Anda di halaman 1dari 18

AKTIVITAS MIKROORGANISME TANAH PADA TANAH BEKAS

KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR


(Soil Microorganism Activity on Soil in Forest Fire Samosir Regency)

Agree Hutami Sinaga1, Deni Elfiati2, Delvian2

Mahasiswa Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas


Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung Kampus USU Medan 20155

Nama : Mutiara sinta


NPM :187215045
Kelas : Perkebunan 1.C

PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN


PROGRAM STUDI DI LUAR DOMISILI KABUPATEN BANYUASIN
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
2018
ABSTRACT
Forest fire affect chemical, physical and biological properties of the soils.
In the biological properties of the soil, forest fire also affects number of
microorganisms and activity of microorganisms. The purpose of this research is
calculate the value of soil microorganism with various periods of forest fires. The
measure of the activities of microorganism using jar and titrimetri methods.The
result of this research showed that value of respiration in unburn soil is 11,99.
Value of respiration from forest fire soil in 2010 is 6,43. Value of respiration from
forest fire soil in 2011 is 10,28. Value of respiration from forest fire soil in 2012 is
16,28. Value of respiration from forest fire soil in 2013 is 11,14. Value of
respiration from forest fire soil in 2014 is 8,14. Activity of microorganisms is
almost the same between the occurrence of fire with soil unburn.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 (2009), pengertian
kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian
ekonomis dan atau nilai lingkungan. Menurut Purbowaseso (2004), kebakaran
hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan. Perbedaannya terletak
pada lokasi kejadiannya.Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam
kawasan hutan sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar
kawasan hutan. Kebakaran hutan bermula dari proses reaksi cepat dari oksigen
dengan bahan bakar yang ada di hutan dan ditandai dengan meningkatnya suhu
dan disertai dengan menyalanya api. Pada dasarnya penyebab kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia karena kelalaian manusia dan alam (Donna, 2006).
Kebakaran hutan di wilayah Danau Toba (Kabupaten Samosir) merupakan salah
satu faktor utama yang menjadi penyebab dalam degradasi lahan di wilayah
tersebut. Apabila terjadi kebakaran, maka serangkaian dampak akan mengganggu
fungsi ekosistem di Kabupaten Samosir baik secara ekologis, ekonomis, maupun
sosial. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan
terjadi di wilayah ini dengan rata-rata luasan sekitar 113 Ha (Syaufina
danSukmana, 2008). Kebakaran hutan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
pada sifat-sifat tanah.Sifatsifat tanah yang mengalami perubahan adalah sifat fisik
tanah, kimia tanah, dan biologi tanah (Purbowaseso, 2004). Pada sifat biologi
tanah, kebakaran hutan menyebabkan perubahan terhadap ekosistem tanah yang
mengandung berbagai jenis mikroba yang berbeda-beda.Dengan mengetahui
jumlah dan aktivitas mikroba di dalam suatu tanah dapat diketahui apakah tanah
tersebut termasuk subur atau tidak karena populasi mikroba yang tinggi
menunjukkan adanya suplai makanan yang cukup, suhu yang sesuai, ketersediaan
air yang cukup dan kondisi ekologi tanah mendukung perkembangan mikroba
(Hastuti dan Ginting, 2007).Pada aktivitas mikroorganisme tanah menunjukkan
tentang respirasi mikroorganisme yaitu penggunaan O2 dan pembebasan CO2
oleh mikroorganisme tanah (Widati, 2007). Secara alami dengan berjalannya
waktu maka akan terjadi proses perubahan sifat-sifat tanah menuju perbaikan
setelah terjadi kebakaran. Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian
pada tanah bekas kebakaran hutan untuk mendapatkan informasi mengenai
aktivitas mikroorganisme pada tanah bekas kebakaran hutan.Penelitian ini
bertujuan untuk menghitung besarnya aktivitas mikroorganisme pada tanah
dengan berbagai periode kebakaran hutan.
METODE PENELITIAN

 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September
2014.Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tanah bekas kebakaran pada
tahun 2010 sampai 2014 di Kabupaten Samosir.Analisis tanah dilakukan di
Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.Pengukuran
aktivitas mikroorganisme dilakukan di Laboratorium Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah sampel tanah dari tanah bekas kebakaran
pada tahun 2010 sampai 2014 di Kabupaten Samosir, media nutrient agar, larutan
fisiologis steril (8,5 g NaCl per liter akuades), FeSO4 0,5 N, KOH 0,2 N,
diphenilamine, phenophtalein, HCl 0,1 N, metil oranye, akuades, larutan
K2Cr2O7, H2SO4 pekat, H3PO4 85%, larutan NH4OAc, dan FeSO4 0,5 N. Alat
yang digunakan adalah parang, kantong plastik, alat tulis, kertas label, erlenmeyer,
pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, labu ukur, tabung sentrifuse, cawan petri,
beaker glass, laminar air flow, toples plastik, botol kaca kecil, botol kocok,
shaker, rotamixer, gunting/cutter, selotip, dan pH meter.

 Prosedur Penelitian
1. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah
Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan pada tanah bekas kebakaran pada
tahun 2010 sampai 2014 di Kabupaten Samosir. Pada tahun 2010 di desa
Sijambur Nabolak, pada 15 Juni 2011 di desa Curaman Tomok, pada 2 Agustus
2012 di desa Siogung-ogung, pada 20 Juli 2013 di desa Sosor Dolok, dan pada
Mei 2014 di desaCuraman Tomok. Sebagai sampel tanah pembanding (kontrol)
yaitu tanah yang belum pernah terbakar di desa Tolping.

2. Pengambilan Sampel Tanah


Contoh tanah diambil pada petak contoh yang berukuran 20 m x 20 m. Sampel
tanah diambil dari kedalaman 0-20 cm. Dalam satu petak diambil lima titik
sampel tanah secara diagonal dan dikompositkan. Contoh tanah diambil pada tiga
petak contoh.Jarak antar petak adalah 100 m. Sampel tanah yang sudah
dikompositkan, ditempatkan pada kantong plastik yang telah diberi label.Seluruh
sampel tanah diletakkan didalam tempat khusus untuk kemudian dianalisis ke
laboratorium.

 Parameter Pengamatan
1. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah pH tanah, kandungan bahan organik
dan kapasitas tukar kation.Analisis pH tanah menggunakan metode elektrometri
(Mukhlis, 2007). Analisis kandungan bahan organik menggunakan metode
Walkley dan Black (Mukhlis, 2007). Analisis kapasitas tukar kation menggunakan
metode ammonium asetat (NH4OAc) (Mukhlis, 2007).

2.Sifat Biologi Tanah


Parameter yang diamati untuk sifat biologi tanah yaitu total
mikroorganisme tanah dilakukan dengan menggunakan metode agar cawan
(Hastuti dan Ginting, 2007). Metode agar cawan ini disebut juga cawan
pengenceran. Prinsip dasar metode cawan pengenceran adalah tiap sel mikroba
yang hidup dalam suspensi tanah akan berkembang dan membentuk suatu koloni
dalam kondisi lingkungan yang sesuai. Prosedur penetapan jumlah total
mikroorganisme terlebih dahulu dibuat pengenceran secara seri dengan
memasukkan 10 g tanah ke dalam erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 90 ml
larutan fisiologis steril (8,5 gram NaCl per liter akuades) kemudian dikocok
menggunakan shaker selama 30 menit sehingga campuran ini sebagai
pengenceran 10-1. Siapkan 7 tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis
steril. Lalu dipipet 1 ml dari larutan 10-1 dan dimasukkan kedalam larutan
fisiologis steril pada tabung reaksi, campuran ini sebagai pengenceran 10-2 dan
larutan 10-2 dipipet kembali 1 ml untuk membuat larutan 10-3 dan seterusnya
sampai pengenceran 10-7. Setelah suspensi tercampur dengan larutan fisiologis
steril, pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan menggunakan rotamixer
agar tercampur sempurna. Setelah seri pengenceran dibuat, dipipet 1 ml dari
suspensi dengan pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7 dipindahkan ke cawan petri
steril. Media nutrient agar yang telah disiapkan, didinginkan sampai
temperaturnya sekitar 40-450C. Jumlah media nutrient agar yang dituangkan ke
cawan petri kira-kira 10 ml. Sebelum media dituangkan, mulut wadah media
nutrient agar disterilkan terlebih dahulu dengan melewatkannya pada apibunsen
yang dilakukan didalam laminar air flow. Media nutrient agar dituangkan secara
perlahan-lahan ke cawan petri dan diputar ke arah kanan tiga kali dan kearah kiri
tiga kali supaya suspensi mikroorganisme tersebar secara merata pada cawan
petri. Setelah media benar-benar padat, cawan petri diinkubasikan pada suhu
kamar dengan diletakkan secara terbalik. Setelah tiga hari inkubasi dilakukan
perhitungan jumlah mikroorganisme dengan rumus: Jumlah total mikroorganisme
= jumlah koloni per cawan petri dikalikan faktor pengenceran.

3. Pengukuran Aktivitas Mikroorganisme Tanah


Pengukuran aktivitas mikroorganisme tanah dilakukan untuk menentukan
seberapa banyaknya mikroorganisme tanah melakukan respirasi yaitu
menghasilkan CO2. Metode yang digunakan adalah metode jar dan diukur dengan
metode titrimetri (Anas, 1989). Prosedur pengukuran aktivitas mikroorganisme
tanah ditimbang tanah sebanyak 100 gram, lalu dimasukkan kedalam toples
plastik ukuran 1 liter dan kemudian dimasukkan juga dua botol kecil yang berisi 5
ml KOH 0,2 N dan 10 ml akuades. Setelah itu, toples ditutup sampai kedap udara
dan diinkubasikan pada temperatur sekitar 28-300C di tempat yang gelap selama
14 hari. Pada akhir masa inkubasi, ditentukan jumlah CO2 yang dihasilkan
dengan metode titrasi yaitu dengan menambahkan 2 tetes phenophtalein ke dalam
botol yang berisi KOH.Lalu, dititrasi dengan HCl sampai warna merah menjadi
hilang.Catat volume HCl yang digunakan.Kemudian ditambahkan 2 tetes
indikator metil oranye dan dititrasi dengan HCl sampai warna kuning berubah
menjadi pink.Catat volume HCl yang digunakan.Jumlah HCl yang digunakan
pada tahap kedua titrasi ini berhubungan dengan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh
mikroorganisme.
Jumlah CO2 yang dihasilkan per kg tanah lembab perhari (r) dapat dihitung
(𝐚−𝐛) 𝐗 𝐭 𝐗 𝟏𝟐𝟎
dengan rumus r =
𝐍
keterangan:
a = ml HCl untuk contoh tanah
b = ml HCl untuk blanko
t = normalitas HCl
n = jumlah hari inkubasi yaitu 14 hari
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sifat Kimia Tanah Bekas Kebakaran Jumlah mikroorganisme


yang ada di dalam tanah dipengaruhi oleh sifat kimia tanah yaitu pH, C-Organik,
dan kapasitas tukar kation (KTK).Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah

Sampel C-Organik
KTK
Tanah pH Kriteria (%) Kriteria Kriteria
(m.e/100g)

Tidak
5,54 Masam 1,05 Rendah 10,10 Rendah
Terbakar
2010 5,31 Masam 1,24 Rendah 7,20 Rendah
2011 5,62 Agak
1,86 Rendah 16,20 Rendah
Masam
Sangat
2012 4,83 Masam 6,55
tinggi Sedang
23,10

Agak
2013 6,54
masam 1,94 Rendah 22,10 Sedang

2014 4,84 Masam 0,71 Sangat


22,70 Sedang
rendah

Kebakaran hutan menyebabkan perubahan sifat kimia pada tanah.


Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982)
dalam Mukhlis (2007), hasil analisis sifat kimia tanah diketahui bahwa pH tanah
berkriteria masam sampai agak masam, Corganik berkriteria sangat rendah sampai
sangat tinggi dan kapasitas tukar kation berkriteria rendah sampai sedang.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jenis tanah yang terdapat di Kabupaten
Samosir baik di Kecamatan Pangururan dan Kecamatan Simanindo adalah litosol,
podsolik, dan regosol. Jenis tanah litosol, podsolik, dan regosol adalah jenis tanah
yang ketebalannya 20 cm atau kurang dan di bawahnya terdapat batuan yang
padu. Menurut Mukhlis, et al. (2011), pH tanah jenis tanah litosol, podsolik, dan
regosol berkriteria masam sampai netral dan kapasitas tukar kation berkriteria
rendah. Hal ini sesuai dengan sifat kimia tanah pada tanah tidak terbakar yaitu pH
tanah berkriteria masam dan kapasitas tukar kation berkriteria rendah.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa waktu terjadinya kebakaran
membuat perubahan sifat kimia tanah. Sifat kimia tanah yang sudah lama jarak
waktu terjadinya kebakaran memiliki sifat kimia yang sama dengan tanah tidak
terbakar sedangkan tanah yang baru mengalami kebakaran memiliki sifat kimia
tanah yang beragam tergantung pada tipe kebakaran dan intensitas kebakaran.
Kebakaran antara tahun 2010 sampai 2014 merupakan tipe kebakaran tajuk
dengan intensitas suhu api yang rendah sehingga tidak menghanguskan seluruh
vegetasi. Menurut Choromanska dan Deluca (2002), kebakaran dengan intensitas
suhu lebih dari 700C secara langsung sudah merubah keadaan vegetasi. Perubahan
pH tanah tergantung pada kation-kation yang ada di dalam tanah.Jika pH tanah
semakin masam maka di tanah terdapat banyak kation-kation masam.Pada tanah
bekas kebakaran, pH tanah meningkat jika suhu di tanah tinggi ketika terjadi
kebakaran.Menurut Hardjowigeno (2007), tanah dengan pH masam didominasi
oleh kation-kation masam seperti Al dan H. Menurut Verma dan Jayakumar
(2012), peningkatan pH tanah hanya terjadi pada suhu yang tinggi yaitu suhu
lebih dari 4500C sampai 5000C. Menurut Ekinci (2006), kenaikan pH tanah
setelah kebakaran hanya berlangsung selama 2 minggu. Faktor pH tanah
mempunyai peranan penting bagi perkembangan mikroorganisme di
tanah.Mikroorganisme yang bisa bertahan dalam kondisi pH masam adalah
bakteri, fungi dan aktinomisetes. Menurut Hardjowigeno (2007), bakteri hidup
pada pH 5,5. Menurut Hanafiah, et al. (2009), aktinomisetes hidup pada pH di atas
5. Penurunan ketersediaan bahan organik menyebabkan penurunan kadar C-
organik. Penurunan ketersediaan bahan organik ini karena adanya air hujan yang
membuat erosi tanah sehingga bahan organik tanah terbawa oleh air hujan. Pada
tanah bekas kebakaran, penurunan ketersediaan bahan organik ini tergantung pada
intensitas api, jumlah bahan organik dan sifat bahan organik ketika terjadi
kebakaran. Semakin tingginya intensitas api yang terjadi yaitu suhu kebakaran
yang tinggi dan semakin banyak jumlah bahan organik yang terbakar serta
mudahnya sifat bahan organik yang terbakar maka mempercepat penurunan
jumlah bahan organik di tanah. Menurut Verma dan Jayakumar (2012), efek api
pada bahan organik tergantung dari intensitas api, jumlah bahan organik dan sifat
bahan organik. Menurut Ekinci (2006), hutan yang terbakar akan mengakibatkan
bahan organik yang berada pada kedalaman hingga 10 cm terbakar sebanyak 50%.
Menurut Rubio (2009), pada tanah terbakar dengan suhu 4500C selama 2 jam atau
suhu lebih dari 5000C selama setengah jam maka merusak sekitar 99% bahan
organik. Menurut Certini (2005), pada tanah terbakar dengan suhu 2200C, bahan
organik hilang sekitar 37%. Pada tanah bekas kebakaran, kadar Corganik tahun
2012 sangat tinggi dibandingkan dengan tanah bekas kebakaran tahun 2010,
2011,2013 dan 2014. Hal ini disebabkan karena sudah tumbuh vegetasi yang baru
sehingga semakin tinggi bahan organik yang mampu membuat sumber karbon
bagi tanah. Menurut Hanafiah, et al. (2009), bahan organik merupakan
bahanbahan yang mengandung senyawa karbon di tanah. Pada tanah bekas
kebakaran tahun 2012, bahan organik sangat tinggi sehingga kapasitas tukar
kation sedang tetapi pada tahun 2013 dan 2014, bahan organik sangat rendah dan
rendah tetapi kapasitas tukar kation sedang. Hal ini disebabkan karena perubahan
kapasitas tukar kation tergantung pada intensitas kebakaran yang terjadi, tekstur
tanah dan persediaan bahan organik di tanah. Menurut Rubio (2009), saat terjadi
kebakaran, terjadi perubahan kapasitas tukar kation liat pada suhu lebih dari
4000C dan kapasitas tukar kation liat mengalami kerusakan pada suhu 7000C
sampai 8000C. Menurut Mukhlis (2011), kapasitas tukar kation tergantung pada
tekstur tanah dan kadar bahan organik. Tanah dengan tekstur liat tinggi memiliki
nilai kapasitas tukar kation yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang
berpasir. Tanah dengan kadar organik yang tinggi memiliki nilai kapasitas tukar
kation yang lebih besar dibandingkan dengan kadar organiknya yang rendah.
Total Mikroorganisme Tanah Parameter yang diamati dalam sifat biologi
tanah adalah total mikroorganisme tanah. Jumlah total mikroorganisme pada
sampel tanah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil perhitungan total mikroorganisme (x105) SPK/ml
Sampel Tanah Total Mikroorganisme
Tidak Terbakar 49.510
2010 17.306
2011 10.932
2012 19.618
2013 8.160
2014 11.084

Berdasarkan Tabel 2, hasil perhitungan total mikroorganisme pada tanah


tidak terbakar lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah bekas kebakaran pada
tahun 2010 sampai 2014. Hasil perhitungan total mikroorganisme pada tanah
tidak terbakar ini juga lebih tinggi dari penelitian Syahputra (2007) yang
menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme di hutan mangrove Jaring Halus
pada jarak 100 - 150 m dari garis pantai dan pada kedalaman 10 - 20 cm yaitu
sebesar 2,3 x 109 SPK/ml dan penelitian Handayani dan Prawito (2002) yang
menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme di hutan Kemumu Bengkulu
Utara yaitu sebesar 2,4 x 109g-1. Kebakaran menyebabkan penurunan total
mikroorganisme di tanah. Semakin tinggi suhu kebakaran yang terjadi pada tanah,
maka semakin sedikit mikroorganisme yang mampu bertahan. Umumnya, bakteri
lebih tahan terhadap api daripada fungi. Menurut Verma dan Jayakumar (2012),
mikroorganisme sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut
Choromanska dan Deluca (2002), organisme yang hidup di tanah akan terbunuh
pada suhu lebih dari 500C dan umumnya fungi lebih sensitif terhadap panas
ketika terjadi kebakaran hutan daripada bakteri.
Setelah terjadi kebakaran, mikroorganisme harus mampu bersaing dalam
hal memperoleh makanan yaitu bahan organik sebagai sumber energi bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Certini (2005), perlu waktu selama 12
tahun untuk memulihkan jumlah mikroorganisme pada hutan pinus yang terjadi
kebakaran ke keadaan sebelum terjadi kebakaran. Menurut Pyne, et al. (1996),
efek api biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah kembali
banyak lagi dalam beberapa tahun.
Pada Tabel 2, hasil analisis total mikroorganisme pada tanah bekas
terbakar tahun 2012 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah bekas kebakaran
pada tahun 2010, 2011, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012, terjadi peningkatan total
mikroorganisme karena persediaan bahan organik sangat tinggi. Hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya bahan organik yang tersedia sebagai sumber
energi bagi mikroorganisme maka total mikroorganisme yang ada di tanah juga
semakin banyak. Menurut Hanafiah, et al. (2009), populasi yang tinggi
menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup. Menurut
Hardjowigeno (2007), salah satu pengaruh bahan organik adalah sebagai sumber
energi bagi mikroorganisme tanah. Menurut Pyne, et al. (1996), kebakaran hutan
menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, sehingga
menyebabkan perubahan dalam habitat yang menurunkan jumlah mikroorganisme
yang sangat besar dalam habitat.
 Aktivitas Mikroorganisme Tanah
Parameter yang diamati dalam aktivitas mikroorganisme tanah adalah
jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah.Jumlah CO2 yang
dihasilkan oleh mikroorganisme tanah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil respirasi mikroorganisme tanah (kg/hari)
Respirasi Mikroorganisme Tanah
Sampel Tanah
(kg/hari)
Tidak terbakar 11,99
2010 6,43
2011 10,28
2012 16,28
2013 11,14
2014 8,14

Pengukuran respirasi mikroorganisme didapat dengan menggunakan


metode jar dan metode titrimetri. Metode jar ini menginkubasi sampel tanah
selama 14 hari ditempat gelap, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan
metode titrimetri untuk mentitrasikan agar produksi CO2 oleh mikroorganisme
dapat dihitung. Pada saat inkubasi harus ditempat gelap karena ada bakteri yang
bersifat fotosintetik. Bakteri fotosintetik bila ada cahaya maka akan menggunakan
CO2 untuk melakukan fotosintesis akibatnya pengukuran repirasi menjadi kurang
akurat sehingga harus diinkubasi ditempat yang gelap. Menurut Widati (2007),
pengukuran di laboratorium meliputi penetapan CO2 yang dihasilkan dari
sejumlah contoh tanah yang kemudian diinkubasi dalam jangka waktu tertentu.
Kebakaran membuat perubahan dalam aktivitas mikroorganisme yaitu
perubahan respirasi mikroorganisme dalam memproduksi CO2. Semakin tinggi
nilai respirasi mikroorganisme maka semakin tinggi pula mikroorganisme
memproduksi CO2. Menurut Sumarsih (2003), aktivitas mikroorganisme tanah
tinggi berarti produksi CO2 di tanah pun tinggi.
Faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme tanah adalah pH
tanah, bahan organik tanah, kapasitas tukar kation dan total mikroorganisme. Jika
pH tanah masam, bahan organik di tanah rendah, kapasitas tukar kation
tanah rendah dan total mikroorganisme tanah sedikit maka aktivitas
mikroorganisme tanah mengalami penurunan. Menurut Syahputra (2007), pH
tanah masam maka aktivitas mikroorganisme menurun. Menurut Hanafiah, et al.
(2009), bahan organik sebagai suplai makanan atau energi yang sedikit di tanah
akan menurunkan aktivitas mikroorganisme. Menurut Hardjowigeno (2007),
semakin rendah nilai kapasitas tukar kation maka tanah tidak subur dan
membuat aktivitas mikroorganisme semakin menurun. Menurut Hanafiah, et al.
(2009), total mikroorganisme di tanah sedikit membuat aktivitas mikroorganisme
menjadi rendah.
Pada Tabel 3, hasil nilai respirasi mikroorganisme tanah pada tanah tidak
terbakar lebih tinggi dari penelitian Ardi (2009) yang menyatakan bahwa respirasi
mikroorganisme pada kedalaman tanah 0 - 10 cm dengan kelerengan tanah 0 - 8%
di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sebesar 1,45 kg/hari dan penelitian
Susilawati, et al. (2013) yang menyatakan bahwa respirasi mikroorganisme di
hutan lindung Dieng sebesar 5, 20 kg/hari.
Pada Tabel 3, hasil nilai respirasi mikroorganisme tanah pada tanah bekas
terbakar tahun 2012 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah pada tanah tidak
terbakar dan tanah bekas terbakar pada tahun 2010, 2011, 2013 dan 2014. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan total mikroorganisme dan jumlah persediaan bahan
organik di tanah. Semakin tinggi total mikroorganisme dan semakin banyaknya
jumlah persediaan bahan organik di tanah maka nilai respirasi mikroorganisme
akan semakin tinggi. Menurut Hanafiah, et al. (2009), aktivitas mikroorganisme
yang tinggi berhubungan dengan banyaknya populasi mikroorganisme dan bahan
organik sebagai sumber energi. Menurut Hedo, et al. (2014), rendahnya nilai
respirasi karena pemulihan vegetasi yang buruk sehingga menyebabkan
pemulihan bahan organik yang sedikit di tanah.
Pada tahun antara 2014 sampai tahun 2012 hasil respirasi mikroorganisme
mengalami peningkatan.Tetapi pada tahun antara 2011 dan 2010, hasil respirasi
mikroorganisme tanah mengalami penurunan. Maka, hasil respirasi
mikroorganisme tanah pada tanah bekas kebakaran hampir sama antar tahun
kebakaran yaitu pada tahun 2014 sampai tahun 2010 dengan tanah tidak terbakar.
Menurut Hedo, et al. (2014), tidak ada perbedaan hasil respirasi mikroorganisme
yang diamati setelah gangguan kebakaran.
Penurunan aktivitas mikroorganisme pada tanah bekas kebakaran hutan
menunjukkan bahwa tanah tidak subur. Tetapi, jika dilakukan perbaikan pada
tanah bekas kebakaran hutan maka aktivitas mikroorganisme pun akan tinggi.
KESIMPULAN
Semakin tinggi aktivitas mikroorganisme yaitu nilai respirasi
mikroorganisme maka semakin tinggi pula mikroorganisme memproduksi CO2.
Nilai respirasi pada tanah tidak terbakar adalah 11,99. Nilai respirasi pada tanah
bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014 adalah 6,43; 10,28;
16,28; 11,14 dan 8,14. Aktivitas mikroorganisme hampir sama antar tahun
terjadinya kebakaran dengan tanah tidak terbakar.
DAFTAR PUSTAKA

Anas, I. 1989. Petunjuk Laboratorium: Biologi Tanah Dalam Praktek.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Ardi, R. 2009. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah pada Berbagai


Kelerengan dan Kedalaman Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.Skripsi.
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Medan.

Badan Pusat Statistik. 2013. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Toba Samosir.
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Samosir.

Certini, G. 2005. Effect of Fire on Properties of Forest Soil: a review. Oecologia


Vol 143: 1-10.

Choromanska, U dan T. H. Deluca. 2002. Microbial Activity and Nitrogen


Mineralization in Forest Mineral Soils Following Heating: Evaluation of PostFire
Effects. Soil Biology and Biochemistry 34(2002): 263-271.

Donna, R. 2006. Perilaku Api Dan Dampak Pembakaran Terhadap Fauna Tanah
Pada Areal Penyiapan Lahan di Hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat.
Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Ekinci, H. 2006. Effect of Forest Fire on Some Physical, Chemical and Biological
Properties of Soil in Canakkale, Turkey.International Journal of Agriculture and
Biology 8 (1): 102-106.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Hanafiah, A. S., T. Sabrina dan H. Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah.
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Medan.
Hardjowigeno, H. S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hastuti, R. D dan R. C. B. Ginting. 2007. Enumerasi Bakteri, Cendawan, dan


Aktinomisetes. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bandung.

Hedo, J., M. E. L. Borja., C. Wic., M. A. Abellan dan J. D. L. Heras. 2014. Soil


Respiration, Microbial Biomass and Ratios (Metabolic Quotient and MBC/TOC)
as Quality Soil Indicators in Burnt and Unburnt Alleppo Pine Forest Soils. Journal
of Forest 1(2): 20-28.

Menteri Kehutanan. 2009. Pengendalian Kebakaran Hutan. Kementerian


Kehutanan. Jakarta.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.


Mukhlis., Sarifuddin dan H. Hanum. 2011. Kimia Tanah: Teori dan Aplikasi.
USU Press. Medan.

Purbowaseso. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta.

Pyne, S. J., P. L. Andrews., dan R. D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire.


Second Edition Johm Wiley and Sons. USA.

Rubio, J. S. 2009. Impact of Forest Fires on Soil Propertiesand Hydrological


Processes.International WorshoponEcohydrology and ClimateChange. Portugal.

Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Fakultas Pertanian UPN


Veteran.Yogyakarta.

Susilawati., Mustoyo., E. Budhisurya., R. C. W. Anggono dan B. H. Simanjuntak.


2013. Analisis Kesuburan Tanah dengan Indikator Mikroorganisme Tanah pada
Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Plateau di Dieng. Jurnal Agric 25(1):
6472.

Syahputra, M. D. 2007. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah di Hutan


Mangrove.Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Medan.

Syaufina, L dan A. Sukmana.2008. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan


di Daerah Tangkapan Air Danau Toba.Centre of Forest and Nature Conservation
Research and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber
Organization (ITTO). Bogor.

Verma, S dan S. Jayakumar. 2012. Impact of Forest Fire on Physical, Chemical


and Biological Properties of Soil: A Review. Proceedings of the International
Academy of Ecology and Environmental Sciences 2(3): 168-176.

Widati, S. 2007. Respirasi Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan


Sumberdaya Lahan Pertanian. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai