KELOMPOK III
1. TRI AMELIA ALI
2. YULAN JUFRI DATAU
3. SRI JEVITA HUSAIN
4. SRI MEGASANDRI OLI’I
5. NIKMAWATI BAINTO
PENDAHULUAN
Pernikahan itu merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridloi oleh Allah
SWT. Dari pengertian itu dapat kta ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga
yang yang bahagia , kemudian menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan,
membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang
dianjurkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum, 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Didalam agama islam itu sudah jelas, mana saja pernikahan yang dilarang islam dan mana saja
yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud dari pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk
perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin mut'ah kawin hanya untuk bersenang-
senang, kawin syhighor, kawin muhallil dan lain-lain, bentuk perkawinan tersebut merupakan
bawaan yang berasal dari zaman jahiliyyah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan
binatang yang memiliki prinsip bahwa siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan atau dihalalkan yaitu pernikahan yang sesuai dengan
ketentuan syariat seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah satu
diantara syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka pernikahannya tidaklah syah dan batal.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Nikah Mut'ah
Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, jika waktu yang
ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya
dan dia berhak menerima mut'ah dari suaminya.
ث ُ َّم نَ َهى, ثَ َلثَةَ أَي ٍَّام, اس فِي ا َ ْل ُمتْعَ ِة َ ام أَ ْو
ٍ ط َّ َ سو ُل
َ ّللَاِ صلى هللا عليه وسلم َع َ َر َّخ: سلَ َمةَ ب ِْن ْاْل َ ْك َوعِ رضي هللا عنه قَا َل
ُ ص َر َ َو َع ْن
)َع ْن َها (متفق عليه
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberi
kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota
Mekkah), kemudian bleiau melarangnya.
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah
mut'ah pada waktu perang khaibar
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri pada waktu perang
khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud
َ ( إِنِى ُك ْنتُ أ َ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِى اْ ِإل ْستِ ْمتَاعِ ِمن: سلَّ َم قَا َل َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
َ ِس ْو َل هللا ُ ي هللاُ َع ْنه ُ أ َ َّن َرَ ض ِ ع ْن أَبِ ْي ِه َر َ َو َع ْن َربِيْعِ اب ِْن
َ َ سب َُرة
َ
ش ْيئًا) أ ْخ َر َجهُ ُم ْس ِل ٌم ُ ْ
َ سبِ ْيلَ َها َوالَ تَأ ُخذ ْوا ِم َّما أتَ ْيتُ ُم ْواه َُّن ْ
َ ئ فَليُ َح ِل ْ
َ اء َوإِ َّن هللاَ قَدْ َح َّر َم ذَالِكَ إِلَى يَ ْو ِم ال ِقيَا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْندَهُ ِم ْن ُه َّن
ٌ ش ْي ِ سَ ِالن
َ
َى َوا ْبنُ َما َجهُ َوأحْ َمدُ َوا ْبنُ ِحبَّان ُّ ِسائ َ
َ ََّوأب ُْوا دَ ُاودَ َوالن
Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan
mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka
barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia
membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat
Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
- َ ر َّخ,
ص َ dibolehkan setelah sebelumnya pernah dilarang. Biasanya, rukhsah (keringan)
diberikan dengan ketentuan syarat tertentu.
- م ْن ُه َّن,
ِ para wanita yang dinikahi dengan cara nikah mut’ah.
- أت َ ْيتُ ُم ْواه َُّن, apa-apa yang telah kamu berikan, baik berupa harta mahupun yang selainnya
sebagai upahnya.
b. Penjelasan
Maksud Hadits
Para ulama tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini selain
sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai wanita untuk disetubuhi
dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama
antara mereka, sementara wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak
wajib beriddah kecuali sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga
sampai dua kali suci.
Oleh kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang
dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu
diharamkan itu masih berwujud keringanan yang membolehkannya karena ada alasan-alasan
yang jelas.
Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali.
Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada waktu
Perang Khaibar. Kedua, dibolehkan pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian
diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”
Nikah mut’ah adalah haram, dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman
nikah mut`ah,antara lain:
1) Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara
kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam
hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang
berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak
berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad
nikah, dengan alasan sebagai berikut :
- Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
- Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan
kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
- Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita
yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak
menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang
yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui
batas"(QS. al-Mukminin :7)
2) Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam
hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah,
yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan
2. Nikah Syighor
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak perempuannya untuk
dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas kawin, seperti seorang laki-laki berkata kepada laki-
laki lain : "Nikahkanlah aku dengan anakmu dan nanti aku nikahkan kamu dengan anakku"
Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang
lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak
menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa
penafsiran "Syighar" di atas adalah dari ucapan Nafi'.
- َار
ِ الشغ,
ِ telah ditafsirkakn dalam hadits iaitu seorang lelaki menikahkan anak perempuannya
dengan syarat orang lain itu juga harus menikahkan anak orang itu untuk dirinya dan tidak ada
mahar kepada kedua-dua gadis itu. Takrif ini sesuai dengan pendapat pakar bahasa, kerana asal
makna syighar adalah mengangkat.
b. Penjelasan
Maksud Hadits
Islam telah menetapkan hukum-hakam yang salah satu daripadanya adalah syarat perkahwinan
adalah adanya ijab setelah adanya permohonan, disamping kewujudan wali, saksi dan menyebut
mahar. Jika ada syarat selain itu, maka syarat itu dianggap batal. Dalam kaitan, Rasulullah
(s.a.w) bersabda:
هللا
ِ ط ُ ط ِمائَةَ َم َّرةٍ ش َْر
َ ْس لَهُ َو ِإ ْن ش ََر
َ ب هللاِ فَلَي
ِ ْس فِي ِكتَا ً ط ش َْر
َ طا لَي َ ب هللاِ َم ْن ا ْشت ََر
ِ ت فِي ِكت َا ً ش ُر ْو
َ طا لَ ْي
ْ س ُ َط ْون ٍ َما بَا ُل أُن
ُ َاس يَ ْشت َِر
أ َ َح ُّق َوأ َ ْوثَ ُق
Tiada gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa
saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah maka tidak ada hak
baginya (atas syarat itu) meskipun ia mensyaratkannya seratus kali. Syarat Allah lebih layak
(diikuti) dan lebih kuat (untuk dipegangi) (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Demikian pula dengan nikah syighar yang di dalamnya memuatkan syarat batil, kerana
menyimpang dari ajaran Allah. Selain itu, nikah syighar ini pada hakikathnya adalah menyia-
nyiakan hak wanita yaitu mahar.
Meskipun ulama bersepakat mengenai larangan terhadap nikah syighar, tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai pernikahan itu sendiri, apakah batal atau tidak.
Menurut Imam al-Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, pernikahan itu batal. Menurut mazhab
Hanafi dan selain mereka, pernikahan itu sah dan masing-masing perempuan wajib diberi mahar
mitsil.
Menurut Imam al-Syafi’i, jika mahar perkahwinan itu disebutkan sewaktu akad dilangsungkan,
maka pernikahan itu tidak termasuk syighar yang dilarang dalam agama, kerana nikah syighar
adalah nikah yang dilakukan tanpa mahar. Oleh itu, nikah seperti ini dianggap sah, sementara
maharnya tidak ada dan wajib digantikan dengan memberikan mahar mitsil
3. Nikah Tahlil
Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya
dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya
setelah dia dithalak oleh suaminya yang kedua.
,ي ُّ ِسائَ َّ َوالن, ُّللَاِ صلى هللا عليه وسلم ا َ ْل ُم َح ِل َل َو ْال ُم َحلَّ َل لَهُ ) َر َواه ُ أَحْ َمد ُ ( لَعَنَ َر: َو َع ِن اب ِْن َم ْسعُو ٍد رضي هللا عنه قَا َل
َّ َ سو ُل
ي
َّ ِسائ ُ َ ْ َ
َ َّع ِلي ٍ أ ْخ َر َجهُ اَْل ْربَعَة إِ َّال الن
َ َع ْن: ب ْ
ِ ص َّح َحهُ َوفِي اَلبَا ُّ َواَلتِ ْر ِم ِذ
َ ي َو
Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki
yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah
kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi
bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i,
Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi
- ا َ ْل ُم َح ِل َل, dinamakan demikian, kerana dia menikahi perempuan yang ditalak tiga, kemudian
dia menceraikannya agar boleh dikahwini semula oleh suami pertama yang menceraikannya.
- ٍ َع ْن َع ِلي ِ َوفِي ا َ ْلبَا, sanadnya daif, kerana ada Mujalid, kerana dia seorang yang
ب
dipertentangkan dalam meriwayatkan hadits. Demikian pula hadits Jabir, hadits Abu Hurairah,
‘Uqbah bin ‘Amir dan Ibn ‘Abbas.
Dari Utsman Ibnu Affan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan menikah, menikahkan, dan
melamar." Riwayat Muslim.
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi
Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.
Penjelasan Hadits
Hadits pertama dan kedua tidaklah bertentangan antara satu sama lain setelah menegaskan
bahawa hadits pertama tidak membolehkan seorang yang sedang berihram menikah dan
dinikahkan. Namun Ibn ‘Abbas tidak sependapat dengan kaedah ini. Apapun, menerima hadits
ini lebih diutamakan kerana periwayatnya lebih mengetahui dengan permasalahan ini.
Ibn ‘Abbas berpendapat mengenai firman Allah: “dan engku halal terhadap negeri ini.”(Surah al-
Balad: 2) bahwa Rasulullah (s.a.w) telah dihalalkan untuk melakukan apa saja dan sebagaimana
yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak.
Ketika Ibn ‘Abbas mengetahui Rasulullah (s.a.w) menikah dengan Maimunah, beliau meyakini
bahawa baginda melakukan demikian dalam keadaan berihram kerana baginda memiliki
keistimewaan yang dibolehkan baginya melakukan segala sesuatu di tanah haram. Adapun,
tafsiran Ibn Abbas masih diragukan kesahihannya.
a. Hadits
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya
dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya." Muttafaq Alaihi.
Gharib
- َل َيُجْ َم َُع,َ mabni li al-majhul dan huruf lam di sini sebagai nafi yang bermakna larangan
(nahi).
- ع َّمتِهَا
َ و,
َ meskipun saudara perempuan ayahnya.
- و َخالَتِهَا,
َ meskipun saudara perempuan ibunya sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-
Bukhari: “Maka kami berpendapat bahawa saudara perempuan ayahnya memiliki kedudukan
yang sama dalam masalah masalah ini.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nikah Mut'ah; ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki terhadap wanita
dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu minggu dan seterusnya.