Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS INDONESIA

PENILAIAN SECARA SUBJEKTIF ATAS KASUS BUSINESS JUDGMENT RULE


DI INDONESIA

Nama : Williem Darmawangsa


NPM : 2206109955
Kelas : Hukum Ekonomi Reg/Pagi

Fakultas Hukum
Program Magister Ilmu Hukum
Peminatan Hukum Ekonomi
A. Latar Belakang
Direksi berdasarkan Undang-undang nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”) memiliki wewenang dan resiko untuk menjalankan pengurusan
perseroan demi kepentingan perseroan, Perseroan Terbatas pada realitanya tidak dapat
bertindak sendiri sehingga dibutuhkan peran oleh seorang Direksi untuk menjalankan
perseroan tersebut sesuai dengan Maksud dan tujuan pendirian perseroan. 1 Seorang yang
disebut sebagai direksi memiliki implikasi akan timbulnya hubungan baik secara hukum
(Law) dan secara kepercayaan (Fiduciary Relationship) yang diberikan oleh Perusahaan
kepada direksinya. Secara hukum hubungan tersebut timbul ketika seorang Direksi
diangkat dan adanya hubungan hukum maka menimbulkan adanya hubungan hak dan
kewajiban antara Direksi dengan Perusahaan, hubungan kepercayaan atau Fiduciary
Relationship secara umum dijelaskan sebagai hubungan kepercayaan dan perasaan yakin
yang dimana seseorang (the “Beneficiary” or “Principal”)2 dapat bergantung kepada orang
lainnya (the “Fiduciary”).3 yang menjadi pembeda pada hubungan kepercayaan adalah
perlunya ada keharusan untuk setia kepada perusahaan (Obligation of loyalty).4 Munculnya
hubungan-hubungan tersebut memaksa Direksi untuk mengambil keputusan keputusan
(Decision making) dan hal tersebut merupakan instrumen yang sangat penting dalam
bisnis5 namun bisnis merupakan suatu hal yang tidak pasti akibatnya adalah keuntungan
juga tidak bersifat pasti begitu juga kerugian.
Pada tahun 2019 terdapat kasus pada PT Pertamina yang menimpa Karen Agustiawan
sebagai Direktur Utama pada putusan Mahkamah Agung 121K/PID.SUS/20206 yang
membebaskan Karen Agustiawan dengan alasan Business Judgment Rule namun pada
putusan pengadilan tinggi nomor 34/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI7 dan putusan pengadilan
negeri nomor 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst8 Karen Agustiawan dihukum pidana atas
tindak pidana korupsi atas dugaan adanya conflict of interest terhadap kerugian yang
dialami oleh PT Pertamina dan dugaan atas tidak adanya prinsip kehati-hatian (Duty of
care), namun kembali lagi fakta bahwa Karen Agustiawan dibebaskan dari segala tuntutan
(ontslag van rechtsvervolging) pada tingkat kasasi membuktikan bahwa terdapat hal yang
tidak benar secara struktural, substansial dan kultural.
Struktural, substansial dan kultural mengacu kepada Legal System yang disampaikan
oleh Lawrence M. Friedman adalah dimana struktural menggambarkan struktur secara
institusional yang diciptakan oleh sistem hukum dengan tujuan untuk mendukung
bekerjanya Legal System. “First many features of a working legal system can be called
structural - the moving part, so to speak of the machine. Courts are simple and obvious

1
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Cet.2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hlm. 19-20 Dikutip dari Tesis M. Gary Gagarin Akbar, Perlindungan hukum terhadap direksi yang telah
menggunakan business judgment rule dalam mengelola perseroan, (Universitas Islam Indonesia, 2014), hlm 44.
2
PJ Millet, Equity’s place in the law of commerce, (114 LQR 214, 1998), dari Yurisprudensi inggris Royal Brunei
Airlines v Tan (1995); lihat Laura Hoyano, The Flight to the fiduciary haven (Oxford University Press, 1997)
dikutip dari Disertasi Stephen Charles Laing, Two Forms of the fiduciary relationship, (Universitas Otago, 2013),
hlm 4.
3
Yurisprudensi New Zealand, Kasus Chirnside v Fay (2007), dikutip dari Ibid.
4
Yurisprudensi Inggris dan Wales, Kasus Mothew v Bristol & West Building Society (1998), lihat juga
Yurisprudensi New Zealand, Kasus Stevens v Premium Real Estate Ltd (2009), dikutip dari Ibid.
5
Parameshwara,”Implementation of Business Judgment Rule Doctrine in Indonesia”, Journal of Humanities and
Social Science, Vol 21. Isu 8, 2016, hlm 1.
6
Yurisprudensi Indonesia, Kasus Karen Agustiawan Putusan Mahkamah Agung nomor 121K / PID.SUS / 2020.
7
Yurisprudensi Indonesia, Kasus Karen Agustiawan Putusan Pengadilan Tinggi nomor 34 / Pid.Sus - TPK / 2019
/ PT.DKI.
8
Yurisprudensi Indonesia, Kasus Karen Agustiawan Putusan Pengadilan Negeri nomor 15 / Pid.Sus - TPK / 2019
/ PN.Jkt.Pst
example”9 dan secara substansial dijelaskan bahwa “the actual product of the legal
system”10 dan yang terakhir adalah secara budaya hukum dijelaskan sebagai “Attitudes and
values that related to law and legal system, together with those attitudes and values
effecting behavior related to law and its institutions, either positively or negatively”.11
Ketidaksempurnaan implementasi, interpretasi, dan pengetahuan secara umum yang
dimiliki oleh para aparat penegak hukum yang berada pada komponen struktural maka akan
berdampak pada gagalnya pencapaian sistem hukum yang baik yang bermuara pada tidak
tercapainya nilai-nilai dasar hukum sebagaimana dijelaskan oleh Gustav Radbruch
Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian.12 dalam kasus Karen agustiawan ini komponen
struktural tidak hanya berdiri pada Hakim yang memegang kendali pada putusan namun
juga pada jaksa penuntut umum yang akan memberikan dakwaan dan tuntutan kepada
Karen agustiawan, jika menggunakan logika berpikir yang runtut maka kita akan sadar
bahwa permasalahannya tidak hanya berhenti sampai kepada jaksa saja, juga bagaimana
penyampaiannya hingga pedoman yang diberikan negara dalam bentuk undang undang
mengenai Business Judgment Rule itu sendiri, yang mana ketika kita berbicara mengenai
Business Judgment Rule maka kita akan berbicara mengenai komponen substansial yang
termaktub pada Pasal 97 ayat 5 UUPT.
Secara umum Business Judgment Rule merupakan doktrin yang berasal dari Amerika
Serikat yang didasarkan pada sistem hukum common law yang berarti sumber hukum yang
utama bukan merupakan undang-undang melainkan yurisprudensi sedangkan negara
Indonesia sendiri merupakan negara yang menganut sistem hukum civil law, Business
judgment rule baik di Indonesia maupun amerika serikat memiliki makna untuk
memberikan perlindungan bagi direksi terhadap keputusan bisnis yang diambilnya.

“Business judgment rule is the legal doctrine that a corporation’s officers and directors
cannot be liable for damages to stockholders for a business decision that proves
unprofitable or harmful to the corporation so long as the decision was within the officers
or directors discretionary power and was made on an informed basis, in good faith without
any direct conflict of interest, and in the honest and reasonable belief that it was in the
corporation’s best interest”13

“Business Judgment Rule is the presumption that in making business decisions not
involving direct self-interest or self dealing, corporate directors act on an informed basis,
in good faith, and in the honest belief that their actions are in the corporations best interest.
The rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate
transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the
directors’ or officers’ authority”.14

Sedangkan pasal 97 ayat (5) UUPT kita tertulis bahwa:

9
Lawrence M. Friedman, “On Legal Development”, Rutgers Law Rivies, Vol. 24, 1969. Dikutip dari Disertasi
Ida Ayu Sadnyini, “Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa di Bali: Perspektif HAM”,
Universitas Udayana: Denpasar, 2015. hlm. 52.
10
Ibid. hlm. 27
11
Ibid. hlm. 28.
12
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Raja Grafindo: Jakarta, 2012), hlm. 123.
13
Susan Ellis Wild, Webster’s new world law dictionary, (Canada: Wiley Publishing, Inc. 2006), hlm. 58 dikutip
dari Tesis Frans Affandhi, “Business Judgment Rule dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
direksi badan usaha milik negara terhadap keputusan bisnis yang diambil”, Medan: Universitas Sumatera Utara,
2015. Hlm 94.
14
Henry Campbell Black, Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi ke-8 (Minnesota: West Group, 2004),
hlm. 596. Dikutip dari Ibid.
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan (a) kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya; (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (c) tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan (d) telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”

Business Judgment Rule adalah aturan yang dibuat atas kodifikasi Del Code Ann. Tit.
8, s 141(a), yang mendapat pengakuan dari pengadilan bahwa bisnis merupakan hal yang
beresiko sehingga direksi perlu untuk tidak putus asa dalam memenuhi fiduciary duty demi
kepentingan perseroan15 dan tidak takut untuk mengambil keputusan bisnis yang beresiko,
karena ketakutan dalam mengambil keputusan bisnis yang beresiko akan berdampak pada
jalannya suatu perusahaan. Karena baik BUMN maupun Perseroan Terbatas biasa memiliki
kesamaan yaitu untuk mencari keuntungan secara terus-menerus, namun ketika mengalami
kerugian seorang direksi secara kultural (Culture) harus menghadapi resiko untuk
berhadapan dengan hakim di persidangan jika kita berbicara mengenai BUMN maka dapat
terjerat Tindak Pidana Korupsi sedangkan Perusahaan swasta maka terancam tindakan-
tindakan perdata pada umumnya hingga pada tingkat pidana. Dalam hal persidangan maka
dapat dikatakan bahwa Hakim bukanlah merupakan ahli bisnis “The judges are not
business expert”.16 Hakim merupakan ahli hukum namun bukan dianggap sebagai ahli
dalam mengelola perusahaan dan bisnis, terlebih lagi Hakim di Indonesia khususnya dalam
sistem hukum Civil Law terkadang hanya sebagai corong undang undang saja (Berkutat
pada peraturan formal) begitulah pernyataan Mantan Hakim Agung Bismar Siregar dalam
pandangannya melihat Hakim di Indonesia, berbeda dengan negara Common law yang
memaksa Hakim untuk menggali secara konseptual hingga munculnya frasa “Business
Judgment Rule” maka dirasa diperlukan adanya restrukturisasi terhadap Pasal 97 ayat (5)
UUPT untuk menyesuaikan secara struktural agar dapat diimplementasikan dengan baik,
atas latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan.

15
Thomas A. Uebler, Reinpretating section 141(e) of Delaware's General Corporation Law: Why Interested
Directors Should Be “Fully Protected” in Relying on Expert Advice”, (The Business Lawyer, 2010), hlm. 1023-
1024. Dikutip dari Ibid.
16
Stephen M Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”, Law & Economics Research
Paper Series, The Social Science Research Network Electronic Paper Collection, Universitas carolina, 2003. Hlm.
37. Diktuip dari Ibid. hlm 95.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perbedaan pengaturan Business Judgment Rule di negara Indonesia dengan
Amerika, Inggris dan Malaysia?
b. Mengapa Business Judgment Rule di Indonesia masih bersifat subjektif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


a. Tujuan Penelitian
Besar harapan penulis agar tercapai tujuan dari penelitian yaitu sebagai berikut
i. Tujuan Umum:
1. Untuk menganalisa pengaturan Business Judgment Rule di Indonesia dengan
negara negara Common law.
ii. Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana negara Common Law
mengatur mengenai Business Judgment Rule dan membandingkannya
terhadap peraturan di Indonesia.
2. Untuk menganalisa pengaturan Business Judgment Rule di Indonesia dan
mengetahui alasan mengapa Business Judgment Rule di Indonesia masih
bersifat subjektif.
b. Manfaat Penelitian
i. Manfaat teoritis
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan dalam dunia akademis dan menjadi
referensi terhadap perancangan serta naskah akademik pembentukan undang-
undang atau perevisian perundang undangan dalam hal Business Judgment Rule.
ii. Manfaat praktis
1. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan pertimbangan dan penilaian kembali terhadap peraturan
perundang-undangan utamanya Undang-Undang Perseroan Terbatas.
2. Bagi Aparat penegak hukum
Menjadi pertimbangan dalam mengangkat suatu perkara, hingga
memutuskan suatu perkara dalam persidangan perkara yang terkait dengan
Business Judgment Rule.
3. Bagi Perguruan tinggi
Menjadi inspirasi serta kontribusi terhadap penelitian penelitian yang
berkaitan dengan Hukum Perusahaan dan menjadi benang merah terhadap
penelitian penelitian terkait.

D. Kerangka Konsep
a. Business Judgment Rule
Business Judgment Rule yang dimaksud disini sesuai dengan Pasal 97 ayat (5)
UUPT, yang pada intinya direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
apabila dapat membuktikan 1) kerugian bukan atas kesalahannya 2) telah melakukan
pengurusan dengan itikad baik dan kehati hatian sesuai dengan kepentingan dan tujuan
perseroan 3) tidak memiliki conflict of interest 4) telah melakukan cut loss (pencegahan
kerugian lebih banyak).
b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BUMN berdasarkan pengertian pasal 1 angka 1 Undang-Undang BUMN adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Disebut juga sebagai State owned company.
E. Kerangka Teoritis
a. Teori Sistem Hukum
Teori yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman pada bukunya yang berjudul
“The Legal System: A Social Science Perspective, sistem hukum adalah sebuah unit
yang beroperasi dengan batas batasan tertentu. Sistem itu sendiri bisa bersifat mekanis,
organis atau sosial. Dalam perbandingannya David Easton mendefinisikan sistem
politik sebagai kumpulan interaksi dengan mempertahankan batas-batas tertentu yang
bersifat bawaan dan dikelilingi oleh sistem-sistem sosial lainnya yang terus-menerus
menimpakan pengaruh padanya.17 sekumpulan interaksi disini menggambarkan sebuah
sistem sosial yang menggambarkan perilaku manusia. Untuk mendefinisikan hukum
sudah banyak sekali filsuf filsuf hukum dan ilmuwan sosial yang berupaya untuk
memberikan definisi mengenai hukum dari berbagai pandangan. Namun sulit untuk
menemukan definisi hukum yang dianggap “benar”, terdapat subsistem-subsistem
sosial yang didefinisikan oleh publik sebagai bagian dari hukum seperti pengadilan,
para legislator sebagai pembentuk hukum, dan pengadilan kriminal yang mana satu
sama lainnya saling bertumpang tindih, sistem hukum yang dibicarakan adalah
kumpulan dari subsistem subsistem ini.
Ciri yang kita lekatkan pada sistem hukum tersebut sama dengan yang ada pada
sistem atau proses manapun. Dimana pertama terdapat Input yang dianggap sebagai
bahan bahan mentah yang masuk pada salah satu sisi sistem tersebut, seperti contohnya
dalam hal sebuah pengadilan tidak akan bekerja tanpa ada seseorang yang berusaha
mengajukan gugatan dan perkara hukum. Berikutnya pengadilan akan memproses input
atau bahan mentah tersebut dan para hakim bertukar pikiran untuk menghasilkan
sesuatu (Output).
membagi menjadi beberapa komponen seperti struktur hukum, substansi hukum
dan budaya hukum. Dimana Struktur hukum dijelaskan sebagai

“The structure of a system is its skeleton or framework;it is the permanent shape, the
institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing
within bounds… The structure of a legal system consists of elements of this kind: the
number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and
how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure also means
how the legislature is organized, how many members.., what a president can (legally)
do or not do, what procedures the police department follows, and so on. Structure, in a
way, is a kind of cross section of the legal system? A kind of still photograph, which
freezes the action.”18

Struktur adalah sistem sebagai kerangka badan yang berbentuk permanen, tubuh
institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar
proses mengalir dalam batas-batasnya. Hal ini menggambarkan mengenai hakim,
yurisdiksi pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas

17
David Easton, A Framework for Political Analysis (1965), hlm. 25 dikutip dari Dallin H. Oaks dan Warren
Lehman, A Criminal Justice System and the Indigent (1968), hlm. 179-188, dikutip dari Lawrence M Friedman,
Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Nusa Media, 2019), hlm 6.
18
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction. (New York: W. W. Norton dan Co, 1984). Hlm. 5.
Dikutip dari Sudjana, “Penerapan sistem hukum menurut Lawrence M Friedman terhadap efektivitas
perlindungan desain tata letak sirkuit terpadu berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000, (Al
Amwal:Vol. 2, No.1, Agustus 2019), Hlm. 82.
pengadilan yang lebih rendah, dan orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis
pengadilan.19 Sedangkan substansi dijelaskan sebagai

“The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions
should behave. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of
people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law books.”20

Dimana ia tersusun atas peraturan peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana


institusi itu harus berperilaku. Selanjutnya Hart berpendapat bahwa ciri khas pada
sistem hukum adalah kesatuan dari “peraturan-peraturan primer” dan “peraturan
peraturan sekunder”. Peraturan primer adalah norma-norma perilaku; peraturan
sekunder adalah norma mengenai norma norma ini. Dunia hukum tentunya familiar
dengan struktur dan jenis substansi tersebut.21 Namun disatu sisi terdapat kekuatan dari
kultur hukum dalam menghidupkan hukum dengan merusak, menghidupi,
memperbaharui, mematikan. Kultur hukum di satu sisi dijelaskan sebagai,22

“The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture
refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and
thinking that bend social forces toward from the law and in particular ways. …in other
word, is the climate of social thought and social force which determines how law is
used, avoided, or abused.”

Kultur hukum pada dasarnya merupakan elemen sikap dan nilai sosial. Istilah
daripada kekuatan-kekuatan sosial merupakan sebuah abstraksi tetapi kekuatan tersebut
tidak secara langsung menggerakan sistem hukum, orang-orang dalam masyarakat
memiliki kebutuhan dan membuat tuntutan-tuntutan.23 sistem hukum adalah suatu
organisme yang kompleks dimana masing masing organ saling berinteraksi (struktur,
substansi, dan kultur),

b. Good Corporate Governance


Good Corporate Governance merupakan tata kelola perusahaan yang baik namun
pada prinsipnya berbeda dengan setiap perusahaan dimana pada PT Pertamina (Persero)
prinsip Good Corporate Governance disusun sebagai acuan untuk mengelola PT
Pertamina, seperti pada umumnya Good Corporate Governance mencangkup 5 hal
didalamnya yaitu (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan
Fairness) diperlukan agar Perusahaan dapat bertahan dalam menghadapi persaingan
yang semakin ketat. Good Corporate Governance diharapkan dapat menjadi sarana
untuk mencapai visi dan misi Perusahaan.
Pedoman Tata Kelola Perusahaan ini mengatur struktur badan tata kelola
perusahaan (RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris), proses tata kelola perusahaan,
organ pendukung badan tata kelola perusahaan serta proses tata kelola Perusahaan. Hal
tersebut didukung karena Pertamina juga membangun sinergi dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pertamina sebagai BUMN memiliki tanggung jawab untuk
menjaga dan menyelematkan aset-aset negara yang dikelola oleh Pertamina di seluruh
daerah dan selanjutnya dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan

19
Lawrence M Friedman, Loc cit. hlm. 16
20
Sudjana, Loc cit.
21
Lawrence M Friedman, Loc cit.
22
Ibid. Hlm 17.
23
Ibid.
negara. Hal tersebut diatas sesuai sebagaimana termaktub pada Peraturan Menteri
Negara BUMN No. Per-01/MBU/2011 Jo. Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-
09/MBU/2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pertamina dalam hal ini melakukan pengukuran terhadap penerapan Good
Corporate Governance dalam bentuk:
1. Penilaian (assessment) yaitu program untuk mengidentifikasi pelaksanaan GCG di
Perseroan melalui pengukuran pelaksanaan dan penerapan GCG di Perseroan yang
dilaksanakan secara berkala setiap 2 (dua) tahun.
2. Evaluasi (review), yaitu program untuk mendeskripsikan tindak lanjut pelaksanaan
dan penerapan GCG di BUMN yang dilakukan pada tahun berikutnya setelah
penilaian sebagaimana dimaksud pada butir 1 yang meliputi evaluasi terhadap hasil
penilaian dan tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan.
Hasil pelaksanaan tersebut akan dilaporkan kepada RUPS bersamaan dengan
laporan tahunan, Menunjuk seorang Direksi sebagai penanggung jawab penerapan
GCG.24

c. Doktrin Business Judgment Rule


Business Judgment Rule adalah suatu doktrin yang melindungi Direksi suatu
perusahaan atas imunitas (Immunity) dari tanggungjawab (Liability) ketika Direksi
tersebut digugat dengan alasan telah melanggar Duty of Care perusahaan tersebut
Imunitas tersebut dapat berlaku sepanjang Direksi memang melakukan hal-hal yang
telah ditentukan parameternya25. Doktrin BJR awalnya tercipta karena putusan
(Judicially created doctrine), BJR dapat ditemukan pada tahun 1742 dimana
pengadilan di Inggris menangani kasus Charitable Corp v Sutton dimana Direksi
dibebaskan dengan alasan “Directors should not be held liable for good faith decisions
made on behalf of the company even if those decision have an adverse effect on the
company”. Dalam perkara ini Lord Chancellor Inggris menyatakan bahwa Direktur
dapat bersalah dalam permasalahan Penundaan dan Pelaksanaan atas tindakan yang
dapat dikategorikan malpraktek, namun dimana Tindakan tersebut diambil berdasarkan
batas wewenang Direktur walaupun dampaknya buruk tetapi akan sulit untuk
menentukan bahwa Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan
(Duty of care)26. Kasus Sutton ini merupakan kasus pertama yang
mengkonseptualisasikan BJR, dan pada saat itu BJR belum benar benar dikenal oleh
Inggris.
Kembali lagi terjadi dan mulai benar benar berkembang dan dibangun melalui
Louisiana Supreme Court pada 1829, dalam perkara Percy v Millaudon, dimana
Pemegang Saham suatu Bank menggugat direktur atas ketidakpatutan tindakan
(Misconduct). Louisiana supreme court menyatakan bahwa Direktur seharusnya tidak
bertanggungjawab atas kesalahan dan penilaian “if the error was one into which a
prudent man might have fallen” Kasus Percy ini dianggap sebagai kasus pertama yang
menggunakan BJR di Amerika Serikat telah berkembang dan diaplikasikan kepada
beberapa kasus yang serupa di Amerika Serikat. Dan atas perkembangannya BJR yang
awalnya berfokus pada Duty of care juga berkembang berbarengan dengan Duty of
Care pada tahun 1985 Delaware Supreme Court pada kasus Smith v Van Gorkom

24
Annisa Rahmawati, “Etika Bisnis dan Good Corporate Governance (GCG) pada Pertamina”, Telkom
University, 2016.
25
Wex Definitions Team, “Business Judgment Rule”, Legal Information Institute, 2022. Diakses pada business
judgment rule | Wex | US Law | LII / Legal Information Institute (cornell.edu)
26
Kelvin Sabao, “The Business Judgment Rule Explained”, Linkedin, 2022. Diakses pada The Business
Judgment Rule Explained (linkedin.com).
menilai bahwa BJR berasumsi bahwa Direktur telah bertindak sesuai dengan
pengetahuannya, secara itikad baik, dan dengan tindakan yang dianggap dilakukan
untuk demi kepentingan perusahaan.
Tujuan daripada BJR sendiri adalah untuk menghilangkan kekhawatiran Direktur
dalam menghadapi tanggung jawab atas setiap keputusan yang mereka buat, seringkali
Direktur bermain aman dan menghindari mengambil posisi sebagai direktur. Maka dari
itulah BJR dibuat untuk memberanikan para Direktur untuk mengambil bagian dalam
resiko tersebut. BJR juga dibentuk sebagai alat untuk menghindari “Judicial Second
Guessing” yang dalam hal ini diartikan sebagai untuk tidak kembali mempertanyakan
keputusan yang dibuat oleh Direktur.27 Akibatnya adanya BJR ini adalah Pemegang
Saham tidak boleh menginterupsi pengurusan Direktur. Sehingga memastikan bahwa
pemegang saham berhati-hati dalam mengajukan tuntutan terhadap direktur mengingat
kesulitan untuk berhasil dalam klaim mereka dan biaya hukum yang terlibat.
Jika berkaca pada negara inggris munculnya doktrin Business Judgment Rule asal
mulanya karena terdapat doktrin bahwa pengadilan tidak boleh mengintervensi
keputusan bisnis apabila dalam keputusannya tidak terdapat mala fide (bad faith) atau
itikad buruk28 dan karena pada saat itu belum terdapat undang undang yang mengatur
terkait Business Judgment Rule maka jika dilakukan pengujian terhadap Business
Judgment Rule dikhawatirkan akan terjadi Misjudgment atau Hindsight bias dan
menciptakan suatu masalah bagi pengadilan29 dan adanya prinsip duty of care and skill
merupakan suatu konsep yang subjektif sehingga Hakim Romer pada kasus Re City
Equitable Fire Insurance Co Ltd menyatakan bahwa seorang direktur tidak perlu
menunjukkan dalam kinerja tugasnya suatu tingkat keahlian yang lebih besar daripada
yang mungkin diharapkan daripada yang mungkin diharapkan dari pengetahuan dan
pengalaman orang lain”30 prinsip yang subjektif tersebut membawakan hakim kepada
keraguan karena prinsip tersebut merupakan sebuah standar yang fleksibel dan
ditentukan berdasarkan analisis dengan besaran yang berbeda tiap perusahaannya
khususnya peran daripada direktur dalam melaksanakan manajemen perusahaan.31
berdasarkan The UK Companies Act 2006 terdapat 7 (tujuh) tugas bagi seorang direktur
yaitu (a) bertindak sesuai kewenangannya (Intra vires) sesuai dengan konstitusi
perusahaan dan tujuan perusahaan (b) tugas untuk mempromosikan keberhasilan
perusahaan dimana di dalamnya terdapat tugas untuk bertindak berdasarkan itikad baik
(Good Faith) demi kepentingan perusahaan (c) tugas untuk melakukan penilaian secara
independen (d) melaksanakan tugas dengan peduli, berdasarkan keahlian dan kehati-
hatian (e) conflict of interest (f) menerima manfaat dari pihak ketiga (g) pernyataan
adanya kepentingan dalam transaksi atau pengaturan yang diusulkan. Dan untuk
menilai apakah suatu tindakan direksi melanggar duty of care and skill atau tidak
seharusnya berlaku hak pemegang saham tak tergantung pada besaran jumlah

27
John Farrar, Corporate Governance Theories, Principles, And Practices (Oxford: Oxford University Press,
2001), Hlm. 143. Dikutip dari Yafet Yosafet Wilben Rissy, “Business Judgment Rule: Ketentuan dan
pelaksanaanya oleh pengadilan di inggris, kanada dan Indonesia”, (Mimbar Hukum, Vol. 32, No. 2, 2020), Hlm
15.
28
Andrew Keay dan Joan Loughrey, “The Concept of Business Judgment”, (Legal Studies, Vol. 39, No. 1, Maret
2019), Hlm. 38. Dikutip dari Ibid.
29
Aurelio Guerrra-Martinez, “Re-Examining the Law and Economics of The Business Judgment Rule: Notes for
Its Implementation in Non-US Jurisdictions”, (Journal of Corporate Law Studies, Vol. 18, No. 2, July 2018) Hlm.
423.
30
Yurisprudensi pada kasus Re City Equitable Fire Insurance Co (1925) Ch. 407. Dikutip dari Ibid.
31
Demetra Arsalidou, “Objectivity Vs Flexibility in Civil Law Jurisdictions and the Possible Introduction of The
Business Judgment Rule in English Law”, The Company Lawyer, Vol. 24, No. 8, Augustus 2003), Hlm. 230.
Dikutip dari Yafet Yosafet Wilben Rissy, Loc Cit, Hlm. 279.
sahamnya untuk mengajukan gugatan ke pengadilan jika pemegang saham yang
berkaitan memang merasa telah dirugikan atas keputusan bisnis yang dibuat oleh
Direktur terkait, namun gugatan derivatif sendiri belum berlaku secara baik di
Indonesia dan seringkali alih alih dari urusan bisnis (Business Matter) menjadi urusan
pidana jika terkait dengan BUMN maka akan berhadapan dengan Tindak pidana
korupsi sebaliknya jika pada perusahaan swasta maka berhadapan dengan pasal pasal
di KUHP, pembahasan mengenai Business Judgment Rule di Indonesia terkesan lebih
bersifat normatif terkait pengaturannya pada UUPT,32 hal tersebut menyebabkan
adanya perbedaan pemahaman terhadap prinsip Business Judgment Rule di Indonesia
bagi para aparat penegak hukum33 juga terhadap para direktur direktur di perusahaan
swasta maupun BUMN yang membuat para direktur takut untuk mengambil keputusan
bisnis yang beresiko tinggi.34

F. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian secara doktrinal 35, maka hukum
meninjau atau menilik dirinya dari sudut pandang dirinya sendiri sebagai sistem nilai,
sebagai sistem konseptual dan sebagai sistem hukum positif. Hukum dalam artiannya
sebagai sollen, karena meneliti hukum dalam artinya sebagai law in books.36
Berikut jenis bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini:
a. Bahan Hukum Primer
i. Undang Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
ii. Undang Undang 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
iii. UK Companies Act 2016
iv. Inggris dan Wales, Kasus Mothew v Bristol & West Building Society (1998)
v. Inggris dan Wales, Kasus Re City Equitable Fire Insurance Co (1925)
vi. New Zealand, Kasus Chirnside v Fay (2007)
vii. New Zealand, Kasus Stevens v Premium Real Estate Ltd (2009)
viii. Putusan Mahkamah Agung nomor 121K / PID.SUS / 2020.
ix. Putusan Pengadilan Tinggi nomor 34 / Pid.Sus - TPK / 2019/ PT.DKI.
x. Putusan Pengadilan Negeri nomor 15 / Pid.Sus - TPK / 2019 / PN.Jkt.Pst
b. Bahan Hukum Sekunder
i. Buku-buku mengenai Business Judgment Rule, Perusahaan, Tanggungjawab
seorang Direksi yang khususnya membahas bidang hukum, serta membahas
asas asas secara mendalam mengenai Business Judgment Rule dalam
kaitannya dengan perundang-undangan di Indonesia, Buku mengenai
perusahaan khususnya dalam hal organ dan direksi, buku mengenai

32
Sartika Nanda Lestari, “Business Judgment Rule sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan Usaha Milik
Negara di Indonesia”, (Notarius, Vol. 8, No. 2, September 2015), hlm. 302 dikutip dari Sudarno et al., Business
judgment rule application in company: a comparison based on the case in Indonesia and Malaysia, (IOP Conf.
Series: Earth and Environmental Science, 2019) hlm.1 Dikutip dari Bewani Octavianisa Masrurah, “Sistem
Hukum Perseroan Indonesia Dan Malaysia”, (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 2019, 3(3), 183-191), hlm. 183
dikutip dari Gunawan Widjaja, “The Conception and Implementation of “Business Judgment Rule” In Indonesia
according to Law No. 40 Year 2007 re. Perseroan Terbatas (Law on PT)” (Hongkong: Asian Law Institute
Conference,2009), hlm. 5.
33
Andika Wijaya, “Implementation of the Doctrine of the Business Judgment Rule on Bankruptcy Law in
Indonesia”, (Yuridika, Vol. 35, No. 1, Oktober 2020), hlm.1.
34
Prasetio et al, “Dilemma in the Implementation of Business Judgment Rule in Commercial Transactions of
State-Owned Enterprises”, (Talent Development & Excellence, Vol. 2, No. 2, Special Issue 2020), hlm. 1541.
35
Nurul Qamar, Et al, Metode penelitian Hukum (CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017), hlm. 4
36
Ibid.Hlm. 5
tanggungjawab seorang direksi untuk mengerti tanggungjawab seperti apa
yang diemban oleh seorang direksi
ii. Disertasi, Tesis dan jurnal yang membahas mengenai Business Judgment
Rule sebagai konsep, sebagai doktrin, dan sebagai perundang-undangan dan
penerapannya dalam suatu undang undang perseroan terbatas khususnya
akan di hubungkan dengan beberapa kasus, dan Companies act dari inggris,
dalam hal ini menggunakan tesis dari Frans Affandhi yang membahas
mengenai Business Judgment Rule dengan sangat komprehensif
c. Bahan Hukum Tersier
i. Dalam hal ini menggunakan kamus kamus hukum seperti Black’s Law
Dictionary untuk mengerti secara kontekstual agar tidak jatuh kepada mis
interpretasi.
Hambatan Penelitian ini antara lain untuk mendapatkan data data peraturan dan kasus
kasus dari 3 negara berbeda seperti Amerika, Inggris dan Malaysia sehingga akan
berdampak pada kurangnya data yang membuktikan secara konseptual dan faktual.
Rumusan masalah pertama akan dijawab dengan cara membandingkan antara peraturan
perundang-undangan di Indonesia dengan peraturan peraturan di negara Common law
seperti Amerika, Inggris dan Malaysia yang menganut Business Judgment Rule. dan juga
akan digunakan kasus kasus (Putusan Karen Agustiawan, dan Putusan di negara Common
Law) sebagai pendekatan terhadap rumusan masalah pertama untuk memperjelas
bagaimana antara negara menghadapi kasus Business Judgment Rule.
Rumusan masalah kedua akan dijawab dengan memahami Business Judgment Rule di
Indonesia secara historis dan filosofis dimana pada bagian ini akan menggunakan teori teori
sebagai pisau analisis untuk memahami nilai dari Business Judgment Rule di Indonesia.
Pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam tesis ini akan dilakukan dengan
mencari daftar bacaan (teknik kepustakaan), dan mengumpulkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, buku, dan jurnal yang berkaitan mengenai Business Judgment Rule
beserta berita maupun pernyataan secara langsung yang akan mendukung penulisan
penelitian tesis ini.
Menggunakan analisis secara kualitatif untuk dianalisis secara rinci yang kemudian
akan dikaitkan kepada teori untuk mengambil kesimpulan dalam tesis ini. Dengan timeline
yaitu sebagai berikut:
No Kegiatan Penelitian Waktu
1 Penyusunan proposal tesis Mei – Agustus 2023
2 Pengajuan dan Pelaksanaan Seminar Proposal Tesis September 2023
3 Revisi September 2023
4 Meminta arahan kepada pembimbing September 2023
5 Merevisi kembali dan lanjut kepada Bab 2 sesuai Oktober 2023
dengan arahan pembimbing
6 Revisi Bab 2 dan lanjut kepada Bab 3 sesuai dengan Oktober 2023
arahan pembimbing
7 Revisi Bab 3 dan Lanjut kepada Bab 4 sesuai dengan November 2023
arahan pembimbing
8 Revisi Bab 4 dan pengecekan secara keseluruhan November 2023 –
Desember 2023
9 Pengajuan dan pelaksanaan seminar akhir tesis Januari 2024
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Calabresi, Guido, “The Future of Law and Economics”, (New Haven: Yale University
Press, 2016)

Efendi, Jonaedi, dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,
(Pernada Media, 2018)

Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum, (Raja Grafindo: Jakarta, 2012)

M Friedman, Lawrence, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Nusa Media, 2019)

Qamar, Nurul, Et al, Metode penelitian Hukum (CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017)

R. A. Posner, Economic Analysis of Law (7th ed.). (Aspen Publishers, 2007).

JURNAL

Anantha Pramagitha. Putu, ”Prinsip Business Judgment Rule Sebagai Upaya Perlindungan
Terhadap Keputusan Bisnis Direksi BUMN”, Kerthasemaya, Edisi 07 Nomor 12 Tahun
2019.

Guerrra-Martinez, Aurelio, “Re-Examining the Law and Economics of The Business Judgment
Rule: Notes for Its Implementation in Non-US Jurisdictions”, (Journal of Corporate
Law Studies, Vol. 18, No. 2, July 2018)

Keay, Andrew, dan Joan Loughrey, “The Concept of Business Judgment”, (Legal Studies, Vol.
39, No. 1, Maret 2019)

Nanda Lestari, Sartika, “Business Judgment Rule sebagaimana Immunity Doctrine bagi
Direksi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”, (Notarius, Edisi 08 Nomor 2 Tahun
2015)

Paramita, Ayu, “Pertanggungjawaban Hukum Direksi Badan Usaha Milik Negara terhadap
Kerugian Keuangan Negara”, (Sumatera Selatan:FH Universitas Sriwijaya, 2020).

Prasetio, et al, “Dilemma in the Implementation of Business Judgment Rule in Commercial


Transactions of State-Owned Enterprises”, (Talent Development & Excellence, Vol. 2,
No. 2, Special Issue 2020)

Pratama Putra, I Wayan “Efektivitas Perekrutan Tenaga Kerja Lokal dari Perspektif Economic
Analysis of Law”, (Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 7, No. 2, Augustus 2021), hlm. 566.

Sudjana, “Penerapan sistem hukum menurut Lawrence M Friedman terhadap efektivitas


perlindungan desain tata letak sirkuit terpadu berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2000, (Al Amwal:Vol. 2, No.1, Agustus 2019)
Wijaya, Andika, “Implementation of the Doctrine of the Business Judgment Rule on
Bankruptcy Law in Indonesia”, (Yuridika, Vol. 35, No. 1, Oktober 2020)

Yosafet Wilben Rissy, Yafet, “Business Judgment Rule: Ketentuan dan Pelaksanaannya Oleh
Pengadilan di Inggris, Kanada dan Indonesia”, (Mimbar Hukum, Edisi 32 Nomor 2
Tahun 2020)

PERATURAN

Indonesia, Undang Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

________, Undang Undang 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

UK Companies Act 2016

YURISPRUDENSI

Inggris dan Wales, Kasus Mothew v Bristol & West Building Society (1998)

Inggris dan Wales, Kasus Re City Equitable Fire Insurance Co (1925)

New Zealand, Kasus Chirnside v Fay (2007)

New Zealand, Kasus Stevens v Premium Real Estate Ltd (2009)

Putusan Mahkamah Agung nomor 121K / PID.SUS / 2020.

Putusan Pengadilan Tinggi nomor 34 / Pid.Sus - TPK / 2019/ PT.DKI.

Putusan Pengadilan Negeri nomor 15 / Pid.Sus - TPK / 2019 / PN.Jkt.Pst

DISERTASI

Ayu Sadnyini, Ida “Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa di Bali:
Perspektif HAM”, Universitas Udayana: Denpasar, 2015. hlm. 52.

TESIS

Affandhi, Frans, “Business Judgment Rule dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh direksi badan usaha milik negara terhadap keputusan bisnis yang
diambil”, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015)

Charles Laing, Stephen, Two Forms of the fiduciary relationship, (Universitas Otago, 2013)

Gagarin Akbar, M. Gary, Perlindungan hukum terhadap direksi yang telah menggunakan
business judgment rule dalam mengelola perseroan, (Universitas Islam Indonesia, 2014)

KAMUS
Henry Campbell Black, Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi ke-8 (Minnesota:
West Group, 2004)

INTERNET

Sabao, Kelvin, “The Business Judgment Rule Explained”, Linkedin, 2022. Diakses pada The
Business Judgment Rule Explained (linkedin.com).

Wex Definitions Team, “Business Judgment Rule”, Legal Information Institute, 2022. Diakses
pada business judgment rule | Wex | US Law | LII / Legal Information Institute
(cornell.edu)

Anda mungkin juga menyukai