Anda di halaman 1dari 48

POHON FIDUCIARY DUTY BERBUAH

BUSINESS JUDGMENT RULE


DR. JASMAN, M. PANJAITAN, SH.,MH.
Bandung, 13 April 2022
Pengertian Fiduciary Duty
Menurut Black’s Law Dictionary Fiduciary Duty diartikan
sebagai “a duty to act with the highest degree of honesty
and loyalty toward another person and in the best interests
of the other person (such as duty that one partner owes to
another)”.
Kewajiban untuk berlaku jujur dan loyal terhadap orang lain
dan untuk kepentingan orang tersebut
(sebagaimana tanggung jawab seorang partner kepada
orang lain)
Pengertian Fiduciary Duty
Disebut “Pohon” karena Fiduciary duty bukan merek atau label yang
lahir secara tiba-tiba akan tetapi suatu kegiatan yang berproses,
tumbuh dan berkembang; Apabila dikelola dengan baik dan benar
maka kelak berbuah dan dikenal sebagai Business Judgment Rule
dalam dunia perusahaan.

Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia dalam bukunya “Organ


Perseroan Terbatas” (hal. 39) menjelaskan bahwa tugas dan tanggung
jawab melakukan pengurusan sehari-hari Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan tersebut dalam sistem common law dikenal dengan
prinsip fiduciary duties.

Dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengelola


perseroan perlu mengetahui prinsip-prinsip apa saja yang dibutuhkan.
Prinsip Tata Kelola Perusahaan
Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) menetapkan
5 pilar dasar Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang dikenal
dengan istilah TARIF :
1. Transparency (Transparansi)
2. Accountability (Akuntabilitas)
3. Responsibility (Tanggung Jawab)
4. Independence (Kemandirian)
5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Transparency (Transparansi)
Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan.

Accountibility (Akuntabilitas)
Kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Organ
Perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif.
Responsibility (Tanggung Jawab)
Kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat

Independence (Kemandirian)
Keadaan perusahaan yang dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat
Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak Pemangku
Kepentingan (Stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
▪ Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
▪ Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
▪ Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(“UUPT”)
▪ Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
▪ Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU 28/1999”)
▪ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. (“UU TIPIKOR”)
KETENTUAN-KETENUAN POKOK YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
▪ Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada
Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) Dan
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara
▪ Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara
(“PP 45 / 2005”)
▪ Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri BUMN PER-09/MBU/2012 Tentang Penerapan
GCG pada BUMN
▪ Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate Governance) –
PT Pertamina (Persero) Tahun 2017
▪ Anggaran Dasar PT Pertamina (Persero) dan Anak Perusahaan
PEDOMAN PELAKSANAAN TATA KELOLA PERUSAHAAN
PT PERTAMINA (PERSERO) DAN ANAK PERUSAHAAN (“COCG”)
Sebagaimana tertuang pada CoCG PT Pertamina (Persero) yang
mengatur :
▪ Dasar-Dasar Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan (Latar Belakang,
Definisi, Prinsip GCG, Visi Misi & Tata Nilai Perusahaan, Tujuan
dan Acuan)
▪ Struktur Good Corporate Governance (Organ Perusahaan, Organ
Pendukung Dewan Komisaris, Corporate Secretary dan
Pengawasan Internal)
▪ Proses Good Corporate Governance
▪ Pengelolaan Anak Perusahaan
▪ Pengelolaan Hubungan Dengan Stakeholders
TUJUAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
1. Memaksimalkan nilai Perusahaan dengan cara meningkatkan
penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran dalam pelaksanaan
kegiatan Perusahaan;
2. Terlaksananya pengelolaan Perusahaan secara profesional dan
mandiri;
3. Terciptanya pengambilan keputusan oleh seluruh Organ Perusahaan
yang didasarkan pada nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Terlaksananya tanggung jawab sosial Perusahaan terhadap
Stakeholders; dan
5. Meningkatkan iklim investasi nasional yang kondusif
MANAJEMEN BUMN HARUS TUNDUK TERHADAP UU 28/1999
Berdasarkan Pasal 2 angka 7 menjelaskan yang dimaksud dengan
Penyelenggara Negara adalah Pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maka dilihat dari segi tugas dan tanggung jawabnya Manajemen


BUMN juga termasuk kedalam Penyelenggara Negara. Oleh sebab
itu Manajemen BUMN harus tunduk terhadap Asas-Asas Umum
Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU
28/1999 yang terdiri atas Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib
Penyelenggara Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas
Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan
Asas Akuntabilitas
KEY POINT PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Poin utama dari prinsip Good Corporate Governance adalah
ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang
mengatur perusahaan sebagaimana disebutkan di atas.
TUGAS DAN WEWENANG DIREKSI

Merujuk kepada UUPT (UU 40/2007) Direksi dalam suatu Perseroan


memiliki tugas sebagai berikut :
▪ Pasal 92 UUPT
1.Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
2.Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang
dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-
undang ini dan/ atau anggaran dasar.
TUGAS DAN WEWENANG DIREKSI

PP No.45/2005 tentang Pendirian, Pengawasan dan Pembubaran


BUMN mengatur Tugas dan wewenang Direksi sebagai berikut :
▪ Pasal 26 PP 45 / 2005
1. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan BUMN untuk
kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi wajib mencurahkan
perhatian dan pengabdiannya secara penuh pada tugas,
kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN.
TUGAS DAN WEWENANG DIREKSI

▪ Pasal 27 PP 45 / 2005
1. Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha BUMN.
2. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
• Lebih lanjut Tugas dan Wewenang Direksi diatur di Anggaran
Dasar BUMN (Pasal 30 PP 45 / 2005)
TUGAS DAN WEWENANG KOMISARIS

Merujuk pada UUPT, Komisaris pada suatu Perseroan memiliki


tugas sebagai berikut :
▪ Pasal 108 UUPT
1. Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik
mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi
nasihat kepada Direksi.
2. Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dantujuan Perseroan.
TUGAS DAN WEWENANG KOMISARIS

Secara khusus bagi perusahaan BUMN diatur tugas bagi Komsiaris


sebagai berikut :
▪ Pasal 60 ayat (1) PP 45 / 2005
1. Melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan BUMN yang
dilakukan oleh Direksi;dan
2. Memberi nasihat kepada Direksi dalam melaksanaka kegiatan
pengurusan BUMN.
▪ Lebih lanjut Tugas dan Wewenang Komisaris diatur di Anggaran
Dasar BUMN (Pasal 60 ayat (2) PP 45 / 2005)
PRINSIP FIDUCIARY DUTY DALAM PENGELOLAAN
PERSEROAN
Dalam melakukan pengelolaan terhadap suatu perseroan terdapat 3
(tiga) elemen penting yang dijadikan landasan oleh Direksi
1. Itikad Baik
2. Demi Kepentingan Perseroan
3. Tidak memiliki benturan kepentingan
ITIKAD BAIK

Saat ini belum dirumuskan/ ditentukan mengenai standarisasi baku


atas itikad baik namun apabila dilihat pada tataran implementasi
itikad baik dapat diukur berdasarkan kesesuaian suatu pengelolaan
perseroan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
ketentuan internal perusahaan dan dipandang dari segi
kepatutannya.

Manajemen pada perseroan juga harus memahami batasan dan


ruang lingkup kewenangan yang dimiliki, sehingga tindakan
tersebut tidak dianggap sebagai tindakan Ultra Vires (diluar
kewenangan)
DEMI KEPENTINGAN PERUSAHAAN

Direksi dalam melakukan pengelolaan perusahaan harus selalu


berorientasi pada kepentingan perusahaan. Seluruh tindakan,
keputusan dan produk-produk yang diciptakan oleh Direksi
haruslah mengutamakan kepentingan dan kemajuan perseroan.
TIDAK MEMILIKI BENTURAN KEPENTINGAN
Benturan kepentingan dapat dilatarbelakangi oleh hubungan
dengan kerabat dan keluarga, kepentingan pribadi dan/atau bisnis,
hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan
pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan, hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji
dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang
memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat.
BUSINESS JUDGMENT RULE (“BJR”) PADA PERSEROAN
Untung dan rugi merupakan bagian dari dinamika dunia usaha,
dalam kaitannya dengan pertanggung jawaban Direksi dan
Komisaris terdapat sebuah pandangan yang memberikan ‘imunitas’
bagi Direksi maupun Komisaris apabila terjadi kerugian.

Black Law Dictionary mendefinisikan Business Judgment


Rule sebagai the presumption that in making business decision not
involving direct self interest or self dealing, corporate directors act
in the honest belief that their actions are in the corporation best
interest. Dengan kata lain, Business Judgment Rule sebagai suatu
tindakan dalam membuat suatu kebijakan bisnis yang tidak
melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan
mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan.
BUSINESS JUDGMENT RULE merupakan perlindungan
hukum bagi Direksi BUMN
Pasal 97 ayat (5) UUPT) :
1. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahan/ kelalaiannya
2. Direksi melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati
3. Kepengerusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan
4. Direksi tidak memilik conflict of interest
5. Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian

Apabila Direksi telah memenuhi kelima unsur diatas dan telah melaporkan
kepada pemegang saham lewat RUPS maka Direksi berhak mendapatkan
acquit et de chargea (Pemberian pembebasan tanggung jawab hukum)
BUSINESS JUDGMENT RULE bagi Komisaris
Pasal 114 ayat (5) UUPT) :
1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-
hatian
2. Tidak ada conflict of interest
3. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah
timbul/ eskalasi kerugian
KEY POINTS PEMAHAMAN BJR SEBAGAI BUAH DARI
FIDUCIARY DUTY
Dapat disimpulkan, karena Pasal 11 UU BUMN menegaskan bahwa
terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas, oleh karena itu
doktrin fiduciary duty dan business judgment rule yang telah
diserap dalam UU PT juga berlaku di BUMN yang berbentuk
perseroan. Doktrin tersebut kemudian yang seharusnya digunakan
menjadi parameter untuk melindungi ataupun menyalahkan dan
kemudian meminta pertanggungjawaban kepada direksi dalam
setiap keputusan yang diambil oleh direksi suatu korporasi yang
dalam hal ini BUMN.
KEY POINTS PEMAHAMAN BJR SEBAGAI BUAH DARI
FIDUCIARY DUTY
Peraturan perundang-undangan Indonesia memiliki inkonsistensi
dalam memaknai konsep kekayaan negara yang dipisahkan dalam
BUMN. Pada pandangan pertama, penyertaan modal negara ke
BUMN akan tetap menjadi kekayaan negara, bukan menjadi modal
BUMN sepenuhnya. Sehingga, norma pemeriksaan pada BUMN
dilakukan berdasarkan sistem APBN dan norma pemeriksaan
keuangan instansi pemerintahan. Sedangkan, pandangan kedua
berpedoman bahwa kekayaan negara yang dipisahkan setelah
diberikan ke BUMN tidak akan lagi menjadi kekayaan negara.
Sehingga, norma pemeriksaan keuangan BUMN menggunakan
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
BJR DALAM TATARAN IMPLEMENTASI
Agar BJR dapat diaplikasikan maka perlu disusun Kode Etik BJR untuk
dijadikan patokan/ pedoman ketika suatu pengambilan keputusan/
kebijakan oleh manajemen. Kode Etik BJR diharapkan bukan hanya
mengatur mengenai keputusan yang akan diambil dengan itikad baik
namun memastikan pengambilan keputusan tanpa ada Niat Jahat
(mens rea) dan Perbuatan Jahat (actus reus)
MENS REA & ACTUS REUS
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana, mencakup unsur-
unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur
subyektif suatu tindak pidana/ kedaan psikis pembuat.
Dalam praktek peradilan pidana di persidangan Mens Rea ini menjadi
unsur dengan sengaja (willen/dikehendaki and wetten/diinsafi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU TIPIKOR
Berbeda dengan Mens Rea, Actus Reus merupakan niat jahat yang
diwujudkan dalam bentuk tindakan yang melawan hukum (unlawful act)
Mens Rea akan terlihat dari tindakan Pelaku
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 2 (dua) Perbuatan Melawan Hukum :
1. Perbuatan Melawan Hukum Formal (Formale Wederrechtelijkheid) yang
artinya Perbuatan Melawan Hukum Formil (bertentangan dengan
Undang-Undang)
2. Perbuatan Melawan Hukum Materil (Materiele Wederrechtelijkheid)
yang artinya Perbuatan Melawan Hukum bertentangan dengan azas-
azas kepatutan
PERBEDAAN PANDANGAN PMH MATERIL
Yang sering terjadi perdebatan dalam bidang hukum Pidana adalah terkait
PMH Materil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif :
1. Fungsi Negatif : meski secara nyata bertentangan dengan Undang-
Undang namun apabila perbuatan melawan hukum atas undang-undang
tersebut
a. Negara tidak dirugikan
b. Kepentingan umum dilayani
c. Terdakwa tidak mendapatkan untung
Maka sifat melawan hukumnya menjadi hilang
Contoh : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
42K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 (Terdakwa Machroes Effendi
dibebaskan dari Perbuatan Korupsi)
PERBEDAAN PANDANGAN PMH MATERIL
2. Fungsi Positif : meski perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan
undang-undang namun bertentangan dengan azas-azas kepatutan si
Pelaku dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam
fungsi positif
Contoh : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
275K/Pid/1983 tanggal 28 Desember 1983 (Terdakwa Raden Sonson
Natalegawa dinyatakan terbukti melakuka tindak pidana Korupsi)
HAMBATAN ATAS IMPLEMENTASI BJR
Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan BJR, pertama bahwa
BJR belum diatur secara tegas dan rinci sebagai azas perlindungan
hukum. Kedua, akibat BJR yang tidak tegas dituangkan dalam Undang-
Undang, Aparat Penegak Hukum sering menafikan dan berpendapat
bahwa BJR hanya sebagai alasan pembelaan diri. (karena perbedaan
pemahaman dan pendekatan) oleh Aparat Penegak Hukum
MISKONSEPSI ATAS KERUGIAN BUMN

Terdapat perbedaan pandangan dalam menyikapi suatu kerugian


yang terjadi pada perusahaan BUMN yang disebabkan dualisme
konsepsi kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN. Pihak yang
menyatakan bahwa Keuangan BUMN adalah termasuk Keuangan
Negara mengacu pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
Penjelasan umum UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sehingga berpendapat bahwa kerugian perusahaan BUMN
adalah termasuk Kerugian Negara. Akibat pemahaman yang
demikian maka Direksi perusahaan BUMN dapat dijerat melanggar
Pasal 2 atau Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001.
MISKONSEPSI ATAS KERUGIAN BUMN
Aparat Penegak Hukum memandang kerugian BUMN adalah kerugian
negara yang didasarkan pada pengertian keuangan negara berdasarkan
UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan Penjelasan umum UU No.31 tahun
1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Prof. Dr. Muladi Guru Besar Hukum Pidana menyatakan bahwa kerugian
negara tidak hanya dipandang dari sumbernya tetapi juga dari tujuannya
Contoh Kasus : Perkara TIPIKOR oleh Ade Warsita Adinegoro dkk Ketua
APHI atas penyalahgunaan dana APHI, dipandang merugikan negara
karena dana APHI yang dikumpulkan dari iuran anggotanya akan
diperuntukan untuk melestarikan hutan dan mencegah kebakaran hutan
MISKONSEPSI ATAS KERUGIAN BUMN
Contoh Kasus :
1. Perkara TIPIKOR oleh Ade Warsita Adinegoro dkk Ketua APHI
atas penyalahgunaan dana APHI, dipandang merugikan negara
karena dana APHI yang dikumpulkan dari iuran anggotanya akan
diperuntukan untuk melestarikan hutan dan mencegah
kebakaran hutan
2. Perkara TIPIKOR oleh DIREKSI BANK DUTA, meskipun Bank
Duta adalah murni bank swasta. Namun karena uang Bank Duta
yang dihimpun berasal dari masyarakat yang disalahgunakan
oleh Direksi maka dipandang sebagai kerugian negara
MISKONSEPSI ATAS KERUGIAN BUMN
Dalam melakukan analisa terhadap suatu kasus hukum, terdapat 5 (lima)
pendekatan yang dapat dilakukan :
1. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
2. Pendekatan Konseptual (conseptual approach)
3. Pendekatan Historis (historical approach)
4. Pendekatan Kasus (case approach)
5. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)

Aparat Penegak Hukum (“APH”) di Indonesia yang melakukan penegakan


hukum cenderung menggunakan pendekatan undang-undang secara
sempit menyebabkan “gagal paham” dalam menyikapi kerugian di suatu
BUMN.
CONTOH KASUS ATAS MISKONSEPSI APH
KASUS I
MANTAN DIREKTUR UTAMA PT PUPUK KALTIM YANG DIDUGA
MERUGIKAN NEGARA KARENA MENYETUJUI PEMBELIAN SUATU
PERALATAN PENUNJANG PABRIK. APH YANG DALAM HAL INI
JAKSA MENDAKWAKAN TELAH MERUGIKAN NEGARA ATAS
KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH MANTAN DIRUT TERSEBUT.
NAMUN PUTUSAN MAJELIS HAKIM DENGAN TEGAS MENYATAKAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN
2007 TENTANG PENGALIHAN MODAL PEMERINTAH YANG
MENYEBABKAN PT PKT TIDAK LAGI MENJADI BUMN YANG
MENGELOLA UANG NEGARA SEHINGGA MANTAN DIRUT
TERSEBUT DINYATAKAN BEBAS.
CONTOH KASUS ATAS MISKONSEPSI APH
KASUS II
MANTAN KASUS DIREKTUR UTAMA PERTAMINA YANG DIDUGA
MERUGIKAN NEGARA DALAM KEIKUTSERTAAN DI PROYEK DI
AUSTRALIA, NAMUN PADA SAAT PELAKSANAAN TERNYATA
KANDUNGAN MINYAK TIDAK SESUAI DENGAN FEASIBILITY
STUDY. TELAH DIVONIS 8 TAHUN PENJARA OLEH PENGADILAN.
NAMUN LEPAS DARI TUNTUTAN HUKUM DI TINGKAT MAHKAMAH
AGUNG KARENA PERBUATAN TERBUKTI NAMUN DIANGGAP
BUKAN TINDAK PIDANA
CONTOH KASUS ATAS MISKONSEPSI APH
PADA CONTOH KASUS I DAN KASUS II MANAJEMEN BAIK PADA
BUMN MAUPUN ANAK PERUSAHAAN BUMN DITETAPKAN LEPAS
KARENA PUTUSAN HAKIM MENETAPKAN ONSLAG VAN ALLE
RECHT VERVOLGING (“ONSLAG”)

ONSLAG : PUTUSAN LEPAS, KARENA TERBUKTI MELAKUKAN


SUATU PERBUATAN NAMUN PERBUATAN TERSEBUT BUKAN
DIANGGAP SEBAGAI PERBUATAN PIDANA.

MENGAPA BISA DIPUTUS ONSLAG? KARENA PADA KEDUA KASUS


TERSEBUT MANAJEMEN BUMN TELAH MENERAPKAN PRINSIP
FIDUCIARY DUTY DAN BJR
CONTOH KASUS ATAS MISKONSEPSI APH
KASUS III
MANTAN DIREKTUR UTAMA MERPATI AIRLINES YANG ATAS
KEPUTUSAN BISNIS YANG DIAMBIL.
TERPIDANA “HN” DINYATAKAN TERBUKTI SECARA SAH DAN
MEYAKINKAN KARENA MELANGGAR PRINSIP KEHATI-HATIAN
MENARIK KEMBALI ESENSI BUMN BAGI BANGSA

Sebagaimana tertuang pada Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-


Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN :
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan
negara pada khususnya;
2. Mengejar keuntungan;

Menyikapi dugaan tindak pidana korupsi pada BUMN, APH


diharapkan melakukan pendekatan hukum, bukan melakukan
pendekatan undang-undang
UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH DIREKSI BUMN
Untuk memitigasi risiko hukum bagi Direksi atas BUMN yang merugi perlu dilakukan
beberapa hal berikut :
1. Melaksanakan Good Corporate Governance dalam pengurusan perseroan yang
pada intinya adalah kesesuaian dan ketaatan pada peraturan perundangan dan
peraturan internal perusahaan.
2. Menginisiasi adanya interkasi lewat Focus Group Discussion dengan APH seperti
Kejaksaan, Kepolisian, KPK, BPKP dan PPATK dalam menjalankan pengurusan
BUMN
3. Khusus untuk dengan Kejaksaan seyogyanya Direksi menandatangani kerja
sama untuk pengawalan dan pendampingan proyek-proyek di BUMN
(Pengawalan oleh Bidang Intelijen dan Pendampingan oleh Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara)
4. Manajemen perusahaan di lingkungan BUMN dan Kontraktor/ Vendor diminta
menandatangani Pakta Integritas
HAL-HAL YANG PERLU MENJADI PERHATIAN BERSAMA

1. Bagaimana hubungan hukum antara Holding, Sub Holding dan


Subsidiary (Anak Perusahaan) ?
2. Bagaimana tanggung jawab Holding dan Sub Holding, apakah
hanya sebatas besaran saham yang dimiliki? Atau bisa lebih?
Dalam lingkup Hukum Pidana, sejauh apa Holding dan Sub
Holding bisa ditarik pertanggung jawabannya?
3. Terdapat prinsip Piercing Corporate Veil (menyingkap tabir
korporasi) sebagaimana diaur dalam UUPT
HAL-HAL YANG PERLU MENJADI PERHATIAN BERSAMA
Pasal 3 ayat (1) UUPT telah merumuskan sebagai berikut

Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara


pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang
dimiliki. Dikenal sebagai liability separation
(pemisahan tanggung jawab) maka tanggung jawab Holding/ Sub
Holding sebagai Pemegang Saham adalah tergantung besaran
saham yang disetorkan pada Anak Perusahaan

Dari pengertian diata


HAL-HAL YANG PERLU MENJADI PERHATIAN BERSAMA
Namun di Pasal 3 ayat (2) UUPT menjelaskan ketentuan diatas tidak berlaku
apabila :
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan
kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Prinsip di atas dikenal dengan istilah Piercing the Corporate Veil (meyingkap tabir
perseroan)
TERKAIT ISU BESARAN TANGGUNG JAWAB PEMEGANG SAHAM
DALAM HOLDING, SUB HOLDING DAN SUBSIDIARY
Berdasarkan penjelasan di halaman sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa meskipun dalam UUPT dikenal prinsip pemisahan tanggung
jawab (liability separation) namun tidak menutup kemungkinan bahwa
Pemegang Saham (Holding dan/atau Sub Holding) dapat dimintakan
pertanggungjawaban melebihi besaran saham yang mereka miliki
apabila terbukti melanggar Pasal 3 ayat (2) UUPT
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dalam hal pengelolaan suatu perseroaan khususnya BUMN, perlu


memperhatikan prinsip-prinsip good corporate governance agar
Direksi terbebas dari kemungkinan dimintakan pertanggungjawaban
secara Pidana atas kerugian yang diderita. Namun apabila Direksi
telah memenuhi prinsip-prinsip utama tata kelola yang baik dan
telah melaksanakan pengelolaan dengan prinsip Fiduciary Duty
maka prinsip BJR dapat diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai