Anda di halaman 1dari 8

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

A. DEFINISI
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang berhubungan dengan organ
seksual manusia. IMS dikenal dengan sebutan Penyakit Hubungan Seksual (PHS) atau
Sexually Transmitted Diseases (STD), ada pula yang menyebut Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR). Seseorang akan bisa tertular IMS karena melakukan hubungan seksual
dengan orang yang memiliki penyakit tersebut, beberapa jenis IMS seperti HIV AIDS
bisa ditularkan melalui tranfusi darah dengan memakai jarum suntik bekas pasien
penderita IMS (Muryanta. 2013).
Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan penyakit yang dapat menular melalui
hubungan seksual. Penyakit menular tersebut lebih berisiko jika melakukan hubungan
seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral, maupun anal
(Kusmiran, 2011).

B. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi mengenai penularan IMS dapat menjadi dasar strategi dalam
intervensi untuk pencegahan IMS. Beberapa intervensi dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran suatu IMS pada satu populasi, diantaranya adalah: (1) mengurangi laju
paparan IMS dengan cara menurunkan laju pertukaran pasangan; (2) mengurangi
efesiensi transmisi; dan (3) memperpendek durasi infeksius seseorang dengan cara
mengobati infeksinya (Dallabetta dkk, 2008).

C. JENIS-JENIS INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)


1. Gonorhera
a. Definisi
Gonorhera merupakan infeksi mukosa pada epitel kolumnar yang ditularkan
melalui hubungan seksual dan disebabkan oleh Neisseria Gonorrhoeae. Angka
serangan paling tinggi pada orang berusia 15-24 tahun yang tinggal dikota,
termasuk dalam kelompok sosio ekonomi rendah, tidak menikah atau homoseksual,
atau memiliki riwayat PMS terdahulu. Penyakit ini sangat mudah ditularkan dengan
angka infeksi 50% pada wanita dan 20% pada pria setelah sekali terpajan vagina
tanpa pelindung. Terjadi secara luas di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih
tinggi di berbagai negara berkembang.
b. Patofisiologi dan Patogenesis
Setelah melekat, gonokokus berpenetrasi kedalam sel epitel dan melalui
jaringan sub epitel dimana gonokokus ini terpajan ke sistem imun. Virulensi
bergantung pada apakah gonokokus mudah melekat dan berpenetrasi pada sel
pejamu, begitu pula resistensi terhadap serum, fagositosis, dan pemusnahan
intraseluler oleh polimorfonukleosit. Faktor yang mendukung virulensi ini adalah
pili, protein membran bagian luar, lipopolisakarida, dan protease IgA.
c. Manifestasi Klinis
1) Pada pria
 Uretritis yang berhubungan dengan sekret uretra purulen, disuria, dan urin
keruh pada saat awal berkemih.
 Gonorea anorektal berhubungan dengan: nyeri perianal, pruritus, sekret
mukoid, atau mukopurulen atau perdarahan anus; infeksi asimtomatik pada
60% kasus.
2) Pada wanita
 Infeksi berhubungan dengan sekret vagina, disuria, frekuensi; pada banyak
kasus, pemeriksaan fisik normal.
 Servisitis, uretritis. Atau proktitis dengan frekuensi yang semakin menurun.
Servisitis ditandai oleh serviks eritematosa yang rapuh dan sekret
mukopurulen.
Komplikasi Pada kedua jenis kelamin:

 Diseminasi
 Perihepatitis
 Endokarditis
Pada Pria:

 Prostatitis
 Epididimitis
 Striktur uretra
 Abses periuretra
 Limfangitis penis
Pada Wanita :

 Sterilitas
 Bartolinitis/pembentukan abses
 Konjungtivitis neonatal pada keturunannya.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui identifikasi organisme, baik melalui
mikroskopi apusan pewarnaan gram atau kultur (sensitif dan spesifik).Pewarnaan
gram sekret uretra positif pada 95% pria dan pewarnaan gram sekret endoserviks
positif pada 60% wanita. Kultur penting pada wanita termasuk kultur rektal dan
orofaring 10% ekstra genital. Konfirmasi identitas dapat dibuat dengan fermentasi
gula atau perangkat deteksi antigen spessifik N. Gonorrhoeae. Tes hibridisasi atau
amplifikasi asam nukleat. Merupakan tes nonkultur yang berguna untuk skrining.
e. Pengobatan
Resistensi penisilin dapat diperantarai oleh penisilinase yang dikode oleh
plasmid atau perubahan yang dikode secara kromosomal terhadap protein pengikat
penisilin, resitensi ini terjsdi pada 3-5% kasus di inggris. Strain yang resisten
fluorokuinolon mulai banyak di berbagai bagian Asia (40%). Karena pentingnya
eradikasi untuk mencegah penularan selanjutnya, maka terapi dosis tunggal lebih
disukai, yaitu dengan: Ciprofloxacin oral atau Ceftriakson IM yang seharusnya
digunakan pada pasien yang gagal merespons terhadap obat diatas atau Amoxicillin
oral (dosis tinggi 3gr) pada daerah dengan resistensi penisilin rendah atau pada
kehamilan.Kontak seksual harus diperiksa, diskrining, dan diobati bila perlu.

1. Sifilis
a. Definisi
Organisme penyebab sifilis adalah Treponema pallidum.Sifilis biasanya
ditularkan dengan kontak seksual dengan membran mukosa atau lesi kutan yang
terinfeksi, meski pada kejadian jarang, bisa ditularkan melalui kontak non-seksual,
inokulasi secara tidak sengaja, atau transfusi darah.
b. Tampilan Klinik
 Sifilis Primer
Setelah paparan dan periode inkubasi selama 10-90 hari (rerata 21 hari),
lesiyang tidak nyeri atau chancre (ulser yang tidak nyeri) muncul di tempat
penetrasi treponema. Selanjutnya, lesi akan menjadi papula yang hancur dan
menjadi ulser.Chancre hanya bertahan selama 1-8 minggu sebelum hilang
dengan sendirinya.

 Sifilis Sekunder
Tahap kedua sifilis adalah 2-6 minggu onset tahap primer pada pasien yang
tidak dirawat atau tidak mendapat perawatan yang cukup dan dicirikan dengan
sejumlah erupsi mukokutan, yang muncul dari penyebaran T. pallidum secara
hematogenus dan limfatik.Seringkali lesi muncul pada telapak tangan dan
kaki.Malaise (merasa lemah dan lelah yang tidak bisa dijelaskan) ringan dan
singkat, demam, faringitis, sakit kepala, anoreksia dan artralgia (nyeri sendi)
umum dijumpai.
Tanda dan simtom sifilis sekunder hilang dalam 4-10 minggu; tetapi, pada
pasien yang tidak mendapat perawatan, lesi bisa muncul lagi kapan saja dalam 4
tahun.
 Sifilis Laten
Orang dengan uji serologi positif untuk sifilis tapi tanpa bukti lain dari
penyakit mempunyai sifilis laten (tersembunyi). Kebanyakan pasien sifilis laten
yang tidak mendapat perawatan tidak mengalami kondisi lanjutan; tetapi, sekitar
25-30% akan mengalami neurosifilis atau sifilis akhir dengan manifestasi selain
neurosifilis.

Neurosifilis dan Sifilis Akhir Selain NeurosifilisSebelumnya disebut


sebagai “sifilis tersier”, manifestasinya muncul 10-30 tahun setelah onset
sifilis.Ini disebut sebagai neurosifilis atau sifilis akhir dengan manifestasi selain
neurosifilis.Empat puluh persen pasien dnegan sifilis sekunder atau primer
mengalami infeksi SSP dengan tanda paresis (inflamasi otak pada stadium akhir
dari sifilis, menyebabkan dementia dan kelumpuhan), tuli karena gangguan dari
saraf kranial kedelapan, atropi optik dan buta, dementia progresif, komplikasi
meningovaskular, atau tabes dorsalis.Pasien juga bisa mengalami sifilis
kardiovaskular, dicirikan dengan aortitis dan insufisiensi aorta.

c. Diagnosa
Karena T. pallidum sulit dibiakkan in vitro, diagnosa berdasar pada bidang-
hitam atau pemeriksaan mikoskopik flurosensi antibodi langsung pada material
serous (menghasilkan serum) dari lesi yang dicurigai sebagai lesi sifilis atau hasil
dari uji serologi.
Uji serologi yang digunakan pada penapisan untuk diagnosa sifilis
digolongkan sebagai nontreponema atau treponema.
Uji nontreponema yang umum digunakan termasuk uji geser oleh Veneral
Disease Research Laboratory (VDRL) dan uji kartu rapid plasma reagin (RPR). Uji
treponema digunakan untuk memastikan diagnosis (yaitu, fluoroscent treponemal
antibody absorption, FTA-ABS [absorpsi fluorescen antibodi treponema]).
d. Farmakoterapi
Perawatan yang dianjurkan dari CDC untuk sifilis diberikan pada Penicillin
G parenteral menjadi perawatan terpilih untuk semua tahapan sifilis.Untuk pasien
hamil, penicillin adalah perawatan terpilih pada dosis yang dianjurkan untuk tahap
tertentu dari sifilis. Untuk memastikan perawatan berhasil dan mencegah penularan
ke fetus, beberapa ahli menganjurkan dosis tambahan benzathine penicillin G 2,4
juta unit rute IM, 1 minggu setelah regimen selesai diberikan.
Mayoritas pasien yang dirawat untuk sifilis primer dan sekunder merasakan
reaksi Jarisch-Herxheimer dalam 2-4 jam setelah perawatan, dicirikan dengan
simtom seperti flu seperti sakit kepala, demam, menggigil, malaise, artralgia,
mialgia (nyeri otot), takipnea (bernafas dengan cepat), vasodilatasi perifer, dan
memburuknya lesi siflis.
Reaksi Jarisch-Herxheimer sebaiknya tidak disamakan dengan alergi
penicillin.Kebanyakan reaksi bisa ditangani dengan analgesik, antipiretik dan
istirahat.
e. Evaluasi Terapi
Rekomendasi CDC untuk penanganan serologi lanjutan bagi pasien yang
dirawat untuk sifilis diberikan pada Tabel 43-4. Uji nontreponema kuantitatif
sebaiknya dilakukan pada bulan ke-6 dan 12 pada semua pasien yang dirawat untuk
sifilis primer dan sekunder serta pada bulan ke 6,12, 24 untuk kondisi laten awal
dan akhir.

D. STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI MENULAR


SEKSUAL
Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk: (1) mengurangi
morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS, (2) mencegah infeksi HIV, (3) mencegah
komplikasi serius pada kaum perempuan, dan (4) mencegah efek kehamilan yang buruk
(Kementrian Kesehatan RI, 2005). Tujuan program akan dapat dicapai melalui upaya
pencegahan primer yang secara langsung akan menurunkan insiden IMS dan melalui
pencegahan sekunder yang akan menurunkan prevalensi IMS dengan memperpendek
durasi penyakit, sehingga akan menurunkan kemungkinan komplikasi dan sekuale dari
IMS tersebut (Mayaud, 2001).
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah didapatnya suatu infeksi atau
penyakit melalui perilaku seksual yang aman atau penggunaan kondom untuk aktivitas
seksual penetratif. Hanya melalui pencegahan primer yang memiliki efek besar
terhadap IMS yang tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh virus
(Watkins, 2014). Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam program
pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang miskin akan sumber daya disertai
dengan keterbatasan obatobatan dan alat diagnostik, dan dalam menghadapi pola
perubahan dari IMS bakteri yang dapat disembuhkan ke IMS virus yang tidak dapat
disembuhkan. Selain itu strategi pencegahan primer dapat menurunkan paparan dari
individu infeksius melalui pengurangan pasangan seksual atau menurunkan efisiensi
transmisi melalui penggunaan kondom atau metode barier lainnya, yang selanjutnya
akan memiliki dampak besar dalam menurunkan transmisi dari seluruh IMS, jika
dibandingkan dengan vaksin, terapi supresif atau pemeriksaan skrining yang hanya
spesifik untuk patogen tertentu (Genuis, 2008). Pencegahan primer meliputi program
perbahan perilaku dan intevensi struktural.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan dan pelayanan terhadap individu
yang terinfeksi, dengan aktivitas yang meliputi: (1) promosi perilaku dalam mencari
pengobatan, tidak hanya untuk mereka yang memiliki gejala IMS, tapi juga untuk
mereka yang berisiko terkena IMS, (2) penyediaan pelayanan kesehatan yang mudah
diakses, diterima masyarakat dan efektif baik untuk individu simtomatik maupun
asimtomatik, serta pasangannya, (3) menyediakan pelayanan konseling untuk IMS dan
termasuk HIV (World Health Organization (WHO), 2006-2015). Pengalaman di
beberapa negara dengan pendapatan rendah dan sedang seperti di Thailand, Nairobi,
Botswana dan beberapa bagian di Afrika Selatan telah menunjukan bahwa sangat
memungkinkan untuk mengendalikan IMS yang dapat disembuhkan, bahkan pada
daerah dengan dinamika transmisi yang tinggi, melalui suatu strategi pencegahan dan
pengobatan yang komprehensif (Dallabetta, 2008). Tujuan pengobatan kasus IMS
adalah: untuk membuat diagnosis yang tepat, menyediakan pengobatan yang efektif,
mencegah atau mengurangi perilaku berisiko di masa yang akan datang, menyarankan
ketaatan dalam berobat, promosi dan penyediaan kondom serta memastikan
pasangannya dikenali dan ditangani dengan baik. Bahkan pada klinik IMS dengan
peralatan yang paling lengkap akan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan IMS
jika pemanfaatan pelayanan IMS masih buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, M. L. (2009).
Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill.

Mandal, B. K., Wilkins, E. G., Dunbar, E. M., &Mayon-White, R. T. (2006). Penyakit Infeksi.
Erlangga.

.Dallabetta, G.A., Elvira, T., Neilson, G. Dalam: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm., W.E.,
Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., penyunting. Sexually
Transmitted Disease. 4th edition. New York: McGraw Hill; 2008, p. 1957-76.

Genuis, S.J. dan Genuis, S.K. Primary prevention of sexually transmitted disease : applying the
ABC strategy. Postgrad Med J. 2005. 81 : 299-301.

Kusmiran, E. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika.
World Health Organization (WHO). Global Strategy for the Prevention and Control Off Sexually
Transmitted Infections, 2006-2015. WHO : Geneva : 2007, p.1-60.

Anda mungkin juga menyukai