Anda di halaman 1dari 24

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Mikoriza


Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti
“fungi akar” (mykos = miko= fungi dan rhiza = akar ) atau “fungi tanah” karena
hifa dan sporanya selalu berada di tanah terutama di areal rhizosfer tanaman
(Mikola, 1980; Smith and Read, 1997). Asosiasi antara fungi mikoriza dengan
tanaman inang merupakan hubungan simbiosis mutualisme (Simanungkalit, 2003;
Brundrett et al., 2008). Simbiosis tersebut bermanfaat bagi keduanya, yaitu fungi
mikoriza memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dan
Karbon (C) dari tumbuhan, sebaliknya fungi melalui hifa eksternal yang
terdistribusi di dalam tanah dapat menyalurkan air, mineral dan hara tanah untuk
membantu aktivitas metabolisme tumbuhan inangnya (Brundrett et al., 2008;
Smith et al., 2010).

2.2. Pengelompokkan FMA


Berdasarkan struktur dan cara fungi menginfeksi akar, mikoriza
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan
ektendomikoriza. Jenis ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang
terkena infeksi membesar, bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa
menjorok ke luar dan berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menyerap
unsurhara dan air. Hifa fungi tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang
di antara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperti pada
jaringan hartiq. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) tergolong ke dalam tipe
endomikoriza yaitu memiliki jaringan hifa yang masuk kedalam sel korteks akar
dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikular dan
sistim percabangan hifa yang disebut arbuskul. Sedangkan ektendomikoriza
merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya
antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq. Hifa dapat
menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebarannya

4
terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini
sangat terbatas (Brundrett, 2004).

2.2.1 Ektomikoriza
Ektomikoriza adalah asosiasi simbiosa antara jamur dan akar
tumbuhan, dimana jamur membentuk suatu sarung yang menyelubungi semua
atau beberapa cabang-cabang akar dan adakalanya masuk ke dalam sel tetapi tidak
pernah menembus melewati korteks dan hifa intraseluler tidak menyebabkan
kerusakan sel inang. Contoh ektomikoriza disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Ektomikoriza (Russulales, 2010)

Fungi ektomikoriza umumnya dari golongan Basidiomisetes dan


Askomisetes. Beberapa genera fungi Basidiomisetes pembentuk ektomikoriza di
antaranya adalah Amanita, Boletellus, Boletinus, Boletus, Pisolithus, Scleroderma,
Suillus, Russula, dan Laccaria (Brundrett et al. 1996; Rinaldi et al. 2008).
Beberapa manfaat mikoriza bagi pertumbuhan tanaman antara lain: (1)
meningkatkan penyerapan unsur hara tanaman dari dalam tanah. Hal ini
disebabkan mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara
makro dan beberapa unsur hara mikro. Eksplorasi hifa pada media tumbuh juga
lebih luas dibandingkan dengan akar tanaman (Satomura et al. 2006; Santoso et
al. 2007); (2) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Pada akar
bermikoriza kerusakan jaringan kortek tidak akan bersifat permanen. Akar
bermikoriza akan cepat pulih, karena hifanya masih mampu menyerap air pada
pori tanah, dan penyebaran hifa yang luas akan dapat menyerap air lebih banyak
(Querejeta et al. 2003); (3) meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen.
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksipatogen
akar, perlindungan ini terjadi karena adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik

5
dan antibiotika yang dikeluarkan oleh mikoriza (Whipps 2004; Martin-Pinto et al.
2006; Zadworny et al. 2007); dan (4) menghasilkan beberapa zat pengatur
tumbuh. Fungi mikoriza dapat menghasilkan hormon auksin, sitokinin, gibberelin,
dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya (Allen et al. 2003; Dell 2002).
Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau menghambat proses penuaan dan
suberinasi akar sehingga umur dan fungsi akar dapat diperpanjang. Manfaat
lainnya ialah (5) beberapa fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang
dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia, sehingga memberikan hasil hutan non
kayu yang bernilai ekonomi dan gizi yang tinggi (Hall et al. 2003; Yamada et al.
2001; 2007).

Interaksi antara fungi dan inang dalam medium pertumbuhan


sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh sejumlah interaksi biokimia, fisiologi
dan proses lingkungan. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman disajikan pada
Gambar 5.

Gambar 5. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman (Anonim 2006) A: Gambaran


simbiosis yang terbentuk pada akar tanaman dengan miselia fungi
ektomikoriza, miselia fungi ektomikoriza dapat menghubungkan dua
tanaman yang berbeda. B: Komponen fungi ektomikoriza yang terbentuk
pada akar tanaman, yang terdiri dari mantel pada lapisan luar akar
tanaman, Hartig net yang terbentuk di sela-sela epidermis dan/atau
hingga kortek, serta hifa eksternal.

6
2.2.2 Endomikoriza
Endomikoriza ditemukan di dalam tanah dan berada disekitar zona
perakaran tanaman dan berkembang melalui infeksi akar sehingga jamur mikoriza
disebut sebagai jamur tanah dan juga jamur akar. Endomikoriza berasosiasi dengan
akar tanaman dengan menginfeksi akar dan membentuk jalinan hifa sehingga mampu
menembus tanah yang tidak dijangkau akar (Parniske, 2008).
Endomikoriza memiliki beberapa organ khusus yang masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Organ-organ tersebut antara lain arbuskul,
vesikular, hifa dan spora. Vesikula merupakan organ fungi yang berasal dari
pembengkakan hifa internal yang kemudian berfungsi sebagai tempat penyimpanan
cadangan makanan bagi pertumbuhan endomikoriza selama bersimbiosis dengan
tanaman inang. Vesikula berbentuk bulat telur yang berukuran 30-50 μm. Jika suplai
metabolik dari tanaman inang berkurang, maka cadangan makanan itu akan
digunakan oleh fungi sehingga vesikular mengalami degenerasi (Brundrett, 2008).
Arbuskular merupakan hifa yang bercabang halus yang dibentuk oleh
percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon di dalam sel
korteks inang. Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi (Brundrett, 2008).
Arbuskula dianggap sebagai organ yang berfungsi sebagai tempat pertukaran sumber
daya yang dibutuhkan oleh inang dan fungi endomikoriza. Spora merupakan struktur
endomikoriza yang berasal dari ujung hifa eksternal dan dapat dibentuk secara
tunggal dan juga berkelompok atau yang dsebut dengan sporokarp. Spora dapat hidup
di dalam tanah sampai beberapa tahun. Namun untuk perkembangan memerlukan
tanaman inang (Parniske, 2008).
Simbiosis endomikoriza dengan tanaman berlangsung melalui beberapa
tahap. Tahapan pertama adalah tanaman menghasilkan hormon strigolactone yang
berfungsi sebagai sinyal bagi endomikoriza untuk mempenetrasikan hifa ke epidermis
akar tanaman inang (Gutjahr, 2014). Hormon strigolactone merupakan hormon yang
dikeluarkan akar tanaman yang berfungsi memberikan rangsangan bagi jamur yang
berada di sekitar zona perakaran sehingga dengan segera mengolonisasi akar tanaman
inang (Zwanenburg et al., 2012). Akibat adanya rangsangan kimia dan mekanik dari
senyawa tersebut, endomikoriza kemudian membentuk hifa yang berfungsi sebagai
alat penetrasi di akar inang. Hifa tersebut akan terus memanjang hingga masuk ke
dalam sel korteks setelah apresorium mempenetrasi epidermis akar (PPA).
Selanjutnya hifa endomikoriza akan masuk ke dalam sel korteks kemudian bercabang

7
membentuk arbuskula. Setelah arbuskula mendapatkan nutrisi berupa karbohidrat dari
tanaman, fungi endomikoriza akan mengembangkan miselium ekstra radikal yang
kemudianujung-ujungnya membentuk spora baru. Vesikula berfungsi sebagai organ
penyimpanan cadangan makanan bagi jamur, namun tidak semua endomikoriza
menghasilkan vesikula (Parniske, 2008). Tahapan simbiosis endomikoriza dengan
tanaman dapat di lihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tahapan perkembangan endomikoriza (Parniske, 2008)

Interaksi endomikoriza dengan tanaman berpotensi memberikan


kontribusi terhadap peningkatan produktivitas tanaman melalui peningkatan serapan
hara, ketahanan terhadap penyakit dan toleransi stress biotik dan abiotik (Jacott et al.,
2017). Sukmawati et al. (2014) mengemukakan bahwa terjadi perbaikan kualitas
tanah dan serapan hara oleh tanaman dengan inokulasi mikoriza. Didukung oleh Soka
dan Ritchie (2016) yang menyatakan bahwa endomikoriza memberikan keuntungan
dalam membantu tanaman menyerap hara fosfor. Hasil penelitian Astiko et al. (2012)
juga membuktikan bahwa adanya endomikoriza dapat menghasilkan enzim fosfatase
yang berfungsi melepaskan fosfor dari ikatan unsur lain. Hal yang sama disampaikan
Sukmawati (2014) bahwa mikoriza dapat membantu tanaman menyerap hara dengan
membentuk miselium yang panjang juga menghasilkan enzim yang berguna
melepaskan ikatan hara makro dari ikatan unsur lain. Selain itu, endomikoriza juga
dikenal mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Hohmann et
al., 2017). Semua kelebihan karbohidrat pada akar digunakan oleh mikoriza sehingga
menghambat perkembangan patogen akar.

8
Manfaat lain endomikoriza disampaikan Beltrano et al. (2013) yang
menyatakan bahwa jamur mikoriza arbuskular mengurangi efek merugikan salinitas
karena dengan adanya mikoriza tanaman lebih toleran terhadap salinitas tinggi
sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Navarro et al. (2013) menemukan
bahwa, batang jeruk yang diinokulasi endomikoriza menunjukkan pertumbuhan yang
meningkat secara signifikan dibandingkan jeruk yang tidak diinokulasi meskipun
tanaman yang diinokulasi diirigasi dengan air garam dan yang tidak diinokulasi
mendapat irigasi dengan air tanpa kandungan garam.

Gambar 7. Efek positif kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman inang (Jacott
et al., 2017).

2.2.2.1 Klasifikasi Endomikoriza


Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) termasuk kedalam ordo
Glomeromycota yang terdiri atas empat sub ordo yaitu Glomineae dengan empat
famili, Glomaceae yang memiliki satu genus yaitu Glomus, famili
Acaulosporaceae memiliki dua genus yaitu Entrophospora dan Acaulospora,
famili Archaesporaceae memiliki satu genus yaitu Archaespora, dan family
Paraglomaceae dengan genus Paraglomus. Sub ordo Gigasporineae memiliki satu
family Gigasporaceae dengan dua genus yaitu Gigaspora, dan Scutellospora
(INVAM, 2017). Berdasarkan taksonomi terbaru ini spesies dalam kelompok
cendawan MA berjumlah 176, masing-masing 32 Acaulospora, 4 Entrophospora,
3 Archaeospora, 98 Glomus, 2 Paraglomus, 8 Gigaspora, dan 29 Scutellospora
(INVAM, 2017).

9
Table 1. Taksonomi Mikoriz
Filum Ordo Sub-ordo Family Genus
Zygomycot Glomeromy- Glomineae Glomaceae Glomus
a cota
Acaulosporaceae Acaulospor
a
Entrophopora
Archaeosporaceae Archaeospora
Paraglomaceae Paraglomus
Gigasporaceae Gigaspora
Scutelospora
Sumber: INVAM (2017).

2.2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Endomikoriza


Perkembangan endomikoriza ditentukan oleh berbagai faktor antar
lain suhu, kelembaban, kadar air tanah, intensitas cahaya, bahan organik, sifat
fisikokimia tanah dan tanaman inang. Suhu, cahaya dan kelembaban dapat
berpengaruh secara langsung dan tidak langsung bagi perkembangan spora
endomikoriza. Secara langsung dapat berpengaruh terhadap pembentukan spora
dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kolonisasi yang
berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya bagi pertumbuhan tanaman inang.
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas fungi karena berkurangnya
ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman inang akibat evaporasi yang tinggi.
Suhu yang melebihi 40°C dapat secara langsung menghambat perkembangan akar
dan aktivitas fisiologi endomikoriza. Faktor lingkungan berupa kelembaban tanah
juga dapat mempengaruhi sporulasi endomikoriza (Tahat dan Sijam, 2012).
Kurangnya ketersediaan air bagi tanaman inang dapat meningkatkan
aktivitas endomikoriza untuk menjangkau daerah yang lebih jauh melalui
produksi miselium yang banyak. Selain itu, kekurangan air juga menyebabkan
kelarutan unsur hara ikut menurun sehingga endomikoriza akan lebih aktif untuk
menyediakan hara bagi tanaman inang (Birhane et al., 2012).
Peranan pH dalam perkembangan endomikoriza adalah secara tidak
langsung. Pada kondisi pH yang suboptimal unsur hara cenderung tidak tersedia
bagi tanaman sehingga dengan adanya endomikoriza akan menjangkau daerah
yang lebih jauh untuk memperoleh hara bagi pertumbuhan tanaman inang

10
(Carennho et al., 2007). Endomikoriza akan memproduksi banyak miselium
sehingga produksi spora pun ikut meningkat (Jacott et al., 2017).
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang
penting disamping bahan anorganik, air, dan udara. Jumlah spora endomikoriza
berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Bahan
organik cenderung menyediakan unsur hara bagi tanaman sehingga mengurangi
efektivitas endomikoriza. Selain itu, bahan organik berupa residu akar yang
mengandung endomikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan
generasinya dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut
mengandung hifa, vesikular dan spora yang dapat menginfeksi akar. Kandungan
bahan organik yang tinggi terjadi peningkatan hifa Glomus intraradices (Gryndler
et al., 2009)
Intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan jumlah karbohidrat
di dalam akar karena proses fotosintesis berlangsung optimal. Kondisi tersebut
membuat endomikoriza memperoleh sumber daya yang cukup untuk
perkembangannya. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun, maka
infeksi FMA meningkat (Parniske, 2008).
Mikoriza dapat bersimbiosis dan mempunyai toleransi yang luas
terhadap tanaman inang. Muis et al. (2013) menemukan jumlah Glomus clarum
lebih tinggi dibandingkan spesies lainnya pada perakaran tanaman jagung dan
sorgum. Kolonisasi mikoriza pada tanaman umbi bervariasi tergantung
lingkungan tempat tumbuhnya tanaman inang (Prayudyaningsih, 2015). Hasil
penelitian Pangaribuan (2014) menjelaskan bahwa terjadi perbedaan jumlah
kepadatan spora endomikoriza akibat perbedaan inang dan lingkungan asal
propagul dan Tamin et al. (2012) mengemukakan bahwa lingkungan yang
berbeda menyebabkan perbedaan genus spora endomikoriza.

2.2.2.3 Karakteristik Morfologi Endomikoriza


Karakteristik yang diamati adalah bentuk spora, warna spora dan
ornamen spora. Beberapa genus endomikoriza yang paling banyak mendominasi
perakaran tanaman adalah genus Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan
Scutellospora,

11
2.2.2.3.1 Genus Glomus
Bentuk spora Glomus berbeda-beda ada yang berbentuk globose,
ovoid, dan ellipsoid, sedangkan pada ornament permukaannya ada yang berupa
smooth dan rough. Karakteristik khas pada spora Glomus adalah sering terlihat
jelas dinding spora dan terdapat ujung hifa yang menempel pada permukaan spora
(substending hyphae). Perkembangan spora Glomus ujung hifa akan membesar
sampai mencapai ukuran maksimal sehingga terbentuk spora (khlamidospora).
Terkadang hifa ini akan bercabang-cabang dan tiap cabangnya membentuk
khlamidospora. Spora Glomus cenderung berwarna coklat gelap, kuning
kecokelatan, memiliki bentuk bulat dan bulat telur (Goswani et al., 2018).
Terdapat dinding spora yang tebal, tipis dan ada juga yang terlihat tidak jelas.
Permukaan spora ada yang tidak memiliki ornament dan ada yang memiliki
ornament. Ukuran spora berragam, mulai dari 108,80 μm hingga berukuran
341,09 μm. Spora Glomus sp tidak bereaksi dengan larutan Melzer (Widiati et al.,
2014).

2.2.2.3.2 Genus Gigaspora


Genus Gigaspora umumnya berwarna putih, krem, kuning pucat dan
hijau kecokelatan. Ciri khas genus Gigaspora yaitu terdapat bulbous suspensor
yang selalu menempel pada dindng spora. Spora Gigaspora dihasilkan secara
tunggal di dalam tanah berbentuk globus atau subglobus. Ukuran spora Gigaspora
yang ditemukan bervariasi mulai dari 21,45 μm hingga 251,56 μm. Berdasarkan
perkembangannya spora Gigaspora terbentuk dari ujung hifa yang membulat
(bulbous suspensor), selanjutnya muncul bulatan kecil yang semakin membesar
mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora. Gigaspora bereaksi
dengan larutan Melzer (Widiati et al., 2014).

2.2.2.3.3 Genus Acaulospora


Genus Acaulospora terdapat beberapa lapisan dinding spora yang
tebal sehingga terlihat dalam satu spora mempunyai banyak lapisan dinding spora.
Spora mikoriza genus Acaulospora mempunyai bentuk yang berbeda-beda seperti
globose, ellipsoid dan ovoid, tetapi mempunyai ornamen yang halus. Ukuran

12
spora genus Acaulospora bervariasi, mulai dari 11,56 μm hingga 400 μm.
Goswani et al. (2018) menyatakan bahwa karakteristik spora Acaulospora adalah
spora berwarna kuning gelap dan kuning kecokelatan, memiliki bentuk bulat dan
juga lonjong, dinding spora terlihat jelas, memiliki tangkai hifa dan ukuran spora
413,63 μm. Lapisan luar cenderung tidak bereaksi dengan larutan Melzer lapisan
bagian dalam bereaksi dengan larutan Meler (Widiati et al., 2014).

2.2.2.3.4 Genus Scutellospora


Ciri genus Scutellospora adalah memiliki bentuk spora bulat, agak
bulat, lonjong, dan terkadang tidak beraturan dengan warna dinding spora kuning
hingga kecokelatan. Genus Scutellospora memiliki lapisan kecambah yang
disebut germination shield. Scutellospora memiliki ukuran spora 120-400 μm.
Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna sporanya merah
coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer (INVAM, 2017).

2.2.3 Ektendomikoriza
Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua
mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis
berupa jaringan hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel
korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga
pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas

Gambar 8. Ektendomikoriza (Anonim, 2004).

2.3 Struktur Mikoriza Arbuskular


Struktur mikoriza arbuskular, yaitu :

13
1. Arbuskular
Arbuskular adalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa
di dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai
pohon kecil yang berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit
primer antara fungi dan akar tanaman (Brundrett, 2008). Semakin
bertambahnya umur, arbuskular berubah menjadi suatu struktur yang
menggumpal dan tidak dapat dibedakan lagi (Pattimahu, 2004).
2. Vesikel
Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami
penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara internal
di dalam sel atau di luar sel akar tanaman inang yang terbentuk pada hifa
terminus dan interkalar. Vesikel berbentuk bulat atau oval/lonjong yang
berisi senyawa lemak. Vesikel merupakan organ penyimpanan cadangan
makanan bagi fungi endomikoriza (Brundrett, 2008).
3. Hifa Eksternal
Hifa eksternal merupakan struktur lain dari cendawan mikoriza
yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di
dalam tanah. Terbentuknya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman
berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga
memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih
luas (Mosse, 1981).
4. Hifa Internal
Hifa internal adalah hifa yang menembus ke dalam sel korteks dari
satu sel ke sel yang lain. Hifa internal sangat penting untuk mengetahui
adanya kolonisasi mikoriza dalam akar tanaman (Pujianto, 2001).

2.4 Genus Spora Mikoriza


Berdasarkan INVAM (2017), ada 13 genus spora mikoriza yaitu :

1. Glomus

14
Genus ini dicirikan dengan bentuk bulat dan oval. Warna spora
genus Glomus bervariasi mulai dari, kuning, kuning kemerahan, kuning
kecoklatan, coklat kekuningan, coklat muda, coklat tua kehitaman, ungu
hingga hitam. Selain itu, spora dapat diproduksi secara tunggal maupun
bergerombol membentuk agregat. Contoh spora Glomus disajikan pada
Gambar 9.

Gambar 9. Spora Glomus (INVAM, 2017).

2. Paraglomus
Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan dan
bening. Jumlah dinding spora terdiri atas lapisan transparan. Dudukan hifa
berbentuk silinder. Ukuran spora rata-rata 85 𝜇m. Contoh spora Paraglomus
disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Spora Paraglomus (INVAM, 2017).

3. Gigaspora
Spora pada genus ini memiliki dua lapis dinding serta auxiliary
cells. Karakteristik khas pada Gigaspora ialah memiliki bulbous suspensor.
Spora Gigaspora dihasilkan secara tunggal di dalam tanah, dengan ukuran
yang relatif besar dan memiliki bentuk bulat, oval dan iregular. Warna spora
pada genus ini bervariasi mulai dari kuning, kuning kehijauan, hijau

15
kekuningan, kuning kecoklatan, coklat kekuningan hingga hitam. Contoh
spora Gigaspora disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Spora Gigaspora (INVAM, 2017).

4. Scutellospora
Spora Scutellospora umumnya ditemukan dengan atau tanpa
ornament. Genus Scutellospora memiliki bentuk spora bulat, elips dan
terkadang iregular dengan warna dinding spora kuning, biru, coklat hingga
kehitaman. Scutellospora memiliki germination shield yang terletak pada
lapisan dinding fleksibel bagian dalam. Contoh spora Scutellospora
disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Spora Scutellospora (INVAM, 2017)

5. Acaulospora
Genus Acaulospora memiliki bentuk bulat, iregular dan elips
dengan dua lapis dinding spora. Warna spora bervariasi mulai kuning,
oranye kecoklatan, merah tua, hingga merah kecoklatan. Genus
Acaulospora memiliki saccule yang berbentuk bulat hingga iregular dengan
warna bervariasi dari transparan, kuning, merah muda transparan, hingga
putih. Contoh spora Acaulospora disajikan pada Gambar 13.

16
Gambar 13. Spora Acaulospora (INVAM, 2017).

6. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entrophospora berada di antara hifa


terminal dan dudukan hifa. Warna sporanya kuning dan coklat. Jika spora
belum matang, warnanya tampak jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat
dengan ukuran rata-rata 121 𝜇m. Dinding spora terdiri atas dua lapisan.
Contoh spora Entrophospora disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Spora Entrophospora (INVAM, 2017)

7. Archaeospora
Perkembangan spora pada genus Archaespora merupakan
perpaduan antara perkembangan spora genus Glomus dan Entrophospora
atau Acaulospora. Proses awal pembentukan spora berupa pembentukan
Sporiferous saccule di ujung hifa. Leher saccule akan berkembang menjadi
pedicel atau percabangan hifa dari leher saccule. Contoh spora
Archaeospora disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Spora Archaeospora (INVAM, 2017).

17
8. Funneliformis
Spora terbentuk secara tunggal dalam tanah atau berkelompok.
Spora biasanya dikelilingi oleh seluruh atau bahkan sebagian dari selimut
miselium. Dasar spora biasanya berbentuk corong dan dinding spora terdiri
atas dua atau tiga lapisan. Lapisan luar hialin dan akan meluruh seiring
dengan pematangan spora. Contoh spora Funneliformis disajikan pada
Gambar 16.

Gambar 16. Spora Funneliformis (INVAM, 2017)

9. Ambispora
Genus Ambispora berbentuk bulat dan struktur subselulernya
terdiri dari tiga lapis. Dinding spora berwarna dan memiliki dua
germination wall. Dinding spora terluar membentuk permukaan spora
yang berumur pendek dan jarang terbentuk pada spora dewasa.
Germination wall terluar membentuk dua lapisan yang biasanya saling
melekat, sementara germination wall terdalam membentuk tiga lapisan.
Contoh spora Ambispora disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Spora Ambispora (INVAM, 2017).

10. Septoglomus
Spora terbentuk secara tunggal maupun berkelompok dalam
tanah. Susunan hifanya tidak beraturan dengan lapisan laminasi pada
dinding spora. Spora memiliki satu atau lebih lapisan dinding bagian luar.

18
Dudukan berbentuk silindris atau sedikit berbentuk corong pada dasar spora.
Contoh spora Septoglomus disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Spora Septoglomus (INVAM, 2017).

11. Dentiscutata
Genus Dentiscutata biasanya memiliki ornamen spora. Memiliki
dinding spora yang berlapis-lapis dan dua dinding bagian dalam yang
fleksibel. Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan yang halus dan
menonjol, dan dihasilkan pada hifa dalam tanah dekat permukaan akar.
Contoh spora Dentiscutata disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Spora Dentiscutata (INVAM, 2017).

12. Rhizophagus
Perkembangan spora Rhizophagus mirip dengan perkembangan
spora pada genus Glomus. Spora glomoid terbentuk secara tunggal pada
tanah dan juga akar. Genus cenderung tidak membentuk struktur vesikular-
arbuskular yang khas. Contoh spora Rhizophagus disajikan pada Gambar
20.

Gambar 20. Spora Rhizophagus (INVAM, 2017).

19
13. Racocetra
Genus Racocetra bisa memiliki ornamen spora. Spora memiliki
dua lapis dinding spora dan dua lapis dinding germinal dalam yang
fleksibel. Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan halus dan
menonjol, dan diproduksi melalui hifa di tanah yang dekat dengan
permukaan akar. Contoh spora Racocetra disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Spora Racocetra (INVAM, 2017).

2.5 Perkembangan Mikoriza di Daerah Tropis


Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkecambahan spora
cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edapik yang cocok untuk
perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tanaman biasanya juga cocok untuk
perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan
cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya
berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti
pada padi sawah (Solaiman dan Hirata, 1995). Bahkan pada lingkungan yang
sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan
mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998). Sifat
cendawan mikoriza ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya bioremidiasi
lahan kritis.
Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika (tropical rain forest),
dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis
ektomikoriza (Munyanziza et al 1997). Hutan alami yang terdiri dari banyak
spesies tanaman dan umur yang tidak seragam sangat mendukung perkembangan
mikoriza. Konversi hutan untuk lahan pertanian akan mengurang keragaman jenis

20
dan jumlah propagul cendawan, karena perubahan spesies tanaman, jumlah bahan
organik yang dihasilkan, unsur hara dan struktur tanah. Hutan multi spesies
berubah menjadi hutan monokultur dengan umur seragam sangat berpengaruh
terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Selang waktu antara pembukaan lahan
dengan tanaman komersial berikutnya biasanya cukup lama dan tanah dibiarkan
dalam keadaan kosong sehingga terjadi perubahandrastis pada iklim mikro yang
cendrung kering. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari pembabatan hutan,
pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagul
cendawan mikoriza.

Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, cropping sistem,


ameliorasi dengan bahan organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat
berpengaruh terhadap keberadaan mikoriza (Zarate dan Cruz, 1995). Pengolahan
tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa ekternal cendawan mikoriza.
Penelitian McGonigle and Miller (1993), menunjukkan bahwa pengolahan tanah
minimum akan meningkatkan populasi mikoriza dibanding pengolahan tanah
konvensional. Usahatani tumpangsari jagung-kedelai juga diketahui
meningkatkan perkembangbiakan FMA . Ameliorasi tanah dengan bahan organik
sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang perkembangbiakan FMA . Dalam
budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen menyebabkan
erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh terhadap
populasi AM. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pestisida
berlebihan (Rao, 1994) serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan (McGonigle
dan Miller, 1993) berpengaruh negatif terhadap pembentukan mikoriza.
Konsekuensinya adalah produktivitas sistem pertanian akan sangat tergantung
pada pupuk buatan dan pestisida.

2.6 Mikoriza Dan Pertumbuhan Tanaman


Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza dengan tanaman
inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis mutualistis).
Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai
'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun
tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini,

21
dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza
berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses
pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat
meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan
unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang
dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu :
1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen
akar.
3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang
ekstrim
4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh
lainnya seperti auxin.
5. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.

Dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman, Plencette et al dalam


Munyanziza et al (1997) mengusulkan suatu formula yang dikenal dengan istilah
"relatif field mycorrhizal depedency" (RFMD) :

( BK . tanaman bermikoriza−BK .tanaman tanpa mikoriza)


RFMD ¿ ¿ x 100 %
BK .Tanaman tanpa mikoriza ¿

Namun demikian, respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh


karakteristik tanaman dan cendawan, tapi juga oleh kondisi tanah dimana
percobaan dilakukan. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor
lingkungantanah yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air,
temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik
(interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman
inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Adanya kolonisasi mikoriza tapi
respontanaman yang rendah atau tidak ada sama sekali menunjukkan bahwa
cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan Hirata, 1995).

22
Perbaikan Struktur Tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa
eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-
senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa eksternal yang
mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic binding
agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian
agregat mikro melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan
membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan Uphadhyaya (1998)
mengatakan bahwa FMA mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang
sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin
lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan
yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa eksternal bersama enzim-enzim
dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya
jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit.
Pembentukan struktur yang mantap sangat penting artinya terutama
pada tanah dengan tekstur berliat atau berpasir. Thomas et al (1993) menyatakan
bahwa FMA pada tanaman bawang di tanah bertekstur lempung liat berpasir
secara nyata menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik, lebih berpori dan
memiliki permeabilitas yang tinggi, namun tetap memiliki kemampuan
memegang air yang cukup untuk menjaga kelembaban tanah.. Struktur tanahyang
baik akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah,
yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan demikian
mereka beranggapan bahwa cendawan mikoriza bukan hanya simbion bagi
tanaman, tapi juga bagi tanah.
Serapan Air dan Hara. Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan
memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih
halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah
yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air
tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh
tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa
oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin
meningkat. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi
juga disebabkan karena hifa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase

23
yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi
tanaman.
Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut
fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikoriza
dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada
tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara
FMA dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997)
bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan
Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila
tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum.
Proteksi Dari Patogen dan Unsur Toksik. Mikoriza dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen
akar dan unsur toksik. Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza
dapatberfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar.
Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya
patogen.
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat
lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan
patogen.
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat
diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.
Namun demikian tidak selamanya mikoriza memberikan pengaruh
yang menguntungkan dari segi patogen. Pada tanaman tertentu, adanya mikoriza
menarik perhatian zoospora Phytopthora, sehingga tanaman menjadi lebih peka
terhadap penyakit busuk akar.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu
yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan
terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui
efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam
hifa cendawan. Khan (1993) menyatakan bahwa FMA dapat terjadi secara alami

24
pada tanaman pioneer di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara,
atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat
mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

2.7 Peranan Mikoriza Pada Perbaikan Lahan Kritis


2.7.1 Lahan Alang-Alang
Padang alang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral
masam, miskin hara dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu
padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang
menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal
sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim.
Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza
arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun
,1997).
Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi
cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi
tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan
bahwa inokulasi FMA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil
kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara
meningkat dari 0,18 mgP/tan menjadi 2,15 mg P/tan., sedangkan hasil kedelai
meningkat dari 0,02 g biji/tan. menjadi 5,13 g biji/tan. Pada tanah Latosol serapan
hara meningkat dari 0,13 mg P/tan. Menjadi 2,66 mg P/tan, dan hasil kedelai
meningkat dari 2,84 g biji/tan menjadi 5,98 g biji/tan. Penelitian pemupukan
tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa
serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman
yang diinokulasikan dengan FMA (Ali et al, 1997). lahan alang-alang dapat
diatasi dengan menginokulasikan mikoriza pada bibit tanaman penghijauan. Bibit
yang sudah bermikoriza akan mampu bertahan dari kondisi yang ekstrim dan
berkompetisi dengan alang-alang.

25
Penelitian Ba et al (1999) yang dilakukan pada tanah kahat hara
menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana
dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan
tersebut. Pentingnya mikoriza didukung oleh penemuan bahwa tanaman asli yang
berhasil hidup dan berkembang 81% adalah bermikoriza.
Pada lahan alang-alang yang sistem hidrologinya telah rusak,
persediaan air bawah tanah menjadi masalah utama karena tanahnya padat,
infiltrasi air hujan rendah, sehingga walaupun curah hujan tinggi tapi cadangan air
bawah permukaan tetap sangat terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi
ini merupakan salah satu sebab kegagalan program transmigrasi lahan kering.
Petani transmigran kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan tanaman
(khususnya tanaman pangan) sering gagal panen karena stres air.
Tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi
stres air yang hebat. Hal ini disebabkan karena jaringan hifa eksternal akan
memperluas permukaan serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler
sehingga serapan air untuk kebutuhan tanaman inang meningkat. Morte et al
(2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi
dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air
normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara
NPK.
Tabel 2. Perubahan konsentrasi N, P, K daun , tinggi tanaman dan berat kering
total tanaman A. africana sebagai respon atas kolonisasi ECM ( Ba et al,
1999).

26
Keterangan : TDW = total dry weight
Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus
indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza
memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman
tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi
yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis,
meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih
rendah selama stress air.

Tabel 3. Potensial air, net fotosintesis dan kadar hara pada tanaman H. almeriense
yang dinokulasi dengan T. claveryi dibawah kondisi normal dan stres air. (
Morte et al, 2000).

Tabel 4. Hasil biomass tanaman pepaya yang diinokulasi Gigaspora margarita


(AM) dan tanpa inokulasi (Non AM) dibawah kondisi irrigasi dan stress
air (Cruz et al, 2000).

Keterangan : RFW = root fresh weight TFW = Total fresh weight.

27

Anda mungkin juga menyukai