Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOSEROLOGI I
PEMERIKSAAN REMATOID FAKTOR (RF)

OLEH
Nama : Thesa Alonika Gombo
Nim : 18071021
Prodi : Teknologi Laboratorium Medik
Hari / Tanggal :
Dosen Penggampu :

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABOLATORIUM MEDIK


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2019
PRAKTIKUM II
PEMERIKSAAN REMATOID FAKTOR (RF)

I .TUJUAN
1. Untuk menentukan ada tidaknya faktor rheumatoid padaserum penderita.
2. Untuk Menentukan kadar factor rheumatoid secara semikuantitatif pada
serum penderita.

II . PRINSIP PEMERIKSAAN
Aglutinasi direk yaitu terjadi aglutinasi antara serum
penderita yang mengandung Rematoid Factor ( Antihuman IgG)
dengan partikel lateks yang telah dilapisi dengan Human IgG.

III . DASAR TEORI


Sistem imun tubuh adalah hal mendasar pada populasi yang
heterogen, terdiri dari dua efektor seluler dan molekuler dimana
berfungsi secara terorganisir dan terintegrasi untuk memberantas
penyakit dan menjaga kesehatan Hostnya secara keseluruhan,
sekaligus meminimalkan aktifitas off-target (misalnya autoimunitas).
Sistem kekebalan tubuh biasanya dibagi menjadi dua sistem yang
berbeda, tapi saling berinteraksi, disebut sebagai sistem imun alamiah
dan mekanisme adaptif. (Brooks,2005).

Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun yang paling


umum yang mempengaruhi sendi. Di seluruh dunia, sekitar 1% dari
populasi yang dipengaruhi, dengan prevalensi lebih tinggi pada orang
keturunan Eropa atau Asia. Rheumatoid arthritis dapat berkembang
pada orang dari segala usia, yang khas pada usia sekitar awal 55
tahun. Prevalensi rheumatoid arthritis meningkat jauh dengan
peningkatan usia, yang mempengaruhi sekitar 6% dari populasi
berkulit putih berusia lebih dari 65 tahun. Di Amerika Serikat, risiko
hidup terkena penyakit rheumatoid arthritis adalah 3,6% pada wanita
dan 1,7% pada pria. Ada beberapa indikasi bahwa risiko
perkembangan rheumatoid arthritis telah sedikit meningkat dalam
beberapa tahun terakhir, setidaknya pada wanita (Handojo,1982).

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi yang


menyebabkan rasa sakit, pembengkakan, kekakuan, dan hilangnya
fungsi pada sendi. Hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh, yang
biasanya membela tubuh dari serangan organisme, ternyata
menyerang membran yang melapisi sendi. Kejadian rheumatoid
arthritis dapat berkisar dari ringan sampai berat. Dalam kebanyakan
kasusnya adalah kronis, yang berarti berlangsung pada waktu yang
lama hingga sering semasa hidup. Bagi banyak orang, periode
aktivitas penyakit yang relatif ringan diselingi juga oleh flare, atau
masa aktivitas penyakit meningkat. Di sisi lainya, menimbulkan
gejala yang konstan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sekitar 1,5
juta orang, atau sekitar 0,6 persen dari populasi orang dewasa di AS,
memiliki arthritis. Rheumatoid arthritis terjadi pada semua ras dan
kelompok etnis. Meskipun penyakit ini sering dimulai pada usia
pertengahan dan terjadi dengan frekuensi meningkat pada orang tua,
remaja dan orang dewasa muda juga dapat didiagnosis adanya
penyakit. (Anak-anak dan remaja yang lebih muda dapat didiagnosis
dengan arthritis juvenile idiopathic, sebuah kondisi yang
berhubungan dengan rheumatoid arthritis). Seperti beberapa bentuk
lain dari arthritis, rheumatoid arthritis lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria. Sekitar dua sampai tiga kali lebih banyak
perempuan memiliki penyakit ini dibanding laki-laki (Sacher,2004).

Sementara etiologi rheumatoid arthritis (RA) tidak diketahui,


semakin banyak bukti menunjukkan bahwa RA berkembang pada
individu dengan faktor risiko genetik yang diturunkan setelah
terpapar pemicu lingkungan. Identifikasi autoantibodi dan sitokin
dalam serum bertahun-tahun digunakan untuk diagnosis RA
menyebabkan konseptualisasi perkembangan RA yang terjadi secara
bertahap (Handojo,1982).

IV. METODELOGI :

A. Alat :
1. Mikropipet 50 µl & 100 µl
2. Lempeng kaca/slide
3. 1Rotator
4. Yellow tip
5. Slide berwarna hitam
6. Pengaduk disposibel/Lidi
7. Tabung serologis
8. Rak tabung serelogis
B. Bahan dan Reagen :
1. Serum dan plasma
2. Latex polystyrene yang telah dilekati dengan human IgG
3. Kontrol positif
4. Control negative
5. Glycine buffer saline

C. Prosedur kerja :
 Pemeriksaan kualitatif
1) Letakan slide pada bidang horizontal dan rata
2) Botol reagen berisi latex di goyang perlahan agar latex
homogen
3) Ambil 50 ul latex, masukan ke dalam slide
4) Ambil serum sebanyak 50 ul dan teteskan disamping latex
yang telah diletakkan di slide
5) Campur serum dengan latex perlahan-lahan dengan batang
pengaduk
6) Goyang slide do rotator perlahan-lahan kurang lebih 5
menit
7) Baca hasil dengan melihat ada tidaknya aglutinasi.

V. DATA PENGAMATAN

Sampel Positif Negatif


Serum - 
Interprestasi hasil : Negatif tidak terlihat aglutinasi

VI. PEMBAHASAN

Dalam membantu menegakan diagnosa dan menentukan


prognosa dari penyakit rheumatioid arthritis dapat digunakan
rose – wealer atau dengan tes aglutinasi latex. Tes rose wealer
atau aglutinasi latex adalah suatu tes aglutinasi pasif (suatu
antigen yang larut yang di kaitkan pada partikel – partikel besar
atau sel di camur dengan anti bodi terhadap antigen tersebut).
Untuk menentukan adanya faktor rheumatoid (RF) didalam
serum penderita rheumatoid arthritis. RF adalah suatu auto
antibodi (IgG / IgM) yang di tujukan terhadap IgGU (anti IgG)
dan terbentuk dalam stadium yang agak lanjut. Peyakit
rheumatoid arthritis biasanya stelah menderita lebih dari
setengah tahun. Walaupun faktor rheumatoid dapat berupa IgG
maupun IgM tetapi di dallam tes rose wealer atau aglutinasi
latexs, hingga IgM saja yang di tentukan (Sacher,2004)

Antigen menyebabkan penyakit ini sampai sekarang


belum diketahui dengan tepat oleh karena itu sering di sebut
dengan antigen x. Namun belakangan ini sering di kemukakan
bahwa ada hubungan tyang positif antara rheumatoid arthritis
dengan infeksi oleh Epstein Barr Virus (EBV). Antigen x yang
masuk ke dalam senai akan di proses oleh sel – sel
immunokompeten dari synovia sendi sehingga merangsang
pembentukan anti bodi terhadap antigen x tersebut
(Kee,J.1997).

Antibodi yang di bentuk di dalam sendi ini terutama dari


kelas IgG walaupun kelas – kelas antibodi yang lain juga
terbentuk. Pada penderita-penderita rheumatoid arthrituis
ternyata secara genetik di dapatkan adanya kelainan dari sel –
sel limfosit I – supresornya sehingga tidak dapat menekan sel-
sel limfosit T–Helper dengan akibatnya timbulnya rangsangan
yang berlebih pada plasma sehingga terbentuk antibodi yang
berlebihan pula. Pada dalam jangka waktuyang lama hal ini
dapat menimbulkan terjadinya auto antibodi yaitu yang di kenal
sebagai faktor rheumatoid (IgG dan IgM – anti
IgG).(Kee,J.1997)

Umumnya faktor rheumatoid baru terbentuk setelah


penderitua menderitua penyakit selama 6 bulan tetapi dapat pula
terjadi lebih awal atau sesudah waktu yang lama. Sumber
kesalahan yang terjadi pada tes aglutinasi late, adalah :

1. Hasil dari tes harus segera dibaca setelah di rotator, sebab


dapat terjadi aglutinasi non spesifik bila campuran
mengering.
2. Serum yang amat lipemik dapat memberi hasil tyang
positif semu.
3. Botol reagensia harus ditutup engan rapat untuk
mencegah penguapan dan auto flokulasi.
4. Reagensia harus di simpan dalam 4˚ C dan harus dikocok
dengan baik se belum dipakai.
5. Pencampuran di rotator tidak boleh lebih dari 1 menit
(Sacher,2004).
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan
di peroleh hasil yaitu (Negatif) tidak terbentuk aglutinasi
pada sampel serum pasien yang berarti bahwa hasilnya
negatif yang artinya tidak terdapat faktor RF pada sampel
pasien.

VII. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka dapt


disimpulkan bahwa hasil yang dapatkan pada pemeriksaan
Rheumathoid Factor dari sampel pasien negative karena
tidak terlihat adanya aglutinasi.
VIII. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1989. Serologi. Jakarta : Pendidikan Tenaga


Kesehatan RI.

Brooks. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 1. Jakarta :


Salemba Medika.

Handojo. 1982. Serologi Klinik. Surabaya : Fakultas


Kedokteran. UNAIR.

Kee, J. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan


Diagnostik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Sacher. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan


Laboratorium Edisi 2. Jakarta : EGC.

IX. LAMPIRAN

Gambar 1 : Hasil pemeriksaan RF ( Negatif )


Gambar 2. Laporan sementara

Anda mungkin juga menyukai