TERBATAS
DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Perseroan Terbatas adalah badan hukum (legal person, legal entity) dan subjek
hukum yang mandiri (persona standi judicio) 1. Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari
dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal
Perusahaan Terbatas (PT) yang terdiri dari saham. Kata terbatas merujuk pada
tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal
semua saham yang dimilikinya. Perseroan Terbatas memiliki organ dengan fungsi
dan wewenang masing-masing2.
Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang
saham) nya untuk mengalihkan perusahaannya (kepada setiap orang) dengan
menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut 3. Menurut Pasal
1 angka 1 Undangundang Nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Perseroan
Terbatas adalah :“Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini4.
Mengingat dunia usaha perkembangannya demikian dinamis, maka dalam
rangka untuk memperkokoh keberadaan Perseroan Terbatas sebagai salah satu
bentuk badan usaha yang menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha, pemerintah
merasa perlu menyesuaikan ketentuan tentang Perseroan Terbatas. Untuk itu
pemerintah menerbitkan ketentuan tentang Perseroan Terbatas yang lebih
komprehensif yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT)5.
Fiduciary dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius yang bermakna
kepercayaan. Secara teknis istilah fiduciary dimaknai sebagai seseorang yang
memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain. Sesorang
1
Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan ketiga, Edisi Kesatu, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm.
2
H.M.N. Purwosutjipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta,
h.85
3
Ahmad Yani& Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal.
4
H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2012, hlm. 69.
5
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung, 2012,
hlm. 5.
memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) ketika ia memiliki kapasitas fiduciary
(fiduciary capacity).
Seseorang dikatakan memiliki kapasitas fiduciary jika bisnis yang
ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain. Fiduciary Duties
terjadi ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan
mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang
lain6.
Fiduciary Duties oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai (the duty to
act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the
best interest of the other person (such as the duty that one partner owes to another).
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berarti Fiduciary Duties merupakan
suatu tugas untuk bertindak dengan tingkat tertinggi untuk kejujuran dan kesetiaan
terhadap orang lain dan demi kepentingan yang terbaik untuk orang lain (seperti
tugas bahwa salah satu partner berhutang kepada orang lain)7.
Direksi sebagai organ yang bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan
pengurusan perusahaan sangat berpotensi melakukan pelanggaran atau
penyimpangan tugas dan kewajiban yang dibebankan. Tanggung jawab tidak
terbatas dibebankan pada direksi apabila direksi terbukti melakukan kesalahan
secara pribadi yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan dan direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk mengganti segala kerugian yang
ditimbulkan terhadap perseroan.
Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan hanya untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.Dalam hal ini direksi
bertanggung jawab sebagai pihak eksekutif berdasarkan doktrin fiduciary duty 8.
Fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung
jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan)9.
6
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.33.
7
Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan ke-1, FH UII Press,
Yogyakarta, h.109, dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St.PaullMinn: West
Publishing Co, 2004), h.545.
8
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia, Cetakan Kedua,( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 25.
9
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Edisi Revisi (Jogjakarta: Total Media Yogyakarta), hlm. 210.
Di dalam badan usaha Perseroan Terbatas terdapat pemisahan tanggung jawab
antara pemilik perusahaan dengan perusahaan dengan perusahaan itu sendiri. Hal
ini disebabkan karena Perseroan Terbatas setelah memenuhi prosedur tertentu
diakui sebagai badan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban sama halnya
dengan individu10.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undangundang Perseroan Terbatas, organ
perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) adalah organ perseroan yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak
diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Direksi merupakan salah satu bagian terpenting dalam Perseroan Terbatas
sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, direksi memiliki tugas untuk menjalankan perseroan,
mengontrol perseroan dimana salah satunya adalah mengambil keputusan bisnis
yang berdampak pada Perseroan Terbatas kedepannya11.
Anggota direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan wajib berhati-hati
(the duty of the due care) atau duty of care atau disebut juga prudential duty. Dalam
mengurus perseroan, anggota direksi tidak boleh “sembrono” (carelessly) dan
“lalai” (neglience). Apabila dia sembrono dan lalai melaksanakan pengurusan,
menurut hukum dia telah melanggar kewajiban berhati-hati (duty of care) atau
bertentangan dengan “prudential duty”12.
Dalam mengambil pertimbangan, direksi tidak boleh mengabaikan dan masa
bodoh (ignore) terhadap ketentuan hukum dan anggaran dasar perseroan. Setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan anggota direksi dalam pengurusan perseroan,
tidak dapat dimaafkan dan ditoleransi meskipun hal itu diambil berdasar
pertimbangan yang hati-hati, apabila direksi sendiri mengetahui dasar pertimbangan
itu bertentangan dengan ketentuan hukum atau anggaran dasar perseroan13.
Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
dengan judul “PENERAPAN PRINSIP DUTY OF CARE OLEH DIREKSI
PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA”.
10
I Nyoman Tjager, “Acuan Yuridis Meger dan Akuisisi” makalah pada Seminar Sehari Akuisisi dan
Dampak Globalisasi Terhadap Pasar Modal Indonesia, Jakarta, 25 Agustus 1992, hlm. 3.
11
Sartika Nanda Lestari, "Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia", Jurnal Notarius, Vol. 8, No.2, September 2015, hlm. 302.
12
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 379.
13
Ibid, hlm 380
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang masalah, selanjutnya masala
h yang akan di cari jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan tentang prinsip duty of care di Indonesia?
2. Bagaimanakah terjadinya pelanggaran fiduciary duty oleh direksi sehing
ga menyebabkan perseroan pailit?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitiannya ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang Prinsip duty of care di Indonesia b
agaimana dan seperti apa
2. Untuk mencari jawaban sekaligus menganalisis terjadinya pelanggaran fi
duciary duty oleh direksi sehingga bisa menyebabkan perseroan pailit
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat baik dari segi teoritis
maupun dari segi praktis sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum bisnis.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan
kepada para pelaku bisnis yang menjalankan suatu perseroan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM
1. Pengertian Perseroan Terbatas
Kata perseroan dalam pengertian umum adalah adalah perusahaan atau
organisasi usaha. Sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi
usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang
indonesia14. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, yang mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai
berikut :
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.”
Dari batasan yang diberikan tersebut diatas, menurut Gunawan Wijaya dan
Ahmad Yani ada 5 (lima) hal pokok yang dapat kita kemukakan yaitu :
1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum;
2. Didirikan berdasarkan perjanjian;
3. Menjalankan usaha tertentu;
4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham;
5. Memenuhi persyaratan undang-undang15.
Pada dasarnya badan hukum adalah suatau badan yang dapat memiliki hak-
hak dan kewajibankewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia,
memiliki kekayaan sendiri, dan diajukan permohonan tanggung jawab dan
menggugat di depan pengadilan16. Perseroan Terbatas merupakan badan hukum
(legal entity) yaitu badan hukum mandiri (persona standy in judicio), yang memiliki
sifat dan ciri kualitas yang berbeda dengan bentuk badan usaha lain17.
Perseroan terbatas sebagai badan hukum berarti merupakan organisasi yang
mempunyai tujuan tertentu, dan sebagai badan hukum perseroan terbatas memiliki
14
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta. 2006, hal 1
15
4 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal 7
16
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas..., op. cit. hlm, 5.
17
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, Cetakan Kedua, Edisi
Pertama, (Bandung : PT Alumni, 2007), hlm 92.
kekayaan sendiri yang terlepas dari kekayaan pengurusnya, dan dapat berhubungan
dengan pihak lain dalam pergaulan hukum18.
Sebagai badan hukum perseroan terbatas juga memiliki alat perlengkapan
dalam melakukan kegiatan usahanya. Alat perlengkapan dari perseroan terbatas
disebut sebagai organ perseroan. Pada prinsipnya organ perseroan terdiri dari 3
(tiga) yaitu:19
1. Direksi
2. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
3. Dewan Komisaris
2. DIREKSI
Direksi memagang peran yang sangat penting dalam perusahaan. Adapun
yang dimaksud dengan direksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007:
”Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.
18
L.G. Rai Widyjaya, Op Cit Hal 2
19
Kurniawan, Hukum Perusahaan Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan Tidak Berbadan
Hukum Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, hal.66
20
Winardi, Asas-Asas manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144
1 ayat (2) dan (4), Pasal 2, Pasal 79 ayat (1), Pasal 82 dan Pasal 85 ayat (1) Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas21.
Namun demikian kewenangan Direksi bertindak melakukan perbuatan hukum
tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas disebutkan dalam maksud
dan tujuan, tetapi juga meliputi perbuatanperbuatan lainnya, yaitu perbuatan yang
menurut kebiasaan, kewajaran dan kepatutan yang dapat disimpulkan dari maksud
dan tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan-perbuatan
tersebut tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan maksud dan tujuan22.
Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa :
“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Penjelasan :
“Yang dimaksud dengan „penuh tanggung jawab‟ adalah memperhatikan
perseroan dengan saksama dan tekun”
Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan
fungsi pengurusan perseroan. Pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi
suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi menejemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin
perusahaan. Fungsi menejemen ini dalam hukum Jerman disebut dengan
Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan menurut Tri Budiyono (2011;167) fungsi
menejemen/pengelolaan menempatkan Direksi sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap maju mundurnya perusahaan, khususnya
dalam mewujudkan tujuan perusahaan, maka dirinya harus dilengkapi
otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan (perbuatan) hukum. Dengan
kata lain ia harus bertindak sebagai subyek hukum.
b. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan
di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan
menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan
transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan
untuk kepentingan perseroan. Fungsi representasi ini dalam hukum
Jerman disebut dengan Vertretungsmacht (Munir Fuady, 2002: 32).
Fungsi representasi menurut Tri Budiyono (2011:167-168) sejatinya
menjadi perwujudan subjek hukum yang melekat pada perseroan terbatas
sebagai subjek hukum (legal entity atau rechtpersoon). Dengan fungsi
21
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Persero), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, haL 17
22
Racmadi Usman,Dimensi Hukum Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004, hal.164
representasi ini Direksi melakukan perbuatan hukum tidak dalam
kapasitas sebagai pribadi (baca subyek hukum
alamiah/natuurlijkepersoon) tetapi bermetamorfose pada perseroan.
Dalam fungsinya yang demikian seringkali dikatakan bahwa Direksi
menjadi personifikasi dari perseroan terbatas. Dalam hal ini mempertegas
bahwa perseroan sebagai subyek hukum sejatinya hanya merupakan
konstruksi hukum. Ia hanya dapat dipahami secara virtual melalui
konstruksi hukum berfikir yang kemudian dikukuhkan dan diakui
eksistensinya secara yuridis.
Keberadaan dan fungsi Direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT dapat
dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat
umum pemegang saham, direksi dan komisaris.
b. Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ
perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
c. Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, kepengurusan perseroan
dilakukan oleh direksi.
d. Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
e. Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi
wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh,
dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi
akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan,
sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran
Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya. Selama Direksi
melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires), maka sudah
selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, walaupun
Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :
a. Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada
dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).
b. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana
orang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata).
Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan,
maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi
tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan. Hal inilah yang
dimaksud dengan doktrin bussiness judgement rule. Sedangkan bagi tindakan-
tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan
yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh
atau sebagai tindakan perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara
pribadi atas setiap tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam
anggaran dasar perseroan.
Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan
ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang
bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan- ketentuan
sebagai berikut:
a. Intravires dan Ultravires
Secara sederhana menurut Tri Widiyono (2005: 43) pengertian
intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai
"bertindak melebihi kewenangannya". Berkaitan dengan intravires dan
ultravires, Fred B.G. Tumbuan sebagaimana dikutip oleh Try Widiono (2005)
menyatakan bahwa : Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau
secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam
maksud dan tujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di
luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Ultra
Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada hakikatnya adalah
sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada di luar
kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau
berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.
Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya (2000: 227) menyatakan:
Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas
(capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan perusahaan yang
tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultra vires adalah
hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan. Perbuatan ultra vires
pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu
tidak mengikat perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 22). Dalam hal ini ada 2
(dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan, yaitu :
1) Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada
di luar maksud dan tujuan perseroan.
2) Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang diberikan
kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran
dasar perseroan.
Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur
suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai
dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau
tidak (Tri Widiyono, 2005: 44). Jika perbuatan tersebut melampaui
kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan
tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung
jawab pada dirinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Sampai seberapa jauh
suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan
perseroan sehingga dapat kategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus
dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia
usaha.
b. Fiduciary Duty
Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena
itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan,
maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian. Pendelegasian
wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola perseroan terbatas
lazim disebut sebagai fiduciary duty (Tri Widiyono,2005: 8).
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan
fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang
menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu ”seorang
direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and
skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan
”derajat yang tinggi” (high degree)”.(Munir Fuady, 2002 : 49).
Pada dasarnya Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak
atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar
perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan
yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti direksi memiliki
limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan
(Gunawan Widjaja, 2004: 32).
Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's
Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja
(2004) menyatakan bahwa:
In applying the general equitable principle to company directors, four
separate rules have emerged. These are:
• That directors must act in good faith in what they believe to be the
best interest of the company;
• That they must not exercise the powers conferred upon them for
purposes different from those for which they were conferred;
• That they must not fetter their discretion as to how they shall act;
• That, without the informed consent of the company, they must not
place themselves in a position in which their personal interests or
duties to other persons are liable to conflict with their duties.
Keempat prinsip menunjukkan bahwa Direksi perseroan dalam
menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:
1) Bertindak dengan itikad baik;
2) Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan
kepentingan dari pemegang saham semata-mata;
3) Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan
tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat
kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak
diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang
lingkup geraknya sendiri
4) Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan
kepentingan direksi.
Menurut Gunawan Widjaja (2004) bahwa pada dasarnya direksi
merupakan organ "kepercayaan" perseroan yang akan bertindak mewakili
perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan
dan kepentingan perseroan. Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut,
ada 2 (dua) hal yang dapat dikemukakan yaitu:
1) Direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good
faith);
2) Direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan
kepentingannya (duty of care and skill).
Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah
satu atau lebih anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya.
Namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di
antara anggota direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.
Jadi, dengan fiduciary duty ini, pihak direksi harus mempunyai itikad
baik yang tinggi dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya,
sementara di pihak perusahaan harus mempunyai kepercayaan yang besar
kepada direksinya. Dengan demikian, apabila misalnya direksi hanya
menjalankan tugasnya dengan penuh kehatian-hatian, atau etikad baik, atau
loyalitas saja (tidak dalam keadaan lalai atau negligence), belumlah sampai
dikatakan bahwa dia telah menjalankan fiduciary duty.
Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif,
artinya harus dipenuhi kedua-duanya. Apa yang dimaksud dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab tersebut, dalam UUPT baik dari pasal-pasalnya maupun
penjelasannya tidak memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud atau
kandungan dari konsep itikad baik dan penuh tanggung jawab itu.
Menurut Munir Fuady (2002: 50-51) beberapa prinsip hukum yang terbit
dari adanya duty of care dari Direksi adalah sebagai berikut:
1) Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap direksi berlaku
standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut:
(a). Selalu beritikad baik. Contoh dari perbuatan-perbuatan yang tidak
dilandasi dengan itikad baik itu adalah :
i. Perseroan membeli barang atau properti dari pihak lain dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau
ii. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain
dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya.
Sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi dari
transaksi itu, atau
iii. Apabila direksi dari suatu lembaga kredit, seperti misalnya bank
atau perusahaan pembiayaan (multi finance company), telah
memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak melakukan
analisis yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu
sebenarnya tidak layak (fesible), tetapi direksi bank atau
perusahaan pembiayaan tersebut memutuskan untuk
memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan ternyata
kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank
atau lembaga pembiayaan itu.
iv. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula
memperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka
memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianya dilakukan
dengan dan untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya,
tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain dimana
anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan.
(b). Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang dilakukan
oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) dalam
posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang dilakukan oleh orang
tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.
(c). Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis
(reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best
interest) dari perseroan.
5) Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala dia gagal dalam
mengarahkan (failure to direct) bawahannya dan jalannya perusahaan.
Dalam teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari
direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:
1) Syarat prosedural
Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari
suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh
perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Di
samping itu, direksi juga harus selalu mendapatkan informasi yang
lengkap (well informed) terhadap perseroannya.
2) Syarat Substantif
Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care) terhadap
seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan
perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan
pertimbangan yang rasional. Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak
berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar
optimal. Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) dari keputusan
tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada, yang
oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu
sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di luar tindakan direksi
yang dibenarkan oleh hukum(Munir Fuady, 2002: 49-50)
b. Business Judgement Rule
Selain doktrin duty of care, terdapat juga doktrin lain yang disebut
Business Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat
beberapa ahli hukum dianggap) telah memberikan kelegaan karena duty
of care telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para
anggota direksi perseroan (Gunawan Widjaja, 2004: 37).
Untuk mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepada
direksi, berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan
yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan
perseroan, direksi tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu
terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi. Oleh karena itu,
“untuk melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya
keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doctrine business
judgements rule”(Tri Widiyono, 2005: 46).
Menurut Try Widiyono (2005) doktrin ini mendudukkan manusia
pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang
sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang.
Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam
menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan
manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak
digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil
keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur
manusiawinya. Doktrin business judgements rule memberikan
perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang
diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.
Konsep Business Judgment Rule mencegah pengadilan-pengadilan
mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang
diambil dengan itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang
dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu
keputusan yang menguntungkan perseroan (Gunawan Widjaja, 2004 :
37).
Menurut Sutan Remi Sjahdeni (2001: 101) menyatakan bahwa :
Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis (business
judgment) para anggota direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat)
atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota
Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang
timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business
judgment) oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun
pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Business judgment rule adalah a presumption that in making a
business decision, the directors of corporation acted on an informed
basis in good faith and in a honest belief that the action was taken in the
best interest of the company. Bentuk perbuatan-perbuatan dan
pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh business
judgment rule sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim.
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment)
seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila
pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan
(fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau
merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).
Sementara itu, beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa
seorang direktur yang dalam mengambil pertimbangan telah
menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dilindungi oleh business
judgment rule, jika kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian berat
(gross negligence) anggota Direksi yang bersangkutan.
Perlindungan business judgment rule dikatakan tidak berlaku bagi
anggota Direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan
oleh direksi diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya
mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk
membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan
pribadinya.
Dengan demikian, judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat
dikatakan sebagai "discretionary exercises of power on behalf of the
corporation" yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan
(fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest)” Gunawan
Widjaja, 2004: 40).
Dengan demikian, dengan diberlakukannya prinsip Business
Judgment Rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang
menduga bahwa Direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak
secara baik untuk keuntungan perseroan, wajib membuktikan adanya
dugaan tersebut.
3. RUPS
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) yang menyatakan bahwa, Rapat Umum
Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
RUPS dapat diselenggarakan dengan 2 (dua) macam RUPS, yaitu sebagai berikut:23
23
Gatot Supranomo, Hukum Perseroan Terbatas,ed rev, cet. Ke 4,Djambatan, Jakarta, 2007, hal 3
a. RUPS Tahunan, yang diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku.
b. RUPS lainnya, yang dapat diselenggarakan sewaktu-waktu berdasarkan
kebutuhan.
Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Pasal 79 ayat (1) dapat
dilakukan atas permintaan :
a) 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili
1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil;
atau
b) Dewan Komisaris.
Perseroan Terbatas merupakan kumpulan atau asosiasi modal yang oleh
UUPT diberikan status sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas pada
hakikatnya adalah wadah kerjasama dari para pemilik modal atau pemegang saham
yang dijelmakan dalam RUPS.
Oleh karenanya adalah wajar jika RUPS mempunyai kekuasaan dan
kewenangan yang tidak dimiliki oleh organ Perseroan Terbatas yang lain. Inilah
yang disebut sebagai wewenang yang eksklusif (exclusive authorities) RUPS.
Perseroan sebagai badan hukum, bermakna bahwa perseroan merupakan
suatu subjek hukum, dimana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani
hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Subjek hukum adalah sesuatu yang
dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum atau melakukan tindakan perdata
atau membuat suatu perikatan24.
4. KOMISARIS
Disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sebagai pengganti dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas maka,
keberadaan Komisaris tidak lagi bersifat fakultatif akan tetapi sudah menjadi suatu
keharusan bagi Perseroan Terbatas, sebagaimana dimaksud didalam Pasal 1 ayat (6)
yang menyatakan bahwa :
“Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Anggaran Dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi.”
24
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2007, hal.
17
Fungsi kontrol dan pemberian advis oleh Dewan Komisaris ini bisa dijabarkan
lebih lanjut sebagai berikut :25
a. Dewan Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam
menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi.
b. Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (fiduciary duty)
c. Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai pemilikan
saham dan atau keluarganya (suami, istri dan anakanaknya) pada perseroan
tersebut dan perseroan lainnya.
Demikian juga setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib
pula dilaporkan. Laporan mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus yang
merupakan salah satu sumber informasi mengenai besarnya kepemilikan dan
kepentingan pengurus perseroan yang bersangkutan atau perseroan lain, sehingga
pertentangan kepentingan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Pasal 108 :
1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan,
jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun
usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi;
2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan;
3) Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih;
4) Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota
merupakan majelis dan setiap anggota dewan Komisaris tidak dapat
bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan
Komisaris;
5) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun
dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan
surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka
wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.
Subjek hukum yang dikenal oleh para ahli hukum ada dua macam, yaitu: 21
Orang pribadi (Belanda: naturlijk person atau Inggris: natural person); b. Badan
hukum (Belanda: rechtpersoon atau Inggris: legal entity). Perseroan Terbatas adalah
suatu organisasi dan mempunyai pengurus yang dinamakan direksi.
Sebagai organisasi sudah pasti mempunyai tujuan, pengawasan dilakukan
oleh komisaris yang mempunyai wewenang dan kewajiban sesuai dengan ketetapan
dalam anggaran dasarnya. Oleh karena itu Perseroan Terbatas adalah suatu badan
25
I.G. Ray widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Perusahaan, Cet. 1, Jakarta,
kesaint Blanc, 2000, hal. 254
usaha yang mempunyai unsur-unsur adanya kekayaan yang terpisah, adanya
pemegang saham, dan adanya pengurus26.
26
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hal 25-26
27
I.G Rai Widjaya, Op.Cit, Hlm. 220.
28
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82
Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan".
29
Munir Fuady, 2002, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.61
dapat juga terikut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya 30. Berdasarkan
Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa :
“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
30
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hal. 143.
BAB III
PELAKSANAAN DAN PENGATURAN PRINSIP DUTY OF CARE
DI INDONESIA
31
Debora Maristella, “Penerapan Prinsip Duty of Care oleh Direksi Perseroan Terbatas di Indonesia”, JOM
Fakultas Hukum, Vol. V, No. 2, Oktober 2018, Hlm. 7-8.
bertentangan dengan “prudential duty”. Patokan kehati-hatian (duty
of care) yang diterapkan secara umum dalam praktik, adalah standar
kehati-hatian yang lazim dilakukan orang biasa (the kind of care that
an ordinary prudent person) dalam posisi dan kondisi yang sama.
Apabila patokan kehati-hatian ini diabaikan oleh anggota
direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan, dia dianggap
bersalah melanggar kewajiban mesti melaksanakan pengurusan
dengan penuh tanggung jawab. Kriteria atau standar kehati-hatian
dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
a. Standar dasar, bahwa direksi harus bertindak seperti orang
biasa yang berhati-hati dalam situasi yang sama.
b. Standar objektif, artinya direksi yang mempunyai
kemampuan dibawah rata-rata orang biasa dalam posisi
direksi harus memenuhi standar rata-rata orang biasa.
Sebaliknya, direksi yang mempunyai keahlian khusus, harus
mempergunakan keahlian khusus tersebut.
c. Menguntungkan keputusan kepada nasihat ahli dan komite.
Direksi berhak mengambil keputusan berdasarkan nasihat
ahli dan komite, akan tetapi hal tersebut harus masuk akal
dalam situasi tertentu.
d. Kelalaian yang pasif, direksi tidak bertanggung jawab atas
kelalaiannya karena tidak mengetahui kesalahan yang
dilakukan oleh management dan pegawai. Akan tetapi jika
dia mengetahui fakta yang mengarah kedugaan adanya
perbuatan menyimpang, maka dia tidak dapat menutup mata
atas fakta itu. Dalam suatu perusahaan besar, direksi yang
tidak melakukan mekanisme untuk memonitor suatu
perbuatan menyimpang, seperti internal accounting control
atau komite audit, mungkin akan dianggap melanggar duty of
care.
e. Sekalipun direksi melanggar duty of care, akan tetapi dia
hanya bertanggung jawab atas kerugian jika perbuatanya
merupakan proximate cause atau sebab terdekat dari
timbulnya kerugian.
2. Kewenangan Direksi
a. Kewenangan Direksi di Perusahaan
Direksi memegang peranan penting dalam sebuah Perseroan
Terbatas (PT). Direksi adalah organ PT yang berwenang dan
bertanggungjawab penuh atas pengurusan PT untuk kepentingan PT,
sesuai dengan maksud dan tujuan PT serta mewakili PT, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar32.
Kewenangan direksi diberikan dan dibatasi oleh UUPT serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait maksud dan
tujuan PT dan Angarran Dasar PT. Pelaksanaan kewajiban direksi
sebagai organ perseroan secara rutin dilengkapi dengan kewenangan
yang ditetapkan dalam UUPT33.
Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda, yaitu
melaksanakan kewajiban sebagai pengurus dan menjalankan
perwakilan perseroan34. Tugas dan kewenangan anggota Direksi
untuk melakukan tindakan pengurusan dan perwakilan mutlak
dibebankan dan dipikul ole direktur apabila PT hanya mengangkat 1
(satu) orang anggota Direksi35.
Kualitas kewenangan direksi mewakili perseroan diperoleh dari
undang-undang, dengan demikian, kewenangan ini bersifat melekat
(inherent) dan tidak memerlukan persetujuan organ lainnya. Pada
dasarnya, kewenangan ini tidak terbatas (unlimited) dan tidak
bersyarat (unconditional), terkecuali undang-undang atau AD atau
RUPS menetapkan lain. Khusus ketetapan RUPS untuk melakukan
pembatasan, tidak boleh bertentangan dengan UUPT36.
Pada ketentuan tertentu, wewenang Direksi ini tidak berlaku
atau dicabut. Hal-hal yang menyebabkan bekunya wewenang direksi,
sehingga anggota Direksi dapat pula menjadi tidak berwenang
32
Bonifasius Aji Kuswiratmo, “Keuntungan & Risiko Menjadi Direktur, Komisaris, dan Pemegang Saham”, PT.
Visimedia Pustaka, Jakarta, 2016, Hlm. 26
33
Ibid.
34
Ibid, hlm 23
35
Ibid, hlm 30
36
Kun Wahyu Wardana, “Governance Risk Management Compliance: Managing Uncertainties with Integrity and
Integration”, PT. Jasaraharja, September 2019, Hlm. 46
mewakili peseroan, yakni dalam hal:
1. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan
anggota direksi yang bersangkutan;
2. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan
kepentingan dengan kepentingan perseroan;
3. Jika diberhentikan sementara oleh RUPS atau dewan komisaris.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis maka dapat ditarik kesimpulan
dan saran sebagai berikut:
1. Hubungan antara direksi dengan perseroan adalah hubungan antara agen
dengan prinsipal yang saling tergantung dalam kepentingan bersama. Direksi
merupakan ujung tombak organ perseroan yang bertanggung jawab penuh
atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 97 ayat
(2) UUPT menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha perseroan. Dalam konsep fiduciary duty, seorang anggota direksi
diwajibkan untuk memiliki duty of care and duty of diligent, bagi kemajuan
dan perkembangan usaha perseroan. Pada umumnya direksi bertanggung
jawab atas tindakan ultra vires nya dalam mengelola perseroan. Walaupun
demikian tidak semua tindakan diluar kewenangan yang diberikan Undang-
undang dan Anggaran dasar yang dibuat oleh anggota direksi tersebut
mengandung gross negligence, fraud, conflict of interest atau illegality
terhadap perseroan. Dalam duty of care, tugas dan tanggung jawab direksi
meliputi antara lain:
a. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab memelihara dan
mengoperasikan perseroan dengan terencana, penuh keahlian dan kehati-
hatian;
b. Mengendalikan dan mendayagunakan semua sumber daya perseroan
untuk mencapai tujuan perseroan dalam berbisnis. Kewajiban untuk
bertindak dengan hati-hati atau duty of care menuntut direksi untuk
membuat keputusan bisnis, melalui suatu proses pengambilan keputusan,
dengan tingkat kehati-hatian yang umumnya digunakan oleh orang biasa
dalam keadaan yang sama dengan mempertimbangkan informasi materil
yang tersedia secara wajar.
c. Menggunakan informasi yang cukup dalam pertimbangan untuk membuat
suatu keputusan merupakan usaha itikad baik yang diperlukan dalam
melakukan duty of care.
d. Dalam menjalankan usahanya itu, direksi harus melakukan pengambilan
keputusan dari waktu ke waktu, oleh karena itu keputusan hanya dapat
diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, yang harus
diupayakan untuk diperoleh, dan dicerna dalam rangka memilih alternatif
yang terbaik. Fungsi dari seorang direksi pada pada dasarnya merupakan
spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya, dan tujuan
pengusaha atau perseroan adalah untuk memaksimmalkan keuntungan,
sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap pencapaian
keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi. Risiko yang
dihadapi, seperti kemungkinan adaanya perubahan dalam perekonomian
di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil keputusan dalam
ketidakpastian. Ada beberapa situasi dimana seorang direktur perseroan
mungkin dapat dituntut untuk membayar kerugian karena telah lalai dalam
melaksanakan prinsip kehatihatian (duty of care), jika dalam menghadapi
suatu persoalan yang kompleks dan rumit, ia tidak mencari pendapat ahli
untuk memberikan masukan dalam mengambil keputusan terhadap
persoalan yang dihadapinya, serta anggota direksi mengambil keputusan
mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan
dapat mengakibatkan perseoan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang
berwenang, serta anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya
telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan
yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan.
B. SARAN
1. Direksi adalah satu-satunya organ perseroan yang diberikan hak dan
wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan, yang
dipercayakan untuk mengelola dan menjalankan perseroan hingga
memberikan keuntungan bagi perseroan. Ini membawa konsekuensi
bahwa jalannya perseroan, termasuk pengelolaan harta kekayaan
perseroan sepenuhnya pada direksi perseroan, maka perlu ditegaskan
dalam Undang-undang mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepada direksi apabila terjadi kerugian
pada perseroan. Dengan demikian nantinya dapat secara jelas ditentukan
mana yang menjadi tanggung jawab perseroan dan mana yang menjadi
tanggung jawab direksi perseroan, dan juga direksi wajib untuk mengikuti
dan menjalankan prinsip fiduciary duty yaitu duty of care karena prinsip
ini merupakan tolak ukur dimana posisi perseroan dipertaruhkan apakah
akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Prinsip duty of care ini
mencakup keseluruhan yang diperlukan oleh seorang direksi perseroan
untuk melihat adanya peluang atau profit oriented di dalam sebuah bisnis.
2. Setiap perusahaan seharusnya memuat dalam anggaran dasarnya
masingmasing dalam satu ayat mengenai tindakan direksi yang harus
dimintakan persetujuan dari RUPS dan tindakan direksi yang harus
dimintakan persetujuan dari dewan komisaris sehingga direksi dapat
menjalankan kepengurusan sesuai dengan doktrin fiduciary duty yaitu
duty of care dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Bidiarto, Agus, 2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Fuady, Munir, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
H. Zaeni, Ashyadi dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Perusahaan dan Kepailitan,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta. 2007, hal.
Irawan, Bagus, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, Cetakan
Kedua, Edisi Pertama, (Bandung : PT Alumni, 2007), hlm 92.
H.M.N Purwosutjipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2,
Djambatan, Jakarta, h.85
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta. 2006,
Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan ketiga, Edisi Kesatu, (Jakarta : Sinar Grafika,
2008), hlm.
Kurniawan, Hukum Perusahaan Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan
Tidak Berbadan Hukum Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014,
hal.66
Khairandy, Ridwan, 2013, Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia cetakan ke1, FH
UII Press, Yogyakarta.
Widjaja, Gunawan, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. ,
Gunawan, 2008, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT, Forum
Sahabat, Jakarta.
Sembiring, Sentosa, 2012, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas/Sentosa
Sembiring Cet.3, Nuansa Aulia, Bandung.
Winardi, Asas-Asas manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144
B. Jurnal/Tesis/Makalah
Sartika Nanda Lestari, “Business Judgment Rule sebagai Immunity Doctrine
bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”, Jurnal Notarius,
Vol. 8, No. 2, September 2015.
I. Nyoman Tjager, “Acuan Yuridis Merger dan Akuisisi”, Makalah pada
seminar sehari Akuisisi dan Dampak Globalisasi terhadap Pasar Modal
Indonesia, Jakarta, 25 Agustus 1992.
Kurniawan, “Tanggung Jawab Direksi dalam Kepailitan Perseroan Terbatas
Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum
Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Volume 24, No. 2, Juni
2012.
Bonifasius Aji Kuswiratmo, “Keuntungan & Risiko Menjadi Direktur,
Komisaris, dan Pemegang Saham”, PT. Visimedia Pustaka, Jakarta,
2016, Hlm. 26
Kun Wahyu Wardana, “Governance Risk Management Compliance: Managing
Uncertainties with Integrity and Integration”, PT. Jasaraharja,
September 2019, Hlm. 46
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.