Anda di halaman 1dari 46

PENERAPAN PRINSIP DUTY OF CARE OLEH DIREKSI PERSEROAN

TERBATAS
DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Perseroan Terbatas adalah badan hukum (legal person, legal entity) dan subjek
hukum yang mandiri (persona standi judicio) 1. Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari
dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal
Perusahaan Terbatas (PT) yang terdiri dari saham. Kata terbatas merujuk pada
tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal
semua saham yang dimilikinya. Perseroan Terbatas memiliki organ dengan fungsi
dan wewenang masing-masing2.
Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang
saham) nya untuk mengalihkan perusahaannya (kepada setiap orang) dengan
menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut 3. Menurut Pasal
1 angka 1 Undangundang Nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Perseroan
Terbatas adalah :“Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini4.
Mengingat dunia usaha perkembangannya demikian dinamis, maka dalam
rangka untuk memperkokoh keberadaan Perseroan Terbatas sebagai salah satu
bentuk badan usaha yang menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha, pemerintah
merasa perlu menyesuaikan ketentuan tentang Perseroan Terbatas. Untuk itu
pemerintah menerbitkan ketentuan tentang Perseroan Terbatas yang lebih
komprehensif yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT)5.
Fiduciary dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius yang bermakna
kepercayaan. Secara teknis istilah fiduciary dimaknai sebagai seseorang yang
memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain. Sesorang
1
Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan ketiga, Edisi Kesatu, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm.
2
H.M.N. Purwosutjipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta,
h.85
3
Ahmad Yani& Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal.
4
H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2012, hlm. 69.
5
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung, 2012,
hlm. 5.
memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) ketika ia memiliki kapasitas fiduciary
(fiduciary capacity).
Seseorang dikatakan memiliki kapasitas fiduciary jika bisnis yang
ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain. Fiduciary Duties
terjadi ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan
mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang
lain6.
Fiduciary Duties oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai (the duty to
act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the
best interest of the other person (such as the duty that one partner owes to another).
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berarti Fiduciary Duties merupakan
suatu tugas untuk bertindak dengan tingkat tertinggi untuk kejujuran dan kesetiaan
terhadap orang lain dan demi kepentingan yang terbaik untuk orang lain (seperti
tugas bahwa salah satu partner berhutang kepada orang lain)7.
Direksi sebagai organ yang bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan
pengurusan perusahaan sangat berpotensi melakukan pelanggaran atau
penyimpangan tugas dan kewajiban yang dibebankan. Tanggung jawab tidak
terbatas dibebankan pada direksi apabila direksi terbukti melakukan kesalahan
secara pribadi yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan dan direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk mengganti segala kerugian yang
ditimbulkan terhadap perseroan.
Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan hanya untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.Dalam hal ini direksi
bertanggung jawab sebagai pihak eksekutif berdasarkan doktrin fiduciary duty 8.
Fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung
jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan)9.

6
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.33.
7
Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan ke-1, FH UII Press,
Yogyakarta, h.109, dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St.PaullMinn: West
Publishing Co, 2004), h.545.
8
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia, Cetakan Kedua,( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 25.
9
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Edisi Revisi (Jogjakarta: Total Media Yogyakarta), hlm. 210.
Di dalam badan usaha Perseroan Terbatas terdapat pemisahan tanggung jawab
antara pemilik perusahaan dengan perusahaan dengan perusahaan itu sendiri. Hal
ini disebabkan karena Perseroan Terbatas setelah memenuhi prosedur tertentu
diakui sebagai badan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban sama halnya
dengan individu10.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undangundang Perseroan Terbatas, organ
perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) adalah organ perseroan yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak
diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Direksi merupakan salah satu bagian terpenting dalam Perseroan Terbatas
sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, direksi memiliki tugas untuk menjalankan perseroan,
mengontrol perseroan dimana salah satunya adalah mengambil keputusan bisnis
yang berdampak pada Perseroan Terbatas kedepannya11.
Anggota direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan wajib berhati-hati
(the duty of the due care) atau duty of care atau disebut juga prudential duty. Dalam
mengurus perseroan, anggota direksi tidak boleh “sembrono” (carelessly) dan
“lalai” (neglience). Apabila dia sembrono dan lalai melaksanakan pengurusan,
menurut hukum dia telah melanggar kewajiban berhati-hati (duty of care) atau
bertentangan dengan “prudential duty”12.
Dalam mengambil pertimbangan, direksi tidak boleh mengabaikan dan masa
bodoh (ignore) terhadap ketentuan hukum dan anggaran dasar perseroan. Setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan anggota direksi dalam pengurusan perseroan,
tidak dapat dimaafkan dan ditoleransi meskipun hal itu diambil berdasar
pertimbangan yang hati-hati, apabila direksi sendiri mengetahui dasar pertimbangan
itu bertentangan dengan ketentuan hukum atau anggaran dasar perseroan13.
Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
dengan judul “PENERAPAN PRINSIP DUTY OF CARE OLEH DIREKSI
PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA”.

10
I Nyoman Tjager, “Acuan Yuridis Meger dan Akuisisi” makalah pada Seminar Sehari Akuisisi dan
Dampak Globalisasi Terhadap Pasar Modal Indonesia, Jakarta, 25 Agustus 1992, hlm. 3.
11
Sartika Nanda Lestari, "Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia", Jurnal Notarius, Vol. 8, No.2, September 2015, hlm. 302.
12
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 379.
13
Ibid, hlm 380
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang masalah, selanjutnya masala
h yang akan di cari jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan tentang prinsip duty of care di Indonesia?
2. Bagaimanakah terjadinya pelanggaran fiduciary duty oleh direksi sehing
ga menyebabkan perseroan pailit?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitiannya ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang Prinsip duty of care di Indonesia b
agaimana dan seperti apa
2. Untuk mencari jawaban sekaligus menganalisis terjadinya pelanggaran fi
duciary duty oleh direksi sehingga bisa menyebabkan perseroan pailit

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat baik dari segi teoritis
maupun dari segi praktis sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum bisnis.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan
kepada para pelaku bisnis yang menjalankan suatu perseroan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM
1. Pengertian Perseroan Terbatas
Kata perseroan dalam pengertian umum adalah adalah perusahaan atau
organisasi usaha. Sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi
usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang
indonesia14. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, yang mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai
berikut :
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.”

Dari batasan yang diberikan tersebut diatas, menurut Gunawan Wijaya dan
Ahmad Yani ada 5 (lima) hal pokok yang dapat kita kemukakan yaitu :
1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum;
2. Didirikan berdasarkan perjanjian;
3. Menjalankan usaha tertentu;
4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham;
5. Memenuhi persyaratan undang-undang15.

Pada dasarnya badan hukum adalah suatau badan yang dapat memiliki hak-
hak dan kewajibankewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia,
memiliki kekayaan sendiri, dan diajukan permohonan tanggung jawab dan
menggugat di depan pengadilan16. Perseroan Terbatas merupakan badan hukum
(legal entity) yaitu badan hukum mandiri (persona standy in judicio), yang memiliki
sifat dan ciri kualitas yang berbeda dengan bentuk badan usaha lain17.
Perseroan terbatas sebagai badan hukum berarti merupakan organisasi yang
mempunyai tujuan tertentu, dan sebagai badan hukum perseroan terbatas memiliki

14
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta. 2006, hal 1
15
4 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal 7
16
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas..., op. cit. hlm, 5.
17
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, Cetakan Kedua, Edisi
Pertama, (Bandung : PT Alumni, 2007), hlm 92.
kekayaan sendiri yang terlepas dari kekayaan pengurusnya, dan dapat berhubungan
dengan pihak lain dalam pergaulan hukum18.
Sebagai badan hukum perseroan terbatas juga memiliki alat perlengkapan
dalam melakukan kegiatan usahanya. Alat perlengkapan dari perseroan terbatas
disebut sebagai organ perseroan. Pada prinsipnya organ perseroan terdiri dari 3
(tiga) yaitu:19
1. Direksi
2. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
3. Dewan Komisaris

2. DIREKSI
Direksi memagang peran yang sangat penting dalam perusahaan. Adapun
yang dimaksud dengan direksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007:
”Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.

Agar Direksi sebagai orang yang sehari-hari mengurus perseroan dapat


mencapai prestasi tertentu yang telah diberikan kepadanya maka ia harus diberi
tanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu tugas tertentu yang telah diberikan
kepadanya. Tanggung jawab ini berarti kewajiban seorang individu untuk
melaksanakan aktifitas-aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya20.
Direksi perseroan mempunyai tugas untuk menjalankan perseroan, termasuk
mewakili perseroan. Hal ini sangat berbeda dengan organ RUPS yang bertugas
untuk kepentingan pemegang saham. Sebab, Direksi adalah mewakili kepentingan
perseroan dalam melakukan tugas untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan.
Pemikiran ini sejalan dengan teori tentang hal 164-165 fiduciary
duties/fiduciary responsibility bagi Direksi, yang antara lain disebutkan dalam Pasal

18
L.G. Rai Widyjaya, Op Cit Hal 2
19
Kurniawan, Hukum Perusahaan Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan Tidak Berbadan
Hukum Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, hal.66
20
Winardi, Asas-Asas manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144
1 ayat (2) dan (4), Pasal 2, Pasal 79 ayat (1), Pasal 82 dan Pasal 85 ayat (1) Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas21.
Namun demikian kewenangan Direksi bertindak melakukan perbuatan hukum
tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas disebutkan dalam maksud
dan tujuan, tetapi juga meliputi perbuatanperbuatan lainnya, yaitu perbuatan yang
menurut kebiasaan, kewajaran dan kepatutan yang dapat disimpulkan dari maksud
dan tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan-perbuatan
tersebut tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan maksud dan tujuan22.
Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa :
“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Penjelasan :
“Yang dimaksud dengan „penuh tanggung jawab‟ adalah memperhatikan
perseroan dengan saksama dan tekun”
Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan
fungsi pengurusan perseroan. Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi
suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi menejemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin
perusahaan. Fungsi menejemen ini dalam hukum Jerman disebut dengan
Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan menurut Tri Budiyono (2011;167) fungsi
menejemen/pengelolaan menempatkan Direksi sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap maju mundurnya perusahaan, khususnya
dalam mewujudkan tujuan perusahaan, maka dirinya harus dilengkapi
otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan (perbuatan) hukum. Dengan
kata lain ia harus bertindak sebagai subyek hukum.
b. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan
di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan
menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan
transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan
untuk kepentingan perseroan. Fungsi representasi ini dalam hukum
Jerman disebut dengan Vertretungsmacht (Munir Fuady, 2002: 32).
Fungsi representasi menurut Tri Budiyono (2011:167-168) sejatinya
menjadi perwujudan subjek hukum yang melekat pada perseroan terbatas
sebagai subjek hukum (legal entity atau rechtpersoon). Dengan fungsi
21
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Persero), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, haL 17
22
Racmadi Usman,Dimensi Hukum Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004, hal.164
representasi ini Direksi melakukan perbuatan hukum tidak dalam
kapasitas sebagai pribadi (baca subyek hukum
alamiah/natuurlijkepersoon) tetapi bermetamorfose pada perseroan.
Dalam fungsinya yang demikian seringkali dikatakan bahwa Direksi
menjadi personifikasi dari perseroan terbatas. Dalam hal ini mempertegas
bahwa perseroan sebagai subyek hukum sejatinya hanya merupakan
konstruksi hukum. Ia hanya dapat dipahami secara virtual melalui
konstruksi hukum berfikir yang kemudian dikukuhkan dan diakui
eksistensinya secara yuridis.
Keberadaan dan fungsi Direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT dapat
dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat
umum pemegang saham, direksi dan komisaris.
b. Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ
perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
c. Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, kepengurusan perseroan
dilakukan oleh direksi.
d. Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
e. Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi
wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh,
dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi
akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan,
sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran
Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya. Selama Direksi
melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires), maka sudah
selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, walaupun
Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :
a. Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada
dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).
b. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana
orang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata).
Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan,
maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi
tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan. Hal inilah yang
dimaksud dengan doktrin bussiness judgement rule. Sedangkan bagi tindakan-
tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan
yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh
atau sebagai tindakan perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara
pribadi atas setiap tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam
anggaran dasar perseroan.
Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan
ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang
bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan- ketentuan
sebagai berikut:
a. Intravires dan Ultravires
Secara sederhana menurut Tri Widiyono (2005: 43) pengertian
intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai
"bertindak melebihi kewenangannya". Berkaitan dengan intravires dan
ultravires, Fred B.G. Tumbuan sebagaimana dikutip oleh Try Widiono (2005)
menyatakan bahwa : Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau
secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam
maksud dan tujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di
luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Ultra
Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada hakikatnya adalah
sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada di luar
kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau
berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.
Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya (2000: 227) menyatakan:
Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas
(capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan perusahaan yang
tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultra vires adalah
hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan. Perbuatan ultra vires
pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu
tidak mengikat perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 22). Dalam hal ini ada 2
(dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan, yaitu :
1) Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada
di luar maksud dan tujuan perseroan.
2) Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang diberikan
kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran
dasar perseroan.
Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur
suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai
dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau
tidak (Tri Widiyono, 2005: 44). Jika perbuatan tersebut melampaui
kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan
tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung
jawab pada dirinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Sampai seberapa jauh
suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan
perseroan sehingga dapat kategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus
dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia
usaha.
b. Fiduciary Duty
Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena
itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan,
maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian. Pendelegasian
wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola perseroan terbatas
lazim disebut sebagai fiduciary duty (Tri Widiyono,2005: 8).
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan
fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang
menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu ”seorang
direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and
skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan
”derajat yang tinggi” (high degree)”.(Munir Fuady, 2002 : 49).
Pada dasarnya Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak
atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar
perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan
yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti direksi memiliki
limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan
(Gunawan Widjaja, 2004: 32).
Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's
Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja
(2004) menyatakan bahwa:
In applying the general equitable principle to company directors, four
separate rules have emerged. These are:
• That directors must act in good faith in what they believe to be the
best interest of the company;
• That they must not exercise the powers conferred upon them for
purposes different from those for which they were conferred;
• That they must not fetter their discretion as to how they shall act;
• That, without the informed consent of the company, they must not
place themselves in a position in which their personal interests or
duties to other persons are liable to conflict with their duties.
Keempat prinsip menunjukkan bahwa Direksi perseroan dalam
menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:
1) Bertindak dengan itikad baik;
2) Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan
kepentingan dari pemegang saham semata-mata;
3) Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan
tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat
kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak
diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang
lingkup geraknya sendiri
4) Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan
kepentingan direksi.
Menurut Gunawan Widjaja (2004) bahwa pada dasarnya direksi
merupakan organ "kepercayaan" perseroan yang akan bertindak mewakili
perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan
dan kepentingan perseroan. Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut,
ada 2 (dua) hal yang dapat dikemukakan yaitu:
1) Direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good
faith);
2) Direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan
kepentingannya (duty of care and skill).

Selanjutnya Gunawan Widjaja (2004) juga menjelaskan bahwa tugas


dan tanggung jawab direksi tersebut di atas merupakan tugas dan tanggung
jawab direksi sebagai suatu organ yang merupakan tanggung jawab kolegial
sesama anggota direksi terhadap perseroan. Direksi tidak secara sendiri-
sendiri bertanggung jawab kepada perseroan.

Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah
satu atau lebih anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya.
Namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di
antara anggota direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.

Dengan demikian, fiduciary duty dari direksi perseroan dimaksudkan


adalah Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di
mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust)
kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang
tinggi (high degree of good faith), loyalitas yang tinggi (high degree of
loyalty), kejujuran yang tinggi (high degree of honesty), serta kepedulian dan
kemampuan yang tinggi (high degree of care and skill) dalam menjalankan
tugasnya kepada perusahaan tersebut (Munir Fuady, 2002 :51)

Jadi, dengan fiduciary duty ini, pihak direksi harus mempunyai itikad
baik yang tinggi dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya,
sementara di pihak perusahaan harus mempunyai kepercayaan yang besar
kepada direksinya. Dengan demikian, apabila misalnya direksi hanya
menjalankan tugasnya dengan penuh kehatian-hatian, atau etikad baik, atau
loyalitas saja (tidak dalam keadaan lalai atau negligence), belumlah sampai
dikatakan bahwa dia telah menjalankan fiduciary duty.

Untuk sampai dikatakan bahwa dia sudah menjalankan fiduciary duty,


maka kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), atau itikad baik,
atau loyalitas tersebut haruslah dengan derajat yang tinggi (high degree).
Dengan demikian, seorang direksi sungguhpun sudah cukup hati- hati (dalam
arti tidak lalai atau negligence) dalam menjalankan tugasnya, masih belum
cukup kuat untuk dikatakan bahwa dia terbebas dari tanggung jawab hukum
seandainya dengan tindakan-tindakannya tersebut ada pihak yang dirugikan.

Sebaliknya, manakala seorang direktur suatu perseroan tidak


menjalankan tugasnya secara cukup hati- hati (due care) terhadap
perusahaannya, maka dia sudah dapat dimintakan tanggung jawabnya secara
hukum, meskipun menurut teori fiduciary duty, batas tanggung jawab hukum
lebih dari sekadar menjalankan tugas dengan kehati-hatian saja. Dengan kata
lain, hati-hati saja secara hukum masih belum cukup.

a. Tugas Mempedulikan (Duty of Care)


Tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan dari
direksi adalah duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), dalam arti
direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-hati sehingga terhindar
dari perbuatan kelalaian (negligence) yang merugikan pihak
lain(Munir Fuady, 2002: 51).
Menurut Pasal 97 ayat (1) UUPT, direksi bertanggungjawab
penuh atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
92 ayat (1). Dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT disebutkan
bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 97 UUPT, oleh Pasal 97 ayat
(2) UUPT ditentukan bahwa Pengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain, tugas dan kewajiban
direksi yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT, yaitu
melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab(Remy Sjahdeini,
2002: 425).
Berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT,
terdapat 2 (dua) unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direksi
perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT yaitu :
1) Kepentingan dan tujuan/usaha perseroan;
2) Itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif,
artinya harus dipenuhi kedua-duanya. Apa yang dimaksud dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab tersebut, dalam UUPT baik dari pasal-pasalnya maupun
penjelasannya tidak memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud atau
kandungan dari konsep itikad baik dan penuh tanggung jawab itu.

Namun di Negara-negara yang menganut Common Law System acuan yang


digunakan adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila direksi
telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direksi tersebut
dianggap telah melanggar duty of care-nya”.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 92 UUPT, direksi tidak boleh


melakukan kegiatan yang sekalipun dilakukan demi kepentingan perseraon tetapi
tidak sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana ditentukan dalam Anggaran
Dasar perseroan. Misalnya suatu perseroan yang dalam Anggaran Dasarnya
ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan real estate tetapi ternyata direksi
melakukan kegiatan bisnis ekspor.

Sekalipun kegiatan ekspor yang dilakukan direksi sangat meguntungkan


perseroan, tetapi tetap direksi melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Sebaliknya,
sekalipun direksi melakukan kegiatan di bidang real estate sesuai tujuan perseroan
sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan, tetapi apabila kegiatan
tersebut adalah untuk keuntungan perusahaan lain, misalnya perusahaan dimana
direksi memiliki kepentingan sebagai salah satu pemegang saham perseroan
tersebut, maka direksi juga dianggap melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 92 UUPT mewajibkan direksi melakukan
kegiatan kepengurusan perseroan bukan saja kegiatan yang sejalan dengan
kepentingan perseroan, tetapi juga harus sejalan dengan tujuan perseroan
sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Dari ketentuan Pasal 92
UUPT itu pula dapat diketahui bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas
pelaksanaan tugasnya itu.

Menurut Munir Fuady (2002: 50-51) beberapa prinsip hukum yang terbit
dari adanya duty of care dari Direksi adalah sebagai berikut:
1) Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap direksi berlaku
standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut:
(a). Selalu beritikad baik. Contoh dari perbuatan-perbuatan yang tidak
dilandasi dengan itikad baik itu adalah :
i. Perseroan membeli barang atau properti dari pihak lain dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau
ii. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain
dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya.
Sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi dari
transaksi itu, atau
iii. Apabila direksi dari suatu lembaga kredit, seperti misalnya bank
atau perusahaan pembiayaan (multi finance company), telah
memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak melakukan
analisis yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu
sebenarnya tidak layak (fesible), tetapi direksi bank atau
perusahaan pembiayaan tersebut memutuskan untuk
memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan ternyata
kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank
atau lembaga pembiayaan itu.
iv. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula
memperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka
memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianya dilakukan
dengan dan untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya,
tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain dimana
anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan.
(b). Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang dilakukan
oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) dalam
posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang dilakukan oleh orang
tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.
(c). Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis
(reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best
interest) dari perseroan.

2) Secara hukum, seorang direktur perseroan tidak akan bertanggung jawab


semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan (mere errors of
judgement). Bahkan, asalkan dia beritikad baik dan cukup berhati-hati,
keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada direksi, sungguhpun
kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurang komprehensif
dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatu honest mistake
yang dilakukan oleh direksi masih dapat ditoleransi oleh hukum. Bahkan,
hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penilaian bisnis yang
berbentuk second guess terhadap keputusan direksi. Hal ini sesuai pula
dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam "teori keputusan
bisnis" (business judgement rule).

3) Secara hukum, seorang direktur tidak diharapkan tingkat keahlian (degree


of skill) kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara wajar dari
orang yang sama pengetahuan dan sama pengalaman dengannya, atau
yang dalam bahasa hukum populer dengan istilah degree of skill that may
reasonably be expected from a person of his knowledge and experience.

4) Terhadap tugas-tugas Direksi yang dapat didelegasikan kepada


bawahannya, maka berlaku asumsi hukum bahwa pihak bawahan telah
melakukan tugasnya secara jujur (kecuali ada kecurigaan sebaliknya).

5) Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala dia gagal dalam
mengarahkan (failure to direct) bawahannya dan jalannya perusahaan.

6) Direksi akan bertanggungjawab secara hukum manakala dia mengetahui,


membantu atau ikut melakukan tindakan yang bertentangan dengan
hukum, sungguhpun hal tersebut semata-mata untuk kepentingan
perseroan yang dipimpinnya.

Dalam teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari
direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:
1) Syarat prosedural
Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari
suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh
perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Di
samping itu, direksi juga harus selalu mendapatkan informasi yang
lengkap (well informed) terhadap perseroannya.
2) Syarat Substantif
Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care) terhadap
seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan
perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan
pertimbangan yang rasional. Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak
berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar
optimal. Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) dari keputusan
tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada, yang
oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu
sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di luar tindakan direksi
yang dibenarkan oleh hukum(Munir Fuady, 2002: 49-50)
b. Business Judgement Rule
Selain doktrin duty of care, terdapat juga doktrin lain yang disebut
Business Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat
beberapa ahli hukum dianggap) telah memberikan kelegaan karena duty
of care telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para
anggota direksi perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 37).
Untuk mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepada
direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan
yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan
perseroan, direksi tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu
terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi. Oleh karena itu,
“untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya
keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doctrine business
judgements rule”(Tri Widiyono, 2005: 46).
Menurut Try Widiyono (2005) doktrin ini mendudukkan manusia
pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang
sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang.
Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam
menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan
manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak
digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil
keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur
manusiawinya. Doktrin business judgements rule memberikan
perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang
diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.
Konsep Business Judgment Rule mencegah pengadilan-pengadilan
mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang
diambil dengan itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang
dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu
keputusan yang menguntungkan perseroan (Gunawan Widjaja, 2004 :
37).
Menurut Sutan Remi Sjahdeni (2001: 101) menyatakan bahwa :
Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis (business
judgment) para anggota direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat)
atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota
Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang
timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business
judgment) oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun
pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Business judgment rule adalah a presumption that in making a
business decision, the directors of corporation acted on an informed
basis in good faith and in a honest belief that the action was taken in the
best interest of the company. Bentuk perbuatan-perbuatan dan
pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh business
judgment rule sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim.
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment)
seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila
pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan
(fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau
merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).
Sementara itu, beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa
seorang direktur yang dalam mengambil pertimbangan telah
menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dilindungi oleh business
judgment rule, jika kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian berat
(gross negligence) anggota Direksi yang bersangkutan.
Perlindungan business judgment rule dikatakan tidak berlaku bagi
anggota Direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan
oleh direksi diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya
mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk
membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan
pribadinya.
Dengan demikian, judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat
dikatakan sebagai "discretionary exercises of power on behalf of the
corporation" yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan
(fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest)” Gunawan
Widjaja, 2004: 40).
Dengan demikian, dengan diberlakukannya prinsip Business
Judgment Rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang
menduga bahwa Direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak
secara baik untuk keuntungan perseroan, wajib membuktikan adanya
dugaan tersebut.

3. RUPS
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) yang menyatakan bahwa, Rapat Umum
Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
RUPS dapat diselenggarakan dengan 2 (dua) macam RUPS, yaitu sebagai berikut:23

23
Gatot Supranomo, Hukum Perseroan Terbatas,ed rev, cet. Ke 4,Djambatan, Jakarta, 2007, hal 3
a. RUPS Tahunan, yang diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku.
b. RUPS lainnya, yang dapat diselenggarakan sewaktu-waktu berdasarkan
kebutuhan.
Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Pasal 79 ayat (1) dapat
dilakukan atas permintaan :
a) 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili
1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil;
atau
b) Dewan Komisaris.
Perseroan Terbatas merupakan kumpulan atau asosiasi modal yang oleh
UUPT diberikan status sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas pada
hakikatnya adalah wadah kerjasama dari para pemilik modal atau pemegang saham
yang dijelmakan dalam RUPS.
Oleh karenanya adalah wajar jika RUPS mempunyai kekuasaan dan
kewenangan yang tidak dimiliki oleh organ Perseroan Terbatas yang lain. Inilah
yang disebut sebagai wewenang yang eksklusif (exclusive authorities) RUPS.
Perseroan sebagai badan hukum, bermakna bahwa perseroan merupakan
suatu subjek hukum, dimana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani
hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Subjek hukum adalah sesuatu yang
dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum atau melakukan tindakan perdata
atau membuat suatu perikatan24.

4. KOMISARIS
Disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sebagai pengganti dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas maka,
keberadaan Komisaris tidak lagi bersifat fakultatif akan tetapi sudah menjadi suatu
keharusan bagi Perseroan Terbatas, sebagaimana dimaksud didalam Pasal 1 ayat (6)
yang menyatakan bahwa :
“Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Anggaran Dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi.”
24
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2007, hal.
17
Fungsi kontrol dan pemberian advis oleh Dewan Komisaris ini bisa dijabarkan
lebih lanjut sebagai berikut :25
a. Dewan Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam
menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi.
b. Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (fiduciary duty)
c. Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai pemilikan
saham dan atau keluarganya (suami, istri dan anakanaknya) pada perseroan
tersebut dan perseroan lainnya.
Demikian juga setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib
pula dilaporkan. Laporan mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus yang
merupakan salah satu sumber informasi mengenai besarnya kepemilikan dan
kepentingan pengurus perseroan yang bersangkutan atau perseroan lain, sehingga
pertentangan kepentingan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Pasal 108 :
1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan,
jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun
usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi;
2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan;
3) Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih;
4) Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota
merupakan majelis dan setiap anggota dewan Komisaris tidak dapat
bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan
Komisaris;
5) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun
dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan
surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka
wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.
Subjek hukum yang dikenal oleh para ahli hukum ada dua macam, yaitu: 21
Orang pribadi (Belanda: naturlijk person atau Inggris: natural person); b. Badan
hukum (Belanda: rechtpersoon atau Inggris: legal entity). Perseroan Terbatas adalah
suatu organisasi dan mempunyai pengurus yang dinamakan direksi.
Sebagai organisasi sudah pasti mempunyai tujuan, pengawasan dilakukan
oleh komisaris yang mempunyai wewenang dan kewajiban sesuai dengan ketetapan
dalam anggaran dasarnya. Oleh karena itu Perseroan Terbatas adalah suatu badan
25
I.G. Ray widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Perusahaan, Cet. 1, Jakarta,
kesaint Blanc, 2000, hal. 254
usaha yang mempunyai unsur-unsur adanya kekayaan yang terpisah, adanya
pemegang saham, dan adanya pengurus26.

E. PRINSIP DUTY OF CARE


Istilah fiduciary duty berasal dari 2 (dua) kata, yaitu fiduciary, dan duty.
Istilah duty banyak dipakai dimana-mana yang berarti tugas, sedangkan istilah
fiduciary (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin fiduciaries dengan akar kata
fiducia yang berarti kepercayaan (trust) atau dengan kata kerja fidere yang berarti
mempercayai (to trust). Isu utama dari fiduciary duty adalah bagaimana
meminimalisasi kemungkinan seorang direktur menggunakan wewenangnya untuk
kepentingan dan keuntungan pribadinya, tetapi sebaliknya direktur seharusnya
menggunakannya seoptimal mungkin untuk kepentingan dan keuntungan
perseroan27.
Pada umumnya, Fiduciary Duties direksi dibagi menjadi dua komponen
utama, yaitu:
1. Duty of Care,
Direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam
membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap
kebijakan, direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi
yang ada secara patut dan wajar.
2. Duty of Loyalty
Direksi bertanggung jawab untuk selalu berpihak kepada kepentingan
perusahaan yang dipimpinnya. Direksi yang diberikan kepercayaan oleh
perseroan harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, bertindak
untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta bertindak dengan
mengutamakan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi28.
Prinsip fiduciary duty yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas : Pasal 97 ayat (1), yang menyatakan bahwa
:
"Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), yaitu Direksi menjalankan pengurusan

26
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hal 25-26
27
I.G Rai Widjaya, Op.Cit, Hlm. 220.
28
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82
Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan".

Pasal 97 ayat (2), yang menyatakan bahwa :


"Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
anggota Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab".

Sepanjang sejarah penerapan prinsip fiduciary duty , muncul beberapa


pedoman dasar bagi Direksi dalam menjalankan fiduciary duty terhadap Perseroan
yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut adalah sebagai berikut:29
1. Fiduciary duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum
Perseroan;
2. Dalam menjalankan tugasnya, Direksi tidak hanya harus memenuhi unsur
itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur tujuan yang layak
3. Pada prinsipnya Direksi dibebani prinsip fiduciary duty terhadap Perseroan,
bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang
dapat memaksakan Direksi untuk melaksanakan fiduciary duty tersebut;
4. Dalam menjalankan fungsinya, Direksi juga harus memperhatikan
kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham dan buruh perusahaan;
5. Direksi bebas dalam memberikan suara dan pendapat sesuai dengan
keyakinan dan kepentingannya dalam setiap rapat yang dihadirinya;
6. Direksi bebas dalam mengambil keputusan sesuai dengan pertimbangan
bisnis dan sense of business yang dimilikinya, bahkan Pengadilan tidak boleh
ikut campur mempertimbangkan sense of business Direksi tersebut;
7. Direksi dilarang atau setidak-tidaknya dibatasi atau diawasi dalam
menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut misalnya dengan
memberlakukan prinsip keterbukaan informasi (disclosure) terhadap setiap
transaksi yang ada conflict of interest.
Tanggung jawab pribadi Direksi adalah keadaan dimana Direksi tidak
melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan
dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi menjadi patokan
batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi Direksi

29
Munir Fuady, 2002, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.61
dapat juga terikut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya 30. Berdasarkan
Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa :
“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.

30
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hal. 143.
BAB III
PELAKSANAAN DAN PENGATURAN PRINSIP DUTY OF CARE
DI INDONESIA

A. Pengaturan prinsip Duty of Care dalam Undang-undang nomor 40 tahun


2007 tentang Perseroan
Pasal 92 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi
menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan ditentukan oleh Pasal 92 ayat (1)
UUPT bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan serta berwenang mengambil kebijaksanaan yang tepat, hal ini
membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab
secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya untuk kepentigan dan usaha perseroan;
Pasal 97 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan. Dalam menjalanankan tugas dan fiduciary-nya,
seorang direksi harus melakukannya dengan itikad baik (good faith), memenuhi
unsur tujuan yang layak (proper of purpose), kebebasan yang penuh tanggung
jawab, serta tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest),
ayat ini memberikan kewenangan diskresi, yang merupakan ruang bagi direksi
dalam membuat pertimbangan dan keputusan yang dianggap tepat, yang
diperlukan dalam menjalankan kepengurusan perseroan. Frasa “kebijakan yang
dianggap tepat” adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian,
peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam usaha yang sejenis. Kelaziman ini
tidak memiliki ukuran yang standar, kecuali melalui pendapat umum yang dapat
diperoleh dari sesama pelaku bisnis dalam bidang usaha yang sama.
Pasal 97 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap anggota direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (2); Undang-undang Perseroan Terbatas tidak memberikan suatu
ketentuan lebih lanjut mengenai makna pengurusan perseroan oleh direksi, dan
juga mengatakan bahwa kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan
oleh undang-undang kepada direksi untuk kepentingan perseroan sebagai
badanhukum yang mempunyai eksistensi sendiri selakusubjek hukum mandiri
(persona standi in judicio).
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, direksi perseroan terikat pada
kepentingan perseroan sebagai badan hukum. Dalam menjalankan tugasnya,
direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi setiap tindakan
dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlakukan
sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai
dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar dan tidak melampaui batas
kewenangannya.
Selama direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya, maka sudah
selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, walaupun
Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUHPerdata merumuskan bahwa:
a. Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggugannya,
atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata);
b. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk
mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau bawahan-
bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-
orang dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata).

A. Pengaturan prinsip Duty of Care dalam Black’s Law Dictionary


Dalam Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari duty of care
sebagai berikut: “under the law of negligence or of obligation, the conduct
demanded of a person in a given situation. Tipically, this involves a person’s
giving attention both to possible dangers, mistakes, and pitfalls and to way of
minimizing those risks.”
Pengertian diatas yang diartikan bahwa standar kehati-hatian
mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan tertentu, untuk
memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya, kesalahan, dan
perangkap sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin dihadapi.
Dari segi hukum, duty of care dikembangkan pada awalnya oleh Lord
Atkin yang menyatakan bahwa “anda harus melakukan kehati-hatian yang
wajar agar menghindari tindakan atau amission atau kealpaan yang dapat anda
perkirakan akan membahayakan tetangga anda”. Duty of care merupakan
kewajiban hukum bagi setiap orang untuk bertindak secara hati-hati, sehingga
tidak membahayakan atau merugikan pihak lain. Duty of care dapat pula
dianggap sebagai formalisasi dari tanggung jawab yang ada berdasarkan
kontrak, atau perjanjian, atau terhadap publik.
Sejalan dengan pernyataan dari Lord Atkin, duty of care sebagai ex
ante berdasarkan prinsip perkiraan atau yang dapat diperkirakan, dan hanya
berlaku bagi orang yang berada secara dekat, dan secara langsung, dapat
merasakan akibat dari tindakan orang lain yang harus diperhitungkan oleh
pelaku. Jadi, kewajiban kehati-hatian atau duty of care adalah unsur yang
esensial yang harus terlebih dahulu dipenuhi, sebelum seseorang dapaT
dinyatakan bertanggung jawab atas kelalaiannya. Arti dari “skills and care’
yang dijelaskan oleh the Insolvency Act 1985 adalah pada intinya
mengandung harapan yang sejalan dengan keahlian atau skill, kualifikasi, dan
pengalaman dari suatu tingkat direktur tertentu.
Oleh karena itu, tingkat skill yang lebih tinggi diharapkan dari seorang
direktur keuangan yang professional dibandingkan dengan direktur non
eksekutif lainnya. Standar yang digunakan mensyaratkan direksi, baik secara
individu dan secara kolektif, memperoleh dan memiliki pengetahuan dan
pengertian yang cukup mengenai bisnis dari perusahaan, sehingga dapat
menjalankan tugas-tugasnya secara tepat sebagai direksi. Tingkat dari duty ini
tergantung pada posisi direksi yang bersankutan di dalam rantai manajemen
dan tugas serta tanggung jawabnya dalam peranan tersebut.
BAB IV
ANALISIS PELAKSANAAN PRINSIP DUTY OF CARE PADA
PENJUALAN ASET PERUSAHAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Prinsip Duty Of Care Pada Kewenangan Direksi Dalam Hal Perbuatan


Penjualan Aset Perusahaan
1. Prinsip Duty Of Care
a. Pengertian Prinsip Duty Of Care
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
kewenangan penuh berada di tangan Direksi, artinya segala bentuk-
bentuk urusan perusahaan dilakukan oleh Direksi, maka dari itu
Direksi harus berhati-hati dalam setiapmengambilkeputusan yang
bersangkutan dengan kepentingan perusahaan.
Kewenangan Direksi sangat berkaitan erat dengan prinsip
kehati- hatian, prinsip ini merupakan prinsip utama dalam mengelola
suatu perusahaan. Prinsip duty of care merupakan prinsip yang
merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian tindakan pengurus
perseroan yang diwakilkan kepada Direktur (duty of care).
Dalam duty of care, direksi dituntut pertanggungjawaban secara
hukum (Under Delaware law, the directors of a corporation owe
fiduciary duties of care and loyalty to the corporation they direct,
including a duty to protect the interests of the corporation and to act
in the best interests of its shareholders) dan duty of care ini wajib
diterapkan bagi direksi dalam membuat setiap kebijakan perseroan
dan dalam mengawasi serta memonitoring kegiatan perseroan31.
Anggota Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan
wajib berhati-hati (the duty of the due care) atau duty of care atau
disebut juga prudential duty. Dalam mengurus perseroan, anggota
direksi tidak boleh “sembrono” (carelessly) dan “lalai” (neglience).
Apabila dia sembrono dan lalai melaksanakan pengurusan, menurut
hukum dia telah melanggar kewajiban berhati-hati (duty of care) atau

31
Debora Maristella, “Penerapan Prinsip Duty of Care oleh Direksi Perseroan Terbatas di Indonesia”, JOM
Fakultas Hukum, Vol. V, No. 2, Oktober 2018, Hlm. 7-8.
bertentangan dengan “prudential duty”. Patokan kehati-hatian (duty
of care) yang diterapkan secara umum dalam praktik, adalah standar
kehati-hatian yang lazim dilakukan orang biasa (the kind of care that
an ordinary prudent person) dalam posisi dan kondisi yang sama.
Apabila patokan kehati-hatian ini diabaikan oleh anggota
direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan, dia dianggap
bersalah melanggar kewajiban mesti melaksanakan pengurusan
dengan penuh tanggung jawab. Kriteria atau standar kehati-hatian
dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
a. Standar dasar, bahwa direksi harus bertindak seperti orang
biasa yang berhati-hati dalam situasi yang sama.
b. Standar objektif, artinya direksi yang mempunyai
kemampuan dibawah rata-rata orang biasa dalam posisi
direksi harus memenuhi standar rata-rata orang biasa.
Sebaliknya, direksi yang mempunyai keahlian khusus, harus
mempergunakan keahlian khusus tersebut.
c. Menguntungkan keputusan kepada nasihat ahli dan komite.
Direksi berhak mengambil keputusan berdasarkan nasihat
ahli dan komite, akan tetapi hal tersebut harus masuk akal
dalam situasi tertentu.
d. Kelalaian yang pasif, direksi tidak bertanggung jawab atas
kelalaiannya karena tidak mengetahui kesalahan yang
dilakukan oleh management dan pegawai. Akan tetapi jika
dia mengetahui fakta yang mengarah kedugaan adanya
perbuatan menyimpang, maka dia tidak dapat menutup mata
atas fakta itu. Dalam suatu perusahaan besar, direksi yang
tidak melakukan mekanisme untuk memonitor suatu
perbuatan menyimpang, seperti internal accounting control
atau komite audit, mungkin akan dianggap melanggar duty of
care.
e. Sekalipun direksi melanggar duty of care, akan tetapi dia
hanya bertanggung jawab atas kerugian jika perbuatanya
merupakan proximate cause atau sebab terdekat dari
timbulnya kerugian.
2. Kewenangan Direksi
a. Kewenangan Direksi di Perusahaan
Direksi memegang peranan penting dalam sebuah Perseroan
Terbatas (PT). Direksi adalah organ PT yang berwenang dan
bertanggungjawab penuh atas pengurusan PT untuk kepentingan PT,
sesuai dengan maksud dan tujuan PT serta mewakili PT, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar32.
Kewenangan direksi diberikan dan dibatasi oleh UUPT serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait maksud dan
tujuan PT dan Angarran Dasar PT. Pelaksanaan kewajiban direksi
sebagai organ perseroan secara rutin dilengkapi dengan kewenangan
yang ditetapkan dalam UUPT33.
Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda, yaitu
melaksanakan kewajiban sebagai pengurus dan menjalankan
perwakilan perseroan34. Tugas dan kewenangan anggota Direksi
untuk melakukan tindakan pengurusan dan perwakilan mutlak
dibebankan dan dipikul ole direktur apabila PT hanya mengangkat 1
(satu) orang anggota Direksi35.
Kualitas kewenangan direksi mewakili perseroan diperoleh dari
undang-undang, dengan demikian, kewenangan ini bersifat melekat
(inherent) dan tidak memerlukan persetujuan organ lainnya. Pada
dasarnya, kewenangan ini tidak terbatas (unlimited) dan tidak
bersyarat (unconditional), terkecuali undang-undang atau AD atau
RUPS menetapkan lain. Khusus ketetapan RUPS untuk melakukan
pembatasan, tidak boleh bertentangan dengan UUPT36.
Pada ketentuan tertentu, wewenang Direksi ini tidak berlaku
atau dicabut. Hal-hal yang menyebabkan bekunya wewenang direksi,
sehingga anggota Direksi dapat pula menjadi tidak berwenang
32
Bonifasius Aji Kuswiratmo, “Keuntungan & Risiko Menjadi Direktur, Komisaris, dan Pemegang Saham”, PT.
Visimedia Pustaka, Jakarta, 2016, Hlm. 26
33
Ibid.
34
Ibid, hlm 23
35
Ibid, hlm 30
36
Kun Wahyu Wardana, “Governance Risk Management Compliance: Managing Uncertainties with Integrity and
Integration”, PT. Jasaraharja, September 2019, Hlm. 46
mewakili peseroan, yakni dalam hal:
1. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan
anggota direksi yang bersangkutan;
2. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan
kepentingan dengan kepentingan perseroan;
3. Jika diberhentikan sementara oleh RUPS atau dewan komisaris.

b. Institusi Hukum Pengontrol Kewenangan Direksi


Karena direksi mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk
menjalankan tugas dan servis dari perseroan, bisa jadi kekuasaan
tersebut dipergunakan secara tidak benar atau tidak layak arau
setidak-tidaknya tidak menguntungkan bagi para stake holder dari
suatu perseroan. Karena itu, para direksi tersebut dalam menjalankan
tugasnya perlu dikontol. Dan sektor hukum menyediakan institusi
pengontrol sehingga diharapkan kewenangan direksi tersebut akan
digunakan seefektif mungkin.
Institusi pengontrol tersebut terdiri atas institusi umum dan
korporat. Institusi umum merupakan institusi yang berlaku bukan
hanya dalam hal pembatasan kewenangan direksi, melainkan juga
berlaku bagi setiap orang yang melakukan kesengajaan atau kelalaian
dalam menjalankan tugasnya. Institusi hukum yang membatasi
kewenangan direksi perseroan ini adalah:
1. Rapat Umum Pemegang Saham;
2. Komisaris;
3. Shareholder pooling agreement;
4. Voting Trust;
5. Kuasa Mutlak;
6. Supermajority quorum; dan
7. Supermajority voting.

B. Pelaksanaan Penjualan Aset Perusahaan Oleh Direksi Dihubungkan


Dengan Prinsip Kehati-Hatian Menurut Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Penjualan aset merupakan salah satu kegiatan perusahaan dalam
mengatasi kecepatan laju teknologi informasi. Dalam menjual aset perusahaan,
seorang Direksi wajib berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas karena asset perusahan merupakan hal yang sangat
riskan atau penuh dengan resiko, asset perusahaan merupakan harta kekayaan
perusahaan yang diperoleh, baik dari pemegang saham yang disetorkan pada
awal pendirian perseroan.
Pengalihan Aset Kekayaan diatur dalam Pasal 102 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:
“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan
lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih
Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan
satu sama lain maupun tidak.” 37. Dalam pasal ini, Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS dalam hal mengalihkan kekayaan
Perseroan.
Setelah meminta persetujuan dari para pemegang saham melalui Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi dapat langsung melaksanakan perjanjian
jual-beli dengan pihak lain. Pada saat melakukan jual-beli dengan pihak lain,
Direksi wajib berhati-hati dalam menandatangani surat perjanjian. Kehati-
hatian yang dimaksud disini adalah mencermati isi perjanjian secara teliti agar
tidak terdapat klausa-klausa yang merugikan perusahaan.
Karena apabila perusahaan mengalami kerugian yang diakibatkan
karena kelalaian atau ketidak hati-hatian Direksi, maka Direksi wajib
bertanggungjawab secara penuh atas kerugian tersebut dengan harta
pribadinya.
Tanggung jawab Direksi tersebut di atur dalam Pasal 97 ayat (3)
UUPT yang berbunyi: “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
37
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
dimaksud pada ayat (2)”38. Maka dari itu, sebagai pemimpin perusahaan,
Direksi wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam melakukan tugasnya.
Baik pada saat melaksanakan tugas internal maupun tugas eksternal yang
berhubungan dengan kepentingan perusahaan.
Tanggungjawab direksi merupakan tanggungjawab yang sangat tinggi
dalam sebuah perusahaan karena peranan Direksi yang sangat penting baik
dalam mengatur, mengelola serta mengurus maupun memajukan perusahaan
sehingga tanggungjawab Direksi bukan hanya yang diatur dalam UUPT, tetapi
tanggungjawab Direksi juga banyak diatur dalam doktrin yang mengatur
tanggungjawab Direksi terhadap perusahaan, antara lain:39
1. Fiduciary Duties
2. Duty Of Skill and Care
3. Indoor Manajement Rule
4. Tanggungjawab berdasarkan ultravires
5. Prinsip Piercing The Corporate Veil.40
Di dalam kasus perjanjian jual-beli aset perusahaan yang dilakukan
antara PT. Pikiran Rakyat dan PT. Rajasaland. PT. Rajasaland dan PT. Pikiran
Rakyat sepakat melakukan perjanjian kerjasama pengelolaan properti berupa
perumahan dan pemukiman yang dibangun diatas tanah milik PT. Pikiran
Rakyat yang nantinya tanah tersebut akan dibeli oleh pihak PT. Rajasaland
senilai Rp. 115.000.000.000,00 (seratus lima belas miliar rupiah).
Dalam isi perjanjian tersebut, disebutkan bahwa PT. Rajasaland
menggunakan bantuan perbankan dalam hal finansial. Pembayaran pun
dilakukan dengan 2 tahapan, yaitu tahap pembayaran Down Payment dan
Tahapan Pelunasan Minimal Pembayaran Pembelian Aset Tanah. Pembayaran
tersebut harus sudah dilunasi setelah diterbitkannya Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Namun, pada saat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah
diterbitkan, PT. Rajasaland mengalami kendala dalam hal finansial.
Merasa dirugikan, PT. Pikiran Rakyat menuntut pelunasan pembayaran
aset tanah kepada PT. Rajasaland tetapi setelah dicermati kembali dalam
perjanjian yang dilakukan antara PT. Rajasaland dengan perbankan hanya
untuk biaya kontruksi pembangunan, sedangkan untuk pembayaran pembelian
38
Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
39
Handi Shubhan, “Hukum Kepailitan”, Kharisma Putra Utama, Jakarta, April 2014, Hlm.227
40
Ibid.
tanah milik PT. Pikiran Rakyat didapat dari hasil penjualan perumahan kepada
penduduk setempat.
Adapun pemasaran penjualan perumahan yang dilakukan tidak sesuai
dengan perencanaan awal. Sehingga tidak ada pemasukan finansial kepada PT.
Rajasaland yang mengakibatkan PT. Rajasaland tidak dapat melunasi sisa
pembayaran penjualan aset tanah kepada PT. Pikiran Rakyat.
Dilihat dari perjanjian yang telah diuraikan di atas, Direksi tidak
mengimplementasikan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan penjualan aset
perusahaan. Yang berdampak hilangnya aset perusahaan berupa lahan tanah
kosong milik PT. Pikiran Rakyat yang bernilai sejumlah Rp. 115.000.000.000.
Ketidak hati-hatian Direksi disini dapat dilihat dari perjanjian antara
PT. Pikiran Rakyat dan PT. Rajasaland dimana tidak ada jaminan dari pihak
PT. Rajasaland apabila ada kendala dalam pembayaran. Direksi dinilai tidak
mencermati isi dari perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat tidak memberi
keuntungan pada perusahaan.

ATAU KASUS LAIN

A. Kronologi kasus kepailitan P.T MANDAlA AIRLINES


Menurut hemat Penulis, pada dasarnya kepailitan terjadi karena dua
hal, yaitu karena bisnis yang sudah tidak ada atau buruknya manajemen
perseroan dalam mengurus perseroan. Kepailitan P.T. Mandala Airlines terjadi
bukan karena kegiatan usaha atau bisnis yang dijalankan sudah tidak ada,
karena pada kenyataannya kegiatan usaha penerbangan di Indonesia masih
digunakan oleh masyarakat banyak, sedangkan kepailitan P.T. Mandala
Airlines itu sendiri terjadi karena buruknya manajemen perseroan dalam
mengurus kegiatan usahanya.
Sudah menjadi tanggung jawab penuh direktur P.T. Mandala Airlines
dalam menjalankan perseroan dengan tidak bertindak lalai dan menjalankan
manajemen bisnisnya dengan kepedulian dan kehati-hatian. Dalam hal ini,
kelalaian direktur dalam menjalankan perseroan menyebabkan P.T. Mandala
Airlines pailit sebagai akibat dari kesulitan keuangan yang berujung pada
ketidakmampuan P.T. Mandala Airlines dalam membayar utang-utangnya
kepada para kreditor. Adapun alasanalasan yang mendasari kesulitan
keuangan P.T. Mandala Airlines dalam membayar utang-utangnya kepada
para kreditor yaitu:
1. Biaya yang besar yang timbul untuk perawatan (maintance) pesawat-
pesawat milik pihak ketiga yang digunakan oleh Mandala Airlines
berdasarkan perjanjian leasing;
2. Kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar pesawat sejak tahun
2008 sampai dengan sekarang (saat permohonan pernyataan ini);
3. Infrasturktur airpot yang belum memadai untuk menyokong operasi
penerbangan domestik Mandala Airlines yang berkesinambungan;
4. Slot yang terbatas pada bandar udara-bandar udara utama yang
kemudian membatasi skala operasi ekonomi perusahaan;
5. Penumpukan biaya-biaya operasional yang terakumulasi dalam waktu
yang panjang sehingga mencapai jumlah yang sangat besar;
6. Depresiasi mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat,
dimana sebagian besar atau hampir seluruh biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh Mandala Airlines sebagaimana disebutkan diatas
menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Apabila dilihat dari alasan-alasan tersebut memang tidak
sepenuhnya terjadi karena kelalaian direktur dalam menjalankan
pengurusan perseroan. Sebagai contohnya, mengenai infrastruktur airport
yang belum memadai bagi pesawat Mandala Airlines dan depresiasi mata
uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan faktor eksternal
perseroan yang menyebabkan kesulitan keuangan.
Di sisi lain, kelalaian direktur dalam pengurusan P.T. Mandala
Airlines ini terlihat dari ketidakmampuan P.T. Mandala Airlines dalam
membayar biaya perawatan pesawat kepada pihak ketiga dan adanya
penumpukan biaya-biaya operasional yang terakumulasi dalam waktu
yang panjang dalam jumlah yang besar. Penulis berpendapat apabila
direktur menjalankan tugasnya dengan kepedulian dan kehati-hatian
sebagaimana duty of care dalam fiduciary duty yang dibebankan
kepadanya, hal-hal tersebut yang menjadi alasan kesulitan keuangan P.T.
Mandala Airlines dapat ditangani dengan baik. Hal yang menjadi
pertimbangan Penulis karena P.T. Mandala Airlines mendeklarasikan
dirinya sebagai maskapai penerbangan Low Cost Carrier atau
penerbangan bertarif rendah. Artinya, dalam hal ini P.T. Mandala
Airlines memaksakan dirinya untuk tetap memakai tarif rendah ditengah-
tengah kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar pesawat dan adanya
depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar, dimana hal tersebut
menyebabkan P.T. Mandala Airlines harus menanggung utang-utang
kepada kreditor, karena tidak adanya pendapatan yang seharusnya
diperoleh justru malah menimbulkan penumpukan biaya operasional.
Buruknya manajemen perseroan karena kelalaian direktur P.T.
Mandala Airlines dalam menjalankan kepengurusannya sudah terlihat
sejak adanya pemberhentian kegiatan usaha untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang
dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Niaga. Dalam masa ini, P.T. Mandala
Airlines mengkonversikan utang-utangnya menjadi kepemilikan saham
kepada para kreditor karena ketidakmampuannya untuk membayar, serta
masuknya investor starategis sebagai salah satu jalan keluar bagi P.T.
Mandala Airlines untuk melalui kesulitan keuangan yang dialaminya.
Namun demikian, setelah selesainya proses PKPU bahwa P.T. Mandala
Airlines mencoba untuk melanjutkan kembali kegiatan usahanya tetapi
tidak menghasilkan perubahan yang berarti, dimana kondisi keuangan
perseroan semakin terkuras.
Dengan adanya hal tersebut, akhirnya P.T. Mandala Airlines
memberhentikan operasi kegiatan usahanya untuk kedua kalinya pada 1
Juli 2014. Dalam hal ini, direktur P.T. Mandala Airlines tidak dapat
memanfaatan kesempatannya untuk melakukan suatu perubahan atau
tindakan yang dapat mencegah atau menanggulangi kesulitan keuangan
perseroan. Terlihat dengan adanya investor strategis setelah adanya proses
PKPU tidak juga membantu keuangan P.T. Mandala Airlines. Pada
faktanya, direktur P.T. Mandala Airlines memang telah melakukan
beberapa upaya untuk melepaskan perseroan dari kesulitan keuangan yang
terus menerus terjadi. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain dengan
mengurangi jumlah armada dari 9 (sembilan) menjadi hanya 5 (lima)
pesawat dan berikutnya hingga 4 (empat) pesawat, serta
mengkombinasikan penerbangan internasional dan domestic serta
memperkenalkan rute yang lebih populer, seperti Hongkong ke Denpasar.
Namun demikian ternyata hal yang dilakukan direktur P.T.
Mandala Airlines tersebut tidak dapat meningkatkan pendapatan
perseroan, justru upaya tersebut berdampak pada menurunnya jumlah
penumpang yang menggunakan Mandala Airlines. Meskipun direktur
dalam hal ini telah melakukan beberapa upaya untuk melepaskan
kesulitan keuangan perseroan, direktur P.T. Mandala Airlines melakukan
tindakan yang tidak beritikad baik dan bertanggung jawab terhadap
perseroan.
Sebagai organ perseroan yang diberi kewenangan khusus untuk
menajalankan perseroan dan melakukan segala tindakan hukum atas nama
perseroan dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik, sudah
seharusnya direktur P.T. Mandala Airlines berhati-hati dalam melakukan
tindakan sebagaimana duty of care. Agar terpenuhinya unsur duty of care,
maka terhadap direktur berlaku standar kepedulian (standar of care)
dimana direktur dalam hal ini harus selalu beritikad baik. Sebagaimana
kasus, bahwa setelah adanya pemberhentian kegiatan operasional P.T.
Mandala Airlines, direktur sudah tidak bekerja dalam waktu penuh untuk
mengurus perseroan.
Dalam hal ini terlihat bahwa direktur P.T. Mandala Airlines tidak
bertanggung jawab penuh dan tidak memiliki itikad baik, meskipun
perseroan sedang mengalami pemberhentian kegiatan namun bukanlah
suatu tindakan yang bijak apabila direktur melepaskan tanggung jawabnya
untuk melakukan pengurusan perseroan dengan tidak bekerjanya direktur
dalam waktu penuh. Terlebih, apabila direktur memiliki tanggung jawab
dan itikad baik sebagaimana duty of care yang harus dijalankannya,
direktur seharusnya mempertimbangkan nasihat dari dewan komisaris
yang tidak setuju dengan adanya kepailitan, mengingat fungsi komisaris
dalam perseroan adalah untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada
direksi, agar perusahaan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum
yang merugikan perseroan, shareholders dan stakeholders.
Tidak adanya tanggung jawab dan itikad baik direktur P.T.
Mandala Airlines tercermin dengan mengabaikan nasihat komisaris yang
berpendapat bahwa P.T. Mandala Airlines masih dapat beroperasi
melaksanakan kegiatan usahanya, artinya tidak perlu dipailitkan karena
akan adanya investor yang akan masuk ke perseroan.Atas dasar hal-hal
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam hal ini direktur P.T.
Mandala Airlines tidak melaksanakan prinsip fiduciary duty dalam hal
duty of care yang dibebankan kepadanya sebagai direktur perseroan.
Terkait hal tersebut, adapun mengenai tanggung jawab direktur
dapat dilihat dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT yang menyatakan bahwa
setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2). Pasal tersebut menunjukan hubungan penerapan fiduciary
duty terhadap direksi, dimana direksi harus bertanggung jawab apabila
terbukti tidak menjalankan perseroan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, direktur P.T. Mandala
Airlines dengan ini tidak melaksanakan fiduciary duty, sehingga
menyebabkan kerugian bagi perseroan hingga menyebabkan P.T. Mandala
Airlines pailit. dengan adanya kepailitan tersebut, Pasal 97 ayat (3)
tersebut dapat dihubungkan dengan Pasal 104 ayat (2) UUPT yang
menyatakan bahwa:
“Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak
cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidka terlunasi dari harta pailit
tersebut.”
Dari Pasal tersebut, dapat diketahui ada beberapa unsur agar
ketentuan Pasal 104 ayat (2) UUPT tersebut terpenuhi, yaitu sebagai
berikut:
1 Adanya Kepailitan,
2 Adanya kesalahan atau kelalaian,m
3 Harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
perseroan.
Harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
perseroan. Untuk melihat apakah dalam hal ini direktur P.T. Mandala
Airlines dapat dimintakan pertanggung jawabannya atas P.T. Mandala
Airlines yang dinyatakan pailit, maka Penulis akan mencoba menganalisis
antara fakta yang terjadi dengan unsur-unsur tersebut.
1. Adanya Kepailitan
P. T. Mandala Airlines dalam melakukan kegiatan
operasionalnya dibidang penerbangan membutuhkan
peralatanperalatan, bahan bakar pesawat dan jasa dari pihak-pihak
lain yang terkait. Oleh karenanya, P.T. Mandala Airlines
mengadakan perjanjian-perjanjian dan melakukan pembelian
peralatan serta bahan bakar pesawat dengan pihak lain, dalam hal
ini yaitu pihak ketiga. Transaksi bisnis yang dilakukan P.T.
Mandala Airlines menimbulkan kewajiban-kewajiban pembayaran
yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga.
Q. Mengingat adanya kesulitan keuangan yang dialami
perseroan, P.T. Mandala Airlines tidak mampu untuk melunasi
utang-utang kepada pihak ketiga yang menjadi kewajibannya. Atas
dasar ketidakmampuan membayar utang-utang tersebut, P.T.
Mandala Airlines mengajukan permohonan pernyataan pailit atas
dirinya sendiri. Sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditor.
2. Adanya Kesalahan Atau Kelalaian
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak
mengharuskan terpenuhinya dua point dalam unsur tersebut.
Adanya kata “atau” diartikan sebagai sebuah pilihan, dimana
apabila salah satu point baik kesalahan maupun kelalaian tersebut
ada, maka unsur ini telah terpenuhi. Dalam kasus P.T. Mandala
Airlines, sulit bagi Penulis untuk memutuskan point manakah yang
dilakukan oleh diektur perseroan. Oleh karenanya.
Penulis akan menganalisis terlebih dahulu berdasarkan
prinsip fiduciary duty dalam hal duty of care. Black’s Law
Dictionary mengartikan fiduciary duty yang diartikan ke dalam
Bahasa Indonesia sebagai suatu tugas untuk bertindak dengan
tingkat tertinggi untuk kejujuran dan kesetiaan terhadap orang lain
dan demi kepentingan yang terbaik untuk orang lain (seperti tugas
bahwa salah satu partner berhutang kepada orang lain).204 Dalam
hubungan direksi dengan perseroan, direksi dituntut untuk
memenuhi unsur dari fiduciary duty ini, yang sala satunya adalah
duty of care. Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap
direksi berlaku standar kepedulian (standar of care) sebagai
berikut:
a. Selalu beritikad baik.
b. Tugas-tugas dilakukan dengan kepedulianya seperti yang
dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati dalam posisi
dan situasi yang sama atau seperti yang dilakukan oleh
orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.
c. Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercaya secara
logis merupakan kepentingan yan terbaik dari perseroan.
Untuk mengetahui apakah direktur P.T. Mandala Airlines
menjalankan pengurusannya terhadap perseroan dengan
memenuhi prinsip fiduciary duty, Penulis akan mencoba
untuk menguraikan ketiga unsur dari duty of care tersebut.
B. Hasil Putusan Kepailitan PT. Mandala Airlines
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang mensyaratkan harus
terpenuhinya dua syarat yaitu mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas satu utang yang telah jatuh tempo serta dapat ditagih agar
dapat dinyatakan pailit. Dalam hal ini P.T. Mandala Airlines telah memenuhi
syarat tersebut sehingga apabila melihat dalam Pasal 8 ayat (4)
UndangUndang Kepailitan dan PKPU dikatakan bahwa permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi, maka
permohonan pailit P.T. Mandala Airlines harus dikabulkan karena telah
terpenuhinya syaratsyarat kepailitan.
Meskipun adanya keberatan dewan komisaris dalam permohonan
pailit, hal ini tidaklah menjadi penghalang Hakim Pengadilan Niaga untuk
menyatakan pailit kepada P.T. Mandala Airlines. Hal tersebut didasarkan pada
kemudahan syarat pailit, yakni mengenai pembuktian sederhana (sumir) dalam
proses acara permohonan pernyataan pailit. Adapun “fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana” adalah fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang
yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.
Sedangkan perbedaan jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon
pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan
pernyataan pailit.203 Artinya, apabila syarat-syarat kepailitan telah terpenuhi,
Hakim pengadilan Niaga menyatakan pailit bukan dapat menyatakan pailit.
Kata dapat disini diartikan sebagai dua kondisi yaitu Hakim menyatakan pailit
atau Hakim tidak menyatakan pailit. Sehingga jelas apabila syarat kepailitan
telah terpenuhi, maka Hakim Penagdilan Niaga menyatakan pailit.
Apabila dihubungkan dengan kasus bahwa proses permohonan pailit
menganut pembuktian sederhana sehingga meskipun dalam proses
permohonan pailit P.T. Mandala Airlines terdapat keberatan dewan komisaris,
namun syarat pailit telah terpenuhi dimana P.T. Mandala Airlines memiliki
utang sebesar 11,2 Miliar Rupiah dan 500 Miliar Rupiah Utang pajak, dengan
setidaknya ada 7 kreditor yang mewakili para kreditor di permohonan pailit
atas utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dengan demikian, pembuktian sederhana dalam kepailitan inilah yang
menjadi pertimbangan pada akhirnya P.T. Mandala Airlines dinyatakan pailit.
Atas dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga, pada tanggal 9 Februari
2015 Hakim mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan pemohon P.T.
Mandala Airlines pailit dengan segala akibat hukumnya.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis maka dapat ditarik kesimpulan
dan saran sebagai berikut:
1. Hubungan antara direksi dengan perseroan adalah hubungan antara agen
dengan prinsipal yang saling tergantung dalam kepentingan bersama. Direksi
merupakan ujung tombak organ perseroan yang bertanggung jawab penuh
atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 97 ayat
(2) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha perseroan. Dalam konsep fiduciary duty, seorang anggota direksi
diwajibkan untuk memiliki duty of care and duty of diligent, bagi kemajuan
dan perkembangan usaha perseroan. Pada umumnya direksi bertanggung
jawab atas tindakan ultra vires nya dalam mengelola perseroan. Walaupun
demikian tidak semua tindakan diluar kewenangan yang diberikan Undang-
undang dan Anggaran dasar yang dibuat oleh anggota direksi tersebut
mengandung gross negligence, fraud, conflict of interest atau illegality
terhadap perseroan. Dalam duty of care, tugas dan tanggung jawab direksi
meliputi antara lain:
a. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab memelihara dan
mengoperasikan perseroan dengan terencana, penuh keahlian dan kehati-
hatian;
b. Mengendalikan dan mendayagunakan semua sumber daya perseroan
untuk mencapai tujuan perseroan dalam berbisnis. Kewajiban untuk
bertindak dengan hati-hati atau duty of care menuntut direksi untuk
membuat keputusan bisnis, melalui suatu proses pengambilan keputusan,
dengan tingkat kehati-hatian yang umumnya digunakan oleh orang biasa
dalam keadaan yang sama dengan mempertimbangkan informasi materil
yang tersedia secara wajar.
c. Menggunakan informasi yang cukup dalam pertimbangan untuk membuat
suatu keputusan merupakan usaha itikad baik yang diperlukan dalam
melakukan duty of care.
d. Dalam menjalankan usahanya itu, direksi harus melakukan pengambilan
keputusan dari waktu ke waktu, oleh karena itu keputusan hanya dapat
diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, yang harus
diupayakan untuk diperoleh, dan dicerna dalam rangka memilih alternatif
yang terbaik. Fungsi dari seorang direksi pada pada dasarnya merupakan
spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya, dan tujuan
pengusaha atau perseroan adalah untuk memaksimmalkan keuntungan,
sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap pencapaian
keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi. Risiko yang
dihadapi, seperti kemungkinan adaanya perubahan dalam perekonomian
di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil keputusan dalam
ketidakpastian. Ada beberapa situasi dimana seorang direktur perseroan
mungkin dapat dituntut untuk membayar kerugian karena telah lalai dalam
melaksanakan prinsip kehatihatian (duty of care), jika dalam menghadapi
suatu persoalan yang kompleks dan rumit, ia tidak mencari pendapat ahli
untuk memberikan masukan dalam mengambil keputusan terhadap
persoalan yang dihadapinya, serta anggota direksi mengambil keputusan
mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan
dapat mengakibatkan perseoan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang
berwenang, serta anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya
telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan
yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan.
B. SARAN
1. Direksi adalah satu-satunya organ perseroan yang diberikan hak dan
wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan, yang
dipercayakan untuk mengelola dan menjalankan perseroan hingga
memberikan keuntungan bagi perseroan. Ini membawa konsekuensi
bahwa jalannya perseroan, termasuk pengelolaan harta kekayaan
perseroan sepenuhnya pada direksi perseroan, maka perlu ditegaskan
dalam Undang-undang mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepada direksi apabila terjadi kerugian
pada perseroan. Dengan demikian nantinya dapat secara jelas ditentukan
mana yang menjadi tanggung jawab perseroan dan mana yang menjadi
tanggung jawab direksi perseroan, dan juga direksi wajib untuk mengikuti
dan menjalankan prinsip fiduciary duty yaitu duty of care karena prinsip
ini merupakan tolak ukur dimana posisi perseroan dipertaruhkan apakah
akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Prinsip duty of care ini
mencakup keseluruhan yang diperlukan oleh seorang direksi perseroan
untuk melihat adanya peluang atau profit oriented di dalam sebuah bisnis.
2. Setiap perusahaan seharusnya memuat dalam anggaran dasarnya
masingmasing dalam satu ayat mengenai tindakan direksi yang harus
dimintakan persetujuan dari RUPS dan tindakan direksi yang harus
dimintakan persetujuan dari dewan komisaris sehingga direksi dapat
menjalankan kepengurusan sesuai dengan doktrin fiduciary duty yaitu
duty of care dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Bidiarto, Agus, 2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Fuady, Munir, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
H. Zaeni, Ashyadi dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Perusahaan dan Kepailitan,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta. 2007, hal.
Irawan, Bagus, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, Cetakan
Kedua, Edisi Pertama, (Bandung : PT Alumni, 2007), hlm 92.
H.M.N Purwosutjipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2,
Djambatan, Jakarta, h.85
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta. 2006,
Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan ketiga, Edisi Kesatu, (Jakarta : Sinar Grafika,
2008), hlm.
Kurniawan, Hukum Perusahaan Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan
Tidak Berbadan Hukum Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014,
hal.66
Khairandy, Ridwan, 2013, Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia cetakan ke1, FH
UII Press, Yogyakarta.
Widjaja, Gunawan, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. ,
Gunawan, 2008, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT, Forum
Sahabat, Jakarta.
Sembiring, Sentosa, 2012, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas/Sentosa
Sembiring Cet.3, Nuansa Aulia, Bandung.
Winardi, Asas-Asas manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144

B. Jurnal/Tesis/Makalah
Sartika Nanda Lestari, “Business Judgment Rule sebagai Immunity Doctrine
bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”, Jurnal Notarius,
Vol. 8, No. 2, September 2015.
I. Nyoman Tjager, “Acuan Yuridis Merger dan Akuisisi”, Makalah pada
seminar sehari Akuisisi dan Dampak Globalisasi terhadap Pasar Modal
Indonesia, Jakarta, 25 Agustus 1992.
Kurniawan, “Tanggung Jawab Direksi dalam Kepailitan Perseroan Terbatas
Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum
Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Volume 24, No. 2, Juni
2012.
Bonifasius Aji Kuswiratmo, “Keuntungan & Risiko Menjadi Direktur,
Komisaris, dan Pemegang Saham”, PT. Visimedia Pustaka, Jakarta,
2016, Hlm. 26
Kun Wahyu Wardana, “Governance Risk Management Compliance: Managing
Uncertainties with Integrity and Integration”, PT. Jasaraharja,
September 2019, Hlm. 46

C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

Anda mungkin juga menyukai