Disusun Oleh:
Air merupakan sumber kehidupan, tanpa air tidak ada makhluk yang dapat hidup.
Begitu juga tanaman,salah satu unsur terbesar tanaman adalah air yaitu berkisar anatara 90% -
95% untuk tanaman muda. Menurut Schaums (2005), air merupakan pelarut universal yang
melarutkan lebih banyak zat terlarut yang berbeda-beda dibandingkan cairan lain yang pernah
diketahui, air merupakan medium ideal untuk menyokong kompleksitas itu. Air juga
merupakan salah satu zat yang paling stabil dan karena itulah zat-zat berbasis air dapat
bertahan lama.
Air merupakan reagen yang penting dalam proses fotosintesis dan proses hidrolik.
Disamping itu juga merupakan pelarut dari garam-garam, gas-gas dan material-material yang
bergerak kedalam jaringan tumbuhan,melalui dinding sel dan jaringan esensial untuk
menjamin adanya turgiditas, pertumbuhan sel, stabilitas bentuk daun, proses membuk dan
menutupnya stomata, kelangsungan gerak struktur tumbuh-tumbuhan. Jaringan yang berperan
dalam proses penyerapan air adalah Xylem. Kekurangan air akan mengganggu aktifitas
fisiologis maupun morfologis, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi
air yang terus menerus akan menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada
gilirannya tanaman akan mati.
Mekanisme toleransi terhadap kekeringan pada umumnya dikendalikan oleh banyak gen
dan ekspresi dari masing-masing gen tersebut sangat komplek (Blum, 2004; Rutger dan
Mackill, 2001; Datta, 2002) sehingga program pemuliaan untuk mendapatkan tanaman yang
tahan terhadap kekeringan diarahkan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki beberapa
karakter yang berhubungan dengan sifat tahan kekeringan. Dalam hal ini diperlukan
kerjasama antara beberapa ahli di bidang pemuliaan, fisiologi, biologi serta biokimia (Datta,
2002).
1.2. Tujuan Penulisan
1. Mempelajari peran air bagi tanaman
2. Mengetahui mekanisme resistensi tanaman terhadap kekeringan
3. Mempelajari Respon tanaman terhadap factor abiotic yaitu cekaman kekeringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peran Air BAgi Tanaman
Suatu tanaman budidaya herba membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Kandungan
air pada tanaman bervariasi antara 70-90% tergantung umur, jaringan tertentu dan
lingkungannya. Menurut Fitter (1981) air dibutuhkan tanaman untuk bermacam-macam
fungsi antara lain:
1. Sebagai pelarut dan medium reaksi kimia
2. Medium untuk transfor zat terlarut organik dan anorganik
3. Medium yang memberikan turgor pada sel tanaman. Turgor menggalakkan pembesaran sel,
struktur tanaman dan penempatan daun.
4. Hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul koloid untuk enzim, air hidrasi membantu
memelihara struktur dan memudahkan fungsi katalis.
5. Bahan baku untuk fotosintesis, proses hidrolisis dan rekasi kimia lainnya dalam tumbuhan
6. Evaporasi (transpirasi) untuk mendinginkan permukaan tanaman
Air bagi pertanian tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi tetapi juga kualitas
hasil. Dalam kondisi kekurangan air, air sangat dibutuhkan untuk mencapai kualitas dan
kuantitas hasil yang maksimal. Penelitian Sweeny dkk, (2003) di Negara bagian Kansas
Amerika Serikat menunjukkan pemberian air pada berbagai fase pertumbuhan reproduksi
kedelai meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil sebesar 20%. Kurnia dan Hidayat (2001)
menyatakan bahwa pemberian air dengan irigasi tetes sebesar 50 – 70% dari jumlah yang
biasa di berikan petani lahan kering meningkatkan hasil tembakau sebesar 4,10 – 6,30 ton/ha
dan cabai 0,40 - 70 ton / ha.
Imbibisi air merupakan awal perkecambahan. Biji yang hidup dan mati, keduanya
melakukan imbibisi air dan membengkak; banyak air imbibisi tergantung pada komposisi
kimia biji. Protein, getah, dan pectin lebih bersifat koloid dan hidrofilik dan lebih banyak
mengalami imbibisi air dari pada zat tepung. Biji serealia, seperti jagung, mengalami imbibisi
air kira-kira sepertiga kali berat biji, biji kedelai sampai separuh berat biji. Kelembaban tanah
pada kapasitas lapang pada umumnya optimal bagi perkecambahan. Laju perkecambahan
berlangsung lebih lambat pada kelembaban tanah yang mendekati titik layu. Kandungan air
yang kurang dari batas optimum biasanya menghasilkan imbibisi sebagian dan memperlambat
atau menahan perkecambahan. Biji dapat dibasahi dan dikeringkan berulang-ulang selama
proses perkecambahan, tetapi biasanya tidak tanpa kehilangan viabilitas, yang besarnya
tergantung pada spesies dan banyaknya daur basah dan kering. Komposisi ketersediaan air.
Ryan (1973) menemukan apabila tekanan osmotik bertambah, ketersediaan air menurun,
tetapi ion-ion tertentu, khususnya natrium dan magnesium, lebih mempengaruhi
perkecambahan, daripada ketersediaan air.
a. Respon morfologi
Membuka dan menutup stomata. Perilaku stomata, berhubungan dengan potensial air
daun yang tergantung pada faktor umur, kondisi tumbuh. Menurut Ackerson dan Krieg (1977)
bahwa tanaman jagung pada fase pertumbuhan vegetatif dan potensial air rendah akan
menyebabkan penutupan stomata di bawah cahaya matahari. Jumlah dan ukuran stomata
dipengaruhi oleh genotype dan lingkungan. Oleh kerena itu sel penjaga kekurangan air dapat
mengurangi pembukaan stomata.
Mengurangi luas daun, yang berkaitan dengan laju transpirasi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bayer (Cristiansen and Lewis, 1982) menyatakan bahwa perpanjangan daun
jagung maksimal pada potensial air -0,15 MPa sampai -0,25 MPa dan menurun 25% jika
potensial air turun sampai -0,4 Mpa. Pengulungan atau pelipatan daun. Tanaman kedelai
berdaun lebar kecendurungan untuk mengulung daun keatas sehingga bulu-bulu (rambut)
diatas permukaan bawah daun yang terbuka dapat merefleksikan lebih banyak cahaya.
b. Respon fisiologi
Respon fisiologi di dalam tanaman untuk beradaptasi pada kondisi kekeringan telah
lama diketahui. Suatu hal yang cukup penting diantaranya adalah kemampuan tanaman
mempertahankan tekanan turgor dengan menurunkan potensial osmotiknya (Jones et.al.,
1981). Menurut Hale dan Orchutt (1987), beberapa faktor yang dapat membantu
mempertahankan turgor adalah :
1. Penurunan potensial osmotik
2. Kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut
3. Elastisitas sel atau jaringan yang tinggi dan
4. Ukuran sel yang kecil.
c. Respon Genetik
Berdasarkan kemampuan genetik tanaman, terdapat empat mekanisme adapatasi pada
kondisi cekaman kekeringan yaitu drought escape, dehydration avoidance, dehydration
Tolerance dan drought Recovery (Fukai dan Cooper , 1995 dalam Sopandie, 2006). Namun
demikian tanaman seringkali menggunakan lebih dari satu mekanisme untuk beradaptasi pada
kondisi cekaman kekeringan (Mitra, 2001 dalam Sopandie, 2006), mekanisme tersebut
adalah:
Melepaskan diri dari cekaman kekeringan (draught escape), yaitu kemampuan tanaman
menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang parah. Mekanisme ini
ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan yang cepat dan perkembangan
plastisitas jaringannya. Akan tetapi mekanisme adaptasi tersebut memiliki kelemahan.
Genotipe genjah dengan umur pendek umumnya berdaya hasil rendah dibandingkan dengan
yang berumur panjang.
Toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi (dehydration avoidance), yaitu
kemampuan tanaman yang tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan
penyerapan air atau menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini biasanya tanaman
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran dan konduktivitas hidrolitik
atau kemampuan untuk menurunkan hantaran epidermis dengan regulasi stomata,
pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal dan
penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun serta pengguguran daun
tua.
Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah (Dehydration Tolerance), yaitu
kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya
melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan sebagainya atau dengan meningkatkan
elastisitas sel. Akumulasi prolin. Prolin bebas yang terkumpul pada tanaman berasal dari
karbohidrat melalui pembentukan alfa-ketoglutarate dan glutamate. Oksidasi proline, setelah
keadaan normal terjadi dengan cepat untuk menjaga kandungan proline yang rendah dalam
tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang toleran terhadap cekaman
air memperlihatkan kemampuan mengakumulasi prolin.
d. Respon Biokemis
Tumbuhan yang mengalami cekaman kekeringan pada umumnya memproduksi
senyawa ABA (asam absisat) selain itu juga menghasilkan dehidrin protein yang berfungsi
sebagai osmoprotektan (Yamaguchi-Shinozaki et ai, 2002).
Dengan adanya kekeringan, ABA yang disintesa di dalam akar akan ditransport ke daun
untuk mengatur proses fisiologi dan meningkatkan ketersediaan air tanah dengan
menghambat kehilangan air melalui penutupan stomata; ABA merupakan derivate
sesquiterpenoid dari asam mevalonic yang berperan sebagai penanda biokimia terhadap stres
kekeringan (Kirkham, 1990; Setiawan, 1998).
BAB III
PEMBAHASAN
Respon tanaman terhadap kekeringan berawal dari respon secara fisiologis yang
merupakan serangkaian proses dalam tanaman, yang diikuti oleh perubahan secara morfologis
baik, sebagai mekanisme ketahanan tanaman maupun dampak dari proses akibat cekaman
kekeringan. Perubahan morfologis juga berdampak terhadap perubahan proses fisiologis
lanjutan, sehingga terjadi saling pengaruh antarkeduanya. Perubahan-perubahan tersebut
diekspresikan tanaman dalam bentuk pola pertumbuhan yang pada berpengaruh terhadap
bobot biomasa, hasil dan komponen hasil tanaman (Gambar 1.).
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
1. Seleksi untuk ketahanan kekeringan dapat menggunakan salah satu dari metoda seleksi
namun lebih optimal bila dilakukan secara komplementer mengingat mekanisme toleransi
terhadap kekeringan dikendalikan oleh beberapa gen, sedangkan masingmasing metoda
berlaku untuk ekspresi dari gen tertentu saja.
2. Respon morfologi dan fisiologi dapat digunaka sebagai salah satu indikator yang dapat
digunakan dalam seleksi varietas yang toleran kekurangan air.
DAFTAR PUSTAKA
Creellman, R.A., H.S. Mason, R.J. Bensen, J.S. Boyer and J.E. Mullet.1990. Water deficit and
absisic acid causes differential inhibition of shoot versus root growth in soybean
seedling; analysisi of growth, sugar accumulation and gene expression. Plant Cell
92:205-214.
Dallaire, S., M. Houde, Y. Gagne, H.S. Saini. S. Boileau, N. Chevrier and f. Sarhan. 1994.
ABA and Low Temperature Induce Freezing Tolerance via Distinct Regulatory Patways
in Wheat. Plant Cell Physiol. 35 (1) : 1-9.
Hale, M.G. and D.M. Orchutt., 1987. The Physiolory of Plant Under Stress. John and Sons,
Inc. New York. 206p.
Herawati T dan Setiamihardja R., 2000. Pemuliaan Tanaman. Departemen Pertanian RI
dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Jatinangor, Bandung.
Jones, MM., N.C. Tumer and C.B. Osmond. 1981. Mechanism of Drought Resistance PP 15-
53 in Paleg LG, and Aspinall (eds). The Physiology and Biochemistry of Drought
Resistance in Plants. Academic Press. New York.
Kramer, J.P. 1980. Draught Stess and The Origin of Adaptation. In Turner, Kramer (eds)
Adaptation of Plants to Water and High Temperature Stress. John Willey and Sons.
Canada.
Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1992. Fisiologi Tumbuhan II. Ed. 4. Terjemahan: D.R.
Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 173 hal.
Sammons DJ, Peters DB and Hymowitz T. 1980. Screening Soybeans for Tolerance to
Moisture Stress : a Field Crops Res 3:321-335.
Sitompul, S.M., B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta. 412 hal.
Soepandi, D. 2006. Perspektif Fisiologi Dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan
Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakutas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. 16 September 2006.
Zeevart, J.A.D and R.A. Crellman. 1988. Metabolism and Physiology of Absisic Acid. Annu
Rev Plant Physiology 39: 43-50.