatan
lenyap. Karena itu, apabila ada tindakan dari direksi yang kekurang hati-hatian dalam

20
Surbekti, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Hal 21
21
Sartika Nanda Lestari. 2015. Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara Di Indonesia. Edisi 08 Nomor 2. Semarang. Universitas Diponegoro. Hal 310

18
pengelolaan perseroan dapat menimbulkan kerugian pada perseroan terbatas, kerugian
tersebut terlihat dari gagalnya mempertahankan sifat kehati-hatian (reasonable care)
dalam menjalankan perseroan. Dalam hal demikian, direktur yang bersangkutan harus
menanggung atau bertanggung jawab atas kerugian perseroan terbatas.22

Salah satu kasus yang berkaitan dengan Business Judgement Rule yaitu kasus PT.
Merpati Nusantara Airlines (MNA). Dalam kasus ini telah terjadi kriminalisasi terhadap
Direktur Utama, Hotasi Nababan. Kasus ini bermula dari perbuatan Hotasi Nababan untuk
mendatangkan 2 (dua) pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada Desember 2006
dan membayar “security deposit” (uang deposit) sebesar US$1 juta sebagai jaminan
pembelian pesawat kepada pihak lessor, Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG),
dianggap melanggar hukum. Kegagalan TALG menyerahkan kedua pesawat serta
menolak mengembalikan deposit tersebut dianggap sebagai bukti telah terjadinya
kerugian negara. Padahal, dana untuk pengadaan pesawat tersebut telah disetujui dan
ditandatangani oleh seluruh direksi. Alasan penyewaan dua unit pesawat tersebut juga
didasarkan pada perhitungan bisnis. Namun, jaksa penuntut umum (JPU) dalam
tuntutannya mengatakan perbuatan Hotasi Nababan adalah melanggar hukum yang
menimbulkan kerugian negara. aksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menuntut Hotasi
Nababan dengan empat tahun penjara ditambah denda Rp.500 juta subsider enam bulan
kurungan berdasarkan dakwaan subsider yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang
perbuatan merugikan keuangan negara. Namun pada akhirnya majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan terdakwa Hotasi Nababan tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sehingga
membebaskan Hotasi Nababan dari segala dakwaan.

Perbuatan yang dilakukan oleh Hotasi Nababan yang membayar sewa pesawat
Boeing 737-400 dan 737-500 dan membayar security deposit sudah dilakukan dengan
hati-hati, dengan itikad baik, sesuai kondisi perusahaan serta dengan informasi yang
dinilai cukup sehingga tuntutan yang diajukan JPU tersebut tidak tepat. Apalagi
Pengadilan di Amerika Serikat telah memutus bahwa TALG telah melakukan wanprestasi

22
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Cet.1 (Jakarta: Permata Aksara, 2013), Hal. 100

19
terhadap PT. Merpati Nusantara Airlines. TALG telah dihukum agar mengembalkan uang
jaminan yang telah dibayar Merpati sebesar US$ 1 juta beserta bunganya.

Perbuatan melawan hukum atau tidak didasarkan pada apakah pemberian Security
Deposit itu tidak boleh dilakukan, bertentangan dengan undang-undang atau tidak
mempunyai hak untuk memberikan Security Deposit. Jika memang biasa dalam bisnis
sewa pesawat ada Security Deposit, maka terdakwa tidak melakukan perbuatan melawan
hukum. Menurut pendapat Prof. Hikmahanto Juwana,23 Dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK
tidak tercermin keharusan membuktikan adanya niat jahat. Dalam kedua pasal tersebut
tidak ditemukan istilah "dengan sengaja". Kata "dengan sengaja" dalam hukum
mempunyai makna harus adanya niat dan perbuatan jahat. Namun, harus dipahami dalam
tindak pidana korupsi tanpa niat jahat tak mungkin ada korupsi. Meski UU PTPK tidak
mencantumkan kata-kata "dengan sengaja", dalam tindak pidana korupsi harus tetap
dibuktikan adanya niat jahat untuk memperkaya secara tidak sah. Jika tidak, kelalaian
bahkan kerugian karena keputusan bisnis dalam BUMN akan berujung pada adanya
tindak pidana korupsi. Pada 4 Juli 2011, Kejaksaan Agung kembali memeriksa Hotasi
Nababan. Setelah diperiksa kembali, pada tanggal 16 Agustus 2011 Hotasi Nababan
dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan korupsi yang mengakibatkan
kerugian kepada negara. Direktur Utama PT. MNA (Merpati Nusantara Airlines) didakwa
dengan dakwaan berlapis:24
 dakwaan primair : Pasal 2 ayat (1) Jo.Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
 dakwaan subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagaimana
telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55
ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dengan tuntutan 4 Tahun penjara dan denda Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah)
subsidair 6 bulan kurungan pada sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada

23Prof. Hikmahanto Juwana dalam Kompas 7 Juni 2013


24Hana Pertiwi & Chudry Sitompul, Prinsip business judgment rules terhadap unsur melawan hukum pada tindak
pidana korupsi (studi kasus: putusan 36/ pid .b/tpk/2013/pn.jkt.pst dengan terdakwa hotasi nababan mantan direktur pt
merpati nusantara airlines), Jurnal, Universitas Indonesia, 2013, hal.11

20
tanggal 29 Januari 2013. Direktur PT MNA dianggap bersalah telah menguntungkan diri
sendiri dan orang lain atau korporasi, dalam pengadaan pesawat Boeing 737 seri 400 dan
500. Bagian dari inti delik memperkaya orang lain cukup tidak logis pada perkara ini,
karena latar belakang memperkaya pihak asing tersebut tidak dapat dibuktikan adanya niat
jahat, karena dalam hal ini Terdakwa tidak menerima pemberian dari penerima Security
Deposit kepada terdakwa dan disamping itu kegiatan PT Merpati Nusantara Airlines
untuk menyewa pesawat terbang sudah masuk dalam RKAP, Direksi PT Merpati
Nusantara Airlines tidak memerlukan persetujuan Komisaris dan atau RUPS lagi, karena
Rapat Kerja dan Anggaran Perusahaan telah disahkan oleh RUPS dalam Rapat Umum
Pemegang Saham Tahunan sesuai dengan Anggaran Dasar PT Merpati Nusantara Airlines
dan Pasal 64 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Gagalnya
penyerahan pesawat terbang yang disewakan tersebut belum menimbulkan kerugian
dalam sektor keuangan Negara, karena pihak yang gagal tersebut harus membayar ganti
rugi karena wanprestasi. Putusan Pengadilan Amerika Serikat yang menyatakan TALG
wanprestasi terhadapi PT MNA, tidak menimbulkan kerugian Negara karena uang atau
dana tersebut masih menjadi piutang PT MNA yang sampai saat ini masih dilakukan
penagihan terhadapakelunasan uang tersebut.

Dalam kasus ini Terdakwa Hotasi Nababan telah memenuhi prinsip Business Judgment
Rule, karena Terdakwa tidak memiliki konflik kepentingan dengan TALG dan tidak
mengambil keuntungan dari kegiatan sewa pesawat. Terdakwa juga melaporkan
perkembangan sewa pesawat dan penyelesaiannya kepada jajaran komisaris dan Menteri
BUMN, termasuk gugatan perdata kepada TALG yang dimenangkan PT MNA. Terdakwa
sudah berhat-hati dalam melakukan pembayaran Security Deposit dengan berusaha
melakukan negoisasi untuk membayar secara non cash. Terdakwa juga sudah meminta
kepada Laurence Siburian untuk mengecek kantor TALG dan Hume & Asc. Lebih
daripada itu, dalam kontrak yang ditandatangani dan menjadi dasar pembayaran Security
Deposit, dinyatakan Security Deposit bersifat refundable, akan dikembalikan kepada PT
MNA jika perjanjian sewa menyewa pesawat tidak dapat dilakukan atau batal.

Pada dasarnya, business judgement rule dimaksudkan untuk melindungi direksi


dan karyawan, yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi akibat
keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Pengaturan doktrin
business judgment rule berdasarkan UUPT dapat ditemukan dalam Pasal 97 ayat (5)

21
UUPT yang menyatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara pribadi atas kerugian PT apabila dapat membuktikan:25
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut

Berdasarkan pendapat kami diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut


Umum membuat kesalahan dengan mengangkat kasus Hotasi Nababan yang murni
sengketa perdata menjadi suatu tindak pidana korupsi. Perjanjian perdata yang didasarkan
pada pengambilan keputusan direksi haruslah diselesaikan secara perdata bukan pidana,
karena keputusan direksi yang telah memenuhi prosedur dan kehati-hatian telah
dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule yang tercantum dalam Pasal 97 ayat (5)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apalagi, jika hal yang
dituduhkan kepada direksi itu adalah kerugian yang terjadi suatu transaksi bisnis akibat
kesalahan direksi dapat dimintakan tanggung jawab kepada dirinya.26

25
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
26
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan Yurisprudensi,
Cet.2 (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), Hal. 235

22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal.
Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada Undang- Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga merupakan badan hukum. Badan hukum
merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia.

Keberadaan direksi dalam perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata
lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artifical person tidak
dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person

Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin atau prinsip yang lahir karena
adanya kasus-kasus yang sering menempatkan posisi direktur seolah-olah merupakan
pihak yang selalu dipersalahkan dalam perseroan. Di Indonesia sendiri, terdapat 3 standar
yang digunakan sebagai dasar pembenar suatu keputusan bisnis, yaitu:
1. Keputusan bisnis diambil dengan itikad baik;
2. Direktur bertanggungjawab secara pribadi atas kesalahan yang dilakukan;
3. Direktur dilarang memiliki conflict of interests atau kepentingan pribadi
dalam pengambilan keputusannya.
Diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, doktrin Business Judgement
Rule diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Doktrin Business Judgement Rule termuat dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) serta Pasal 97
ayat (5) menjadi suatu dasar pembatasan direksi dalam menjalankan kewajiban serta
tanggung jawabnya, serta dari pasal-pasal dalam UUPT tersebut dapat diketahui apakah
suatu direksi dapat dilindungi oleh doktrin Business Judgement Rule atau tidak. Tetapi,
dalam penerapannya, masih ditemui persoalan-persoalan serta kendala yang terjadi terkait
prinsip ini. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan dan pemahaman yang lebih terhadap
implementasinya agar tujuan dari doktrin Business Judgement Rule ini dapat tercapai.
Dengan demikian, tindakan yang dilakukan beberapa direksi perseroan yang menjalankan
perusahaan, termasuk melakukan investasi yang dianggap merugikan negara dan
kemudian dituduh melakukan tindak pidana korupsi patut dipertanyakan kebenaran atau
ketepatannya. Apalagi, jika hal yang dituduhkan kepada direksi itu adalah kerugian yang

23
terjadi suatu transaksi bisnis akibat kesalahan direksi dapat dimintakan tanggung jawab
kepada dirinya.

Kerugian yang terjadi pada contoh kasus diatas merupakan perjanjian perdata yang
menjadi sengketa antara BUMN dan pihak ketiga bukan merupakan suatu kerugian
Negara. Hal ini dikarenakan bahwa pengaturan mengenai pengelolaan BUMN
berdasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga apabila terjadi suatu kerugian dalam
BUMN akibat pengambilan keputusan oleh Direksi BUMN terhadap perjanjian perdata
dengan pihak ketiga, tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Pengambilan keputusan direksi yang sesuai prosedur dan prinsip kehati- hatian telah
dilindungi oleh doktrin Business Judgment Rule yang diadopsi pada Pasal 97 ayat (5) UU
Nomor 40 Tahun 2007

4.2 Saran
Diaturnya mengenai Business Judgement Rule dalam UUPT mempunyai tujuan
salah satunya untuk mengurangi rasa takut direktur yang akan mengabil keputusan saat
ada permasalahan perseroan. Namun, untuk terwujudnya tujuan tersebut, maka harus
dilakukan pemahaman dan pendekatan terhadap implementasinya. Selain untuk
mengurangi rasa takut, Business Judgement Rule dapat melindungi pihak direksi yang
beritikad baik dalam suatu permasalahan yang merugikan perseroan, serta dapat meminta
pertanggungjawaban terhadap pihak yang bertanggungjawab atas kerugian.

Untuk saran contoh kasus diatas, Para penegak hukum terutama kejaksaan dan penyidik
agar dapat berhati-hati dalam melakukan penuntutan agar tidak merugikan pihak-pihak
khususnya Direksi Persero atas pengambilan suatu keputusan bisnis pada pengelolaan
persero yang pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggungjawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Jakarta: Djambatan, 1999
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Permata Aksara, 2013
Chatamarrasjid, Menyikapi Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: PT Citra Aditya, 2000
Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgement Rule, Jakarta: Tatanusa, 2008
Munir Fuady, Hukum Bisnis : Dalam Teori dan Praktek: Buku Ketiga, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2002
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan
Yurispridensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009
Robert Prayoko, Doktrin Business Judgement Rule Aplikasinya Dalam Hukum
Perusahaan Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015
Sartika Nanda Lestari, Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi
Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, Semarang: Universitas Diponegoro,
2015
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1984
Website
Dimas Zuliakimsah, Prinsip Business Judgement Rule dan Penerapannya Dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
http://dimarzuliaskimsah.blogspot.com/2011/03/prinsip-business-judgement-rule-
dan.html
Wikipedia, Business Judgement Rule, ,
http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule
Sumber Lain
Hana Pertiwi & Chudry Sitompul, Prinsip business judgment rules terhadap unsur melawan
hukum pada tindak pidana korupsi (studi kasus: putusan 36/ pid .b/tpk/2013/pn.jkt.pst
dengan terdakwa hotasi nababan mantan direktur pt merpati nusantara airlines), Jurnal,
Universitas Indonesia, 2013,
Dokumen Hukum
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................................................2
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................2
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH..........................................................................4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................5
2.1 PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI PERSEROAN TERBATAS.................5
2.2 DASAR HUKUM DAN PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS..........9
2.3 ORGAN PERSEROAN................................................................................13
2.4 ANGGARAN DASAR...................................................................................14

BAB III
PEMBAHASAN...............................................................................................................15
3.1 PENGATURAN BUSINESS JUDGEMENT RULE BERDASARKAN
UUPT.....................................................................................................................15
3.2 PENERAPAN BUSINESS JUDGEMENT DI INDONESIA UNTUK
PERLINDUNGAN KEPADA DIREKSI DAN CONTOH KASUS MASALAH
PERLINDUNGAN DIREKSI DENGAN PENERAPAN BUSINESS
JUDGMENT RULES?.........................................................................................17

BAB IV
PENUTUP..........................................................................................................................23
4.1 KESIMPULAN...............................................................................................23
4.2 SARAN.............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................25

26
27

Anda mungkin juga menyukai