Anda di halaman 1dari 13

NAMA : Cindy Merni Maulidina

NIM : 2000012105
KELAS : B Akuntansi
MATKUL : Hukum Bisnis Pengantar

Hukum Bisnis Modal


A. Perseroan Terbatas
Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi dalam persyaratan yang ditetapkan dalam Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas ini serta pelaksanaannya.
Dari batasan yang diberikan tersebut di atas ada 5 (lima) hal pokok yang dapat kita kemukakan
disini:
a. Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum;
b. Didirikan berdasarkan perjanjian;
c. Menjalankan usaha tertentu;
d. Memiliki modal yang terbagi dalam saham - saham, dan;
e. Memenuhi persyaratan Undang -Undang.
Pengertian Perseroan Terbatas Menurut Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas Menurut Pasal 1 ayat (1). Konsep perseroan terbatas dirumuskan dalam Pasal 1
ayat(1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang memberikan pengertian bahwa
perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang - undang ini serta
peraturan pelaksanaannya. Istilah “perseroan” menunjuk pada cara menentukan modal, yaitu terbagai
dalam saham, sedangkan istilah “terbatas” menunjuk pada batas tanggung jawab pemegang saham, yaitu
hanya sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Sebagai badan hukum, perseroan harus memiliki
maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan yang dicantumkan dalam anggaran dasar. Perseroan harus
mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UU
No. 40 Tahun 2007. Perseroan yang tidak mencantumkan dengan jelas dan tegas apa maksud dan tujuan
serta kegiatan usahanya, dianggap “cacat hukum” (legal defect), sehingga keberadaannya “tidak valid”
(invalidate). Perseroan sebagai badan hukum, bermakna bahwa perseroan merupakanlah suatu subjek
hukum, dimana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya
manusia. Subjek hukum adalah sesuatu yang dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum atau
melakukan tindakan perdata atau membuat suatu perikatan.
Subjek hukum yang dikenal oleh para ahli hukum ada dua macam, yaitu:
a. Orang pribadi (Belanda: naturlijk person atau Inggris: natural person);
b. Badan hukum (Belanda: rechtpersoon atau Inggris: legal entity).
Unsur utama dari badan hukum adalah apa yang disebut “separate patrimony”, yaitu memiliki
harta sendiri yang terpisah dari pemegang saham sebagai pemilik. Karakteristik kedua dari badan hukum
adalah tanggung jawab terbatas dari pemegang saham sebagai pemilik perusahaan dan pengurus
perusahaan.
Ciri-Ciri Perseroan Terbatas
Karakteritik suatu badan usaha dapat digunakan untuk melakukan analisis apakah badan usaha
tersebut termasuk PT atau tidak. Mengacu pada pengertian CV di atas, berikut ini adalah ciri-ciri
perseroan terbatas:
 Pendirian PT bertujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented).
 Perseroan Terbatas memiliki fungsi ekonomi dan fungsi komersial.
 Modal Perseroan Terbatas berasal dari saham-saham dan obligasi.
 Perseroan Terbatas tidak mendapatkan fasilitas dari negara.
 Kekuasaan tertinggi pada Perseroan Terbatas ditentukan melalui Rapat Umum Pemegam Saham
(RUPS).
 Pemilik saham memiliki tanggungjawab terhadap perusahaan sebesar modal yang disetorkannya.
 Keuntungan yang didapatkan oleh pemilik saham adalah dalam bentuk deviden (pembagian hasil).
 Perusahaan dipimpin oleh direksi.

Jenis-Jenis Perseroan Terbatas (PT)


Dalam praktiknya, jenis Perseroan Terbatas (PT) terdiri dari:
1. Dilihat dari segi kepemilikannya, antara lain:
a. Perseroan Terbatas Biasa, yaitu merupakan PT dimana para pendiri, pemegang saham, dan
pengurusnya adalah warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (dalam pengertian tidak ada
modal asing).
b. Perseroan Terbatas Terbuka, yaitu merupakan PT yang didirikan dalam rangka penanaman modal dan
dimungkinkan warga negara asing dan/atau badan hukum asing menjadi pendiri, pemegang saham,
dan/atau pengurusnya dari PT tersebut.
c. Perseroan Terbatas PERSERO, yaitu merupakan PT yang dimiliki oleh pemerintah melalui Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Perseroan Terbatas ini sebagian besar pengaturannya tunduk pada
ketentuan tantang Badan Usaha Milik Negara. Biasanya perusahaan jenis ini kata persero ditulis di
belakang nama Perseroan Terbatas tersebut. Contohnya PT Telkom (Persero).
2. Dilihat dari segi status Perseroan Terbatas dibagi dalam:
a. Perseroan Tertutup, yaitu merupakan Perseroan Terbatas yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau perseroan dan tidak melakukan penawaran umum.
b. Perseroan Terbuka, yaitu merupakan perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan
perundang- undangan di bidang pasar modal. Pemberian nama PT jenis ini biasanya disertai dengan
singkatan “Tbk” di belakang nama PT tersebut. Contoh PT. Astra Agro Lestari Tbk yang merupakan
induk perusahaan dari PT. Sari Lembah Subur Kabupaten Pelalawan (tempat penelitian ini).
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Perseroan Terbatas memiliki modal tertentu yang
dipersyaratkan. Artinya, besarnya modal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam praktiknya modal
Perseroan Terbatas terdiri dari:
1. Modal Dasar (Authorized Capital)
Merupakan modal yang pertama kalidan tertera dalam akta notaris pada saat PT tersebut
didirikan. Misalnya, PT. Astra Agro Lestari Tbk, didirikan dengan modal dasar Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah) yang tentunya dalam bentuk saham.
2. Modal Ditempatkan atau Dikeluarkan (Issued Capital)
Merupakan modal yang telah ditempatkan atau dikeluarkan para pemegang saham. Besarnya
modal ditempatkan minimal 25% dari modal dasar. Dari contoh di atas modal ditempatkan adalah
sejumlah Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang diperoleh dari 25% dikalikan modal
dasar (Rp. 1.000.000.000,-).
3. Modal Setor (Paid-up Capital)
Merupakan modal yang harus sudah disetor oleh pemegang saham yang jumlahnya sebesar 50%
dari modal ditempatkan. Dari contoh di atas besarnya modal setor adalah Rp. 125.000.000,- (seratus dua
puluh lima juta rupiah) yang diperoleh dari 50% dikalikan modal ditempatkan (Rp.250.000.000,-).
Persyaratan untuk mendirikan Perseroan Terbatas adalah harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan melalui prosedur yang berlaku Tata cara mendirikan Perseroan Terbatas dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pendirian tersebut adalah sebagai berikut:
1. PT didirikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang
2. Pendirian PT dituangkan dalam Akta Notaris
3. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia
4. Mencantumkan perkataan “PT” dalam Akta Notaris
5. Disahkan oleh Menteri Kehakiman
6. Didaftarkan berdasarkan Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan
7. Diumumkan dalam Berita Negara
8. Memiliki modal dasar sekurang-kuranngnya Rp. 20.000.000,- 9dua puluh juta rupiah)
9. Modal ditempatkan sekurang-kurangnya 25% dari modal dasar
10. Menyetor Modal Setor 50% dari modal ditempatkan pada saat perusahaan didirikan.
Demikian pula bagi Perseroan Terbatas yang mengalami perubahan dipersyaratkan untuk:
1. Mencantumkan nama, maksud, dan tujuan kegiatan perseroan
2. Perpanjangan jangka waktu perseroan
3. Peningkatan atau penurunan modal
4. Perubahan status perseroan terbatas dari tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya.
Kelebihan dan Kekurangan Perseroan Terbatas (PT)
Semua jenis badan usaha pasti memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Berdasarkan
pengertian CV di atas, berikut ini adalah beberapa kelebihan dan kekurangan Perseroan Terbatas:
1. Kelebihan Perseroan Terbatas
 Perseroan Terbatas merupakan badan hukum sehingga kelangsungan hidupnya terjamin, meskipun
terjadi pergantian pemilik.
 Para pemilik saham hanya bertanggungjawab sebesar modal yang ditanamkan.
 Pemindahan saham dari satu pemilik saham kepada pemegang saham lainnya dapat dilakukan dengan
mudah.
 Perseroan Terbatas dapat memperluas usahanya dengan mudah karena kemudahan dalam mendapatkan
tambahan modal.
 Sumber-sumber modal Perseroan Terbatas dikelola oleh para spesialis sehingga penggunaannya lebih
efektif dan efisien.
2. Kekurangan Perseroan Terbatas
 Pendirian Perseroan Terbatas membutuhkan biaya yang cukup besar.
 Proses pendirian Perseroan Terbatas cenderung lebih sulit dibandingkan jenis badan usaha lainnya.
 Sebagian pemegang saham sering menganggap perusahaan Perseroan Terbatas merahasiakan
keuntungan yang didapatkan.
 Perseroan Terbatas dikenakan pajak karena merupakan salah satu subjek pakak.

B. Organ perseroan
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”),
Perseroan Terbatas memiliki 3 (tiga) organ penting , yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Direksi dan Dewan Komisaris. Ketiga organ ini mempunyai fungsi dan kewenangannya masing-masing,
berikut penjabarannya:
1. RUPS
RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang memiliki kewenangan eksklusif yang tidak
diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. Menurut Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS adalah organ
perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam
batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. RUPS mempunyai
kewenangan untuk Mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam UU PT.
Mengubah anggaran dasar sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam UU PT. Menyetujui
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan pailit, perpanjangan
jangka waktu berdirinya dan pembubaran Perseroan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU PT.
2. Direksi
Direksi mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan perseroan sesuai dengan tujuan
dan maksud di dirikannya perseroan. Direksi yang diangkat oleh perusahaan tidak harus memiliki
kewarganegaraan Indonesia tetapi juga dapat memiliki kewarganegaraan asing. UU PT sendiri tidak
mengatur mengenai ketentuan warga negara apa yang dapat menduduki jabatan direktur. Namun, dalam
Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Tenaga kerja
asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu”, sehingga
dapat diartikan jika tenaga kerja asing boleh menjadi direktur suatu perusahaan kecuali untuk jabatan
yang mengurusi atau berhubungan secara langsung dengan kepegawaian atau personalia seperti Direktur
HRD.
Direksi mempunyai kewenangan untuk menjalan pengurusan perusahaan dengan kebijakan yang
dipandang tepat dan dengan batas yang ditentukan oleh Undang-Undang dan/atau anggaran dasar. Selain
itu, direksi mempunyai kewajiban untuk :
a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat direksi
b. Membuat laporan tahunan untuk disampaikan kepada RUPS.
c. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan Perseroan diatas dan dokumen Perseroan
lainnya.
3. Komisaris
Komisaris mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pengursan, jalannya
pengurusan pada umumnya kepada Perseroan ataupun usaha Perseroan kepada Direksi. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 108 UU PT. Komisaris yang melakukan pengawasan mempunyai beban tanggung
jawab yang sama dengan Direksi. Kewajiban mengenai tugas komisaris terdapat dalam Pasal 116 UU PT
membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya melaporkan kepada Perseroan
mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan dan Perseroan lain memberikan
laporan tentang tugas pengawsan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada
RUPS. Dampak apabila salah satu organ ini tidak ada maka PT tidak dapat di dirikan atau harus terjadi
perubahan anggaran dasar dikarenakan dalam UU PT telah disebutkan bahwa organ perseroan adalah
RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris.

C. Merger (Penggabungan Perseroan)


Pegabungan perseroan (merger) dilakukan setidaknya oleh dua perusahaan, terdiri dari perseroan
yang akan menggabungkan diri dan peseroan yang akan menerima penggabungan. Nantinya pemegang
saham perseroan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri menjadi pemegang saham
perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
UU No. 40 tahun 2007 dalam Pasal 1 angka 9 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mendefiniskan
bahwa penggabungan perseroan (merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva
dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
Proses pelaksanaan penggabungan (merger) Perseroan Terbatas (PT) harus dilakukan secara
matang dan terukur dengan memperhitungkan kepentingan pihak-pihak yang akan mengalami
dampaknya. Undang-undang dan peraturan dibawahnya menentukan batasan-batasan langkah demi
langkah yang harus dipatuhi oleh perseroan dimaksud, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Salah
satu hal yang perlu diwaspadai ketika akan melangsungkan merger adalah larangan akan timbulnya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian adanya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dapat ditentukan jika ada perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang
dan atau penyalahgunaan posisi dominan. Kewenangan melakukan pengawasan dan monitoringnya
dipegang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Oleh karenanya perseroan diwajibkan untuk
memebritahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal telah
berlakunya efektif secara yuridis merger dimaksud, hal ini sesuai dengan perintah yang tertuang di dalam
Pasal 5 ayat (1) PP No. 57 tahun 2010.
Perseroan yang menerima penggabungan dan yang akan menggabungkan diri sejak awal harus
mengantisipasi agar tidak terjadi, sehingga merger tidak merugikan salah satu perseroan. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah kepentingan perseroan itu sendiri, pemegang saham minoritas, karyawan,
kreditor dan masyarakat, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 4 ayat (1) PP No. 27 tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan Dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yang isinya menyatakan:
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan:
1. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan yang bersangkutan;
2. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Langkah pertama merger, sesuai Pasal 123 ayat (1) dan (2) Direksi dari setiap perusahaan yang
akan melakukan merger menyusun rancangan penggabungan secara detail sekurang-kurangnya memuat
point-point berikut ini:
a. Nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
b. Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan
Penggabungan;
c. Tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan
yang menerima Penggabungan;
d. Rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
e. Laporan keuangan sebagaimana yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang
akan melakukan Penggabungan;
f. Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan;
g. Neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia;
h. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan
Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
i. Cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
k. Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota
Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
l. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m. Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan;
n. Kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama
tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan
Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
p. Rancangan penggabungan tersebut diajukan kepada Dewan Komisaris untuk dimintakan
persetujuannya. Dasar persetujuan itu lalu direksi mengajukan rancangan penggabungan itu kepada RUPS
untuk meminta persetujuan kembali, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 123 ayat (3) UUPT yang
menyatakan; Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat
persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk
mendapat persetujuan.
Dalam pelaksanaan RUPS dengan agenda memberikan persetujuan merger, digelar dengan syarat
kuorum sebesar ¾ dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS tersebut sesuai amanat Pasal 89 ayat
(1) UUPT dan mematuhi prosedur-prosedur lainnya. Rancangan tersebut menjadi acuan atau kompas
pemandu dalam proses merger karena prosesnya akan lebih efektif dan efesien. Penyusunan rancangan
tersebut juga harus melalui kajian dan analisis, dengan memperhatikan aspek ekonomis, sosial dan aspek
yuridis. Sehingga perseroan akan terhindar dari kerugian secara ekonomis dan potensi terjadinya sengketa
hukum. Disamping mengkalkulasikan aspek ekonomis yang menitikberatkan untung rugi perseroan,
aspek legalitas harus mendapatkan perhatian serius karena sengketa hukum dapat menghabiskan energi
dan materi yang pada konsekwensinya dapat menimbulkan kerugian yang tidak kecil.
Sebelum digelarnya RUPS dengan agenda memutuskan persetujuan penggabungan perseroan,
terlebih dahulu direksi mengumumkan ringkasan rancangan penggabungan sebagaimana diamanatkan
Pasal 127 ayat (2) UUPT. Bagi pihak-pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas penggabungan
itu maka dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan. Jika tidak ada pihak-pihak yang merasa
keberatan khsusnya kreditor maka direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham untuk digelar
RUPS dengan agenda memberikan persetujuan penggabungan perseroan. Pelaksanaan dan pengambilan
keputusan dalam RUPS harus memenuhi syarat kourum yang telah dijelaskan di atas. RUPS yang tidak
memenuhi kourum harus ditunda dan dilakukan pemanggilan kembali, jika tetap tidak memenuhi kourum
maka direksi permohonan kepada Pengadilan Negeri agar ditetapkan kuorum RUPS ketiga sesuai dengan
ketentuan Pasal 86 ayat (5) UUPT. Keputusan RUPS dengan hasil menerbitkan keputusan menyetujui
dilakukannya penggabungan perseroan maka dibuat Akta Penggabungan di hadapan Notaris.
Jika dalam penggabungan perseroan mengakibatkan adanya perubahan Anggaran Dasar (AD)
perseroan maka langkah selanjutnya meminta persetujuan dari Menteri, namun jika tidak ada perubahan
AD maka cukup mengirim pemberitahuan kepada Menteri. Hasil dari penggabungan, Direksi membuat
pengumuman di 1 (satu) surat kabar atau lebih. Pengumuman dimaksud selambat-lambatnya dilakukan 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan, sesuai amant Pasal 133 ayat (1)
UUPT.

D. Akuisisi (Pengambialihan)
Pasal (1) angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UUPT), mengatur mengenai definisi pengambilalihan yaitu sebagai berikut :
“Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum atau orang
perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
Perseroan tersebut”.
Adapun Pengambilalihan yang dimaksud Pasal (1) angka 11 UUPT, dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu melalui Direksi Perseroan atau dari pemegang saham langsung. Dengan demikian, masing-
masing diatur prosedur hukum yang berbeda di dalam UUPT. Kemudian, dalam hal sebuah proses
pengambilalihan saham suatu Perseroan ada yang dapat mengakibatkan perubahan pengendalian maupun
tidak menimbulkan perubahan pengendalian dalam Perseroan tersebut.
Pengambilalihan yang Mengakibatkan Perubahan Pengendalian
A. Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan
Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan
saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau
langsung dari pemegang saham. Dimana yang dapat melakukan Pengambilalihan dapat berupa badan
hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud Pasal 125 ayat (1) adalah
Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan nantinya seperti yang
dimaksud dalam Pasal 7 angka 11 UUPT. Berikut ini adalah proses Pengambilalihan melalui Direksi
Perseroan:
1. Keputusan RUPS
Pasal 125 ayat (4) UUPT diatur mengenai pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum
berbentuk Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan
RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 UUPT yaitu paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran
dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan RUPS yang lebih besar.
2. Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan
Menurut Pasal 125 ayat (5) UUPT, dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, pihak
yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi
Perseroan yang akan diambil alih.
3. Penyusunan Rancangan Pengambilalihan
Menurut Pasal 125 ayat (6) UUPT Direksi Perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan
komisaris masing-masing Perseroan menyusun rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-
kurangnya hal-hal sebagai berikut :
a. Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan diambilalih dan perseroan yang akan
mengambilalih.
b. Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambilalih dan Direksi Perseroan yang akan
diambilalih.
c. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT untuk tahun buku terakhir
dari Perseroan yang akan mengambilalih dan Perseroan yang akan diambilalih.
d. Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan yang akan diambilalih terhadap saham
penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dengan saham.
e. Jumlah saham yang akan diambilalih.
f. Kesiapan pendanaan.
g. Neraca konsolidasi performa Perseroan yang akan mengambilalih setelah pengambilalihan yang
disusun sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di Indonesia.
h. Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan
i. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan Perseoran yang
diambilalih.
j. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa
pengalihan saham dari Pemegang Saham kepada Direksi Perseroan.
k. Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil pengambilalihan jika ada.
4. Pengumuman Ringkasan Rancangan
Selanjutnya, Direksi Perseroan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1
(satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan
melakukan Pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan
RUPS (Pasal 127 ayat (2) UUPT). Pengumuman sebagaimana dimaksud tersebut memuat juga
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Pengambilalihan di
kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.
5. Pengajuan Keberatan Kreditor
Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari setelah pengumuman mengenai Pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut.
Apabila dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui
Pengambilalihan tersebut. Dalam hal keberatan kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS
tidak dapat diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat
penyelesaian. Selama masa penyelesaian belum tercapai, Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.
6. Pembuatan Akta Pengambilalihan dihadapan Notaris
Menurut Pasal 128 ayat (1) menyatakan, Rancangan Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS
dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
7. Pemberitahuan kepada Menteri
Kemudian, salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian
pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (3) UUPT. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan Pasal 30 UUPT mengenai
Daftar Perseroan dan Pengumuman berlaku juga bagi Pengambilalihan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pengambilalihan Perseroan diatur dengan peraturan Pemerintah.
8. Pengumuman Hasil Pengambilalihan
Menurut Pasal 133 ayat (2) UUPT, Direksi Perseroan yang sahamnya diambilalih wajib
mengumumkan hasil Pengambilalihan tersebut dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya Penggambilalihan tersebut.
B. Proses Pengambilalihan Secara Langsung dari Pemegang Saham
Sebelumnya telah dibahas mengenai proses Pengambilalihan saham perusahaan melalui Direksi
Perseroan. Berikut ini adalah proses Pengambilan saham secara langsung dari Pemegang Saham dimana
prosedurnya dilakukan lebih sederhana.
1. Perundingan dan Kesepakatan
Cara pengambilalihan saham yang dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui
pemengang saham langsung dilakukan melalui perundingan dan kesepakatan oleh para pihak yang akan
mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar Perseroan yang
diambilalih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan
Pihak lain (Pasal 125 ayat (6) dan (7) UUPT). Jika Pengambilalihan tersebut dilakukan oleh badan hukum
berbentuk Perseroan, sebelumnya Direksi harus mendapat persetujuan RUPS dahulu sebelum melakukan
perundingan dan kesepakatan pembelian saham yang langsung dari pemegang saham.
2. Pengumuman Rencana Kesepakatan
Tahap selanjutnya, walaupun Pengambilalihan saham tersebut langsung melalui pemegang saham
dan tidak menyusun rancangan Pengambilalihan dahulu namun tetap harus mengumumkan rencana
kesepakatan pengambilalihan dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada
karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Pengambialihan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Hal ini dilakukan berdasarkan Pasal 127 ayat (8) UUPT
dimana ketentuan tersebut berlaku mutatis mutandis berlaku bagi pengumuman dalam rangka
Pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham dalam Perseroan.
3. Pengajuan Keberatan Kreditor
Dengan demikian Pasal 127 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) UUPT juga berlaku. Dalam hal Kreditor
yang ingin mengajukan keberatan kepada Perseroan dapat mengajukan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari setelah pengumuman, namun jika dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak
mengajukan keberatan maka kreditor dianggap menyetujui Pengambilalihan. Dalam hal keberatan
kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi, keberatan
tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Selama penyelesaian tersebut
belum tercapai Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.
4. Pembuatan Akta Pengambilalihan dihadapan Notaris
Kemudian, menurut Pasal 128 ayat (2) UUPT, akta pengambilan saham yang dilakukan langsung
dari pemegang saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena
Pengambilalihan dilakukan secara langsung dari pemegang saham, Pasal 131 ayat (2) UUPT
menyebutnya akta pemindahan hak atas saham.
5. Pemberitahuan kepada Menteri
Menurut Pasal 131 ayat (2) UUPT, Salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan
pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham.

6. Pengumuman Hasil Pengambilalihan


Pada tahap terakhir berdasarkan Pasal 133 ayat (2) UUPT, Direksi Perseroan yang sahamnya
diambil alih wajib mengumumkan hasil Pengambilalihan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih,
kewajiban untuk mengumumkan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal berlakunya Pengambilalihan.
Pengendalian yang Tidak Mengakibatkan Perubahan Pengendalian Perseroan Terbatas
Definisi Pengambilalihan yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 UUPT adalah Pengambilalihan
yang mengakibatkan perubahan Pengendalian atas suatu Perseroan Terbatas. Namun, dalam hal
pengambilalihan saham Perseroan yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian terdapat syarat
dimana jumlah saham yang diambilalih yaitu tidak melebihi 50% saham Perseroan.
Pengambilalihan yang dimaksud disini tidak dapat menyebabkan perubahan pengendalian sesuai
definisi Pengambilaihan pada Pasal 1 angka 11 UUPT karena pengambilaihan saham ini hanya
merupakan pemindahan hak atas saham sesuai yang diatur dalam Pasal 56 UUPT. Dengan demikian,
prosedur hukum suatu pengambilalihan saham yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian di
dalam Perseroan ini, terdapat prosedur-prosedur yang tidak perlu dilakukan yaitu:
a. Prosedur keputusan RUPS (Pasal 125 ayat (4) UUPT), tanpa mengenyampingkan ketentuan Anggaran
Dasar Perseroan yang bersangkutan.
b. Prosedur penyusunan rancangan pengambilalihan (Pasal 125 ayat (6) UUPT).
c. Prosedur pengumuman ringkasan rancangan pengambilalihan dalam 1 (satu) surat kabar (Pasal 127
ayat (2) UUPT).
d. Prosedur pembuatan akta pengambilaihan dihadapan notaris (Pasal 128 UUPT)
e. Prosedur pengumuman pengambilalihan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih (Pasal 133 UUPT).

E. Likuidasi
Pada Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU
PT), pembubaran Perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator
yang ditentukan oleh RUPS.
Adapun prosedur likuidasi perusahaan yang diatur dalam Pasal 147-152 UU PT, sebagai berikut:
Pemberitahuan Pembubaran Perseroan Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan kepada semua kreditor
mengenai pembubaran Perseroan. Pengumuman pembubaran perseroan dilakukan dengan cara
diumumkan dalam surat kabar dan Berita Republik Indonesia, yang memuat (Pasal 147 ayat (2) UU PT):
Pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya Nama dan alamat likuidator Tata cara pengajuan tagihan
Jangka waktu pengajuan tagihan 60 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan.
Selain diumumkan dalam surat kabar, likuidator juga wajib memberitahukan pembubaran
Perseroan kepada Menteri. Hal itu dilakukan untuk mencatatkan Perseroan ke dalam daftar Perseroan
bahwa sedang dalam likuidasi. Pemberitahuan pembubaran perseroan kepada Menteri harus dilengkapi
dengan bukti (Pasal 147 ayat (4) UU PT): dasar hukum pembubaran Perseroan pemberitahuan kepada
kreditor dalam surat kabar Jika likuidator belum memberitahukan kepada kreditor dan Menteri, maka
pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
likuidator yang lalai melakukan pemberitahuan, maka likuidator secara tanggung renteng dengan
perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 148 UU PT). Pembagian
Kekayaan Menurut Pasal 149 ayat (1) UU PT, Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta
kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan: Pencatatan dan pengumpulan kekayaan
dan utang Perseroan Pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai
rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi Pembayaran kepada para kreditor Pembayaran sisa kekayaan
hasil likuidasi kepada pemegang saham Tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan
pemberesan kekayaan. Kemudian jika likuidator memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar
daripada kekayaan perseroan, maka likuidator wajib mengajukan pailit terhadap perseroan tersebut,
kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain dan dan semua kreditor yang diketahui identitas
dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan (Pasal 149 ayat (2) UU PT).
Pengajuan Keberatan Di tahap ini yang mengajukan keberatan dilakukan oleh kreditor (Pasal 149
ayat (3) UU PT). Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.
Pengajuan keberatan dilakukan paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal pengumuman dalam surat
kabar dan BNRI. Jika pengajuan keberatan tersebut mengalami penolakan oleh likuidator, maka kreditor
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Pengajuan gugatan dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 60 hari, dihitung sejak tanggal penolakan (Pasal 149 ayat (4) UU PT). Kreditor yang
mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman pembubaran Perseroan dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
penolakan. Sebaliknya, apabila kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui
pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan
(Pasal 150 ayat (1) dan (2) UU PT).
Menurut Pasal 150 ayat (3) UU PT, tagihan yang diajukan kreditor dapat dilakukan dalam hal
terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham. Dalam hal sisa
kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor,
pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa kekayaan hasil likuidasi yang
telah dibagikan kepada pemegang saham (Pasal 150 ayat (4) UU PT). Pemegang saham wajib
mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap
jumlah tagihan (Pasal 150 ayat (5) UU PT).
Jika likuidator tidak melaksanakan kewajibannya, atas permohonan pihak yang memiliki
kepentingan, atau atas permohonan kejaksaan, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru.
Selain mengangkat likuidator baru, ketua pengadilan negeri juga dapat memberhentikan likuidator yang
sebelumnya. Sebelum diberhentikan likuidator akan dipanggil untuk didengar keteranganya terlebih
dahulu. Pengumuman Hasil Likuidasi Perusahaan Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau
pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi Perseroan yang dilakukan (Pasal 152 ayat (1) UU PT).
Setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan
menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya, likuidator wajib memberitahukan kepada
Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar (Pasal 152 ayat (3) UU PT).
Hal ini berlaku juga bagi kurator untuk bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi
Perseroan yang dilakukan dan yang pertanggungjawabannya telah diterima oleh hakim pengawas (Pasal
152 ayat (2) jo. Pasal 152 ayat (4) UU PT). Kemudian, Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum
Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan dan mengumumkan berakhirnya status
badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia (Pasal 152 ayat (5) jo. Pasal 152 ayat
(8) UU PT).

Anda mungkin juga menyukai