Accountibility (Akuntabilitas)
Kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Organ
Perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif.
Responsibility (Tanggung Jawab)
Kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat
Independence (Kemandirian)
Keadaan perusahaan yang dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat
Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak Pemangku
Kepentingan (Stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
▪ Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
▪ Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
▪ Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(“UUPT”)
▪ Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
▪ Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU 28/1999”)
▪ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. (“UU TIPIKOR”)
KETENTUAN-KETENUAN POKOK YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
▪ Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada
Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) Dan
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara
▪ Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara
(“PP 45 / 2005”)
▪ Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri BUMN PER-09/MBU/2012 Tentang Penerapan
GCG pada BUMN
▪ Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate Governance) –
PT Pertamina (Persero) Tahun 2017
▪ Anggaran Dasar PT Pertamina (Persero) dan Anak Perusahaan
PEDOMAN PELAKSANAAN TATA KELOLA PERUSAHAAN
PT PERTAMINA (PERSERO) DAN ANAK PERUSAHAAN (“COCG”)
Sebagaimana tertuang pada CoCG PT Pertamina (Persero) yang
mengatur :
▪ Dasar-Dasar Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan (Latar Belakang,
Definisi, Prinsip GCG, Visi Misi & Tata Nilai Perusahaan, Tujuan
dan Acuan)
▪ Struktur Good Corporate Governance (Organ Perusahaan, Organ
Pendukung Dewan Komisaris, Corporate Secretary dan
Pengawasan Internal)
▪ Proses Good Corporate Governance
▪ Pengelolaan Anak Perusahaan
▪ Pengelolaan Hubungan Dengan Stakeholders
TUJUAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
1. Memaksimalkan nilai Perusahaan dengan cara meningkatkan
penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran dalam pelaksanaan
kegiatan Perusahaan;
2. Terlaksananya pengelolaan Perusahaan secara profesional dan
mandiri;
3. Terciptanya pengambilan keputusan oleh seluruh Organ Perusahaan
yang didasarkan pada nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Terlaksananya tanggung jawab sosial Perusahaan terhadap
Stakeholders; dan
5. Meningkatkan iklim investasi nasional yang kondusif
MANAJEMEN BUMN HARUS TUNDUK TERHADAP UU 28/1999
Berdasarkan Pasal 2 angka 7 menjelaskan yang dimaksud dengan
Penyelenggara Negara adalah Pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
▪ Pasal 27 PP 45 / 2005
1. Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha BUMN.
2. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
• Lebih lanjut Tugas dan Wewenang Direksi diatur di Anggaran
Dasar BUMN (Pasal 30 PP 45 / 2005)
TUGAS DAN WEWENANG KOMISARIS
Apabila Direksi telah memenuhi kelima unsur diatas dan telah melaporkan
kepada pemegang saham lewat RUPS maka Direksi berhak mendapatkan
acquit et de chargea (Pemberian pembebasan tanggung jawab hukum)
BUSINESS JUDGMENT RULE bagi Komisaris
Pasal 114 ayat (5) UUPT) :
1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-
hatian
2. Tidak ada conflict of interest
3. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah
timbul/ eskalasi kerugian
KEY POINTS PEMAHAMAN BJR SEBAGAI BUAH DARI
FIDUCIARY DUTY
Dapat disimpulkan, karena Pasal 11 UU BUMN menegaskan bahwa
terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas, oleh karena itu
doktrin fiduciary duty dan business judgment rule yang telah
diserap dalam UU PT juga berlaku di BUMN yang berbentuk
perseroan. Doktrin tersebut kemudian yang seharusnya digunakan
menjadi parameter untuk melindungi ataupun menyalahkan dan
kemudian meminta pertanggungjawaban kepada direksi dalam
setiap keputusan yang diambil oleh direksi suatu korporasi yang
dalam hal ini BUMN.
KEY POINTS PEMAHAMAN BJR SEBAGAI BUAH DARI
FIDUCIARY DUTY
Peraturan perundang-undangan Indonesia memiliki inkonsistensi
dalam memaknai konsep kekayaan negara yang dipisahkan dalam
BUMN. Pada pandangan pertama, penyertaan modal negara ke
BUMN akan tetap menjadi kekayaan negara, bukan menjadi modal
BUMN sepenuhnya. Sehingga, norma pemeriksaan pada BUMN
dilakukan berdasarkan sistem APBN dan norma pemeriksaan
keuangan instansi pemerintahan. Sedangkan, pandangan kedua
berpedoman bahwa kekayaan negara yang dipisahkan setelah
diberikan ke BUMN tidak akan lagi menjadi kekayaan negara.
Sehingga, norma pemeriksaan keuangan BUMN menggunakan
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
BJR DALAM TATARAN IMPLEMENTASI
Agar BJR dapat diaplikasikan maka perlu disusun Kode Etik BJR untuk
dijadikan patokan/ pedoman ketika suatu pengambilan keputusan/
kebijakan oleh manajemen. Kode Etik BJR diharapkan bukan hanya
mengatur mengenai keputusan yang akan diambil dengan itikad baik
namun memastikan pengambilan keputusan tanpa ada Niat Jahat
(mens rea) dan Perbuatan Jahat (actus reus)
MENS REA & ACTUS REUS
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana, mencakup unsur-
unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur
subyektif suatu tindak pidana/ kedaan psikis pembuat.
Dalam praktek peradilan pidana di persidangan Mens Rea ini menjadi
unsur dengan sengaja (willen/dikehendaki and wetten/diinsafi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU TIPIKOR
Berbeda dengan Mens Rea, Actus Reus merupakan niat jahat yang
diwujudkan dalam bentuk tindakan yang melawan hukum (unlawful act)
Mens Rea akan terlihat dari tindakan Pelaku
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 2 (dua) Perbuatan Melawan Hukum :
1. Perbuatan Melawan Hukum Formal (Formale Wederrechtelijkheid) yang
artinya Perbuatan Melawan Hukum Formil (bertentangan dengan
Undang-Undang)
2. Perbuatan Melawan Hukum Materil (Materiele Wederrechtelijkheid)
yang artinya Perbuatan Melawan Hukum bertentangan dengan azas-
azas kepatutan
PERBEDAAN PANDANGAN PMH MATERIL
Yang sering terjadi perdebatan dalam bidang hukum Pidana adalah terkait
PMH Materil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif :
1. Fungsi Negatif : meski secara nyata bertentangan dengan Undang-
Undang namun apabila perbuatan melawan hukum atas undang-undang
tersebut
a. Negara tidak dirugikan
b. Kepentingan umum dilayani
c. Terdakwa tidak mendapatkan untung
Maka sifat melawan hukumnya menjadi hilang
Contoh : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
42K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 (Terdakwa Machroes Effendi
dibebaskan dari Perbuatan Korupsi)
PERBEDAAN PANDANGAN PMH MATERIL
2. Fungsi Positif : meski perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan
undang-undang namun bertentangan dengan azas-azas kepatutan si
Pelaku dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam
fungsi positif
Contoh : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
275K/Pid/1983 tanggal 28 Desember 1983 (Terdakwa Raden Sonson
Natalegawa dinyatakan terbukti melakuka tindak pidana Korupsi)
HAMBATAN ATAS IMPLEMENTASI BJR
Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan BJR, pertama bahwa
BJR belum diatur secara tegas dan rinci sebagai azas perlindungan
hukum. Kedua, akibat BJR yang tidak tegas dituangkan dalam Undang-
Undang, Aparat Penegak Hukum sering menafikan dan berpendapat
bahwa BJR hanya sebagai alasan pembelaan diri. (karena perbedaan
pemahaman dan pendekatan) oleh Aparat Penegak Hukum
MISKONSEPSI ATAS KERUGIAN BUMN
Prinsip di atas dikenal dengan istilah Piercing the Corporate Veil (meyingkap tabir
perseroan)
TERKAIT ISU BESARAN TANGGUNG JAWAB PEMEGANG SAHAM
DALAM HOLDING, SUB HOLDING DAN SUBSIDIARY
Berdasarkan penjelasan di halaman sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa meskipun dalam UUPT dikenal prinsip pemisahan tanggung
jawab (liability separation) namun tidak menutup kemungkinan bahwa
Pemegang Saham (Holding dan/atau Sub Holding) dapat dimintakan
pertanggungjawaban melebihi besaran saham yang mereka miliki
apabila terbukti melanggar Pasal 3 ayat (2) UUPT
KESIMPULAN DAN PENUTUP