TESIS
Oleh:
RIZKY DAUD
1906454610
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
JAKARTA
AGUSTUS 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ada berbagai macam bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang aturannya telah
dibuatkan dan patut untuk dilaksanakan seperti Firma, Persekutuan Komanditer,
Koperasi, Usaha Dagang dan Perseroan Terbatas.2 Pilihan bentuk usaha harus
didasarkan dengan mempertimbangkan untung dan ruginya. Hal ini disebabkan karena
tidak jarang seseorang atau kelompok masyarakat menjalankan suatu usaha karena
adanya desakan proyek semata yang didapat dan mereka tidak menyadari sepenuhnya
konsekuensi dari pilihan usaha yang dijalankannya. 3 Dengan memahami jenis-jenis
bentuk usaha yang ada di Indonesia maka sudah sewajarnya seseorang atau kelompok
1
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris Perseroan
Terbatas (Jakarta: Visimedia, 2009), hal.1.
2
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Perseroan Terbatas (Jakarta: Rajawali Press, 2000),
hal.1.
3
Sardjono, et.al, Pengantar Hukum Dagang (Depok: Rajawali Pers, 2019), hal.26.
masyarakat tersebut tidak lagi merugi ataupun merugikan orang lain karena
ketidaktahuan dari masing-masing jenis usaha yang dijalani. Dari berbagai macam
bentuk usaha yang ada di Indonesia, maka banyak masyarakat lebih condong memilih
menjalankan usahanya dalam bentuk Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut
Perseroan).
Bila dilihat dari sejarahnya istilah Perseroan Terbatas yang digunakan sekarang
ini dulu disebut dengan Naamloze Venootschap atau disingkat dengan NV. Menurut I.G
Rai Widjaya, kata Perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi
usaha, sedangkan perseroan terbatas itu adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau
badan usaha yang ada dan dikenal dalam suatu sistem hukum Indonesia. 4 Dari sisi
sejarah hukumnya, perseroan itu sendiri pertama kali diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) yang berasal dari Wetboek van
Koophandel pada pasal 36 sampai dengan pasal 56. Kemudian sejak tahun 1995
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Sejak 16 Agustus 2007 adanya perubahan lalu berlakulah Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT).
5
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cet. Kedua (Yogyakarta: FH UII
Press, 2014), hal 63.
6
Miashardi Wilamarta, Pertanggungjawaban Direksi dan Komisaris atas Perbuatan Melawan
Hukum Dalam Perseroan Terbatas Serta Perlindungan Hukum Terhadap Shareholder dan Stakeholder
Pada era masyarakat modern sekarang ini, eksistensi perseroan sangatlah besar
sebab merupakan salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat
dilihat dari fungsi perseroan itu sendiri yaitu menjadi salah satu sumber pendapatan
negara baik melalui pajak maupun menjadi wadah bagi penyalur tenaga kerja. 7 Oleh
sebab itu untuk menjawab tantangan kedepannya negara merasa perlu memperbaharui
peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas. Apalagi bila disandingkan dengan
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang begitu pesat, maka Pemerintah
wajiblah menyeimbangkan antara aturan dengan kondisi dilapangan.
Adapun hal-hal yang membuat masyarakat tetap memilih kegiatan usaha dalam
bentuk perseroan yaitu karena perseroan merupakan badan usaha yang sudah berbentuk
badan hukum dengan adanya pengaturan hukum yang tertuang dalam UUPT. Lalu alas
an lainnya karena dengan kebijakan fiskal serta bila melihat lebih jauh tentang suatu
badan usaha kedepannya, perseroan menjadi pilihan terbaik karena mampu
bertransformasi.8 Kemudian juga dikatakan bahwa badan usaha perseroan memiliki ciri
khas dimana perseroan adalah asosiasi modal berbentuk badan hukum mandiri yaitu
adanya pemisahan harta antara perseroan dengan para pemegang saham.
7
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 35.
8
Rudhy Prasetia, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 2.
9
Effendi M, The Power Of Good Corporate Governance – Teori dan Implementasi (Jakarta:
Salemba Empat, 2009)
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.10
Perseroan terbatas sebagai badan hukum dipandang sebagai subyek hukum yang
sama seperti manusia, dimana dapat dikenai hak dan kewajiban, Bedanya antara
manusia dengan perseroan sebagai subyek hukum yaitu bahwa manusia secara alamiah
dapat dikatakan sebagai subyek hukum sejak masih didalam kandungan (KUHPerdata)
sedangkan Perseroan baru memperoleh status badan hukum sejak diterbitkannya
keputusan dari Menteri Hukum dan HAM. Hal ini karena Perseroan Terbatas dalam
mengelola dan memiliki aset kekayaan serta melakukan perbuatan hukum tertentu demi
mencari keuntungan harus dibantu oleh organ perseroan.12 Dapat dikatakan bahwa
perseroan terbatas tidak dapat berfungsi dalam menjalankan hak dan kewajibannya
10
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 ayat
1.
11
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313 ayat (1).
12
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Djambatan, 2009), hal. 8.
sebagai subyek hukum tanpa bantuan dari organ perseroan tersebut karena antara
perseroan dengan organ perseroan itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebab sebaliknya juga, tidak mungkin organ perseroan itu exist tanpa
terlebih dahulu berdirinya dan disahkannya suatu perseroan menjadi badan hukum. Ada
sebuah teori organ yang dikemukakan oleh Otto Von Gierke (1841-1921), yang
menyebutkan
“Teori Organ yaitu teori yang menjelaskan bahwa badan hukum hanyalah fiksi
hukum, maksudnya adalah bahwa pengaturan-pengaturannya badan itu oleh
negara dan sebenarnya badan hukum itu hanyalah bayangan yakni sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan
sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti
manusia. Juga teori ini mengemukakan bahwa badan hukum itu terbentuk dan
bisa memenuhi kehendaknya dari kepengurusan-kepengurusan, yang menjelma
sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum yang dapat membentuk kemauan
sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya yaitu pengurus dan
anggota-anggotanya seperti manusia biasa.”13
Adapun organ dari Perseroan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (2)
UUPT yaitu terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan
Komisaris yang mana masing-masing organ memiliki peran dan fungsi berbeda. Pada
pasal 1 ayat (4) UUPT menyebutkana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah
organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi
ataupun kepada Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau
Anggaran Dasar Perseroan. RUPS memberikan kewenangan bagi para pemegang
sahamnya untuk memutuskan hal-hal yang sifatnyanya penting dimana membahas
tentang masalah-masalah evaluasi kinerja dan kebijakan perseroan yang harus
dilaksanakan oleh pengurus. Lalu hasil RUPS ini akan diteruskan kepada dewan
Komisaris dan kemudian kepada Direksi untuk kemudian di eksekusi. Disini dapat
dilihat bahwa para pemegang saham berperan sebagai pemilik (owner) perseroan dan
dapat melakukan kontrol kepengurusan yang dilakukan oleh Direksi maupun terhadap
kekayaan serta kebijakan kepengurusan perseroan.14
13
Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 2005), hal. 32-33.
14
Sulaiman Yunus, Mendirikan Badan Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Penerbit Fajar
Utama, 2008), hal. 5.
Selanjutnya pada pasal 1 ayat (5) UUPT menyebutkan organ Direksi
menjalankan fungsi manajerial yang dimaknai bahwa merupakan organ perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan dan mewakili
kepentingan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar. Organ Direksi inilah yang menjadi ujung tombak atas hidup
dan matinya suatu perseroan dan itu juga yang menjadikan perseroan menjadi badan
hukum yang hidup (rechtpersoon). Direksi yang sudah diangkat dan diberi mandat
melalui hasil RUPS untuk mengelola kekayaan dan pengurusan perseroan sebaik-
baiknya hingga mencapai tujuan perseroan maka wajib mempunyai itikad baik (good
faith) yang meliputi
Bukanlah hal mudah untuk seseorang menjabat sebagai Direksi, perlu adanya
keahlian dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Direksi dalam melaksanakan tugas rutin
sifatnya tidak terbatas seperti mengambil inisiatif membuat rencana dan perkiraan
mengenai perkembangan perseroan kedepannya akan tetapi harus bertanggung jawab.
Direksi juga dapat memberikan kuasa tertulis kepada satu orang karyawan perseroan
atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu yang tertuang dalam surat kuasa tersebut.16
15
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 345.
16
Rudhi Prasetya, op.cit, hal. 67.
sementara Direksi dan mengurus perseroan dalam hal perseroan tidak memiliki direksi.
Akan tetapi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut Dewan Komisaris bisa
saja dapat melakukan kelalaian dan melakukan perbuatan yang melawan hukum
sehingga menimbulkan kerugian pada perseroan, oleh sebab itu menurut Pasal 114 ayat
6 UUPT telah mengatur bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili
paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang
sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Oleh karena itu sama seperti
halnya dengan Direksi, Dewan Komisaris juga diharapkan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya sebagai pengawas pada perseroan haruslah penuh tanggung jawab
dan beritikan baik (good faith).17
Dalam kenyataan di lapangan ada hal-hal persoalan yang terjadi dan sering
dilakukan oleh Dewan Komisaris dan juga sebagai pemegang saham mayoritas pada
suatu perseroan dimana Dewan Komisaris mengambil suatu keputusan secara sepihak
sehingga menimbulkan kerugian bagi perseroan tersebut. Sehingga terkadang Dewan
Komisaris dianggap tidak melaksanakan wewenangnya dengan itikad baik atau bahkan
dianggap ingin mencari keuntungan pribadi. Sebagai manusia biasa, baik Direksi
ataupun Dewan Komisaris dalam mengelola kekayaan perseroan tidak tertutup
kemungkinan untuk berbuat kesalahan yang dapat merugikan perseroan sehingga dapat
diminta pertanggungjawabannya.18
17
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan “Piercing the Corporate Veil” Kapita Selekta
Hukum Perseroan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.12.
18
Maria N. SIhombing, Tesis Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Prinsip
Corporate Oppurtunity Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (Medan: USU, 2011).
19
I Gusti Ketut Agung, et.al, Pengaruh Kepemilikan Keluarga, Kedekatan Direksi & Komisaris
Dengan Pemilik Pengendali Terhadap Kompensasi Direksi & Komisaris Perusahaan Di Pasar Modal
Indonesia, Volume 11, Nomor 1, Maret 2015.
Oppurtunity dalam hukum perseroan mengajarkan bahwa Direksi, Komisaris atau
pegawai perseroan lainnya bahkan pemegang saham, tidak diperkenankan mengambil
kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya
tersebut dilarang oleh UUPT dan Anggaran Dasar.
Sebagai contoh kasus yang ditemukan oleh penulis adalah pada kasus PT. Bumi
Pangita Handitama dalam putusan perkara no. 1848 K/Pdt/2018. Duduk perkaranya
yaitu bahwa berdasarkan akta perubahan pendirian perseroan dengan Nomor 24 tanggal
18 Agustus 2015 yang dibuat oleh Mukhlis, S.H Notaris Pekanbaru disebutkan Cicilia
Monika selaku komisaris PT. Bumi Panggita Handitama selaku pihak tergugat yang
mempunyai saham mayoritas sebesar 90 % digugat atas perbuatannya yaitu menjual dan
memiliki aset perusahaan oleh para penggugat yaitu Peter selaku Direktur Utama dan
Anwar selaku Direktur PT. Bumi Panggita Handitama yang masing-masing mempunyai
saham 5 %.
Dari uraian yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis tertarik
membahas masalah mengenai keabsahan atas tindakan dewan Komisaris selaku
pemegang saham mayoritas pada suatu Perseroan Terbatas. Sebab dalam mengelola
suatu kekayaan perseroan diperlukan yang namanya pertanggungjawaban yuridis atas
segala keputusan yang diambil oleh organ perseroan khususnya Dewan Komisaris
bahwa dalam UUPT sudah jelas diatur atas tugas dan wewenang setiap masing-masing
organ yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris.
Jadi dalam menciptakan kepastian hukum maka perlu ditelaah lagi permasalahan
tersebut sebab apapun yang terjadi peraturan harus ditegakkan meskipun sering terlihat
kejam.20
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan tesis ini adalah memberikan kontribusi dan
pemahaman bagi ilmu pengetahuan dan pandangan hukum khususnya bagi
praktisi hukum mengenai Tindakan Komisaris Dalam Pengelolaan Aset
Perseroan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana batasan-batasan komisaris perseroan dalam
menjalankan jabatannya;
b. Untuk mengetahui keabsahan dari tindakan komisaris dalam mengelola
aset perseroan
D. MANFAAT PENELITIAN
20
Endang Pristiwa, Konsekuensi Yang Timbul Dari Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Materiil (Banjarmasin: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, hal. 3.
Dalam penulisan tesis ini ada beberapa manfaat, dalam segi teoritis maupun praktis
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penulisan tesis ini diharapkan dapat dijadikan suatu
refrensi dan dapat menambah pengetauan mengenai kewenangan dan tanggung
jawab Notaris.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan
saran dan informasi mengenai tanggung jawab, kewenangan, dan akibat hukum
bagi dewan Komisaris dalam menjalankan jabatannya. Sehingga dalam
melaksanakan jabatannya dewan Komisaris lebih meningkatkan sikap amanah
dan tidak melebihi kapasitas jabatannya agar terhindar dari kasus hukum.
E. METODE PENELITIAN
Dalam penulisan karya tulis bobot keilmuan dilakukan dengan penelitian dengan
keakuratan data yang diperoleh dari bahan-bahan yang dapat dipertanggungjawabkan
guna mendapatkan hasil yang optimal. Adapun metode yang diterapkan dalam suatu
karya tulis adalah kunci utama untuk melihat baik atau buruknya hasil dari penelitian
tersebut. Metode Ilmiah dalam penulisan ini menetapkan alur kegiatan mulai dari
pemburuan data sampai dengan penyimpulan suatu kebenaran yang diperoleh.21
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang
menekankan kepada penggunaan bahan pustaka sebagai sumber pustaka atau
data sekunder yang mungkin mencakup peraturan perundang-undangan, teori
hukum dan pendapat sarjana hukum terkemuka.
Dari sudut sumber dan analisisnya, penulisan ini tergolong pada
penelitian dokumen atau doktrinal, yaitu berdasarkan kepustakaan, hal ini
dapat diartikan bahwa materi-materi yang digunakan penulis dapat
21
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum (Medan: Medan Grafika, 2004), hal.
15.
ditemukan di perpustakaan, arsip dokumen dan tempat penyimpanan data
lainnya melalui studi kepustakaan.22
2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang
terfokus pada masalah dengan melakukan pembahasan atas analisa hukum.23
Dalam penulisan tesis ini penulis menitikberatkan pada permasalahan
mengenai keabsahan komisaris sebagai pemegang saham mayoritas yang
menjual aset perseroan sebagaimana terdapat dalam Putusan No. Studi
1848/K/PDT/2018.
3. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu yang merupakan data
yang diperoleh dari kepustakaan dengan cara membaca peraturan perundang-
undangan, buku-buku, majalah, artikel, dan bahan yang berkaitan dengan
penelitian yang dapat membantu atau menambah referensi penulis dalam
melakukan penelitian. Penelitian menggunakan data sekunder ini memiliki
keuntungan antara lain:
a. Menghemat biaya
Analisa terhadap data sekunder memberi peluang bagi penulis untuk
menghemat biaya penelitian hingga penulisan selesai;
b. Dipergunakan sebagai bahan analisa hasil penelitian terdahulu
Penelitian yang sebaik-baiknya akan dapat dimanfaatkan dengan dasar
ilmiah yang lebih akurat lagi
c. Menimbulkan ide gagasan baru untuk mengembangkan data yang telah
ada sebelumnya
Untuk melengkapi data sekunder yang tersedia, maka timbul niatan
untuk membuat ide gagasan baru yang mampu menyempurnakan data
sekunder sebelumnya;
d. Pencarian data sekunder tidak terikat dengan waktu dan tempat
Data sekunder dapat dicari dan ditemukan melalui dokumen-dokumen
resmi, buku-buku dan hasil penelitian
22
Anwarul Yaqin, Legal Research and Writing (Malaysia: Dolphin Press, 2007), hal. 10.
23
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, set.3 (Jakarta: UI-Press, 2008), hal. 10.
4. Jenis Sumber Hukum
Berikut adalah bahan hukum yang digunakan penulis dalam
penulisan tesis ini, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan-bahan hukum yang
mengikat yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Lembaga negara
yang berwenang, antara lain:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas;
4) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan masalah-masalah yang diteliti di dalam tesis ini.24
b. Bahan-Bahan Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, antara lain:25
1) Buku-Buku mengenai Perseroan serta buku-buku yang
terkait lainnya;
2) Jurnal atau artikel ilmiah, laporan hasil penelitian hukum
3) Tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah-
masalah yang diteliti di dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang digunakan untuk
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan
sekunder berupa kamus (hukum), ensiklopedia, internet dan lain-
lain.
5. Alat Pengumpulan Data
25
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali
Pers, 2007), 7 hal. 52.
26
Sri Mamudji, et. al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 6.
Pusat Universitas Indonesia (Crystal Of Knowledge), Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Putusan Pengadilan Tata Usaha (No. 1848/K/PDT/2018) yang
merupakan kajian dari penelitian ini diperoleh dari arsip Direktori Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui website.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian ini, sistematika dari penulisan tesis ini dibagi menjadi 3 (tiga)
bab agar lebih mudah dalam memahami isi penulisan secara singkat. Rincian Bab demi
Bab dalam penulisan tesis ini sebagai berikut
BAB 1 PENDAHULUAN
27
Soerjono Soekanto, Pengantar…,hal. 42.
28
Sri Mamudji, et. al, Metode….hal. 2.
29
Ibid, hal. 67.
Penulis akan menguraikan mengenai bagian pendahuluan yang
membahas secara jelas mengenai latar belakang masalah yang
mendasari penulisan tesis, pokok permasalahan, tujuan yang
hendak ingin dicapai dari penulisan tesis, metode penelitian
dimana segala penyusunan dalam tesis ini diatur dengan rapi,
jelas dan padat serta sistematika penulisan.
BAB 4 KESIMPULAN
A. UNDANG-UNDANG
B. BUKU
Satrio Frans Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris
Perseroan Terbatas, Jakarta: Visimedia, 2009
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, set.3, Jakarta: UI-Press, 2008.
C. LAIN-LAIN