Anda di halaman 1dari 14

Mekanisme Program Cell Death Pada Tanaman Jagung

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pertumbuhan dan


Perkembangan Tanaman

Disusun Oleh:

Rejo Wagiman (532018002)

MAGISTER ILMU PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mekanisme pertahanan tanaman terhadap patogen dibagi kedalam dua kelas yaitu yang
keberdaannya sudah ada dalam tanaman dan ketahanan yang diinduksi oleh adanya infeksi
patogen. Salah satu bentuk pertahanan tanaman adalah program kematian sel (programme cell
death / PCD) yang dapat terjadi ketika patogen tidak berhasil memarasit tanaman maupun
ketika patogen berhasil menyebabkan penyakit (Greenberg 1997). Program kematian cell
merupakan aktivitas pengontrolan proses yang mengatur eliminasi selektif pada sesuatu yang
bukan diinginkan atau kerusakan sel pada eukariot. PCD penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan muliselular organisme untuk respon baik terhadap lingkungan. PCD tanaman
berasosiasi dengen sejumlah proses perkembangan termasuk pembentukan embrio, degenerasi
lapisan aleuron selama perkecambahan benih monokotil, diferensiasi elemen tracheary pada
jaringan xilem, pembentukan akar dan trikoma, degenerasi tapetum, abisi organ bunga,
inkompabiliti pollen, dan penuaan daun (Gadjev 2008). PCD dapat berhubungan degnan
ketahanan tanaman terhadap patogen biotrifik. Patogen nekrotop dapat menyebabkan penyakit
dengan memicu PCD pada jaringan sehat. PCD juga dapat dipicu oleh faktor abiotik sepertu
suhu ekstrim., salinitas dan polutan.
Kematian sel secara cepat adalah bagian dari reaksi hipersensitif, yang merupakan
mekanisme yang beraneka ragam dan dikarakterisasi dengan cepat dan kematian sel tanaman
pada tempat patogen menginvasi bersamaan dengan sejumlah pertahanan metabolit sel,
seperti ledakan oksidatif, perubahan ion fluks, produksi senyawa antimikroba (fitoaleksin),
dan aktivasi transkipsi gen tahan (Yano et al. 1998).
Ketika tanaman diinfeksi oleh patogen dan dapat tumbuh ekstensif maka interaksinya
disebut interaksi rentan. Kematian selama interaksi rentan dapat menguntungkan patogen
yang tidak bergantung pada jaringan hidup untuk tumbuh dan berkembang. Kematian sel
dapat berguna untuk memperoleh nutrisi dan menyediakan reservoir untuk penyebaran
patogen jika patogen dilepas ke permukaan tanaman. Terjadinya kematian sel selama interaksi
rentan belum dimengerti untuk sebagian besar kombinasi tanaman-inang. Cara yang
menjelaskan dasar patogen menginduksi kematian sel tanaman ada tiga yaitu 1) toksin dari
mikroba yang dapat membunuh langsung sel tanaman, 2) seksresi faktor virulen yang
menyebabkan tanaman terbunuh secara sendiri oleh semacam kerusakan integritas membran
atau 3) karena dipacunya program kematian sel. Kerentanan terhadap patogen sering
dipengaruhi oleh secara genetik. Pada kasus cendawan patogen Alternaria alternata,
kerentanan tomat terhadap kanker batang dipengaruhi oleh gen Asc. Gen yang sama
dibutuhkan untuk kerentanan terhadap toksin AAL yang menyebabkan kematian sel
(Greenberg 1997).
Pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman mengharuskan sel-sel tertentu
dihilangkan mekanisme kematian sel. Pengamatan struktural dan ultrastruktural menunjukkan
sel-sel itu atau kelompok sel dalam banyak jaringan jagung mengalami kematian sel pada
waktu yang dapat diprediksi. Sangat luas koleksi mutan jagung ada, dan banyak dari mutan
ini menunjukkan fenotipe itu menyarankan mekanisme kematian sel yang menyimpang. Agen
yang bertanggung jawab atas mutasi ini adalah seringkali merupakan elemen transposable
yang dikarakterisasi, sehingga memungkinkan untuk mengisolasi gen yang terlibat
menggunakan strategi penandaan transposon. Dengan demikian, jagung berkembang menjadi
model yang sangat baik sistem untuk mempelajari mekanisme kematian sel pada tanaman.

1.2. Tujuan Penulisan

1. Mempelajari program kematian sel atau Program Cell Death (PCD) sebagai mekanisme
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
2. Mengidentifikasi program kematian sel pada tanaman jagung

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Program Cell Death
Program Cell Death (PCD) adalah mekanisme kematian sel yang terprogram yang
penting dalam berbagai proses biologi. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan bentuk
kematian sel sebagai akibat sel yang terluka akut, Program Cell Death (PCD) terjadi dalam
proses yang diatur sedemikian rupa yang secara umum memberi keuntungan selama siklus
kehidupan suatu organisme
Sejak awal tahun 1990, penelitian mengenai Program Cell Death (PCD) berkembang
dengan pesat. Penelitian mengenai Program Cell Death (PCD) dimulai dengan studi pada
Caenorhabditis elegans. Cacing dewasa memiliki 1000 sel, di mana selama perkembangannya
ada 131 sel yang mati. Ada 2 bentuk mutasi ditemukan yaitu ced 3 dan ced 4. Sekuen ced 3
homolog dengan Interleukin Converting Enzyme (ICE) yang dibutuhkan untuk aktivasi
proteolitik dari prekursor interleukin 1, di mana selama aktivasi ada hormone tertentu yang
dilepaskan oleh sel imun tertentu yang dapat memacu terjadinya inflamasi. Hal ini
menunjukkan bahwa proteolisis dibutuhkan untuk Program Cell Death (PCD).
2.2. Peranan Program Cell Death (PCD)
Program Cell Death (PCD) memiliki peranan penting dalam fenomena biologis, proses
Program Cell Death (PCD) yang tidak sempurna dapat menyebabkan timbulnya penyakit
yang sangat bervariasi. Terlalu banyak Program Cell Death (PCD) menyebabkan sel
mengalami kekacauan, sebagaimana terlalu sedikit Program Cell Death (PCD) juga
menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkontrol (kanker). Beberapa contoh penyakit yang
ditimbulkan karena Program Cell Death (PCD) yang tidak sempurna antara lain:
a. Penyakit autoimun disebabkan karena sel T/B yang autoreaktif terus menerus.
b. Neurodegeneration, seperti pada penyakit Alzheimer dan Parkinson, akibat dari
c. Stroke iskemik, aliran darah ke bagian-bagian tertentu dari otak dibatasi sehingga dapat
menyebabkan kematian sel saraf melalui peningkatan Program Cell Death (PCD).
d. Kanker, sel tumor kehilangan kemampuannya untuk melaksanakan Program Cell Death
(PCD) sehingga proliferasi sel meningkat.

2.3. Fungsi Program Cell Death (PCD)


a. Sel yang rusak atau terinfeksi
Program Cell Death (PCD) dapat terjadi secara langsung ketika sel yang rusak tidak
bisa diperbaiki lagi atau terinfeksi oleh virus. Keputusan untuk melakukan Program Cell
Death (PCD) dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan di sekitarnya, atau dari sel yang
merupakan bagian system imun. Jika kemampuan sel untuk ber-Program Cell Death (PCD)
rusak atau jika inisiasi apotosis dihambat, sel yang rusak dapat terus membelah tanpa batas,
berkembang menjadi kanker.
b. Respon terhadap stress atau kerusakan DNA
Kondisi stress sebagaimana kerusakan DNA sel yang disebabkan senyawa toksik atau
pemaparan sinar ultraviolet atau radiasi ionisasi (sinar gamma atau sinar X), dapat
menginduksi sel untuk memulai proses Program Cell Death (PCD). Contohnya pada
kerusakan genom dalam inti sel, adanya enzim PARP-1 memacu terjadinya Program Cell
Death (PCD). Enzim ini memiliki peranan penting dalam menjaga integritas genom, tetapi
aktivasinya secara berlebihan dapat menghabiskan ATP, sehingga dapat mengubah proses
kematian sel menjadi nekrosis (kematian sel yang tidak terprogram).
c. Homeostasis
Homeostasis adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh organisme yang
dibutuhkan organisme hidup untuk menjaga keadaan internalnya dalam batas tertentu.
Homeostasis tercapai saat tingkat mitosis (proliferasi) dalam jaringan seimbang dengan
kematian sel. Jika keseimbangan ini terganggu dapat terjadi :
1. sel membelah lebih cepat dari sel mati.
2. sel membelah lebih lambat dari sel mati.
2.4. Mekanisme Program Cell Death (PCD)
Mekanisme Program Cell Death (PCD) sangat kompleks dan rumit. Secara garis
besarnya Program Cell Death (PCD) dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Adanya signal kematian (penginduksi Program Cell Death (PCD)).
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen Program Cell Death (PCD)
yang berhubungan, dll)
3. Tahap pelaksanaan Program Cell Death (PCD) (degradasi DNA, pembongkaran sel, dll)
4. Fagositosis.
Signal Penginduksi Program Cell Death (PCD)

Program Cell Death (PCD) pada ekor tadpole. Program Cell Death (PCD) juga bisa
dipicu oleh kurangnya signal yang dibutuhkan sel untuk bertahan hidup seperti growth factor.
Sel lain, sel berhubungan dengan sel yang berdekatan juga bisa memberikan signal untuk
Program Cell Death (PCD). Signal intraseluler misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena
oksidasi radikal bebas, dan gangguan pada siklus sel.
Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu di dalam sel, berubah menjadi family protein
pengeksekusi utama yang dikenal sebagai caspase. Sel yang berbeda memberikan respon yang
berbeda terhadap penginduksi Program Cell Death (PCD). Misalnya sel splenic limfosit akan
mengalami Program Cell Death (PCD) saat terpapar radiasi ionisasi, sedangkan sel myocyte
tidak mengalami Program Cell Death (PCD) untuk pemaparan yang sama.
Signal kematian dihubungkan dengan pelaksanaan Program Cell Death (PCD) oleh
tahap integrasi atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau negatif
yang dapat menghambat, memacu, mencegah Program Cell Death (PCD) sehingga
menentukan apakah sel tetap hidup atau mengalami Program Cell Death (PCD) (mati).
Program Cell Death (PCD) diperantarai oleh famili protease yang disebut caspase, yang
diaktifkan melalui proteolisis dari bentuk prekursor inaktifnya (zymogen). Caspase
merupakan endoprotease yang memiliki sisi aktif Cys (C) dan membelah pada terminal C
pada residu Asp, oleh karena itu dikenal sebagai Caspases (Cys containing Asp specific
protease).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Mekanisme Tanaman dalam proses Program Cell Death


Respon hipersensitif melibatkan ROIs, seperti superoksida (O2–) dan hidrogen peroksida
(H2O2), sebagai sinyal penting dan yang mempengaruhi program kematian sel (PCD). Model
pembentukan respon hipersensitif dapat dijelaskan pada Gambar 1. SinyaL respon
hipersensitif diinduksi kuat dalam sel secara langsung bersamaan dengan invasi patogen.
Reseptor yang menyadari aktivitas patogen kemudian mengeluarkan tiga respon penting : 1)
memproduksi nitrat oksida yang diinduksi dari nitric oxide syntase (NOS), 2) induksi
superokside dismutase (SOD) oleh mekanisme asam salisilat 3) produksi superoksida oleh
oksidase NADPH. SOD akan berperan dalam merubah superoksida menjadi H2O2 yang akan
bersinergi dengan NO untuk memacu kematian sel cepat dan respon pertahanan lainnya,
sehingga respon hipersensitif bernilah positif.
Aktivitas modulasi sinyal respon hipersensitif juga terjadi pada sel yang berdekatan
dengan situs infeksi. Pergerakan sinyal dapat berasal dari situs infeksi dan menginduksi ROIs
dan NO dalam sel yang tidak terinfeksi. Namun, pada sel yang tidak terinfeksi SOD tidak
terinduksi kuat. karena tidak adanya kontak patogen secara langsung. Jadi O2– akan
terakumulasi dan menghambat induksi respon hipersensitif karena adanya pembilasan NO
menjadi peroksinitrit (ONOO–) dan adanya induksi enzim antioksidan seperti glutathione S-
transferase (GTS), sehingga respon hipersensitif bernilai negatif. Akan tetapi meskipun
demikian, hal tersebut dapat berubah menjadi respon positif jika SOD dapat diaktivasi (Beers
dan McDowell 2001).

Gambar 1. Mekanisme pembentukan respon hipersensitif pada tanaman


Proses apoptosis diregulasi dengan protein tertentu, yaitu caspase. Caspase mempunyai

peran penting dalam apoptosis pada diabetes nefropati (Wagener et al, 2009). Apoptosis dapat

terjadi melalui dua jalur yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrisik. Pada jalur ekstrisik apoptosis

diinisiasi oleh reseptor transmembran misalnya Fas. Adapun apoptosis intrisik dipicu oleh

sinyal yang dipancarkan oleh organel seperti mitokondria. Proses ekstrinsik bertanggung

jawab untuk menghilangkan sel yang tidak diinginkan saat sel berkembang yang dilakukan

oleh enzim kaspase 8, sedangkan proses intrinsik bertanggung jawab menghilangkan sel yang

tidak diinginkan yang sudah terbentuk melalui kaspase 9 (Rajamani, 2009).

Apoptosis ekstrinsik dipicu oleh sinyal molekul (ligand) yang dipancarakan oleh sel

lain. Sebagai contoh ligand Fas (FasL) yang melekat pada reseptor trasmembran sel target dan

mempengaruhi berbagai reseptor untuk berageregasi pada pemukaan sel membentuk Death

Domain (DD) yang mengaktifkan caspase-8. Caspase-8 yang merupakan protein inisiator

yang selanjutnya mengaktifkan Caspase-3 yang merupakan eksekutor akhir sel (Rajamani,

2009).

Gambar Apoptosis Ekstrinsik


Sumber:, Rajamani, 2009

Apoptosis intrinsik dipicu oleh stress intraseluler, khususnya stress pada mitokondria.

Untuk merespon sebuah sinyal stress pro apoprotein dalam sitoplasma misalnya Bax melekat

pada membran luar mithokondria dan memicu pengeluaran mitokondrial 59 dan sitokrom c.

Kemudian sitokrom c membentuk kompleks dengan ATP dan Apaf-1 di dalam sitoplasma.
Hal tersebut mengaktifkan caspase-9 yang bergabung dalam kompleks dan membentuk

apoptosom yang mengaktifkan kaspase-3 untuk menginisiasi degradasi seluler (Rajamani,

2009).

Gambar Apoptosis Inkstrinsik


Sumber:, Rajamani, 2009
3.2. Mekanisme Apoptosis Pada Jagung

Banyak contoh kematian sel pada tanaman, detailnya yang menjadi fokus penelitian
intensif. Ketika kematian sel terjadi sebagai bagian dari perkembangan normal proses itu
dianggap sebagai kematian sel terprogram (PCD) proses. Ketika perkembangan normal
terganggu, seperti oleh alesi genetik, kematian sel dapat terjadi secara ektopik. Selain itu, sel
kematian dapat terjadi di lokasi tekanan lingkungan, seperti infeksi patogen atau luka fisik,
atau sebagai respons terhadap rendah konsentrasi racun. Tiga jenis kematian sel yang berbeda
ini - dalam perkembangan normal, perkembangan terganggu atau karena tekanan lingkungan -
tidak harus memanfaatkan sel death yang sama. Sebaliknya, kematian sel itu terjadi
karena trauma parah (mis. kematian sel traumatis atau nekrosis), seperti setelah terpapar
racun konsentrasi tinggi, pemanasan atau pembekuan, bukan pembongkaran sel terkontrol dan
ditandai oleh pembengkakan sel dan lisis, yang tidak morfologis karakteristik PCD (Referensi
Jacob, 1997).
Morfologi dan ultrastruktur jagung mengindikasikan kematian sel itu Peristiwa terjadi di
seluruh sporofit (Gbr. 1). Selain itu, sel kematian terjadi di dalam sel sporofitik dan gametofit
selama generasi gametofit betina (Gbr. 1). Mutan analisis dapat digunakan untuk
menjembatani kesenjangan antara pengamatan morfologis dan penjelasan proses biokimia.
Dalam transposon- Studi penandaan, sejumlah besar tanaman yang mengalami mutagenasi
disaring untuk fenotipe yang diperkirakan terjadi jika gen terlibat dalam jalur biologis tertentu
(seperti PCD) terganggu; elemen transposable kemudian dapat digunakan sebagai hibridisasi
menyelidiki untuk mengidentifikasi gen mutan dalam perpustakaan genom. Transposon-
penandaan dikembangkan dengan baik dalam jagung dan telah digunakan untuk itu
mengisolasi gen yang terlibat dalam kematian sel. Gen dan protein yang diprediksi
perbandingan urutan sering berhasil digunakan untuk memprediksi fungsi. Namun, ketika
tidak ada kesamaan dengan protein yang diketahui diidentifikasi, masih ada berbagai strategi
yang tersedia untuk membantu menjelaskan fungsi. Selain itu, banyak yang dapat dipelajari
tentang efek pleiotropik dari gen mutan, dan dengan demikian proses biologis bahwa gen
memengaruhi, melalui analisis mutan dibandingkan dengan tanaman tipe liar.

Peristiwa kematian sel


Respon hipersensitif dan diseaselesion meniru Contoh PCD pada tanaman adalah
hipersensitif respon (SDM), yang ditandai oleh kematian sel yang cepat dalam terbatas jumlah
sel di situs pathogen masuk. Induksi yang dikendalikan secara genetic SDM melibatkan
interaksi penyakit- protein resistensi dari host dengan protein avirulensi yang sesuai dari
patogen. Interaksi ini tampaknya memulai jalur transduksi sinyal terkemuka untuk HR.
Mekanisme molekuler kematian sel SDM melibatkan fluks ion, produksi spesies oksigen
reaktif dan lipid peroksidasi, yang semuanya dapat terjadi selama proses PCD1,2,4. Fungsi
gen resistensi, yang dapat menyandikan reseptor, kinase atau protein dengan kedua fungsi ini,
adalah untuk mengontrol pemicu SDM di hadapan apatogen. Kemungkinan ada
penyimpangan di struktur atau fungsi gen resistensi akan menghasilkan respons yang tidak
terkendali.
Kematian pada tanaman adalah senyawa fenolik, sebuah lesionmimic dominan gen,
telah memberikan informasi yang menyarankan produksi oksigen yang berlebihan radikal
bebas menyebabkan lesi yang sangat mirip Lesi SDM (Gbr. 2b). Etiologi Les22,
bagaimanapun, dimediasi oleh nol mutasi pada gen urod, yang mengkodekan decarboxylase
uroporphyrinogen, enzim kunci jalur porfirin, yang menghasilkan baik klorofil dan heme pada
tanaman (Gay, 1995). Mirip dengan porfiria pada manusia, inaktivasi satu salinan gen urod
pada jagung menghasilkan blok parsial di jalur, menyebabkan akumulasi uroporphyrin.
Menengah porfirin ini, yang siap

Aleurone dan jaringan endosperma

Nutrisi yang disimpan dalam endosperma kernel diekspor dan digunakan oleh embrio
berkembang selama perkecambahan. Sel endosperma biasanya mati selama pengembangan
kernel, berikut penyerbukan. Pada jagung, kematian sel endosperma disertai oleh fragmentasi
DNA internucleosomal, menunjukkan bahwa itu mungkin acara PCD. Proses ini dipercepat
dalam mutan, yang rusak dalam biosintesis pati (Gbr. 3d), dan tampaknya disebabkan oleh
peningkatan kadar ethylene30. Sel Aleurone, satu lapisan sel yang memisahkan endosperma
yang mendasarinya dari pericarp yang diturunkan dari bahan, meningkatkan degradasi
endosperma selama perkecambahan melalui pelepasan hidrolitik enzim; sel-sel aleuron
kemudian mati. Kematian sel Aleurone di gandum dan gandum tampaknya diprogram dan
dihambat oleh asam absisat, tetapi difasilitasi oleh GA (Refs 31 dan 32).

Akar

Meristem tutup akar jagung menghasilkan sel yang dipindahkan melalui tutup akar dan
ditumpahkan ke tanah. Saat sel mencapai tanah dinding selnya hancur dan lis protoplasnya.
Sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang menyebabkannya kematian sel ujung akar;
Namun, tutup akar jagung dapat dipotong dan dipertahankan dalam kultur jaringan (Feldman,
1994), yang seharusnya membantu memfasilitasi fisiologis dan studi biokimia proses
kematian sel ini. PCD tampaknya terjadi pada akar jagung selama pembentukan aerenchyma
lysigenous. Aerenchyma adalah jaringan yang mengandung interseluler ruang yang
membantu dalam transfer O2 dari batang ke root, terutama dalam kondisi banjir. Pada jagung,
root aerenchyma terbentuk oleh PCD sel kortikal. Proses ini tampaknya diatur oleh etilena
dan melibatkan pembawa pesan transduksi sinyal termasuk G-protein, sitosolik Ca2 + dan
protein fosfatase.

Daun dan penuaan seluruh tanaman

Senescence adalah jenis PCD yang mewakili tahap terminal diferensiasi pada
tanaman. Selama senescence, nutrisi adalah diambil dari organ yang tidak lagi dibutuhkan dan
diangkut baik untuk mengembangkan organ atau ke situs penyimpanan. Dalam tembakau,
penuaan ditunda oleh sitokinin, yang memperpanjang fotosintesis umur daun (Gan, 1999).

Pada daun, inisiasi penuaan terjadi pada kloroplas. Ini membengkak dan menunjukkan
peningkatan jumlah plastoglobuli, indikatif pembongkaran membran internal. Ini disertai oleh
penurunan ekspresi terkait fotosintesis gen, dan penurunan jumlah ribosom sitoplasma
(Bleeker, 1997). Bersamaan dengan itu, transkripsi gen yang mengkode nuklease dan protease
meningkat. Pada jagung, tingkat ekspresi gen yang mengkode sistein protease dan pemrosesan
vacuolar Enzim, masing-masing, ditingkatkan selama penuaan daun. Ini bisa memfasilitasi
degradasi protein dalam jaringan penuaan. Selain itu, peningkatan ekspresi gen enzim
pengkodean dalam jalur metabolisme tertentu terjadi. Untuk misalnya, tingkat ekspresi
piruvat ortofosfat dikinase meningkat selama penuaan daun. Peran yang paling mungkin
enzim ini dalam daun penuaan adalah untuk meningkatkan glukoneogenesis, menyediakan
energi untuk penuaan dalam jaringan yang menampilkan banyak mengurangi kemampuan
fotosintesis. Hilangnya integritas structural membran mitokondria dan nuklir terjadi selama
akhir tahap penuaan (Smart, 1994).
Peristiwa terakhir termasuk pecahnya tonoplast dan pelepasan selanjutnya dari enzim
hidrolitik menjadi sitoplasma sel, yang memuncak pada kematian sel. Varietas jagung 'Tetap
hijau' menunjukkan penuaan tua, bahkan berikut pengangkatan telinga atau pencegahan
penyerbukan, yang dalam beberapa garis menyebabkan penuaan dini seluruh tanaman. Ini
varietas mungkin mengandung alel gen yang menunda timbulnya senescence dan akan
menarik untuk belajar di molekul level (Thomas, 1993). Dua mutan yang menunjukkan
penuaan lanjut adalah indeterminate-1 (id-1) dan perennialism-1 (pe-1) (Ref. 18). Oleh
Sebaliknya, penuaan dini-1 (pra-1) adalah mutan resesif yang mulai tua lebih awal (Gbr. 4a
dan 4b): meskipun mereka mengikuti pola penuaan yang sama terlihat pada tanaman tipe liar,
di penuaan mutan dimulai sekitar dua minggu sebelum bunga mekar dan tanaman biasanya
mati dalam 3-4 minggu. Genetik analisis satu baris jagung, B73, yang mengalami penuaan
dini setelah pengangkatan telinga, menunjukkan bahwa onset awal penuaan dikendalikan oleh
gen dominan tunggal (Ceppi, 1987).

BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
1. Program kematian sel adalah bagian dari respon hipersensitif yang menggambarkan
kematian sel dengan cepat.
2. Respon hipersensitif pada tanaman jagung dapat diinduksi oleh adanya reactive oxygen
intermediates yang merupakan respon dari adanya aktivitas patogen
DAFTAR PUSTAKA

Beers E P, McDowell J M. 2001. Regulation and execution of programmed cell death in


response to pathogens, stress adn developmental cues. Current Opinion in Plant
Biology. 4 : 561-567.

Ceppi, D. et al. (1987) Genotype-dependent leaf senescence in maize, Plant Physiol. 85, 720–
725

Denis M, Zhu P dan Judy L. GranzymeA,Induces Caspase-Independent Mitochondrial


Damage, a Required First Step for Apoptosis

Feldman, L. (1994) The Maize Root, in The Maize Handbook (Freeling, M. and Walbot, V.,
eds), pp. 37–47, Springer

Fulda S, Meyer E, Debatin KM. Inhibition of TRAIL-induced apoptosis by Bcl-2


overexpression. Oncogen 2000; 21:2283-94

Gadjev I, Stone J M, Gechev T S. 2008. Programmed cell death in plants: new insights into
redoz regulation and the role of hydrogen peroxide. International Review of Cell and
Molecular Biology.270 : 88-129.

Gray, J. et al. (1997) A novel suppresser of cell death in plants encoded by the lls1 gene of
maize, Cell 89, 25–31

Greenberg J T. 1997. Programmed cell death in plant-pathogen interactions. Annu. Rev. Plant.
Physiol. Plant. Mol. Bil. 48: 525-545.

Jacobson, M.D., Weil, M. and Raff, M.C. (1997) Programmed cell death in animal
development, Cell 88, 347–354

Jones, A.M. and Dangl, J.L. (1996) Logjam at the Styx: programmed cell death in plants,
Trends Plant Sci. 4, 114–119
Thome M, Schneider P, Hofmann K, Fickenscher H, Meinl E, et al. Viral FLICE-inhibitory
proteins (FLIPs) prevent apoptosis induced by death receptors. Nature 1997;386:517-21

Wong R. Apoptosis in cancer: From pathogenesis to treatment. J Exp Clin Canc Res
2011;30(87):1-14
Yano A, Suzuki K, Uchimiya H, Shinshi H. 1998. Induction of hypersensitive cell death by a
fungal protein in cultures of tobacco cell. Molecular Plant-Microbe Interaction. 11 (2):
115-123.

Anda mungkin juga menyukai