Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN MANUSIA

KONTRAKSI OTOT JANTUNG


Untuk memenuhi tugas matakuliah Fisiologi Hewan Manusia
Yang diampu oleh Ibu Dr. Sri Rahayu Lestari, M.Si. dan Bapak Wira Eka Putra,
S.Si., M.Med.Sc.

Oleh :
Kelompok 4 Offering G
Aisy Hanifah (180342618060)
Millenia Luna Amengka (180342618056)
Muhammad Iffatul L. (180342618058)
Nur Raiyyan Jannah (180342618004)
Sania Sayyida U. (180342618002)
Shabrina Andira P. (180342618086)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2019
A. DASAR TEORI
Otot jantung bersifat khusus, karena hanya terdapat pada organ jantung saja.
Otot ini memiliki kesamaan struktural dan fungsional dengan otot polos dan
rangka. Seperti otot rangka, otot jantung tampak lurik, dengan filament tebal
dan tipis tersusun teratur membentuk pola pita regular. Filamen tipis jantung
mengandung troponin dan tropomiosin, yang merupakan tempat kerja Ca2+
dalam mengaktifkan aktivitas jembatan silang, seperti di otot rangka. Juga
seperti otot rangka. Otot jantung memiliki hubungan panjang-tegangan yang
jelas. Seperti serat otot rangka oksidatif, sel otot jantung mengandung banyak
mitokondria dan mioglobin. Sel-sel ini juga memiliki tubulus T dan retikulum
sarkoplasma yang cukup berkembang baik (Sherwood, 2014).
Pada pembelajaran kontraksi otot jantung dapat dilakukan melalui
pengamatan kontraksi otot jantung pada katak. Jantung katak (amfibi) dan
manusia (mammalia) memiliki centrum automasi sehingga tetap berdenyut
meskipun telah diputuskan hubungannya dengan susunan saraf atau di
keluarkan dari tubuh. Jantung dapat berkontraksi dan berelaksasi tanpa
sedikitpun dipengaruhi oleh impuls dari sistem saraf. Hal tersebut dapat terjadi
karena jantung memiliki sistem konduksi sendiri (autokondutrsi) yang terdiri
dari jaringan otot jantung khusus ( ± 1 % dari seluruh sel otot jantung) yang
dapat menghasilkan dan menyebarkan impuls sendiri (autorytmic), inilah yang
akan menyebabkan jantung berkontraksi.
Secara anatomi, jantung katak (amfibi) berbeda dengan jantung manusia
(mammalia). Jantung katak terdiri dari 3 ruangan yaitu 2 atrium telah terbagi
dengan sempurna oleh septum inter-curriculum menjadi atrium kiri dan kanan
dan 1 ventrikel. Sealin itu, jantung katak juga dilengkapi sinus venosus
(Tatang, 2014). Sedangkan jantung pada mencit terdiri dari 4 ruangan yaitu 2
atrium dan 2 ventrikel yang sudah dipisahkan oleh suatu septum sehingga
menjadi ruangan-ruangan yang terpisah secara sempurna (Milton, 2013). Pada
katak, irama detak jantung ditentukan oleh sinus venosus. Aurikel iramanya
kurang cepat dan ventrikelnya paling rendah tingkat otomasinya. Otot jantung
peka terhadap perubahan-perubahan metabolik, kimia dan suhu.
B. ALAT DAN BAHAN
Alat : Bahan :
1. Papan dan alat seksi 1. Kertas hisap
2. Cawan petri 2. Larutan Ringer
3. Lampu spiritus 3. Asetilkolin (1/5000) 2%
4. Gelas arloji 4. Adrenalin 1%
5. Gelas piala 50 cc 5. KCl 0,9%
6. Pipet tetes 6. CaCl2 1%
7. NaCl 0,7%
8. Katak hijau
C. PROSEDUR KERJA
1. Sifat Otomatis dan Ritmis Jantung

Katak hijau disingle pith, dibuka rongga dadanya.

Dibuka pericardium dan hitung detak jantung per menit.

Dipisahkan jantung, diletakkan di cawan petri dan diberi Ringer. Dihitung


denyut per menit, amati denyutnya berirama atau tidak.

Dipisahkan sinus venosus dari jantung, hitung denyutnya per menit. Bila
tidak berdenyut, pelan-pelan sentuh dengan batang gelas.

Dipisahkan atrium dan ventrikel, apakah masih berdenyut. Hitung


denyutnya per menit.

Dicatat hasil pengamatan.


2. Pengaruh Faktor Fisik dan Kimia terhadap Aktivitas Jantung

Katak hijau disingle pith, dibuka rongga dadanya.

Dibuka pericardium dan hitung detak jantung per menit.

Ditetesi jantung dengan Ringer bersuhu 9˚C. hitung denyut jantung per
menit. Ganti Ringer suhu normal, amati denyut jantung hingga terlihat
mendekati normal.

Ditetesi jantung dengan Ringer bersuhu 40˚C. Hitung denyut jantung per
menit. Ganti Ringer suhu normal, amati denyut jantung hingga terlihat
mendekati normal.

Ditetesi jantung dengan asetilkolin. Hitung denyut jantung per menit. Ganti
Ringer suhu normal, amati denyut jantung hingga terlihat mendekati
normal.

Ditetesi jantung dengan adrenalin. Hitung denyut jantung per menit. Ganti
Ringer suhu normal, amati denyut jantung hingga terlihat mendekati
normal.

Dicatat hasil pengamatan.


3. Pengaruh Ion terhadap Aktivitas Jantung

Katak hijau disingle pith, dibuka rongga dadanya.

Dibuka pericardium dan hitung detak jantung per menit.

Dipisahkan jantung dari tubuh, diletakkan pada cawan petri berisi larutan
Ringer. Dihitung denyutnya per menit. Apakah denyutnya berirama atau
tidak.

Dengan cara yang sama, beri perlakuan jantung dengan CaCl2 1%, NaCl
0,7%, dan KCl 0,9 %

Dicatat hasil pengamatan.


D. DATA PENGAMATAN
1. Sifat Otomatis dan Ritmis Jantung
No Perlakuan Denyut/menit
1 Sebelum jantung dipisahkan dari tubuh 40 berirama
2 Jantung dipisahkan dari tubuh 38 berirama
3 Sinus venosus 0
4 Atrium 47 berirama
5 Ventrikel 0

2. Pengaruh Faktor Fisik dan Kimia terhadap Aktivitas Jantung


No Perlakuan Denyut/menit
1 Jantung dibuka pericardium 59 berirama
2 Jantung ditetesi larutan ringer 9oC 49 berirama
3 Jantung ditetesi larutan ringer 40oC 59 tak berirama
4 Jantung ditetesi asetilkolin 4 tak berirama, lalu
berhenti
5 Jantung ditetesi adrenalin 21 berirama

3. Pengaruh Ion terhadap Aktivitas Jantung


No Perlakuan Denyut/menit
1 Sebelum jantung dipisahkan dari tubuh 60 berirama
2 Jantung dipisahkan dari tubuh 44 berirama
3 Jantung ditetesi larutan CaCl 1% 45 berirama
4 Jantung ditetesi larutan NaCl 0,7% 45 berirama
5 Jantung ditetesi larutan KCl 0,4% 43 berirama
E. ANALISIS DATA
Kontraksi Otot Jantung diamati dengan melihat 3 indikator yakni, sifat
otomatis dan ritmis jantung, pengaruh faktor fisik dan kimia pda aktivitas
jantung, dan pengaruh ion terhadap aktivitas jantung dengan memperoleh data
sebagai berikut :
1. Sifat otomatis dan ritmis jantung
Pada penganatan sifat otomatis dan ritmis jantung diberikan 5 perlakuan
terhadap jantung katak. Yakni menghitung denyut jantung/menit untuk jantung
yang belum dipisahkan dari tubuh yaitu 40 denyut/menit dengan denyut
jantung yang berirama. Setelah jantung dipisahkan dari tubuh denyut jantung
menurun menjadi 38 denyut/menit tetapi tetap berirama. Pengamatan
selanjutnya dilakukan dengan memisahkan bagian-bagian dari jantung yakni
atrium, setelah dipisahkan denyut pada atrium mencapai 47 denyut/ menit yang
berirama. Akan tetapi, pada ventrikel dan sinus venosus tidak didapatkan
denyut jantung.
2. Pengaruh faktor fisik dan kimia pada aktivitas jantung
Pada pengamatan ini, jantung diberikan 5 perlakuan dengan membuka
pericardium dan memberikan beberapa tetes larutan dengan sifat fisik dan
kimia yang berbeda-beda. Ketika pericardium jantung dilepaskan jantung
berdenyut 59/menit berirama. Pengujian sifat fisik dengan memberikan larutan
ringer 9oC jantung berdenyut 49 denyut/menit berirama, sedangkan pengujian
dengan laritan ringer suhu tinggi 40oC jantung berdenyut 59 denyut/menit
namun tidak berirama. Pengujian pengaruh sifat kimia yakni pemberian
asetilkolin menyebabkan jantung berdenyut 4 kali kemudian berhenti. Setelah
diberi beberapa tetes larutan adrenalin jantung kembali berdenyut, dengan 21
denyut dalam 1 menit.
3. Pengaruh ion terhadap aktivitas jantung
Terlebih dahulu denyut jantung dihitung sebelum jantung dipisahkan dari
tubuh menghasilkan 60 denyut/menit berirama. Setelah dipisahkan dari tubuh
jantung hanya berdenyut 44 kali/menit. Pengujian pengaruh ipn dilakukan
dengan memberikan beberapa tetes larutan CaCl 1%, NaCl 0,7%, dan KCl 0,4
%. Pemberian beberapa tetes larutan CaCl 1% dan NaCl 0,7%, menyebabkan
jantung berdenyut 45 kali/menit. Sedangkan efek pemberian KCl 0,4% jantung
berdenyut sebanyak 43 denyut/menit dan tetap berirama.

F. PEMBAHASAN

Pada katak yang sudah disingle pith, kemudian dibedah sampai terlihat
jantungnya. Jantung katak ketika masih dalam tubuh berdenyut secara ritmis
(berirama) dan normal. Pada kondisi diperoleh denyut jantung katak sebanyak 40
kali permenit. Denyut jantung ini terjadi alamiah tanpa perlu adanya perlakuan
khusus. Kontraksi tersebut dihasilkan karena serabut jantung bersifat autoritmik,
yaitu mencetuskan sendiri kontraksi beriramanya. Maka dengan demikian sudah
sesuai dengan teori yang ada. Kontraksi serat-serat otot jantung yang tersusun
seperti spiral menghasilkan efek memeras yang penting agar pemompaan
berlangsung efisien. Yang juga penting agar pemompaan efektif adalah kenyataan
bahwa serat-serat otot di setiap bilik bekerja sebagai sebuah sinsitium fungsional,
berkontraksi sebagai satu kesatuan. Serabut-serabut autoritmik mempunyai 2 fungsi
yang sangat penting, pertama bekerja sebagai suatu pacemaker (perintis jalan), yang
menyusun irama bagi keseluruhan denyut jantung, dan kedua membentuk sistem
konduksi, yaitu jalur bagi penghantar impuls ke seluruh otot jantung (Soewolo,
2003).

Selanjutnya jantung dikeluarkan dari tubuh, diletakkan pada gelas arloji,


diberi larutan ringer dan dihitung denyut jantung katak permenit. Pada kondisi ini
diperoleh denyut jantung sebanyak 38 kali secara berirama permenit. Hasil tersebut
menunjukkan penurunan dari kondisi awal. Pada sel otot jantung dalam tubuh dapat
terjadi peristiwa depolarisasi secara spontan tanpa adanya stimulus, kemudian
terjadi peristiwa repolarisasi yang berjalan menurut irama tertentu, ketika jantung
masih berada di dalam tubuh, jantung masih memiliki keefektifan dalam kerja
jantung, yang dikendalikan oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik yang dipengaruhi oleh sistem nodus yang menghantar rambatan
depolarisasi dari pacu jantung (sinus venosus) ke bagian-bagian lain dari jantung.
Meskipun kontraksi otot tidak bergantung pada impuls saraf, tetapi laju
kontraksinya dikendalikan oleh saraf otonom, sehingga ketika jantung dikeluarkan
dari dalam tubuh, laju kontraksinya menjadi menurun (Soewolo, 2003).
Perlakuan selanjutnya dilakukan pelepasan sinus venosus dari jantung,
kemudian diamati apakah terjadi kontraksi otot selama satu menit. Dari pengamatan
tersebut tidak didapat denyut satu pun pada sinus venosus. Hasil tersebut
bertentangan dengan teori yang ada. Sinus venosus merupakan sistem nodus yang
memicu jantung untuk tetap berdenyut dan berirama, sehingga masih dapat terjadi
depolarisasi dan repolarisasi dengan kontraksi dan relaksasi (Tortora, 2007).

Pengamatan selanjutnya dengan memisahkan atrium dan ventrikel. Atrium


mengalami kontraksi dan menghasilkan denyut 49 kali secara berirama. Kemudian
pada saat pengamatan ventrikel, denyut jantung pada katak sudah tidak berdenyut
lagi, dikarenakan pada otot jantung katak memiliki periode refraktori (refraktor)
yang merupakan interval waktu ketika kontraksi kedua tidak dapat dipicu dan
sangat lemah, sehingga sudah tidak dapat melakukan fungsi memompa yang
bergantung dengan pergantian kontraksi dan relaksasi (Gofur dkk., 2016). Hasil ini
sesuai dengan percobaan Stannius, apabila dilakukan pengikatan pada bagian antara
atrium dan ventrikel, sinus venosus dan atrium akan tampak berdenyut seperti biasa,
tetapi ventrikel tampak berhenti berdenyut (Wulangi, 1993).

Pada pengamatan tentang faktor fisik dan kimia terhadap denyut jantung,
ditemukan hasil yang berbeda mengenai denyut jantung permenit. Pada percobaan
pertama ketika jantung masih berada didalam tubuh, dibuka perikardiumnya, dan
diberi ringer pada suhu ruangan. Diperoleh denyut jantung sebanyak 59 denyut per
menit dan berirama. Pada pengamatan kedua, jantung katak ditetesi dengan larutan
ringer dingin bersuhu 9° C. Denyut jantung mengalami perlambatan dari 59 kali
denyut per menit menjadi 49 kali per menit. Hal ini disebabkan karena penurunan
suhu menyebabkan penurunan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap
ion, sehingga diperlukan waktu lama untuk mencapai nilai ambang, self excitation
juga menurun. Akibatnya kontraksi otot jantung mengalami penurunan (Soewolo,
2000). Pada pengamatan ketiga, jantung katak ditetesi dengan larutan ringer panas
bersuhu 40° C, denyut jantung mengalami kenaikan aktivitas dari 49 kali denyut
permenit menjadi 59 kali permenit. Hal ini sesuai dengan sifat termolabil jantung
yang seharusnya denyut jantung mengalami kenaikan rata-rata denyut permenit
(Soewolo, 2000). Pada pengamatan keempat, jantung katak ditetesi dengan larutan
asetilkolin denyut jantung mengalami perlambatan dari rata-rata 59 kali denyut
permenit menjadi 4 kali permenit. Hal ini sesuai penjelasan bahwa pemberian
asetilkolin akan menyebabkan penurunan denyut jantung. Larutan asetilkolin
berperan sebagai neurotransmitter yang dilepaskan oleh saraf-saraf parasimpatis
dan saraf-saraf preganglionik. Penurunan denyut jantung yang terjadi disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion K+ sehingga
menyebabkan hiperpolarisasi yaitu meningkatnya permeabilitas negatif dalam otot
jantung. Asetilkolin dapat menurunkan jumlah produksi impuls di simpul sinus dan
menurunkan kepekaan atrio-ventricular junction terhadap impuls atau rangsang
yang datang dari simpul sinus, sehingga terjadi kelambatan hantaran impuls ke otot
ventrikel (Sherwood, 2004). Didalam AV node, hiperpolarisasi menyebabkan
penghambatan junctional yang berukuran kecil untuk merangsang AV node
sehingga terjadi perlambatan kontraksi impuls yang akhirnya menyebabkan
terjadinya penurunan kontraksi. Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter pada
sistem saraf otomatis, dan merupakan satu-satunya neurotransmitter pada sistem
saraf sadar (Soewolo, 2000). Pada pengamatan kelima, jantung katak ditetesi
dengan larutan adrenalin mengalami percepatan dari rata-rata 4 kali denyut
permenit menjadi 21 kali permenit. Hal ini dikarenakan adrenalin dapat
meningkatkan permeabilitas membran terhadap Na dan Ca. Di dalam SA node,
peningkatan permeabilitas membran terhadap Na akan mempermudah serabut otot
jantung untuk mengkonduksi impuls serabut otot berikutnya sehingga mengurangi
waktu pengkonduksian impuls dari atrium ke ventrikel. Sedangkan peningkatan
permeabilitas terhadap Ca akan meningkatkan kontraksi otot jantung (Soewolo,
2000). Kerja jantung katak dibawah pengaruh saraf vagus terhadap jantung yaitu
menurunkan frekuensi denyut jantung (pengaruh kronotropik negatif), menurunkan
kuat kontraksi (pengaruh ionotropik negatif), dan melambatkan perambatan impuls
sepanjang sistem penghantaran jantung (pengaruh dromotropik negatif) (Wulangi,
1993). Kerja jantung katak dibawah pengaruh saraf simpatik terhadap jantung yaitu
meningkatkan frekuensi denyut jantung (pengaruh kronotropik positif),
meningkatkan kuat kontraksi (pengaruh ionotropik positif), dan mempercepat
perambatan impuls sepanjang sistem penghantaran jantung (pengaruh dromotropik
positif) (Wulangi, 1993).
Pada pengamatan pertama saat jantung masih di dalam tubuh katak,
diperoleh hasil pada menit pertama yaitu 60 kali. Selanjutnya pada jantung yang
terendam oleh larutan ringer diberikan setetes larutan CaCl2 1% diperoleh hasil
pada menit pertama 45 kali, hal ini menunjukan setelah di tetesi larutan CaCl2
denyut jantung katak normal dan berirama. Pada percobaanya, Ringer menemukan
bahwa ventrikel jantung percobaannya yang diberi air destilasi ternyata berhenti
berkontraksi, kemudian bila ke dalam air destilasi tersebut ditambahkan CaCl2,
kontraksi ventrikel akan kembali secara spontan, bahkan dapat berlangsung cukup
lama, sehingga disimpulkan bahwa kontraksi otot membutuhkan garam kalsium.
Untuk mempertahankan ambang potensial di membran sel, maka ion kalsium
(Ca2+) masuk ke dalam sel. Dengan demikian, ambang potensial membran sel akan
tetap datar untuk mempertahankan kontraksi sel otot jantung (Irawati, 2015).

Larutan NaCl 0.7% memiliki kandungan cairan yang menyerupai


kandungan cairan tubuh dan bersifat hipotonik yang osmolaritasnya lebih rendah,
yang seharusnya menyebabkan penurunan kontraksi otot jantung secara ritmis dan
teratur. Setelah di amati kontraksi otot jantungnya pada menit pertama didapat
denyut 45 kali. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena kurangnya volume larutan
NaCl 0.7% pada saat diteteskan pada jantung katak. Kelebihan ion natrium
menekan fungsi jantung, suatu efek yang sama seperti ion kalium,tetapi dengan
alasan yang berbeda sama sekali. Ion natrium bersaing dengan ion kalsium pada
beberapa tempat yang tidak diketahui pada proses kontraksi otot sedemikian rupa
sehingga makin besar konsentrasi ion natrium dalam cairan ekstrasel makin kurang
efektivitas ion kalsium menyebabkan kontraksi bila terdapat potensil aksi. Akan
tetapi, dipandang dari segi praktisnya, konsentrasi ion natrium dalam cairan
ekstrasel mungkin tidak pernah cukup tinggi meskipun dalam keadaan patologis
yang berat, untuk menyebabkan perubahan kekuatan otot jantung yang
bermakna.Akan tetapi, konsentrasi natrium yang sangat rendah, seperti yang
terdapat pada introksikasi air, sering menyebabkan kematian karena fibrilasi
jantung (Wulangi, 1993).

Setelah di istirahatkan jantung kembali di angkat dan di tetesi larutan KCl


0,4% dan di peroleh data pada menit pertama 43 kali dan berirama. Kelebihan
Kalium dalam cairan ekstrasel menyebabkan jantung menjadi sangat dilatasi dan
lemas serta frekuensi jantung lambat. Kalium dalam jumlah yang sangat besar juga
dapat menghambat hantaran impuls jantung dari atrium ke ventrikel melalui berkas
A-V. Peningkatan konsentrasi kalium hanya 8-12 mEq/1liter – 2 sampai 3 kali
normal biasanya akan menyebabkan kelemahan jantung sedemikian rupa sehingga
akan menyebabkan kematian. Semua pengaruh kelebihan kalium ini disebabkan
oleh pengurangan negativitas potensial membran istirahat akibat konsentrasi
kalium yang tinggi dalam ekstrasel. Waktu potensial membran menurun, intensitas
potensial aksi juga berkurang, yang membuat kontraksi jantung secara progresif
makin lemah, karena kekuatan potensial aksi sangat menentukan kekuatan
kontraksi (Irawati, 2015).

G. KESIMPULAN
Otot jantung berbeda dibanding dengan otot rangka. Jantung dapat
berkontraksi dan berelaksasi tanpa sedikitpun dipengaruhi oleh impuls dari
sistem saraf. Peristiwa depolarisasi dan repolarisasi berjalan secara spontan
tanpa adanya stimulus dengan membentuk irama ritmis tertentu. Maka dari itu,
jantung yang telah dipisahkan dari tubuh masih dapat berdenyut selama
beberapa waktu.
Sinus venosus merupakan sistem nodus yang memicu jantung untuk tetap
berdenyut dan berirama, sehingga masih dapat terjadi depolarisasi dan
repolarisasi dengan kontraksi dan relaksasi.
Aktivitas jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor ekstrinsik antara lain
faktor fisika, kimia, dan ion. Faktor fisika seperti suhu mempengaruhi denyut
jantung. Pada suhu rendah, jantung mengalami penurunan aktivitas sedangkan
pada suhu yang lebih tinggi, jantung mengalami peningkatan aktivitas. Faktor
kimia yaitu penambahan asetilkolin yang menghambat aktivitas jantung dan
adrenalin yang meningkatkan aktivitas jantung. Ion-ion tertentu juga
mempengaruhi proses depolarisasi dan repolarisasi dari otot jantung.
H. DAFTAR RUJUKAN
Radiopoetro, 1996. Zoologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Afandi, 2002. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta : Depdikbud.
Bevelander and J. A ramaley. 1979. Essentials of History. Sant Louis: CV.
Moss by Company. Campbell, Neil A. Jane B. Reece, dan Lawrence G.
Mitchell. 2004. Biologi Edisi ke 5 Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Geneser, Finn. 1993. Textbook of History. Denmark: Munksgaard.
Guyton, A. C. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
kedokteran EGC.
Hickman, C. P. 1972. Biology of Animal. Saint Louis: CV Mosby Company.
Irawati, Lilis. 2015. Aktifitas Listrik Pada Otot Jantung. Jurnal Kesehatan
Andalas
Kimball, J. W. 1988. Biologi Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Milton Hildebrand. 2013. Analysis of Vertebrate Structure, Third Edition,
United State Of America.
Pearce, E. C. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka
Riana Saragi, Risma. 2011. Pompa Jantung. (Online),
(http://ofstudyners.blogspot.com/2011/04/pompa-jantung.html, diakses
27 September 2014).
Ringer,S. A further contribution regarding the influence of the different
constituents of the blood on contraction of the heart. J Physiol (Lond)
883; 4: 29-49
Sherwood, Lauralee. 2014. Human Physiology. Fifth Edition. United States:
Thomson.
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : Proyek Pengembangan
Guru Sekolah Menengah IBRD No. 3979.
Tatang, D. 2014. Analisa Struktur Vertebrata, jilid 2. Bandung: Armico.
Tortora, G.J. 2007. Principles of anatomy and physiology. 11th edition. New
Jersey: John and Sons.
Wulangi. 1993. Fisiologi Hewan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai