Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Singawalang (Petiveria alliaceae) yang termasuk ke dalam famili Phytolaceae di Indonesia
belum banyak dimanfaatkan sedangkan di Karibia, Amerika Latin, Afrika Barat dan daerah
lainnya sudah ratusan tahun digunakan sebagai pereda rasa sakit, flu, antiinflamasi, antitumor,
antibakteri, antijamur , antihiperlipidemia, antidiabetes dan untuk menangani penyakit lainnya
(Tropical Plant DatabaseAnamu, 2010). Petiveria Alliacea secara tradisional di Indonesia
digunakan sebagai analgetik, antiinflamasi dan sebagai tanaman obat untuk batuk berdarah.
Di daerah asalnya, yakni Amerika tropis, singawalang digunakan sebagai bahan insektisida dan
obat batuk rejan secara tradisional. Oleh penduduk setempat tanaman ini juga igunakan sebagai
obat minum peluruh kencing (diuretik) , peluruh dahak (ekspektoran), peluruh keringat
(sudorifik), peluruh cacing (vermifuga), pereda kekejangan (antispasmodik), dan obat bagi
penderita penyakit syaraf.
Beberapa tanaman obat secara empiris digunakan sebagai obat tradisional untuk
mengendalikan hipertensi. Salah satunya tanaman Singawalang (Petiveria alliaceae) ini. Akan
tetapi pengobatan menggunakan tanaman singawalang ini masih jarang digunakan di Negara
Indonesia ini, karena tumbuhannya jarang di temukan. Di Haiti , daun dan akarnya yang
ditumbuk digunakan sebagai obat hisap bagi penderita radang sakit kepala sebelah (migren).
Serbuk daunnya dimanfaatkan pula sebagai bahan obat pencuci mulut pasien yang sakit gigi.
Sementara masyarakat domonika memanfaatkan air rebusan akar singawalang untuk mengobati
penyakit reumatik dan radang paruparu (pneumonia). Menurut Weniger B.dkk. dalam Elements
For A Carribean Pharmacopeia (1988), berdasarkan hasil analisis kimia didalam tanaman
singawalang terkandung senyawa triterpen jenis isorbinol, isoarbinol sinamat;, asetat, dan
kumarin.
Penyakit darah tinggi atau Hipertensi seringkali disebut sebagai Silent Killer karena sering
muncul tanpa gejala. Menurut WHO , penderita Hipertensi di dunia mencapai 976 juta orang
atau 26,4% penduduk di dunia dan di Indonesia mencapai 28,6%. Bahkan diperkirakan jumlah
penderita hipertensi akan meningkat menjadi 1,6 milyar menjelang tahun 2025. Menurut
Departemen Kesehatan, Hipertensi adalah penyebab kematian terbanyak kedua (6,8%) setelah
stroke. Secara umum merupakan suatu keadaan tanpa gejala, tekanan yang abnormal tinggi
didalam arter menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung,
serangan jantug, dan kerusakan ginjal. Fenomena saat ini menunjukan bahwa semakin banyak
konsumen yang cenderung kembali kealam back to nature, termasuk dala penggunaan obat.
Salah satu obat tradisional yang penggunaannya terus meningkat di tengah masyarakat adalah
jamu penurun tekanan darah.
Hipertensi merupakan suatu keadaan seseorang ketika terjadi peningkatan tekanan
sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, penderita memiliki resiko
penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal (Iskandar 2007; Yusuf 2008). Beberapa penyebab
munculnya hipertensi antara lain penyakit gagal ginjal, kelainan endokrin, asupan garam terlalu
tinggi, stress atau salah pemakaian obat (Iskandar 2007). Selain itu, tinggi rendahnya tekanan
darah juga dipengaruhi oleh faktor Renin Angiotensin System (RAS), yang melibatkan

pengubahan zat angiotensin I menjadi angiotensin II (Yusuf 2008). Angiotensin II berfungsi


untuk sekresi aldosteron penyebab retensi sodium yang dapat meningkatkan volume cairan
ekstraseluler, sehingga mengakibatkan terjadinya hipertensi. Dengan menghambat aktivitas
angiotensin converting enzyme (ACE), maka angiotensin I tidak diubah menjadi angiotensin II,
sehingga hipertensi dapat dicegah. Metode inhibitor ACE merupakan metode skrining
antihipertensi yang efektif (Wagner et al.1991; Hansen et al. 1995; Somanadhan et al.1996).
Penelitian mengenai inhibitor ACE menggunakan mikrob endofit dari suatu tanaman obat
masih jarang dilakukan. Sejauh ini di Indonesia, obat komersial antihipertensi hanya terbatas
pada sintesis secara kimiawi contohnya captopril, sedangkan sintesis obat antihipertensi dengan
bantuan mikrob endofit dari suatu tanaman obat belum dikembangkan, karena keterbatasan
bahan baku dan mutu yang tidak memenuhi syarat.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining awal aktivitas antihipertensi dari
tanaman singawalang menggunakan metode enzim ACE inhibitor secara invitro. Hasil penelitian
ini diharapkan menjadi informasi awal untuk mengubah tanaman obat yang memiliki aktivitas
farmakologi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah tanaman singawalang memiliki aktivitas sebagai antihipertensi?
2. Kandungan apa saja yang terkandung didalam tanaman singawalang?
1.3 Tujuan
-

Untuk mengetahui aktifitas antihipertensi dari tanaman Singawalang (Petiveria alliaceae)


secara invitro menggunakan enzim ACE inhibitor dan membandingkan dengan sediaan
antihipertensi yang beredar dipasaran (Captopril).
Untuk mengetahui kandungan senyawa dari tanaman singawalang.

1.4 Waktu dan tempat


Waktu : dari bulan Maret Juni
Tempat : Laboratorium Fitokimia kampus STFB

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Singawalang (Petiveria alliaceae)
2.1.1 Taksonomi
Divisi
Sub Divisi
Kelas
Bangsa
Suku
Warga
Jenis

: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledonae
: Caryophyllales
: Phytolaccaceae
:Petiveria
: Petiveria alliacea

Sinonim :
Mapa graveolens, Corrientina foetida, P. graveolens, P. xandria, P. oraguayensis
Nama umum:
Singawalang
Nama daerah:
Daun tangguh
Nama Inggris:
Guinea hen weed, Anamu
Ciri-ciri:
Terna kecil berbentuk semak-semak merunduk ini tingginya bisa mencapai 1 m. Berdaun
jorong dengan panjang 6-19 cm, meruncing datau lancip, tajam, dan tak bertajuk.
Buahnya longkah berbentuk garis seperti taji sepanjang 6 mm. Ciri khasnya berbau
seperti marga bawang (Allium).
Penyebaran:
Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropis, dan kemudian masuk ke Indonesia melalui India.
Habitat:
Singawalang dapat tumbuh subur di kebun-kebun di daerah panas.
2.2.2 Kandungan kimia:
Menurut Weniger B.dkk. dalam Elements For A Carribean Pharmacopeia (1988) kimia yang
terkandung dalam tumbuhan ini antaralain triterpenes jenis isoarbinol, asetat, cinnamate

isoarbitol
dan
coumarin. Akar
dan
batangnya
mengandung
bahan
benzthydroxyethytrisulfide, trithiolaniacine, benzenic,bensaldehyde dan benzoic acid.

sulfur,

2.2.3 Manfaat
Secara empiris , singawalang digunakan untuk peluruh kencing , peluruh dahak, peluruh
keringat, dan pereda kejang. Berdasarkan pngamatan lapangan maupun studi etnobotani di salah
satu kampong di Bogor, diketahui tanaman singawalang sudah lama digunakan masyarakat
secara turun temurun sebagai obat tradisional penderita muntah darah akibat penyakit TBC.
Pengobatan tradisional ini jug adapt membantu penderita sebagian belahan dunia .
Berdasarkan pengalaman , setelah pengobatan seminggu penderita mulai merasakan
tanda-tanda kesembuhan . meski begitu sebaliknya penderita tetap memeriksakan diri ke dokter.
(Drs. Samiran)
2.2. Hipertensi
2.2.1. Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur
dengan
spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi
lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling
sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Hipertensi
yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis
lebih memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang
sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Yogiantoro M, 2006).
2.2.2. Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang
berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk
pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama
dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di
dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan besar juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi
terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di
perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawati et al, 2007). Angkaangka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah
pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari
segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas
dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar
antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa
Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%
sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003).

2.2.3. Etiologi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi
primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai
faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui
yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lainlain. Adapun penyebab paling umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang
tidak terobati. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang
dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006).
2.2.4. Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua
pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.

kali atau lebih

2.2.5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal)
akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan
tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon
antidiuretik(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan
tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan

sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan
yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber
vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural.
Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan
garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.
Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul
menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten
berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan
arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan
meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun
(dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan
akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun(MenurutSharma S et al,
2008 dalam Anggreini AD et al, 2009).
2.2.6. Tanda dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat
(kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema
pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala
sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan
manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah
bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN)
dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia)
atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).
Crowin (2000: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai
mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat
kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya
terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari
hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002).
2.2.7. Golongan obat
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), betabloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin
converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya
candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha
blocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan
antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk
keadaan krisis hipertensi.

a. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus
distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai
efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek
antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas
dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 12 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 1224 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali
sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis
tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena
itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Toleransi
glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes
mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan
peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat
diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid
dihentikan.
b. Beta-blocker
Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor
beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor
beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor
beta2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta1 juga dapat dijumpai
pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada
otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan
aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan
miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system
rennin angiotensinaldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan
retensi air. Terapi menggunakan betablocker akan mengantagonis semua efek tersebut
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Betablocker yang selektif (dikenal juga
sebagai cardioselective betablockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta1,
tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta1 saja oleh karena itu penggunaannya pada
pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati hati. Betablocker yang
nonselektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta1 dan beta2.
Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas
simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulanbeta pada saat
aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta
pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa betablocker,
misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptor alfa perifer. Obat
lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta2 atau vasodilator. Betablocker
diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid.
Obatobat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam
sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh

yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Betablocker tidak boleh
dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan
angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
c. ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada
darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin ini
akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem
angiotensinreninaldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk
bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan
menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter
farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja
yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan
berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam
hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
d. Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada
pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon
farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh
karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui
ACE. Oleh karena itu memblok sistem reninangitensin melalui jalur antagonis reseptor
AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat.
Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi,
tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat
yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
e. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, selsel dalam sistem konduksi jantung, dan selsel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi
impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung
pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan
amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan
verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan
heart rate dan mencegah angina.

Anda mungkin juga menyukai